39
penelaahan kepustakaan dan dengan ditunjang oleh sejumlah pengalaman tertentu, bisa terjadi situasi di lapangan tidak memungkinkan peneliti untuk meneliti masalah itu. Dengan demikian kepastian tentang fokus dan masalah itu yang menentukan adalah keadaan di lapangan.
Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif deskriptif berkaitan erat dengan rumusan masalah, dimana rumusan masalah penelitian dijadikan acuan dalam menentukan fokus penelitian. Dalam hal ini fokus penelitian dapat berkembang atau berubah sesuai dengan perkembangan masalah penelitian di lapangan. Hal tersebut sesuai dengan sifat pendekatan kualitatif yang lentur, yang mengikuti pola pikir yang empirical induktif, segala sesuatu dalam penelitian ini ditentukan dari hasil akhir pengumpulan data yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Bugin (2003: 41) menyatakan bahwa fokus penelitian mengandung penjelasan mengenai dimensi-dimensi apa yang menjadi pusat perhatian serta kelak dibahas secara mendalam dan tuntas.
2. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus penelitian adalah paham animisme yang cenderung mewarnai pola hidup dalam masyarakat Bambapuang Kabupaten Enrekang.
D. Sasaran Penelitian
Adapun sasaran penelitian yaitu 20 orang warga Desa Bambapuang.
Adapun alasan peneliti memilih 20 orang tersebut yaitu karena peneliti
41
menganggap bahwa peneliti dapat memperoleh informasi atau data yang lebih akurat dari 20 orang warga tersebut. Mereka dipilih secara purposive sampling.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human instrumen), yang berfungsi sebagai penetap fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, analisis data, menafsirkan data dan menyimpulkan data secara obyektif dengan menggunakan alat bantu berupa pedoman observasi, pedoman wawancara , pedoman dokumentasi (dokumen-dokumen yang terdapat di Desa Bambapuang Kabupaten Enrekang).
F. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan memanfaatkan beberapa media, diantaranya:
1. Observasi
Observasi yaitu tehnik penelitian dengan mendatangi lokasi penelitian, mengadakan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Pengamatan atau observasi dapat mengoptimalkan kemampuan peniliti dari segi motif, perilaku tidak sadar, kebiasaan dan sebagainya. Dengan pengamatan akan memungkinkan seorang pengamat untuk melihat dunia, sebagaimana yang dilihat oleh subjek pada saat itu.
Pengamatan mencakup kemampuan peneliti untuk berperan serta dalam kelompok masyarakat yang diamati. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasution (1996:107) bahwa dalam garis besarnya observasi dapat dilakukan:
a. Dengan partisipasi, pengamat jadi seorang partisipan b. Tanpa partisipasi, pengamat jadi seorang non partisipan 2. Wawancara
Wawancara, dengan memanfaatkan metode ini, maka penulis dapat melakukan penyampaian sejumlah pertanyaan ke pihak responden secara lisan dengan menggunakan panduan wawancara. Wawancara dengan informan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan hubungan antara pewawancara dengan informan dalam suasana yang biasa, bebas dan wajar sehingga informan dalam suasana yang formal. Keadaan yang demikian menyebabkan informan merasa bebas dan tidak merasa terpaksa memberikan informasi yang diperlukan. Hasil dari wawancara tersebut dicatat langsung oleh peniliti maupun direkam untuk selanjutnya diperbaiki pada saat penulisan laporan penilitian.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan pengumpulan-pengumpulan data berupa gambar- gambar, foto-foto, artikel, yang hasilnya dapat dijadikan bahan lampiran maupun data tambahan yang dibutuhkan.
G. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif deskriptif. Dari data-data utama dan data pendukung yang didapatkan, kemudian akan
43
dideskripsikan atau digambarkan tentang gejala-gejala yang terjadi pada objek penelitian. Menurut Seiddel, analisis data kualitatif memiliki proses, yaitu: (1).
Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri, (2) Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintetiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya, (3) Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola atau hubungan-hubungan, dan temuan-temuan umum. ( Moleong, 2007:248).
