• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motif Perilaku Prososial 1. Empati-Altruisme

Dalam dokumen Psikologi Sosial: Konsep dan Implementasi (Halaman 167-173)

ALTRUISME DAN PERILAKU PROSOSIAL

9.2. Motif Perilaku Prososial 1. Empati-Altruisme

BAB 9

ALTRUISME DAN PERILAKU

keadaan emosional orang lain, bersimpati terhadap mereka, dan mengambil perspektif mereka (Eisenberg, 2000; Hodges, Kiel, Kramer, Veach, & Villaneuva, 2010). Kita membantu orang lain karena kita mengalami perasaan tidak menyenangkan yang orang lain alami dan kita ingin membantu mengakhiri perasaan negatif tersebut. Hal ini mengarahkan kita untuk menawarkan bantuan. Hipotesis empati-altruisme menunjukkan bahwa setidaknya beberapa tindakan prososial dimotivasi semata-mata oleh keinginan untuk membantu seseorang yang membutuhkan (Batson, Duncan, Ackerman, Buckley, & Birch, 1981; Batson &

Oleson, 1991). Motivasi seperti itu bisa cukup kuat sehingga penolong mau terlibat dalam kegiatan yang tidak menyenangkan, berbahaya, dan bahkan mengancam jiwa (Batson, Batson, Todd, Brummett, Shaw, & Aldeguer, 1995;

Batson, Klein, Highberger, & Shaw, 1995; Goetz, Keltner, &

Simon-Thomas, 2010). Empati terdiri dari tiga aspek yaitu aspek afektif yang melibatkan berbagi perasaan dan emosi dengan orang lain, aspek kognitif yang melibatkan persepsi pikiran dengan orang lain, dan aspek konatif yang melibatkan tindakan kepedulian terhadap orang lain. Pembedaan ini penting karena ketiga aspek tersebut terkait dengan perilaku prososial dan memiliki efek jangka panjang (Gleason, Jensen-Campbell, &

Ickes, 2009).

Ada kemungkinan orang yang rukun dengan orang lain menjadi lebih berempati karena sebagai hasil dari interaksi yang menyenangkan dengan orang lain. Media sosial berkontribusi pada tren penurunan empati. Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya mengurangi kontak tatap muka antara orang- orang, yang membentuk “teman” dan hubungan online daripada secara langsung. Hal ini dapat mengurangi perasaan empatik terhadap orang lain karena lebih mudah mengabaikan kebutuhan dan perasaan orang lain ketika kita “bertemu”

dengan mereka hanya sebagai representasi online daripada sebagai manusia seutuhnya (Konrath, O'Brien, & Hsing, 2011).

9.2.2. Pelepasan Keadaan-Negatif

Motif lain yang mungkin untuk membantu orang lain adalah citra bayangan dari empati. Alih-alih membantu karena kita peduli dengan kesejahteraan orang lain (empati kognitif), memahami perasaan mereka (empati afektif), dan membagikannya (empati konatif), kita membantu karena tindakan seperti itu memungkinkan kita dapat mengurangi emosi negatif kita sendiri. Kita melakukan hal yang baik agar kita berhenti merasa buruk. Untuk mengurangi kesusahan dalam diri kita sendiri maka kita membantu orang lain.

Penjelasan perilaku prososial ini dikenal sebagai “model pelepasan keadaan yang negatif (Cialdini, Baumann, & Kenrick, 1981). Penelitian menunjukkan bahwa tidak masalah apakah emosi negatif orang yang melihat itu dibangkitkan oleh sesuatu yang tidak berhubungan dengan keadaan darurat atau oleh keadaan darurat itu sendiri. Artinya, kita bisa kesal karena menerima nilai buruk atau melihat orang asing terluka. Dalam kedua kasus itu, kita terlibat dalam tindakan prososial terutama sebagai cara untuk memperbaiki suasana hati negatif diri kita sendiri (Dietrich & Berkowitz, 1997; Fultz, Shaller, & Cialdini, 1988). Dalam situasi seperti itu, ketidakbahagiaan mengarah pada perilaku prososial (Cialdini, Schaller, Houlainham, Arps, Fultz, & Beaman, 1987).

9.2.3. Kegembiraan Empatik

Adalah benar bahwa memiliki efek positif pada orang lain terasa menyenangkan. Fakta ini direfleksikan dalam hipotesis kegembiraan empatik yang menunjukkan bahwa penolong menikmati reaksi positif yang ditunjukkan oleh orang lain yang mereka bantu. Misalnya, kita ingat betapa senangnya melihat seseorang yang kita sayangi tersenyum dan menunjukkan kebahagiaan saat kita memberi mereka hadiah. Itu adalah contoh kegembiraan empatik.

Implikasi penting dari gagasan ini adalah penting bagi orang yang membantu untuk mengetahui bahwa tindakannya berdampak positif pada orang yang dibantu. Jika membantu sepenuhnya didasarkan pada empati emosional atau kepedulian empatik maka umpan balik tentang dampaknya tidak relevan karena kita tahu bahwa kita "berbuat baik" dan itu sudah cukup.

Tapi itu tidak akan menjamin terjadinya kegembiraan empatik.

Empati saja tidak cukup untuk menghasilkan respons prososial.

Orang-orang membantu hanya jika ada empati yang tinggi dan mereka juga menerima umpan balik tentang dampak tindakan mereka terhadap korban (Smith, Keating, & Stotland, 1989).

