• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

A. Jenis Dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini berjenis library research (studi kepustakaan) yang yuridis normatif dengan menggunakan deskriptif analitis yang memiliki tujuan agar memperoleh sebuah uraian atau gambaran umum yang sistematis dan menyeluruh, serta menguraikan fakta ataupun keadaan yang ada. Berdasarkan dari sudut bentuknya, maka penelitian skripsi ini adalah penelitian preskriptif yaitu penelitian ini ditujukan agar memperoleh saran- saran terhadap apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan atau mengatasi masalah tertentu khususnya yang telah diteliti oleh penulis56.

Pendekatan penelitian dapat diartikan sebagai cara berpikir peneliti tentang bagaimana cara penelitian itu berlangsung. Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan statute approach atau pendekatan undang-undang dan conceptual approach atau pendekatan konsep. Pendekatan undang- undang (statute approach) digunakan untuk meneliti regulasi yang berhubungan terhadap hak atas merek serta praktik passing off, sedangkan pendekatan konsep (conceptual approach) dilakukan untuk mengetahui akan beberapa konsep tentang definisi passing off, pengertian hak atas merek, dan pengertian itikad baik. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan tidak terjadi kekaburan dan keambiguan pemahaman dalam aturan hukum kedepannya.

B. Sumber Data

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan sumber data berupa beberapa bahan hukum sebagai berikut:

1. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan

56 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), 10.

dengan penelitian yang diteliti, peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar 1945;

b. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis;

c. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

d. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

e. Surat Edaran Kementerian Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronic (Electronic Commerce).

Adapun peraturan perundang-undangan internasional diantaranya:

a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;

b. Konvensi Paris;

c. TRIPs Agreement

2. Bahan Hukum Sekunder, yang merupakan bentuk penjabaran terhadap bahan hukum primer seperti contoh hasil-hasil penelitian, rancangan undang-undang, hasil karya dari kalangan hukum. Bahan hukum sekunder lainnya yang dipakai dalam penelitian ini adalah jurnal ilmiah, buku- buku, artikel-artikel, koran, tesis, dan makalah yang memiliki keterkaitan dengan objek permasalahan dalam penelitian peneliti.

3. Bahan Hukum Tersier, merupakan penjelasan lebih lanjut akan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari ensiklopedia, kamus, dan situs internet.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yang menggunakan data sekunder. Data sekunder meliputi buku-buku, dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang berwujud, penelitian sumber data sekunder utama yaitu didasarkan pada hukum positif. Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum sekunder, bahan hukum primer, dan bahan hukum tersier, sebagaimana telah disebutkan pada bagian sumber data di atas.

D. Analisis Data

Dalam Penelitian ini, peneliti menggunakan metode normatif kualitatif dalam analisis data. Normatif yaitu didasarkan terhadap beberapa peraturan hukum yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan data kualitatif dalam analisis data ini yaitu bertitik tolak pada usaha penemuan informasi dan asas. Data yang sudah dikumpulkan akan dihimpun diolah dan dianalisis kemudian dikonstruksikan.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. E-Marketplace

Pembahasan e-marketplace tidak akan lepas dari pembahasan e- commerce, oleh karenanya peneliti akan membahas e-commerce terlebih dahulu sebelum pembahasan mengenai e-marketplace.

E-Commerce merupakan gabungan dari dua kata, yaitu kata E yang berarti Elektronik dan kata Commerce, dan keduanya berasal dari bahasa inggris. Jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia, Electronic memiliki arti Elektronik dan Commerce bermakna Perdagangan. Jadi, dengan berpedoman pada terjemahan ini maka dapat disimpulkan bahwa e-commerce merupakan sebuah transaksi perdagangan menggunakan media elektronik yang berhubungan dengan internet57.

Berdasarkan dengan apa yang peneliti amati e-commerce merupakan sebuah website yang didalamnya disediakan transaksi jual beli online yang menggunakan fasilitas internet sebagai sarana penunjang, di mana dalam praktiknya terdapat website yang menyediakan layanan “get and deliver”.