BAB IV
GAMBARAN DAN HISTORI LOKASI PENELITIAN
A.Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Kondisi Geografis Lokasi Penelitian
Kabupaten Enrekang berada di jantung Jasirah Sulawesi Selatan yang dalam peta batas wilayah memang bentuknya seperti jantung. Pegunungan Latimojong yang memanjang daru Utara ke Selatan rata-rata ketinggian ± 3.478 meter diatas permukaan laut, memagari Kabupaten Enrekang disebelah timur sedang disebelah barat membentang Sunagai Saddang dari utara ke selatan yang pengendalian airnya menentukan pengairan saddang yang berada dalam wilayah Kabupaten Pinrang dengan aliran pengairan sampai ke Kabupaten Sidenreng Rappang.
Kabupaten Enrekang terletak antara 3º 14’36” LS dan 119º40’53” BT. Jarak dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar) ke kota Enrekang dengan jalan darat sepanjang 235 Km. Batas-batas daerah Kabupaten Enrekang : Sebelah Utara Kabupaten Tana Toraja, Sebelah Selatan Kabupaten Sidenreng Rappang, Sebelah Barat Kabupaten Pinrang, dan Sebelah Timur Kabupaten Luwu dan Sidenreng Rappang.
Kabupaten Enrekang berada di daerah pegunungan, terdiri dari gunung- gunung dan bukit-bukit sambung menyambung, mengambil dari ± 85% dari seluruh luas Kabupaten Enrekang yang luasnya 1.786,01 km² atau 2,92 dari seluruh luas
44
45
propinsi Sulawesi Selatan, secara administratif terbagi menjadi 12 kecamatan dan 129 Desa/Kelurahan.
Iklim di Kabupaten Enrekang hampir sama dengan daerah lainnya di propinsi Sulawesi Selatan yaitu terbagi 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Musin hujan terjadi/ berlangsung pada bulan November-Juli, sedangkan pada musim kemarau berlangsung pada bulan Agustus-Oktober.
Desa Bambapuang terletak sekitar 260 kilometer sebelah utara Kota Makassar. Untuk mencapai kampung ini, dari Kota Makassar cukup melewati Ibukota Enrekang, kemudian menuju ke Kecamatan Anggeraja. Dari kota kecamatan Anggeraja menuju ke Desa Bambapuang, perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua dengan jarak tempuh sekitar 12 kilometer dengan waktu tempuh antara 20 menit sampai dengan 25 menit sedangkan jarak tempuh untuk fasilitas terdekat seperti fasilitas kesehatan, ekonomi dan pemerintahan sekitar 5 sampai 10 menit adapun sumber air dari masyarakat Bambapuang adalah air dari gunung yang disalurkan langsung dengan sistem perpipaan yang dikelolah oleh masyarakat setempat ada juga masyarakat yang menggunakan sumur galian atau sumur bor sebagai sumber air bersih untuk digunakan sehari-hari. Desa Bambapuang merupakan desa yang berbatasan dengan desa-desa lain sebagai berikut: (a) Sebelah utara berbatasan dengan desa Mandatte, (b) Sebelah selatan berbatasan dengan desa Tuara, (c) Sebelah barat berbatasan dengan desa Tindalun, (d) Sebelah timur berbatasan dengan desa Ressoan.
Pada umumnya mata pencaharian masyarakat Bambapuang adalah petani karena sebagian besar wilayah desa Bambapuang terdiri dari daerah pertanian, serta perkebunan kopi dan cokelat yang masih diusahankan sendiri oleh para petani setempat selain itu ada juga bekerja sebagai pegawai serta pedagang, adapun pertumbuhan ekonomi di desa Bambapuang tergolong rendah.
2. Luas Wilayah
Kabupaten Enrekang adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Enrekang. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.786,01 km² dan berpenduduk sebanyak ± 190.579 jiwa.
Enrekang terbagi menjadi 12 kecamatan dan 129 desa/kelurahan yaitu Kecamatan Enrekang, Kecamatan Maiwa, Kecamatan Baraka, Kecamatan Anggeraja, Kecamatan Alla, Kecamatan Cendana, Kecamatan Malua, Kecamatan Bungin, Kecematan Curio, Kecamtan Buntu Batu, Kecamatan Massalle, Dan Kecamatan Baroko.
Ditinjau dari segi sosial budaya, masyarakat Kabupaten Enrekang memiliki kekhasan tersendiri. Hal tersebut disebabkan karena kebudayaan Enrekang (Bumi Massenrempulu') berada di antara kebudayaan Bugis, Mandar dan Tana Toraja.
