• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Narapidana Residivis Perempuan 1. Pengertian Narapidana Residivis

2. Hak-Hak Narapidana Perempuan

Membahas pemasyarakatan sebagai sebuah sistem sering terjebak dalam pola pikir yang lebih berorientasi pada kebutuhan narapidana laki-laki sebagai mayoritas dari narapidana yang ada di Indonesia. Sebagai akibat dari hal tersebut, isu-isu spesifik tentang perempuan di dalam lembaga

pemasyarakatan sering tidak mendapat perhatian yang cukup. Sudah menjadi kodrat perempuan mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak dipunyai oleh narapidana lain, sehingga sudah menjadi suatu kewajaran bahwa narapidana perempuan mempunyai hak-hak khusus dibandingkan dengan narapidana lain.

Terkait dengan posisi Indonesia yang telah meratifikasi CEDAW (konferensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan) maka kebijakan- kebijakan pemerintah termasuk dalam konsep peradilan pidana, khususnya dalam pemidanaan harus mualai mempertimbangkan spesifik gender.

Kenyataannya kebijakan-kebijakan dalam peradilan pidana dalam hal ini adalah pemasyarakatan belum sepenuhnya beradaptasi dengan tuntutan dunia internasional.

Kebijakan sistem pemasyarakatan hal yang spesifik gender baru terbatas pada pembedaan tempat dalam proses pembinaan terhadap narapidana perempuan, yaitu di lapas khusus perempuan. Demikian pula bila dilihat kebijakan khusus tentang pembinaan (Kepmenkeh M.02-PK.04.10 Tahun 1990), sensitif gender baru diperlihatkan dalam pemberian makanan tahanan dan narapidana khusus perempuan.159 Secara prinsipil yang seharusnya dilakukan adalah menjadi aspek spesifik gender sebagai dasar

159 Gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara wanita dan laki-laki yang

pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan dalam sistem pemasyarakatan. Tujuan akhirnya dihasilkannya kebijakan-kebijakan sistem pemasyarakatan khusus narapidana perempuan. Hal utama yang diperlukan adalah sebuah kebijakan khusus yang konferhensif dan tidak bersipat parsial.

Seperti dibuatnya aturan-aturan khusus tenteng pola pembinaaan narapidana perempuan, begitu pula dalam sitem penganggarannya.

Penanganan terhadap perempuan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia tidak memiliki kebijakan resmi dan tertulis tentang manajemen dan pengawasan khusus bagi para pelanggar hukum perempuan. Aturan yang digunakan adalah aturan yang awalnya dirancang untuk warga binaan laki- laki. Strategi-strategi kebijakan yang responsif dan sensitif gender adalah yang mampu meciptakan lingkungan dan pemahaman yang menyesuaikan dengan realitas kehidupan perempuan serta yang secara langsung menanggapi isu-isu gender.160

Pembinaan terhadap narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian proses dalam upaya mempersiapkan narapidana kembali atau berintegrasi ke dalam masyarakat. Seluruh proses pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan merupakan suatu kesatuan yang integral untuk mengembalikan narapidana kepada masyarakat dengan bekal kemampuan (mental, fisik, keahlian, keterampilan, sedapat mungkin pula

160 Departeman Hukum dan HAM Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Cetak Biru

finansial dan materiil) yang dibutuhkan untuk menjadi warga yang baik dan berguna.161

Pembinaan terhadap narapidana perempuan, harus dibedakan dengan pembinaan terhadap narapidana laki-laki karena perempuan mempunyai perbedaan baik secara fisik maupun psikologis dengan narapidana laki-laki.

Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan.

Adapun cara pembinaan di lembaga pemasyarakatan narapidana perempuan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pemasyarakatan pada umumnya. Hanya saja ada sedikit kekhususan dimana di lembaga pemasyarakatan narapidana perempuan diberikan pembinaan keterampilan seperti menjahit, menyulam, salon dan memasak yang identik dengan pekerjaan sehari-hari kaum perempuan. Selain itu lembaga pemasyarakatan perempuan juga memberikan cuti haid bagi narapidananya yang mengalami menstruasi. Dalam hal melakukan pekerjaan, narapidana perempuan diberikan pekerjaan yang relatif lebih ringan jika dibandingkan dengan narapidana laki-laki. Hal ini mengingat fisik perempuan biasanya lebih lemah jika dibandingkan dengan narapidana laki-laki.