Selain pengertian di atas terdapat pengertian menurut beberapa ahli mengenai e-commerce sebagai berikut58:

a. Roger Clarke dalam “Electronic Commerce Definitions”

menjelaskan bahwa e-commerce merupakan berbagai sistem perdagangan barang dan/atau jasa yang menggunakan media telekomunikasi sebagai salah satu alat bantunya.

b. Loudon berpendapat bahwa e-commerce adalah suatu cara yang dapat dilakukan konsumen ketika membeli dan

57 Adi Sulistyo Nugroho, E-Commerce Teori Dan Implementasi (yogyakarta: Ekuilibria, 2016), 5.

58 Nugroho, 6-7.

menjual produk secara elektronik dengan menggunakan komputer sebagai perantara transaksinya.

c. David Baum menyatakan e-commerce is a dynamic set of technologies, application, and business process that link enterprise, consumers, and communities through electronic transactions and the electronic exchange of goods, service, and information. e-commerce merupakan satu set dinamis teknologi, aplikasi dan proses bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen dan komunitas tertentu melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, pelayanan dan informasi yang dilakukan secara elektronik.

Macam–macam perdagangan elektronik (e-commerce) terbagi kedalam lima macam yakni59:

a. Business to business (B2B) merupakan sebuah transaksi dalam elektronik yang dilakukan oleh suatu perusahaan dengan suatu perusahaan lainnya.

b. Business to consumer (B2C) merupakan sebuah transaksi dalam elektronik yang dilakukan oleh suatu perusahaan dengan para konsumennya.

c. Business to government (B2G) merupakan sebuah transaksi dalam elektronik yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dengan pemerintah atau sektor publik.

d. Consumer to consumer (C2C) merupakan sebuah transaksi dalam elektronik yang dilakukan oleh sesama konsumen.

e. Mobile commerce (m-commerce) merupakan sebuah transaksi dalam elektronik yang menggunakan teknologi nirkabel.

59 Primandita Fitriandi, “Pemajakan Atas Transaksi Melalui Online Marketplace,” Jurnal Pajak Indonesia 4, no. 1 (2020): 14–20.

Consumer to consumer (C2C) merupakan salah satu model dalam transaksi perdagangan berbasis elektronik yang dilakukan dalam platform marketplace seperti Shopee.

E-marketplace sendiri merupakan suatu pasar virtual di mana pasar ini berfungsi sebagai sarana pertemuan antara pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi60. E-marketplace mempunyai fungsi sebagaimana fungsi pada pasar tradisional pada umumnya, hanya saja e-marketplace didukung oleh komputerisasi yang dibantu sebuah jaringan supaya sebuah pasar dapat berfungsi secara efisien dalam memberikan update informasi dan layanan jasa.

Komponen dalam sebuah e-marketplace memiliki sedikit kesamaan dengan komponen pada pasar tradisional, yang mana calon penjual dan pembeli merupakan hal yang paling penting dalam terjadinya transaksi.

Di bawah ini akan dijelaskan komponen-komponen yang terdapat dalam e-marketplace itu sendiri61:

a. Pelanggan (Customer)

Pelanggan (Customer) dalam e-marketplace berasal dari penjuru dunia yang melakukan surf menggunakan web.

b. Penjual

Penjual dalam e-marketplace merupakan seluruh toko yang terdapat web, iklan dan menawarkan barang dengan beberapa variasi.

c. Barang dan Jasa

Barang dan jasa dalam e-marketplace mempunyai tipe digital dan fisik. Produk digital merupakan barang yang dibuat dalam bentuk format digital serta dikirim menggunakan internet.

