• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Rehabilitasi

Dalam dokumen analisis tingkat kerusakan hutan mangrove (Halaman 40-50)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3.5. Analisis Data

3.5.5. Nilai Rehabilitasi

Biaya rehabilitasi yang diperlukan untuk mengkompensasi injury yang terjadi dapat diketahui melalui studi literatur dengan melihat biaya proyek rehabilitasi yang pernah dilakukan oleh BPDAS Jeneberang Saddang. Biaya rehabilitasi per hektar Rp. 35.022.000. biaya ini mengacu pada P.8/KSDAE/SET.2/10/2017 Tentang Standar Kegiatan dan Biaya Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistem Tahun 2018. Untuk mengetahui biaya kerusakan Rehabilitasi digunakan rumus sebagai berikut:

TBR = 𝐡𝑅0 x LAR Dimana:

TBR = Total Biaya Rehabilitasi (Rp)

𝐡𝑅0 = Biaya Rehabilitasi berdasarkan tahun penetapan biaya rehabilitasi (Rp/Ha) LAR = Luas Area yang akan di Rehabilitasi (Ha)

Nilai rehabilitasi hutan mangrove diasumsikan dari total biaya untuk rehabilitasi hutan tersebut.

26 IV. KEADAAN UMUM LOKASI

4.1. Geografi dan Iklim

Menurut jaraknya, letak masing-masing kelurahan ke ibukota Kecamatan berkisar 1 km sampai dengan jarak 5-10 km. Berdasarkan posisi geografisnya, Kecamatan Tamalanrea memiliki batas-batas: Utara – Kecamatan Biringkanaya;

Selatan – Kecamatan Panakkukang; Barat – Selat Makassar; Timur – Kecamatan Biringkanaya. Luas Wilayah Kecamatan Tamalanrea tercatat 31,84 km2 atau 18,2

% dari luas Kota Makassar yang meliputi 8 Kelurahan pada tahun 2018.

Secara Administratif, Kecamatan Tamalanrea terdiri dari 8 Kelurahan, yaitu: Kelurahan Tamalanrea Indah, Tamalanrea Jaya, Tamalanrea, Kapasa, Parangloe, Bira, Buntusu dan Kapasa Raya. Pada tahun 2018, jumlah kelurahan di Kecamatan Tamalanrea memiliki 8 kelurahan dengan 346 RT dan 69 RW.

Kecamatan Tamalanrea merupakan daerah Pantai dan bukan pantai dengan topografi ketinggian antara permukaan laut. Enam Kelurahan daerah bukan pantai yaitu Tamalanrea Indah, Tamalanrea Jaya, Tamalanrea, Kapasa, Buntusu dan Kapasa Raya. Sedang 2 Kelurahan lainnya (Parangloe dan Bira) merupakan daerah pantai. Menurut jaraknya, letak dan masing-masing kelurahan ke ibukota Kecamatan berkisar 1 km sampai dengan jarak 5-10 km.

A. Geografi

Makassar adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di bagian selatan pulau Sulawesi yang dahulu disebut Ujung Pandang, terletak antara 119021’17,38” bujur Timur dan 508’6,19” Lintang selatan yang berbatasan

27 sebelah Utara dengan Kabupaten Maros, sebelah timur kabupaten Maros, sebelah selatan kabupaten Gowa dan sebelah barat selat Makassar.

Kota Makassar memiliki topografi dengan kemiringan lahan 0-20 (datar) dan kemiringan lahan 3-150 (bergelombang). Luas wilayah kota Makassar tercatat 175,77 km persegi. Kota Makassar memiliki iklim sedang hingga tropis memiliki suhu udara rata-rata berkisar antara 260C sampai dengan 290C. secara administrasi kota Makassar dibagi menjadi 15 kecamatan dengan 153 kelurahan. Diantara 15 kecamatan tersebut, ada 7 kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu Kecamatan Tamalate, Kecamatan Mariso, Kecamatan Ujung Tanah, Kecamatan Tallo, Kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan Biringkanaya.