Selain diberikan beberapa keterampilan seperti tersebut di atas, lembaga pemasyarakatan perempuan juga memberikan keterampilan lain

berupa pelajaran pembina kesejahtraan keluarga (PKK). Hal ini dimaksudkan supaya bila kelak narapidana perempuan keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka sudah mempunyai keterampilan sendiri sehingga dapat menjadi manusia yang mandiri dan berguna bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat pada umumnya serta dapat bersosialisasi dengan masyarakat disekitarnya. Sedangkan untuk narapidana perempuan yang sedang hamil atau menyusui diberikan perlakuan khusus. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pasal 20 ayat 1, 3, 4 dan 5.

Ayat 1. Narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang sakit, hamil atau menyusui, berhak mendapatkan makanan tambahan sesuaidengan petunjuk dokter.

Ayat 3. Anak dari narapidana perempuan yang di bawa ke dalam LAPAS ataupun yang lahir di LAPAS dapat diberi makanan tambahan atas petunjuk dokter, paling lama sampai anak berumur 2 tahun.

Ayat 4. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 telah mencapai 2 tahun, harus diserahkan kepada bapaknya atau sanak keluarga, atau pihak lain atas persetujuan ibunya dan dibuat dalam satu berita acara.

Ayat 5. Untuk kepentingan kesehatan anak, Kepala LAPAS dapat menentukan makanan tambahan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 berdasarkan pertimbangan dokter.

Banyak di antara kejahatan yang dilakukan oleh perempuan adalah sebuah pilhan yang sulit ditengah keputusan. Karena itu proses pemasyarakatan bagi narapidana perempuan jelas harus berbeda dengan yang dominan diterapkan pada narapidana pria, karena secara kodrat perempuan memiliki siklus kesehatan yang berbeda dengan pria. Kenyataan budaya di Indonesia yang menepatkan beban pengasuhan dan perawatan keluarga pada perempuan juga perlu dipertimbangkan dalam membuat kebijakan bagai narapidana perempuan. Strategi kebijakan yang menekankan pada aspek keamanan telah mengurangi hak warga binaan perempuan untuk mendapatkan cuti mengunjungi keluaraga karena adanya kenyataan angka kembali setelah cuti mengunjungi keluaraga diberikan yang rendah. Karena itu upaya inspirati adalah membuka ruang komunikasi yang lebih baik dengan kelaurganya.

Selain permaslahan yang dihadapi di dalam lapas, permaslahan yang spesifik juga dialami pasca bebas. Kebutuhan untuk mendapatkan tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan serta kerampilan yang menjadi penunjang untuk medpatkan pekerjaan harus dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum narapidana bebas dari pemidanaannya. Terdapat sejumlah prinsip dari program-program yang dianggap sensitif dan responsif terhadap gender, diantaranya adalah sebgai berikut:

a. Menjamin adanya petugas yang memiliki pemahaman akan isu-isu

bagaimana mengimplementasikan pelayanan yang sensitif gender secara praktis;

b. Menjamin pemberdayaan perempuan untuk membuat keputusan atas perawatan dan perkembangan mereka sendiri, dan untuk berpartisipasi di dalam pembuatan keputusan;

c. Menggunakan pendekatan holistik, dengan memahami berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi;

d. Megakui bahwa stereotipe peran jenis kelamin tertentu dan peran gender yang dikonstruksi secara sosial dapat memojokkan posisi perempuan;

e. Menjamin bahwa fokusnya adalah mengembangkan dan mengimplementasikan layanan yang tepat dan memenuhi kebutuhan perempuan.

Berbagai ketentuan peraturan yang memuat perlindungan hukum terhadap perempuan merupakan salah satu indikasi telah adanya perlindungan perbedaan perlakuan terhadap seseorang atas dasar perbedaan jenis kelamin. Dengan adanya ketentuan tersebut, artinya perempuan secara khusus diberikan jaminan perlindungan hak dalam berbagai hal. Demikian halnya posisi seseorang sebagai Narapidana mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan diayomi. Hak antara narapidana pria, narapidana perempuan

dan narapidana anak berbeda-beda. Dalam hal ini masing-masing narapidana harus ada yang dikedepankan.162