9.2.4. Altruisme Kompetitif

Tiga model teoretis yang dijelaskan sejauh ini menunjukkan bahwa keadaan afektif (perasaan) orang yang terlibat dalam tindakan prososial merupakan elemen yang sangat penting. Ketiga rumusan tersebut bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku membantu karena mereka ingin mengurangi perasaan negatif orang lain atau karena melakukan hal itu sehingga membantu mereka merasa lebih baik. Gagasan umum ini dibawa selangkah lebih maju oleh perspektif lain tentang perilaku prososial yaitu pendekatan altruisme kompetitif. Pandangan ini menunjukkan bahwa salah satu alasan penting mengapa orang membantu orang lain adalah karena hal itu meningkatkan status dan reputasi mereka sendiri dan pada akhirnya memberi mereka manfaat besar.

Karena seringkali membantu orang lain itu mahal dan hal ini menunjukkan kepada orang lain bahwa individu yang terlibat dalam perilaku seperti itu memiliki kualitas pribadi yang diinginkan yaitu mereka pasti tipe orang yang ingin dimiliki oleh suatu kelompok/masyarakat. Bagi orang yang terlibat dalam tindakan prososial, keuntungannya juga mungkin besar. Status yang tinggi memberi banyak keuntungan. Orang yang terlibat dalam perilaku prososial mungkin mendapat kompensasi yang baik atas tindakan baik dan perhatian mereka. Misalnya, banyak orang yang menyumbangkan uang dalam jumlah besar ke universitas diperlakukan seperti bintang ketika mereka

mengunjungi almamater mereka dan mereka mungkin menamai seluruh gedung dengan nama mereka. Temuan penelitian menegaskan bahwa motif untuk mengalami peningkatan status sosial memang terletak di balik banyak tindakan perilaku prososial terutama yang membawa pengakuan publik (Flynn, Reagans, Amanatullah, & Ames, 2006). Jadi, hal ini tampaknya merupakan motif penting untuk membantu orang lain.

9.2.5. Teori Seleksi Kerabat

Pendekatan yang sangat berbeda untuk memahami perilaku prososial ditawarkan oleh teori seleksi kerabat (Cialdini, Brown, Lewis, Luce, & Neuberg, 1997; Pinker, 1998).

Dari perspektif evolusi, tujuan utama semua organisme adalah memasukkan gen kita ke generasi berikutnya. Dukungan untuk prediksi ini telah diperoleh dalam banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kita lebih cenderung membantu orang lain yang memiliki hubungan dekat dengan kita daripada orang yang tidak berhubungan dengan kita (Neyer & Lang, 2003). Sesuai dengan teori seleksi kerabat, orang lebih mungkin membantu kerabat yang berusia muda dan yang memiliki masa reproduksi bertahun-tahun di depan mereka daripada kerabat yang lebih tua (Burnstein, Crandall, & Kitayama, 1994).

Ada dukungan yang cukup besar untuk teori seleksi kerabat. Namun, ada satu masalah mendasar yaitu kita tidak hanya membantu kerabat secara biologis. Malahan sebaliknya, seringkali kita memang membantu orang yang tidak berhubungan dengan kita. Menurut teori seleksi kerabat, ini tidak akan menjadi perilaku yang berguna atau adaptif karena tidak akan membantu kita mewariskan gen kita ke generasi mendatang. Jawaban diberikan oleh teori altruisme timbal balik yaitu kita mungkin bersedia membantu orang yang tidak terkait dengan kita karena membantu biasanya bersifat timbal balik.

Jika kita membantu mereka, mereka membantu kita. Jadi kita akhirnya mendapat manfaat dan peluang kita untuk bertahan hidup bisa kemudian secara tidak langsung meningkat (Korsgaard, Meglino, Lester, & Jeong, 2010).

9.2.6. Bantuan Defensif

Seperti pada diskusi tentang prasangka, orang sering membagi dunia sosial menjadi dua kategori yaitu kelompok- dalam dan kelompok-luar. Mereka sering menganggap kelompok mereka berbeda dari kelompok lain dan lebih unggul dalam beberapa hal. Kadang-kadang kelompok-luar mencapai kesuksesan yang mengancam superioritas kelompoknya sendiri (kelompok-dalam). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hal itu bisa terjadi karena salah satu cara untuk menghilangkan ancaman yang ditimbulkan oleh kelompok-luar adalah dengan membantu mereka. Terutama dengan cara yang membuat mereka tampak bergantung pada bantuan tersebut (Sturmer &

Snyder, 2010). Kadang-kadang orang membantu orang lain (terutama orang yang tidak termasuk dalam kelompoknya sendiri atau kelompok-dalam) sebagai cara meredakan ancaman status dari orang tersebut. Tindakan seperti itu dikenal sebagai bantuan defensif karena dilakukan tidak terutama untuk membantu penerima melainkan untuk "menjatuhkan mereka"

dengan cara yang halus dan mengurangi ancaman mereka terhadap status kelompok-dalam. Dalam kasus seperti itu, membantu tidak berasal dari empati melainkan untuk melindungi status kelompoknya sendiri (kelompok-dalam) (Nadler, Harpaz-Gorodeisky, & Ben-David, 2009).

Temuan seperti itu menekankan fakta bahwa membantu orang lain dapat berasal dari berbagai motif. Seperti banyak bentuk perilaku sosial, tindakan prososial itu kompleks dan tidak hanya dalam bentuk yang mereka ambil dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tetapi sehubungan dengan motif yang mendasari dari mana mereka muncul. Apapun penyebab yang tepat dari perilaku tersebut, jelas bahwa membantu adalah bagian yang penting dan cukup umum dari sisi kehidupan sosial dengan banyak efek menguntungkan baik untuk penolong dan mereka yang menerima bantuan (Baron & Branscombe, 2012).

Dalam dokumen Psikologi Sosial: Konsep dan Implementasi (Halaman 167-173)