Tabel 2. Letak dan Status Kelurahan di Kecamatan Tamalanrea Tahun 2018 Kelurahan Letek Kelurahan Status Daerah

Pantai Bukan Pantai Kota Pedesaan

Tamalanrea Indah - βœ” βœ” -

Tamalanrea Jaya - βœ” βœ” -

Tamalanrea - βœ” βœ” -

Kapasa - βœ” βœ” -

Parangloe βœ” - βœ” -

Bira βœ” - βœ” -

Buntusu - βœ” βœ” -

Kapasa Raya - βœ” βœ” -

Kec. Tamalanrea 2018

Sumber : Profil Kelurahan Tahun 2018

28 Tabel 3. Luas Wilayah Menurut Kelurahan di Kecamatan Tamalanrea, 2018

Kelurahan Luas Wilayah (m2)

Persentase Wilayah Terhadap Kecamatan

Tamalanrea Indah 4,74 14,89%

Tamalanrea Jaya 2,98 9,36%

Tamalanrea 2,02 6,35%

Kapasa 2,06 6,32%

Parangloe 6,53 20,51%

Bira 9,26 29,08%

Buntusu 2,13 6,68%

Kapasa Raya 2,12 6,81%

Kec. Tamalanrea 2018 31,84 100,00%

Sumber : SK Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan

Berdasarkan Tabel 3 kelurahan yang paling luas yaitu Kelurahan Bira dengan luas 9,26 m2 dengan persentase wilayah 29,08 %, sedangkan wilayah yang paling kecil adalah Kelurahan Tamalanrea dengan luas 2,02 m2 dengan persentase wilayah 6,35 %.

B. Iklim

Iklim mempengaruhi semua aspek kehidupan, termasuk ketersediaan air, sehingga sangatlah perlu kita memahami keragaman iklim saat ini dan di masa depan. Dengan demikian pemerintah dan masyarakat dapat mengantisipasi perubahan iklim tersebut.

Makassar beriklim tropis dengan musim hujan yang jelas, keragaman hujan erat kaitannya dengan fenomena osilasi selatan-fenomena alamiah yang terjadi di lautan pasifik dan yang mempengaruhi iklim di berbagai daerah.

Peristiwa El Nino cenderung menyebabkan keterlambatan awal musim hujan dan kondisi yang lebih kering sedangkan kejadian La Nina mengakibatkan kondisi yang lebih basah daripada normalnya.

29 Tabel 4. Rata-rata Suhu dan Kelembaban Udara Menurut Bulan Di Kota

Makassar, Tahun 2018

Bulan Suhu Udara (0C) Kelembaban Udara (%) Maks Min Rata-rata Maks Min Rata-rata

Januari 34,0 24,0 28,5 97 65 83

Februari 32,8 24,0 27,7 97 72 87

Maret 34,0 24,7 28,5 95 72 86

April 34,4 24,0 28,8 97 64 84

Mei 34,8 25,2 28,8 90 62 79

Juni 34,4 24,0 28,6 93 55 79

Juli 33,8 24,0 28,1 92 59 78

Agustus 34,4 24,0 28,4 89 56 75

September 34,8 24,0 28,5 93 56 75

Oktober 34,5 23,4 28,4 97 53 79

November 34,2 24,4 28,7 94 64 82

Desember 33,5 24,0 27,7 97 71 85

Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah IV, Stasiun Meteorologi

Gambar 2. Rata-rata Suhu Udara Menurut Bulan di Kota Makassar Tahun 2018

30 Gambar 3. Rata-rata Kelembaban Udara Rata-rata Menurut Bulan di Kota

Makassar Tahun 2018

1. Tekanan Udara, Kecepatan Angin dan Penyinaran Matahari

Tekanan menggambarkan gaya per satuan luas pada suatu ketinggian tertentu. Dimana tekanan udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan menentukan kerapatan udara selain daripada suhu udara. Pada umumnya makin tinggi suatu ketinggian dari permukaan laut, tekanan udaranya semakin berkurang, karena jumlah molekul dan atom yang ada di atasnya berkurang.