60 Adi Sulistyo Nugroho, E-Commerce Teori Dan Implementasi (yogyakarta: Ekuilibria, 2016), 28.

61 Nugroho, 31.

d. Infrastruktur

Dalam menjalankan e-marketplace terdapat beberapa infrastruktur yang perlu disiapkan seperti network, hardware, software dan lainya.

e. Front end

Penjual dan pembeli dalam e-marketplace berhubungan menggunakan sebuah front end. Front end ini berisi katalog elektronik, portal penjual, mesin pencari, shopping cart, dan mesin lelang.

f. Back end

Back end merupakan sebuah aktivitas berkaitan dengan pemesanan serta pemenuhan pemesanan, manajemen persediaan, akuntansi dan finansial, pembelian dari pemasok, proses pembayaran, pengepakan, dan pengiriman.

g. Intermediaries

Intermediaries dalam e-marketplace merupakan pihak ketiga yang mengoperasikan antara pembeli dan penjual. Pada praktiknya Intermediaries banyak dioperasikan melalui komputerisasi

h. Mitra Bisnis Lainnya (Others Partner Business)

Mitra Bisnis Lainnya (Others Partner Business) dalam E-Marketplace merupakan mitra dalam menjalankan E-Marketplace seperti pengiriman, biasanya menggunakan internet untuk berkolaborasi, kebanyakan dengan rantai pemasok.

i. Jasa Pendukung (Service Support)

Jasa sertifikasi dalam E-Marketplace merupakan jasa pendukung begitupun juga jasa keamanan dan banyak lagi jasa pendukung (Service Support) lainnya.

2. Shopee

Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pembahasan e- marketplace pada platform marketplace Shopee, oleh karenanya perlu gambaran umum terkait platform marketplace Shopee itu sendiri.

Shopee merupakan pengikut pasar mobile-sentris social yang pertama kali diluncurkan di Singapura pada tahun 2015, pada tahun tersebut Shopee juga melakukan ekspansi ke Negara ASEAN diantaranya, Taiwan, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri Shopee dioperasikan sejak bulan Juni 2015. Shopee adalah bagian dari anak perusahaan SEA Group atau yang dikenal dengan Garena Group yang berbasis di Singapura Indonesia. Tokoh penting dalam sejarah berdirinya Shopee adalah Chris Feng yang merupakan lulusan terbaik Universitas di Singapura.

Shopee merupakan perusahaan yang memanfaatkan website serta aplikasi e-commerce melalui online yang memberikan kesan belanja online yang aman, mudah dan cepat. Pada awalnya Shopee mengusung customer to customer (C2C) namun saat ini beralih ke model hibrid yang juga mengusung business to customer (B2C).

Shopee Indonesia memiliki dua kantor pusat yakni di Pacific Century Place Tower SCBD Kota Jakarta Selatan dan di Sahid J-Walk Kabupaten Sleman, DIY. Shopee memiliki logo sebagaimana di bawah ini.

Gambar 4.1 Logo Shopee

Shopee Indonesia memiliki visi “Menjadikan Mobile Marketplace nomor 1 di Indonesia” serta memiliki misi

“mengembangkan jiwa kewirausahaan bagi para penjual Indonesia”.

Para pemuda dan pemudi pada era ini yang terbiasa beraktivitas dengan menggunakan gadget termasuk dalam melakukan kegiatan berbelanja menjadi sasaran sebagai pengguna Shopee62.

CEO Shopee, Chris Feng menyatakan pendekatan Shopee terhadap penggunanya bisa dilihat dari fitur-fitur unggulannya contohnya chatting dan tawar, hal ini bertujuan agar pengguna dapat berkomunikasi dan berbelanja secara real time disesuaikan terhadap kenyamanan pelanggan baik pembeli maupun penjual. Dalam aplikasi Shopee pengguna juga bisa melangsungkan proses tawar menawar melalui fitur yang telah disediakan. Hingga saat ini yang telah mengunduh aplikasi Shopee mencapai 100 juta pengunduh yang terdapat Google Play Store.

Pada halaman awal pengguna akan menikmati sebanyak 26 kategori yang terdapat di Shopee, yaitu “Elektronik, Komputer dan

62 Shopee “Jelajahi Shopee”, di akses pada tanggal 5 April 2022 https://careers.shopee.co.id/about

Gambar 4.2

Aplikasi Shopee pada Play Store

Aksesoris, Handphone dan Aksesoris, Makanan dan Minuman, Perawatan dan Kecantikan, Perlengkapan Rumah, Pakaian Pria, Pakaian Wanita, Sepatu Pria, Fashion Muslim, Tas Pria, Fashion Bayi dan Anak, Ibu dan Bayi, Aksesoris Fashion, Jam Tangan, Sepatu Wanita, Kesehatan, Tas Wanita, Hobi dan Koleksi, Otomotif, Olahraga dan Outdoor, Souvenir dan Pesta, Fotografi, Buku dan Alat Tulis, Voucher, dan ShopeePay Sekitarmu”63.