Bahasa daerah yang digunakan di Kabupaten Enrekang secara garis besar terbagi atas 3 bahasa dari 3 rumpun etnik yang berbeda di Massenrempulu', yaitu bahasa Duri, Enrekang dan Maiwa. Bahasa Duri dituturkan oleh penduduk di Kecamatan Alla', Baraka, Malua, Buntu Batu, Masalle, Baroko, Curio dan sebagian penduduk di Kecamatan Anggeraja. Bahasa Enrekang dituturkan oleh penduduk di Kecamatan
47
Enrekang, Cendana dan sebagian penduduk di Kecamatan Anggeraja. Bahasa Maiwa dituturkan oleh penduduk di Kecamatan Maiwa dan Kecamatan Bungin. Melihat dari kondisi sosial budaya tersebut, maka beberapa masyarakat menganggap perlu adanya penggantian nama Kabupaten Enrekang menjadi Kabupaten Massenrempulu, sehingga terjadi keterwakilan dari sisi sosial budaya.
Dari gambaran selintas mengenai lokasi dan kondisi geografis kabupaten Enrakang, memberikan penjelasan bahwa secara geografis, Enrekang memang sangat strategis dilihat dari sisi kepentingan ekonomi maupun politik. Enrekang yang berpenduduk sebanyak 190.579 jiwa. Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan memiliki berbagai potensi alam seperti marmer, batubara, minyak dan gas bumi, batuan mineral, serta perikanan laut yang cukup besar.
Kecamatan Anggeraja secara administratif memiliki 15 desa yaitu Desa Bambapuang, Desa Batu Noni, Desa Bubun Lamba, Desa Lakawan, Desa Mampu Desa Mandatte, Desa Mataran, Desa Pekalobean, Desa Salu Dewata, Desa Saruran Desa Siambo, Desa Singki, Desa Tampo, Desa Tanete dan Desa Tindalun.
Desa Bambapuang merupakan sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Bambapuang disebelah timur dan Gunung Nona di sebelah barat di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut. Kampung ini dihuni 2962 jiwa yang menempati rumah-rumah panggung dan sebahagian menempati rumah batu. Luas desa Bambapuang 11,5 km². Desa Bambapuang berlokasi di kaki Gunung Bambapuang dan Gunung Nona.
B.Keadaan demografi
Apabilah dilihat dari keadaan demografinya desa Bambapuang merupakan salah satu desa yang tingkat pertumbuhan penduduknya relative tinggi jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Kabupaten Enrekang, hal ini disebabkan oleh kondisi geografis desa Bambapuang yang sangat mudah untuk dijangkau sehingga sangat banyak masyarakat pendatang yang berkunjung di desa tersebut.
Jumlah penduduk desa Bambapuang didominasi oleh kaum laki-laki. Untuk lebih jelanya dapat di lihat pada tabel berikut :
Tabel 4.1 : Jumlah Penduduk Desa Bambapuang Menurut Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah
1 2
Laki-laki Perempuan
1499 1463
Jumlah 2962
Sumber : Kantor Desa Bambapuang 2016
Table diatas memperlihatkan bahwa masyarakat desa Bambapuang lebih di dosminasi oleh kaum laki-laki, dari 2962 warga masyarakat terdapar 1499 orang berjenis kelamin laki-laki dan 1463 orang berjenis kelamin perempuan.
Dilihat dari tingkat pendidikan, maka penduduk desa Bambapuang masih tergolong berpendidikan rendah, mungkin dikarenakan oleh kesadaran mereka terhadap pendidikan masih kurang serta kondisi geografis yang masih jauh dari saran pendidikan tingkat perekonomian mereka yang juga masi tergolong rendah. Dalam
49
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan keluarganya penduduk desa Bambapuang memiliki beberapa ragam mata pencaharian yakni petani, pedagang dan pegawai.
fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting dan perlu mendapat perhatian agara masyarakat dapat mencapai derajat kesehatan yang baik. Di desa Bambampuang sarana kesehatan hanya terdapat puskesmas pembantu dan posyandu.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.2 : Fasilitas Pelayanan Kesehatan
No Fasilitas kesehatan Jumlah
1 2
Puskesmas pembantu Posyandu
1 2
Jumlah 3
Sumber: Kantor Desa Bambapuang 2016
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa fasilitas pelayanan kesehatan di desa Bambapuang masih sangat kurang, dimana hanya tersedia 1 unit puskesmas pembantu dan 2 unit posyandu, hal ini sangat brpengaruh terhadap perbaikan derajat kesehatan masyarakat di desa Bambapuang.