Kecepatan angin, atau velositas gelombang angin, adalah sebuah kuantitas atmosterik fundamental. Kecepatan angin disebabkan oleh pergerakan angin dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, biasanya karena perubahan suhu.

31 Tabel 5. Rata-rata Tekanan Udara, Kecepatan Angin, dan Penyinaran Matahari

Menurut Bulan di Kota Makassar, Tahun 2018 Bulan Tekanan Udara (mb) Kecepatan Angin

(knot)

Penyinaran Matahari (%)

Januari 1012,5 5 76

Februari 1012,2 5 45

Maret 1012,1 4 68

April 1011,1 4 80

Mei 1010,5 4 86

Juni 1011,4 4 70

Juli 1011,1 4 83

Agustus 1011,1 4 92

September 1011,2 4 85

Oktober 1010,6 4 75

November 1010,3 4 69

Desember 1009,7 7 50

Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah IV, Stasiun Meteorologi

Gambar 4. Tekanan Udara Menurut Bulan di Kota Makassar 2018

32 Gambar 5. Kecepatan Angin Menurut Bulan di Kota Makassar, 2018

Gambar 6. Penyinaran Matahari Menurut Bulan di Kota Makassar, 2018

Berdasarkan tabel 5 dan gambar 4, 5 dan 6 di atas dapat dilihat bahwa tekanan udara tertinggi adalah pada bulan Januari yaitu 1012,5 mb, sedangkan terendah pada bulan Desember yaitu 1009,7 mb. Sedangkan kecepatan angin tertinggi pada bulan Desember mencapai 7 knot, sedangkan kecepatan angin terendah terjadi pada bulan Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September,

33 Oktober dan November yaitu 4 knot. Penyinaran matahari tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu 92%, sedangkan yang terendah terjadi pada bulan Februari yaitu 45%.

2. Curah Hujan dan Hari Hujan

Kota Makassar adalah kota yang letaknya berada dekat dengan pantai, membentang sepanjang koridor Barat dan Utara, lazim dikenal sebagai kota dengan ciri β€œWaterfront City” di dalamnya mengalir beberapa sungai yang kesemuanya bermuara ke dalam kota (sungai tallo, Sungai Jeneberang, dan sungai pampang).

Sebagai kota yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah dataran rendah, yang membentang dari tepi pantai sebelah barat dan melebar hingga ke arah timur sejauh kurang lebih 20 km dan memanjang dari arah selatan ke utara merupakan koridor utama kota yang termasuk dalam jalur-jalur pengembangan, pertokoan, perkantoran, Pendidikan, dan pusat kegiatan industri di kota Makassar.

Dari dua sungai besar yang mengalir di dalam kota secara umum kondisinya belum banyak dimanfaatkan, seperti menjadikan sebagai jalur alternatif baru bagi transportasi kota.

Berdasarkan keadaan cuaca serta curah hujan, kota makassar termasuk daerah yang beriklim tropis. Jumlah curah hujan dan hari hujan dapat dilihat pada tabel 6.

34 Tabel 6. Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Menurut Bulan di Kota Makassar,

Tahun 2018

Bulan Curah Hujan (mm3) Hari Hujan

Januari 384 16

Februari 724 22

Maret 221 19

April 119 18

Mei 44 10

Juni 47 13

Juli 13 8

Agustus 0 1

September 79 10

Oktober 425 21

November 149 18

Desember 545 27

Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah IV, Stasiun Meteorologi

Gambar 7. Jumlah Curah Hujan Menurut Bulan di Kota Makassar, Tahun 2018 Berdasarkan 6 dan gambar 7 di atas curah hujan tertinggi adalah pada bulan Februari dengan curah hujan mencapai 724 mm3 sedangkan terendah berada pada bulan Agustus dengan jumlah curah hujan 0 mm3. Begitupun dengan hari hujan, bulan Desember memiliki hari hujan terbanyak yaitu 27 hari, sedangkan yang terendah adalah bulan Agustus dengan hari hujan 1 hari.