B. Penyajian dan Analisis Data

1. Perlindungan Hukum Merek Asing dan Terkenal atas Passing Off Pada Platform marketplace Indonesia

Perkembangan internet telah membawa perubahan besar terhadap perekonomian dunia, perubahan tersebut terdapat pada teknik, tata cara dan model bisnis. Pada awal mulanya internet hanya berfungsi sebagai sarana promosi dan komunikasi, kemudian saat ini memiliki perkembangan menjadi sarana untuk seluruh kepentingan sebuah perusahaan.

Salah satu hasil perkembangan internet dalam dunia perekonomian adalah transaksi elektronik. Pengertian transaksi elektronik dapat dilihat dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No 19 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa transaksi elektronik merupakan suatu perbuatan hukum yang dilaksanakan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya64. Internet juga mendukung perkembangan sistem informasi dan teknologi dari berbagai sektor, salah satunya terdapat pada sektor perdagangan.

Perdagangan pada sistem elektronik atau yang dikenal dengan e-commerce adalah sebuah transaksi jual beli yang dilangsungkan oleh

63 Shopee “Platform Marketplace Shopee”, di akses pada tanggal 5 April 2022 https://shopee.co.id/

64 Sekretariat Negara Republik Indonesia, “Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik,” Pasal 1 Ayat (2)

seseorang dengan seseorang lainnya dengan bantuan media internet yang dapat dilakukan di mana saja tanpa perlu face to face (bertemu secara langsung) serta memiliki waktu yang tidak terbatas. e- commerce ini menggunakan prinsip-prinsip perjanjian yang sama dengan perdagangan konvensional seperti Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat sahnya sebuah perjanjian harus terdiri dari sepakat terhadap mereka yang mengikat diri, memiliki kecakapan dalam membuat sebuah perikatan, suatu hal tertentu, serta suatu kausa yang halal, kemudian Pasal 1233 KUHPerdata yang menjelaskan setiap sebuah perjanjian harus dilahirkan baik disebabkan persetujuan maupun undang-undang65. Namun pada praktiknya prinsip-prinsip tersebut memiliki perbedaan dengan transaksi konvensional karena pada e-commerce diatur oleh sistem elektronik.

Perdagangan elektronik yang dilakukan dalam cyberspace memerlukan kepastian hukum yang mana harus memperhatikan dari aspek cyberlaw itu sendiri. Oleh karenanya di Indonesia melahirkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No. 11 tahun 2008 sebagai bentuk hadirnya hukum dalam aspek cyberspace.

Hadirnya peraturan tersebut diharapkan dapat menjaga ketertiban masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan cyberspace terutama dalam transaksi elektronik.

E-commerce memiliki beberapa jenis, yang salah satunya adalah platform marketplace di mana terdapat transaksi langsung yang dilakukan oleh konsumen dengan konsumen lainnya pada platform tersebut. Transaksi yang terjadi dalam platform marketplace memiliki keterkaitan yang sangat dekat terhadap hukum kekayaan intelektual.

Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang

65 Julian Iqbal, “Perlindungan Bagi Konsumen Online Marketplace Melalui Mekanisme Online Dispute Resolution (Odr),” Jurist-Diction 1, no. 2 (2019): 557.

menyatakan segala kekayaan intelektual dalam sistem informasi akan mendapatkan perlindungan berdasarkan perundang-undangan yang ada66.

Pada platform marketplace ditemukan banyak pelanggaran yang berkaitan dengan kekayaan intelektual salah satunya pelanggaran terhadap merek. Merek sering disalahgunakan oleh pedagang (merchant) yang tidak bertanggung jawab demi meraih keuntungan semata.