Desa Bambapuang tergolong desa yang mudah di jangkau karena berada di jalan raya Makassar-Tanah Toraja akan tetapi dalam hal sarana pendidikan masih kurang. Fasilitas pendidikan yang ada di desa Bambapuang hanya terdapat 4 (satu) buah ekolah dasar, sementara sekolah yang setingkat SMP 2 buah dan SMK 1 buah.
Bagi masyarakat desa Bambapuang yang ingin melanjutkan penndidikan sampai pada jenjang SMP dan SMA terpaksa ada yang keluar meninggalkan desanya karena sekolah tidak mampu menampung banyaknya siswa/siswi.
C.Keadaan Sosial Budaya
Desa Bambapuang adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Bambapuang Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Berdasarkan kondisi geografisnya yang memanjang dari batas selatan Sidenreng Rappang hingga batas utara Tanah Toraja, mengakibatkan penduduk yang mendiami daerah itu mempunyai perbedaan-perbedaan sosial budaya dalam masyarakatnya. Perbedaan yang menonjol adalah perbedaan dialek bahasa yang digunakan sehari-hari.
Dialek bahasa yang digunakan oleh masyarakat desa Bambapuang adalah bahasa Duri dan bahasa Enrekang. Bahasa duri digunakan oleh orang Enrekang yang mendiami daerah-daerah kecamatan Anggeraja, Baraka, Alla, Curio, Buntu Batu, dan daerah bagian utara lainnya yang berbatasan dengan Tana Toraja dan bahasa Enerekang digunakan oleh orang Enrekang kecamatan Anggeraja dan kecamatan Enrekang.
Penduduk Kabupaten Enrekang sekarang membangun rumah kediamannya, berupa rumah panggung dari bahan kayu dengan tiang berukuran paling rendah 1 meter dari tanah. Walaupun dalam perkembangan akhir-akhir ini, semakin banyak yang membangun rumah dengan bahan semen dan bata. Mereka menyebutnya dengan
51
istilah rumah batu (bola batu), dengan arsitektur yang diambil dari arsitektur yang sekarang.
Dalam masyarakat Kabupaten Enrekang, pada masa kerajaan juga sangat ketat dengan penggunaan strata sosial masyarakat, dengan membedakan kelas bangsawan, rakyat biasa dan budak. Sekarang pembedaan strata sosial seperti itu, masih dikenal tapi tidak ketat dan sekarang tidak dihiraukan lagi utamanya pada generasi muda.
Berkurangnya perbedaan strata sosial masyarakat di Kabupaten Enrekang dipengaruhi oleh peran seseorang dalam masyarakat termasuk tingkat ekonominya dan pendidikanya. Namun demikian aspek tersembunyi dari strata soaial itu masih dipahami dan bahkan diakui oleh orang-orang tertentu. Kondisi itu Nampak dalam penempatan pejabat-pejabat pemerintah (utamnya pemerintah desa dan tokoh-tokoh masyarakat), walau tidak secara terbuka namun penenilaian aspek itu masih dipertimbangkan.
BAB V
PRINSIP ANIMISME TERHADAP POLA HIDUP MASYARAKAT BAMBAPUANG KABUPATEN ENREKANG
A.Hasil Penelitian
Aspek budaya, orang Enrekang juga mengenal ritual dan kebiasaan-kebiasaan tradisional yang masih dapat disaksiakan sampai sekarang. Ritual dan sistem kepercayaan masyarakat Kabupaten Enrekang sebagian masih mengenal sistem kepercayaan yang diturunkan secara turun dan kepercayaan yang datang kemudian yaitu bersumber dari ajaran islam. Bahkan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari dan ritus dalam hidup sebahagian masyarakatnya masih ada yang mencampur adukkan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh tingkat pemahaman agama (Islam) masyarakatnya. Kepercayaan terhadap adanya pengausa (kekuatan mutlak), pembantu-pembantunya, makhluk halus dan roh-roh nenek moyang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat. Kepercayaan terhadap dunia gaib itu masih diyakini.