35 4.2. Kelurahan Bira

Kelurahan Bira adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.Kelurahan Bira memiliki kode wilayah 73.71.14.1005.Memiliki luas sekitar +9,26 Km2 dan terdiri dari 24 RT dan 6 RW Bira dulunya merupakan sebuah kerajaan kecil masa pemerintahan kerajaan Gowa-Tallo yang dikenal dengan nama Kerajaan Bira. Seiring dengan perubahan sistem pemerintahan maka daerah yang merupakan bagian dari wilayah kerajaan Bira dinamai Kelurahan Bira.

Di Kelurahan Bira terdapat beberapa nama kampung yang dikenal oleh masyarakat setempat antara lain:

1. Sangalinna meliputi wilayah RT.05/RW.01

Sangalinna berasal dari kata Appa Sangngali artinya ada empat asal kejadian manusia. Kampung Sangalinna merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Bira, pusat pemerintahan Gallarang Bira, pusat pemerintahan kepala Distrik dan sekarang menjadi pusat pemerintahan Kelurahan.

2. Beroanging yang wilayahnya meliputi RT.05/RW01.

Kampung Beroanging merupakan kumpulan dari tiga nama kampung yaitu, Kampung Beroanging, Kampung Parang dan Kampung Berua.

3. Bontojai yang wilayahnya meliputi RT 06/RW 01.

Nama Kampung Bontojai terdiri dari dua kata yaitu Bonto yang artinya Bukit dan Jai artinya Banyak. Jadi Bontojai artinya banyak bukit. Pemberian nama Bontojai ini merupakan kesepakatan para tokoh masyarakat, dimana penduduk Bontojai ini dulunya tidak berada pada suatu lokasi akan tetapi

36 terpisah-pisah. Ada yang menetap di lokasi Bonto Mate’ne, ada yang di lokasi Kampung Berua dan ada di lokasi Kampung Katambila. Kemudian pada tahun 1964 mereka disatukan dalam suatu wilayah yang dinamakan Kampung Bontojai.

4. Mattoanging yang wilayahnya meliputi RT 04/RW 01

Mattoanging artinya berjemur, terkena paparan cahaya matahari dan terpaan angin yang bertiup dari laut Makassar.

5. Mula Baru yang wilayahnya meliputi RT 04/RW 01.

Kampung Mula Baru adalah pecahan dari kampung Sangalinna.

Pemekaran ini dilakukan karena wilayah Kampung Sangalinna semakin berkembang dan kepadatan penduduk semakin bertambah oleh masyarakat pendatang.

C. Profil Kelurahan Bira 1. Posisi Lokasi

- Sebelah Utara berbatasan dengan kelurahan Untia dan Kelurahan Bulurokeng

- Sebelah Selatan Berbatasan dengan kelurahan Kapasa Raya

- Sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Bulurokeng dan Kelurahan Daya

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Parangloe.

37 2. Jumlah Penduduk

Tabel 7. Jumlah penduduk berdasarkan Jenis Kelamin di Kelurahan Bira Kec.

Tamalanrea Kota Makassar, Tahun 2020

No Jenis kelamin Jumlah penduduk Presentase

1 Laki-laki 5.818 48,78%

2 Perempuan 6.108 51,22%

Jumlah 11.926 100%

Sumber : Data sekunder Kelurahan Bira, 2020

Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk perempuan mencapai 6.108 jiwa (51,22%) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki yaitu 5.818 jiwa (48,78%). Jadi total jumlah penduduk Kelurahan Bira adalah 11.926 Jiwa.