Praktik membonceng reputasi atau yang dapat disebut dengan istilah passing off merupakan salah satu dari pelanggaran yang sering dijumpai dalam berbagai situs platform marketplace khususya platform marketplace Shopee. Praktik ini merupakan pelanggaran terhadap merek yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak memiliki hak untuk mengambil manfaat dari merek tersebut, merek adalah suatu hak eksklusif yang hanya dimiliki oleh pihak yang mendaftarkan mereknya. Praktik passing off biasanya dilakukan terhadap merek terkenal (wellknown mark) dan merek yang telah memiliki reputasi tinggi salah satunya adalah merek asing.

Praktik passing off yang sering ditemukan dalam platform marketplace Indonesia khususnya Shopee adalah terdapatnya banyak produk yang memiliki kemiripan logo, bentuk atau gambar dengan produk asing dan terkenal (wellknown mark) namun memiliki kualitas yang berbeda, seperti produk sepatu dengan merek CONVERSE yang ditiru dengan merek CONVRES yang merupakan produk asal Amerika yang bergerak di sektor produk fashion. Produk sepatu dan sandal dengan merek ATT juga mengalami pemboncengan reputasi oleh merek tiruannya yaitu PRO ATT. Begitupun juga dengan produk biskuit dengan merek KHOG GUAN yang berasal dari Singapura yang

66 Sekretariat Negara Republik Indonesia, “Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik,” Pasal 25

mengalami pemboncengan reputasi oleh merek tiruannya yakni HOCK GUAN.

Dalam TRIPs Agreement negara Indonesia yang merupakan bagian dari anggota perjanjian tersebut diharuskan untuk memberi perlindungan hukum terhadap merek atas praktik passing off sebagai amanat Pasal 15 dan Pasal 16 TRIPs Agreement tersebut. Hal ini wajib dilakukan oleh negara Indonesia sebagai konsekuensi dan keikutsertaan dalam instrumen internasional ini.

Bentuk perlindungan hukum atas praktik passing off yang diberikan oleh pengaturan perundang-undangan yang berlaku dapat peneliti uraikan sebagai berikut:

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan hukum preventif di sini ialah perlindungan sebelum terjadi tindak pidana atau pelanggaran hukum terhadap merek asing dan terkenal (wellknown mark) Perlindungan hukum tergantung pada pemillik merek asing dan terkenal (wellknown mark) untuk mendaftarkan mereknya.

Perlindungan atas praktik passing off pada beberapa negara yang menggunakan sistem common law diberikan pada merek yang belum terdaftar, berbeda dengan penafsiran dalam Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis yang mana perlindungan hukum hanya diberikan terhadap merek yang telah didaftarkan.

Secara eksplisit prinsip di atas tertuang dalam Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menentukan bahwa Hak atas merek merupakan hak eksklusif yang hanya dikeluarkan oleh negara kepada pemilik merek yang mendaftarkan mereknya dalam jangka waktu tertentu dengan memanfaatkan sendiri merek tersebut atau memberikan izin penggunaan akan merek tersebut terhadap pihak lain. Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis tertuang bahwa hak atas merek akan didapatkan ketika

merek tersebut didaftarkan. Maka berlandaskan bunyi pasal di atas pemilik merek akan mendapatkan hak eksklusif dan perlindungan terhadap mereknya apabila telah mendaftarkan merek tersebut.

Dengan mendaftarkan mereknya, pemilik akan mendapatkan beberapa hak sebagai berikut:

1) Memiliki hak menggunakan serta memberikan izin terhadap pihak lainnya dalam menggunakan serta mengambil manfaat terhadap mereknya;

2) Memiliki hak melarang pihak lainnya untuk menggunakan mereknya;

3) Memiliki hak melisensikan dan/atau mengalihkan hak terhadap mereknya.

Mekanisme perlindungan merek asing dan terkenal (wellknown mark) selain melalui inisiatif pemilik merek tersebut juga dapat ditempuh melalui penolakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap permintaan pendaftaran merek yang sama pada pokoknya dengan merek terkenal terdaftar.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif yang dimaksud disini ialah perlindungan hukum terhadap merek asing dan terkenal (wellknown mark) apabila ada tindak pidana terhadap merek atau pelanggaran hak atas merek. Bahwa pemilik merek terdaftar mendapat perlindungan hukum akan pelanggaran hak atas merek baik dalam wujud gugatan ganti rugi atau penghentian semua kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan merek asing dan terkenal (wellknown mark) tersebut.

Untuk mengetahui perbuatan yang tergolong dalam praktik passing off perlu diidentifikasi syarat-syarat sebagai berikut67:

67 Ramli. Aulia, Mayana, “Perlindungan Hukum Pada Merek Terkenal (Well-Known Mark) Atas Passing off Pada Digital Platform Marketplace,” Kertha Semaya 8 (2020), 9.

1) Goodwill atau reputasi;

2) Penggambaran yang palsu dan/atau menyesatkan;

3) Kerugian akibat tindakan passing off tersebut.

Berdasarkan syarat-syarat tersebut, maka pemilik merek asing dan terkenal (wellknown mark) pada platform marketplace harus mengidentifikasi tindakan passing off yang terjadi pada mereknya. Pertama, pemilik merek asing dan terkenal (wellknown mark) harus memperhatikan akan reputasi mereknya dengan membuktikan reputasinya dalam suatu wilayah dan adanya daya pembeda. Kedua, terdapatnya penyesatan yang dapat membuat masyarakat bingung dalam memilih produk. Ketiga, mengalami kerugian atas praktik passing off terhadap mereknya68.

Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis menyatakan pemilik yang telah mendaftarkan mereknya dapat mengajukan gugatan ganti dan/atau penghentian terhadap semua perbuatan yang memiliki keterkaitan dengan penggunaan mereknya. Hal ini dapat dilakukan apabila terdapat salah satu pihak yang secara hak mengambil manfaat terhadap merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya. Kemudian, Pasal 83 ayat 2 menyatakan gugatan perdata dapat diajukan oleh pihak yang memiliki merek terkenal yang berlandaskan terhadap putusan pengadilan. Selanjutnya, Pasal 83 ayat 3 menyatakan gugatan sebagaimana dimaksud di atas dapat diajukan terhadap Pengadilan Niaga.

Dalam Pasal 25 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan perlindungan hak kekayaan intelektual pada informasi elektronik dilakukan berdasarkan perundang undangan. Pasal ini merupakan pasal yang menjembatani pengguna kekayaan intelektual dalam lingkup cyberspace. Oleh karenanya Pasal 83 Undang-Undang tentang

68 Ramli. Aulia, Mayana, 10.

Merek dan Indikasi Geografis juga berlaku untuk pengajuan gugatan perdata atas perbuatan yang dilakukan dalam e-commerce.

Selain pengajuan gugatan kepada pengadilan niaga, para pihak dapat menyelesaikan sengketa menggunakan arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Dalam Pasal 93 Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis, penyelesaian sengketa berupa mediasi, negosiasi, konsiliasi, dan beberapa cara lain yang dikehendaki oleh para pihak. Salah satu penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh para pihak adalah negosiasi. Negosiasi ini dapat diakomodir oleh penyedia platform marketplace dengan cara menyediakan layanan pengaduan sebagai sarana bagi pihak yang memiliki merek dalam melakukan pelaporan atas praktik passing off yang dipraktikkan oleh pihak lain.

Praktik passing off pada platform marketplace dapat dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 100 ayat 1 Undang- Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menyatakan bahwa setiap orang yang tidak memiliki hak untuk menggunakan merek yang memiliki kesamaan pada keseluruhan merek yang telah didaftarkan maka dapat dipidana yakni pidana penjara selama lamanya lima tahun dan/atau denda pidana paling besar Rp.

2.000.000.00 (dua miliar rupiah). Lebih lanjut, Pasal 103 Undang- Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis menyatakan bahwa Pasal 100 sampai Pasal 102 Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan bagian dari delik aduan, sehingga ketika bermaksud memproses praktik passing off pada platform marketplace perlu kiranya pengaduan dari salah satu pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini pemilik merek asing dan terkenal (wellknown mark)69.

69 Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonomi (Edisi 2), II. (Jakarta: PT. Gasindo, 2007), 128.

Dokumen terkait