Dalam kehidupan masyarakat Bambapuang kepercayaan dan pemahaman tentang yang gaib masih terdapat di berbagai lapisan masyarakat, mereka mempercayai adanya kekuatan roh yang menjadi penjaga (pangampa), hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 22 Juli 2016. Ada kalanya pengetahuan dan pemahaman serta daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan menangkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas secara bersamaan muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagat raya ini. Dengan
52
53
demikian timbullah kepercayaan yang memujah kekuatan roh yang dianggap penjaga (pangampa) mereka. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti diperoleh informasi tentang prinsip animisme terhadap pola hidup masyarakat Bambapuang kabupaten Enrekang.
Penulis melalukan wawancara kepada Ambe Ruba (75), petani beliau mengatakan bahwa:
“saya tahu sejarahnya bahwa dulu gunung Bambapuang banyak orang mengalami kejadian aneh seperti ada suara tangisan, penampakan, ada juga suara yang memangil hingga menyebabkan banyak pendaki yang mengalami kecelakan dan bahkan banyak meninggal di gunung tersebut hingga penjaga gunung meminta ayam hitam, tuak pahit, telur dan beras ketan”.
(Wawancara pada tanggal 15 Agustus 2016).
Sama halnya yang diungkapkan oleh Indo Siama (70), seorang petani mengatakan bahwa:
“Saya tau ceritanya bahwa dulu ada pendaki di gunung bambapuang namun tubuh tidak ditemukan karena di sembunyikan oleh penjaga gunung (pangampa) hingga ada seseorang bermimpi tepatnya malam jumat dan bertemu dengan penjaga gunung yang meminta telur, ayam hitam, beras ketan dan tuak pahit dan setelah permintaan dipenuhi maka di temukanlah tubuh dari pendaki tersebut”.
(Wawancara pada tanggal 15 Agustus 2016).
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa tidak semua masyarakat Bambapuang mengetahui ritual atau adat tersebut, apa lagi dari kalangan anak muda atau generasi muda yang saya wawancarai lebih banyak tidak mengetahui tentang ritual tersebut, hanya dari kalangan orang tua saja, itupun tidak semua orang mengetahui seluk-beluk ritual tersebut, mereka hanya mendengar cerita dari orang tua dulu dan mereka jadikan kebiasaan atau ritual setiap kemarau melanda yang menyebabkan kekurangan air untuk kebutuhan sehari-hari.
Penulis melakukan wawancara kepada Ibu Samsia (45), seorang ibu rumah tangga mengatakan bahwa :
“Begini nak, dulu acara mappeong sunga dilaksanakan kerena untuk menghormati para pendahulu kita diadakan sampai sekarang”.
(Wawancara pada tanggal 11 Agustus 2016)
Hal senada juga diungkapkan Hidayah (38), seorang pegawai mengatakan bahwa;
“acara mappeong sunga sangat berpengaruh bagi masyarakat Bambapuang, karena dalam ritual tersebut untuk meminta kepada penjaga gunung (pangampa buttu) agar air yang ada di gunung bambapuang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari”.
(Wawancara pada tanggal 11 Agustus 2016)
55
Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa acara mappeong sunga di Bambapuang sangat berpengaruh besar bagi kehidupan masyarakat setempat, hal tersebut bermaksud untuk menghormati para pendahulu dan untuk meminta agar air yang ada di gunung bambapuang dapat di gunakan masyarakat bambapuang untuk kebutuhan sehari-hari.
Kehidupan sosial budaya masyarakat di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke sangatlah beragam perkembangannya, sosial budaya ini secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh faktor alam.
Penulis melakukan wawancara kepada bapak Iskandar (30), seorang petani mengatakan bahwa:
‘’acara mappeong sunga dari dulu sampai sekarang dilaksanakan kemudian sangat berdampaknya bagi kelangsungan hidup di kampung ini karena air yang di minta dari penjaga gunung digunakan untuk menyiram sayur- sayuran.
(Wawancara pada tanggal 11 Agustus 2016)
Hal senada juga diungkapkan Rahman (43), seorang petani juga mengatakan bahwa;
“acara mappeong sunga setau saya tidak pernah ditinggalkan sampai sekarang,karena penduduk di kampung ini percaya bahwa penjaga gunung tidak akan memberikan airnya kalo tidak di berikan telur, ayam hitam, beras ketan dan tuak pahit.
(Wawancara pada tanggal 11 Agustus 2016)
Hal senada juga diungkapkan oleh Fitri (22), Ibu rumah tangga juga mengatakan bahwa:
“tidak pernah ditinggalkan ini acara mappeong sunga biar satu kalipun, karena dampaknya banyak sekali bagi di kampung ini.