38 V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Tingkat Keanekaragaman Jenis (H’)

Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan. Untuk memperkirakan keanekaragaman spesies dipakai analisis Indeks Shannon atau Shannon index of general diversity (H’) (Odum, 1993; Soegianto, 1994). Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan keanekaragaman jenismangrovedi Kelurahan Lantebung, Kecamatan Tamalanrea yang tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8. Keanekaragaman Jenis Mangrove di Kelurahan Lantebung, Kecamatan Tamalanrea.

N0 Jenis Mangrove ni ni/n ln ni/n H' 1 Rhizophora mucronata 973 0.69 -0.37 -0.26

2 Avicennia alba 435 0.31 -1.17 -0.36

Jumlah 1408 0.62

Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2021.

Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan keanekaragaman jenis mangrove di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea dengan nilai keanekaragaman untuk Rhizophora mucronata -0,26 dan Avicennia alba -0,36 dengan hasil H’ 0,62 dengan nilai tersebut maka nilai H’< 1, maka indeks keanekaragaman jenis mangrove menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman

39 spesies sedikit atau rendah.

5.2. Vegetasi Mangrove

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, didapatkan Kerapatan jenis (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F) dan Frekuensi Relatif (FR) dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10.

a. Kerapatan suatu jenis (K) dan Kerapatan Relatif (KR)

Tabel 9. Kerapatan suatu jenis (K) dan Kerapatan Relatif (KR) Vegetasi Mangrove, Rhizophora mucronata dan Avicennia alba.

No Jenis ni Plot (ha) K KR (%)

1 Rhizophora mucronata 973 0.8 1216 69.11

2 Avicennia alba 435 0.8 544 30.89

Jumlah 1408 1760 100

Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2021.

Berdasarkan Tabel 9, hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, dapat dilihat bahwa kerapatan jenis Rhizophora mucronata lebih tinggi dibandingkan kerapatan jenis Avicennia alba yaitu sebanyak 1.216 pohon/ha dengan persentase 69,11%, sedangkan kerapatan jenis Avicennia alba sebanyak 544 pohon/ha dengan persentase 30,89%.

b. Frekuensi (F) dan Frekuensi Relatif (FR)

Tabel 10. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Mangrove, Rhizophora mucronata dan Avicennia alba

No Jenis Mangrove Pi F FR(%)

1 Rhizophora mucronata 6 0,75 60

2 Avicennia alba 4 0,5 40

Jumlah 1,25 100

Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2021.

Hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 10, dapat dilihat bahwa frekuensi jenis Rhizophora mucronata yaitu 0,75, dan frekuensi relatifnya 60%, kemudian

40 untuk frekuensi jenis Avicennia alba yaitu 0,5 dan frekuensi relatifnya 40%. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa frekuensi jenis mangrove Rhizophora Mucronata peluang untuk ditemukannya pada petak ukur sebesar 0,75 sedangkan jenis mangrove Avicennia alba peluang untuk ditemukannya pada petak ukur sebesar 0,5.

c. Dominansi dan Dominansi Relatif (DR)

Tabel 11. Dominansi dan Dominansi Relatif Mangrove, Rhizophora mucronata dan Avicennia alba

No Jenis LBDS (m) Luas Plot (m) D DR

1 Rhizophora mucronata 2,726 8000 0,00034 16,1822 2 Avicenni alba 14,117 8000 0,00176 83,8178

Jumlah 16,843 0,00211 100

Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2021.

Dominansi dan Dominansi Relatif Mangrove yang disajikan pada Tabel 11, dapat dilihat bahwa Dominansi Avicennia alba lebih tinggi dibandingkan dengan dominansi Rhizophora mucronata yaitu 0,00176, dengan persentase 83,82%, sedangkan dominansi Rhizophora mucronata sebanyak 0,00034 dengan persentase 16,18%.

d. Indeks Nilai Penting

Tabel 12. Indeks Nilai Penting Mangrove

No Jenis Mangrove KR (%) FR(%) DR(%) INP 1 Rhizophora mucronata 69,11 60 16,18 145,29

2 Avicennia alba 30,89 40 83,82 154,71

Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2021.

Indeks nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam ekosistem dan juga dapat digunakan untuk mengetahui dominansi suatu spesies dalam komunitas mangrove. Indeks nilai penting yang disajikan pada Tabel 12, dapat dilihat bahwa

41 untuk INP dari jenis mangrove Rhizophora mucronata lebih rendah dibandingkan dengan jenis Avicennia alba yaitu sebesar 145,29, sedangkan INP dari jenis mangrove Avicennia alba sebesar 154,71.

5.3. Tingkat Kerusakan Mangrove

Kerusakan hutan mangrove lebih banyak akibat alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak, permukiman, dan perkebunan. Bukan saja akibat alih fungsi tetapi juga pembalakan liar. Kayu mangrove dicuri untuk dijadikan material bangunan, kapal, batu arang dan kayu bakar.

a. Penutupan adalah perbandingan antara luas areal penutupan jenis I (Ci) dan luas dan areal penutupan seluruh jenis (βˆ‘C), atau

Tabel 13. Penutupan Mangrove

No Jenis Mangrove BA Ci Rci (%)

1 Rhizophora mucronata 23137.09 1524.18 16.43

2 Avicennia alba 117657.02 7750.79 83.57

Jumlah 9274.974 100

Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2021.

Penutupan jenis mangrove di lokasi penelitian yang tersaji pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa untuk jenis mangrove Rhizophora mucronata didapatkan persentase penutupan sebesar 16,43% dan untuk jenis mangrove Avicennia alba didapatkan persentase penutupan sebesar 83,57%. Berdasarkan kriteria dan pedoman kerusakan mangrove dapat dilihat bahwa untuk penutupan jenis mangrove Avicennia alba termasuk dalam kategori baik sedangkan untuk jenis mangrove Rhizophora Mucronata termasuk dalam kategori rusak.

b. Kerapatan pohon adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis I (ni)dan jumlah total seluruh tegakan jenis (βˆ‘n):

42 Tabel 14. Kerapatan Pohon Mangrove

No Jenis Mangrove Jumlah jenis K Rdi %

1 Rhizophora mucronata 973 1.216 69,11

2 Avicennia alba 435 544 30,89

Jumlah 1408 1.760 100

Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2021.

Hasil penelitian untuk kerapatan pohon mangrove yang disajikan pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa untuk kerapatan jenis Rhizophora mucronata sebesar 1.216 pohon/ha dengan persentase 69,11% dan jenis mangrove Avicennia alba sebesar 544 pohon/ha dengan persentase 30,89%.

Berdasar penutupan mangrove dan kerapatan pohon mangrove maka dapat disimpulkan bahwa kriteria hutan mangrove Lantebung masuk dalam kategori baik.

5.4. Nilai Rehabilitasi

Biaya rehabilitasi yang diperlukan untuk mengkompensasi injury yang terjadi dapat diketahui melalui studi literatur dengan melihat biaya proyek rehabilitasi yang pernah dilakukan oleh BPDAS Jeneberang Saddang. Biaya rehabilitasi per hektar ekuivalen Rp. 35.022.000. Biaya ini mengacu pada P.8/KSDAE/SET/REN.2/10/2017 Tentang Standar Kegiatan dan Biaya Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Tahun 2018. Untuk mengetahui biaya kerusakan Rehabilitasi digunakan rumus sebagai berikut:

TBR = 𝐡𝑅0 x LAR Dimana:

TBR = Total Biaya Rehabilitasi (Rp)

𝐡𝑅0 = Biaya Rehabilitasi berdasarkan tahun penetapan biaya rehabilitasi (Rp/Ha)

LAR = Luas Area yang akan di Rehabilitasi (Ha)

43 TBR = Rp. 35.022.000 x 10 Ha

= Rp. 350.220.000.

Berdasarkan biaya rehabilitasi yang mengacu pada P.8/KSDAE/SET/REN.2/10/2017 Tentang Standar Kegiatan dan Biaya Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Tahun 2018, dengan biaya rehabilitasi per hektar ekuivalen Rp. 35.022.000, dimana total luasan yang akan direhabilitasi sebesar 10 Ha, sehingga nilai rehabilitasi hutan mangrove Lantebung sebesar Rp. 350.220.000.

5.5. Faktor- Faktor Penyebab Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove Berdasarkan Persepsi Masyarakat

Untuk mengetahui faktor faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove maka dilakukan indepth interview terhadap masyarakat sekitar yang berdekatan langsung dengan lokasi dan melakukan aktivitas pemanfaatan mangrove. Selain itu juga dilakukan penggalian informasi terhadap pengelola, adapun atribut responden yang perlu diketahui terlebih dahulu meliputi tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan sikap responden terhadap kerusakan ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Lebih jelasnya variabel tersebut diuraikan sebagai berikut:

a. Pendidikan

Pendidikan sangat mempengaruhi cara pandang dan sikap seseorang, makin tinggi pendidikan seseorang akan relatif mudah menerima inovasi ataupun cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kehidupannya.informasi terkait pendidikan responden secara rinci tersaji pada Tabel 15 berikut:

44 Tabel 15. Tingkat Pendidikan Responden di Kelurahan Bira

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) %

1 Tamat SD 14 53,846

2 SLTP 6 23,077

3 SLTA 6 23,077

4 Diploma/Sarjana 0 0

Jumlah 26 100,000

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2021

Gambar 8. Persentase Tingkat Pendidikan Responden

Dari tabel 15 dan gambar 8, dapat dilihat bagaimana tingkat pendidikan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan mangrove lantebung atau pada lokasi penelitian masih sangat kurang karena tingginya masyarakat yang hanya tamatan sekolah dasar atau SD dengan persentase yaitu 53,846% yang dilihat dari 26 jumlah responden, itu yang menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat akan penting dan bermanfaatnya hutan mangrove bagi kehidupan dan pendapatan masyarakat.

Tamat SD 54%

SLTP 23%

SLTA

23% Diploma/Sarja na 0%

45 b. Mata Pencaharian

Masyarakat yang berada pada kawasan hutan mangrove lantebung umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan menurut masyarakat sekitar mata pencaharian adalah pokok penghidupan mereka, mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan hanya memanfaatkan potensi sumber daya alam.

Dapat dilihat pada tabel 16 dan gambar tingginya profesi masyarakat sebagai nelayan yaitu 34,615% atau sama dengan 9 orang dari 26 responden.

Tabel 16. Jenis Pekerjaan Responden Sekitar Kawasan Hutan Mangrove Lantebung

No Jenis Pekerjaan Jumlah (Jiwa) %

1 Petani 1 3,846

2 Wiraswasta 3 11,538

3 Nelayan 9 34,615

4 Pedagang 2 7,692

5 Karyawan 4 15,385

6 Ibu Rumah Tangga 7 26,923

Jumlah 26 100,000

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2021

Gambar 9. Persentase Tingkat Pekerjaan Responden

Petani

4% Wiraswasta 11%

Nelayan 35%

Pedagang 8%

karyawan 15%

irt 27%

Petani Wiraswasta Nelayan Pedagang karyawan irt

46 Berdasarkan jenis pekerjaan kebanyakan responden memiliki pekerjaan sebagai nelayan dengan persentase 34,615% dan yang paling sedikit yaitu petani dengan persentase 34,615%.

Penghasilan rata- rata responden dari setiap pekerjaan dan usaha yang digeluti selama ini bervariasi antara Rp1.000.000 sampai dengan diatas Rp2.000.000. data terkait penghasilan responden pada lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 17. Penghasilan Responden Disekitar Kawasan Hutan Mangrove Lantebung

No Penghasilan Jumlah (Jiwa) %

1 <500.000 0 0

2 500.000-1.000.000 6 23,077

3 1.000.000-2.000.000 7 26,923

4 >2.000.000 13 50,000

Total 26 100,000

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2021

Gambar 10. Persentase Tingkat Penghasilan Responden

Dari Tabel 17 dan gambar 10 diatas menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian umumnya responden berpenghasilan diatas Rp 2.000.000 dengan persentase 50% atau sama dengan 13 orang dari 26 responden.

<500.000

0% 500.000-1.000.000

23%

1.000.000- 2.000.000

27%

>2.000.000 50%

<500.000 500.000-1.000.000 1.000.000-2.000.000 >2.000.000

47 c. Sikap dan Persepsi Responden

Sikap dan persepsi responden terhadap rencana rehabilitasi hutan mangrove Lantebung di Kelurahan Bira Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar dapat dilihat pada Tabel 18 berikut.

Tabel 18. Sikap dan Persepsi Responden Terhadap Degradasi dan Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove Lantebung

No Uraian Persepsi Responden %

I Persepsi Responden

a Tahu 21 80,769

b Tidak Tahu 5 19,231

II Sumber Informasi

a Melihat Sendiri 10 38,462

b Dari Mulut Ke Mulut 14 53,846

c Tokoh Masyarakat 1 3,846

d Pihak Kelurahan/Kecamatan/Pemkot 0 0,000

e Pihak Pengelola 1 3,846

III Faktor-faktor Penyebab Kerusakan

a Abrasi Pantai 7 26,92

b Gangguan Masyarakat (Penebangan/Penyerobotan

Lahan 16 61,54

c Pemanfaatan Kayu Oleh Masyarakat Sebagai Kayu

Bakar 3 11,54

IV Pendapat Tentang Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove di Lantebung

a Senang/menerima 26 100

b Tidak senang/tidak menerima 0 0

V Alasan senang dengan rencana rehabilitasi hutan mangrove di Lantebung a Memperbaiki ekosistem hutan mangrove 11 42,308 b Meningkatkan Kepadatan tegakan mangrove 8 30,769 c Dapat memperkuat daya tahan abrasi 4 15,385 d Menambah nilai keindahan ekosistem mangrove

sebagai daerah wisata 3 11,538

e Meningkatkan pendapatan masyarakat 0 0

VI Alasan Tidak Senang Dengan Adanya Rencana rehabilitasi

a Dapat mengganggu keluar masuknya kapal nelayan 0 0 b Dapat mengganggu sirkulasi air masuk ke tambak 0 0 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, Tahun 2021

Sikap dan persepsi masyarakat terhadap degradasi/kerusakan di kawasan hutan mangrove Lantebung atau pada lokasi penelitian, masyarakat sebanyak

48 80,769% yang mengetahui degradasi/kerusakan terhadap hutan mangrove dan 19,231% masyarakat yang tidak mengetahui itu dikarenakan tempat tinggal masyarakat berada agak jauh dari kawasan hutan mangrove lantebung.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa penyebab kerusakan kawasan mangrove didominasi oleh gangguan masyarakat berupa penebangan pohon sebanyak 61,54%, kemudian penyebab akibat abrasi pantai sebanyak 26,92%, dan pengambilan/pemanfaatan kayu oleh masyarakat sebanyak 11,54%.

Kemudian dari data responden yang senang/menerima adanya rencana rehabilitasi hutan mangrove lantebung yang memiliki luasan 10 ha sebanyak 100%.

Dalam dokumen analisis tingkat kerusakan hutan mangrove (Halaman 40-50)

Dokumen terkait