(Wawancara pada tanggal 11 Agustus 2016)
Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa masyarakat Bambapuang dapat dikatakan bahwa semua penduduk disana mengikuti tradisi atau adat mappeong sunga yang dilaksanakan setiap musim kemarau melanda dan semua penduduk disana meyakini bahwa banyak dampak yang mereka rasakan dalam pelaksanaan acara mappeong sunga terebut, misalnya dalam hal kehidupan ekonomi mereka dan kehidupan sosial mereka.
57
BAB VI
ANIMISME MENJADI KECENDERUNGAN DALAM POLA HIDUP MASYARAKAT DI DESA BAMBAPUANG KABUPATEN ENREKANG
A.Hasil Penelitian
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Bambapuang Kabupaten Enrekang, masalah kepercayaan leluhur nenek moyang tidak bisa dipisahkan hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 22 Juli 2016.
Tak dapat dipungkiri kebiasaan masyarakat saat ini adanya bentuk kepercayaan yang berlebihan terhadap tempat-tempat tertentu, hal-hal yang dapat menimbulkan kepercayaan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti diperoleh informasi tentang sejarah ritual Mappeong Sunga yang di lakukan masyarakat Bambapuang.
Penulis melakukan wawancara kepada Bapak Husain (27), seorang pedagang beliau mengungkapkan:
“Kalau saya tidak tahu tentang sejarahnya,tapi menurut cerita bahwa gunung Bambapuang terdapat pengajanya (pangampa).
(Wawancara pada tanggal 11 Agustus 2016).
Begitu pula yang diungkapkan oleh Bapak Hidayat (27), yang berprofesi sebagai seorang guru, mengatakan bahwa:
57
“Saya tidak tahu sejarahnya,tapi pernah diceritakan katanya ada yang menghuni gunung tersebut (pangampa) yang sewaktu akan menampakkan dirinya ketika gunung tersebut di kotori”.
(Wawancara pada tanggal 15 Agustus 2016)
Sama halnya yang diungkapkan oleh Bapak Saguni (25), seorang pedagang mengungkapkan bahwa:
“Saya tidak tahu,tapi pernah mendengar ceritanya bahwa setiap tempat pasti ada yang menjaganya seperti gunung Bambapuang ada yang menjaganya”. (Wawancara pada tanggal 15 Agustus 2016).
Disadari bahwa masyarakat saat ini masih banyak yang tetap mempertahankan dan melestarikan kepercayaan-kepercayaan warisan nenek moyang mereka.
Kepercayan warisan nenek moyang masih banyak di lestarikan di Indonesia salah satunya yang terdapat di Desa Bambapuang Kabupaten Enrekang. Kepercayaan masyarakat Bambapuang tentang hal mistik pada tempat-tempat yang di keramatkan seperti kuburan, batu besar, pohon besar, gunung dan sumber mata air dapat memberi berkah apabila meminta di tempat tersebut.
Dalam wawancara dengan Bapak Ramli (43), seorang petani mengungkapkan:
“saya masih laksanakan ritual mappeong sunga sampe sekarang yang diadakan setiap musim kemarau melanda karena kesulitan mendapatkan air”.
59
(wawancara pada tanggal 15 Agustus 2016).
Sama halnya yang dinugkapkan oleh Ibu Rawasia (29), yang berprofesi sebagai seorang guru:
“masih dilakukan dan sampai saat ini masih berlangsung itu acara dan wajib bagi sebagian orang yang percaya”.
(Wawancara pada tanggal 15 Agustus 2016)
Begitu pula yang diungkapkan oleh Ibu Saripah (31), ibu rumah tangga.
Mengungkapakan bahwa:
“ia, masih berlaku sampai sekarang, baru wajib dilaksanakan bagi penduduk setempat yang mempercayainya”.
(Wawancara pada tanggal 19 Agustus 2016).
Sama halnya yang diungkapkan oleh Ibu Fatmawati (30), seorang Guru, mengatakan bahwa:
“iya masih berlaku dan wajib bagi masyarakat di desa ini yang percaya hal seperti itu”.
(Wawancara pada tanggal 19 Agustus 2016)
Lain halnya yang diungkapkan oleh Bapak Hading (45), seorang Guru mengaji . Beliau mengatkakan bahwa: