بولطلما وهف فداترلا مدع ىلع نأرقلا ظافلا لحم نكما مهم
C. Pandangan Para Ulama Mengenai Keberadaan Sinonimitas dalam Al-Qur’an dan ‘Ulumul Qur’an
Persoalan mengenai sinonim telah menjadi kajian bagi para penggiat Al-Qur‟an maupun „Ulum al-Qur‟an di era klasik maupun kontemporer. Berkenaan dengan keberadaan sinonim dalam „Ulum Al-Qur‟an telah menjadi perbedaan pendapat mengenainya. Sebagian dari mereka meyakini adanya sinonim dan sebagian yang lain menolak adanya sinonim. Berikut ulasan mengenai pro dan kontra sinonimitas dalam ilmu-ilmu Al-Qur‟an:
1. Pendapat Ulama yang Sepakat dengan Keberadaan Sinonimitas Sinonimitas dalam „Ulumul Al-Qur‟an menurut para ulama yang menyetujui keberadaanya disebabkan adanya wasilah atau hal yang berhubungan dengannya bukan dimaksudkan para zatnya. Ada beberapa pembahasan dalam „Ulumul Al-Qur‟an yang dikaitkan dengan sinonimitas. Diantaranya pembahasan ta‟kid dalam Al-Qur‟an, ilmu al-Mutasyabih bagi sebagian kalangan, dan ilmu tafsir secara khusus.14
Beberapa ulama berpendapat bahwa sinonimitas adalah bagian dari pembahasan taukid/ta‟kid. Mereka memandang bahwa taraduf adalah jenis dari taukid menjadi dua bagian, taukid
13 Gorys Keraf, Tata bahasa Rujukan Bahasa Indonesia: Untuk Tingkat Pendidikan Menengah (Jakarta: Grasindi, 1991), h. 35
14 Muhammad Nuruddin al-Munajjad, al-Taraduf fi Al-Qur‟an al-Karim, h. 109
dengan lafadz yang sinonim dan taukid dengan meng-„athaf kan yang serupa.15
Muhammad Nuruddin al-Munajjad mengutip al-Zarkasyi tentang penjelasan mengenai taukid dengan lafadz yang sinonim, bahwa taukid al-Sama‟i dibagi menjadi dua yakni lafdzi dan ma‟nawiy. Lafdzi ialah penetapan makna awal dengan lafadz yang sama atau lafadz sinonimnya. Contoh taukid yang diikuti dengan lafadz sinonim (
اًجأجِف ًلأُبُس
) al-Anbiya‟: (21): 31 dan (اًقْ يَض
اًجَرَح
) al-An‟am (6): 125. Sedangkan taukid dengan meng-„athafkan yang serupa, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Zarkasyi yakni dengan wawu (
و
), aw (وأ
(dan al-Farra‟ membolehkan dengan summa (ّث
).Menurut Al-Zarkasyi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Nuruddin al-Munajjad, „athaf adalah salah satu dari berbagai macam bentuk sinonim, atau yang memiliki kedekatan makna yang tujuannya ialah sebagai taukid. Salah satu ciri „athaf ialah adanya huruf wawu yang berbeda pada suatu kalimat atau adanya wawu al-„athaf. Sebagaimana dalam firman-Nya (
اْوُ نَهَو اَمَف اوُنَكَتْسا اَمَو اوُفَعَض اَمَو ِهّللا ِلْيِبَس ِفى ْمُهَ باَصَأ اَمِل
) QS.Ali Imran (3): 146, (َلَف اًمْضَه َلاَو اًمْلُظ ُفاََيَ
) QS. Taha (20): 112, (ىَشَْتَ َلاَو اًكَرَد ُفاََتَ َلا
) QS.Taha (20): 77, (
َرَشَبَو َسَبَع ُّث
) QS. Al-Muddasir (74): 22, (اْوُكْشَا اَمنَِّا ِهّللا لىِا ِنيْزُحَو ىِّثَ ب
) QS. Yusuf (12): 86, (ُرَذَت َلاَو ىِقْبُ تَلا
) QS. Al-15 Muhammad Nuruddin al-Munajjad, al-Taraduf fi Al-Qur‟an al-Karim, h. 116
Muddasir (74): 28, (
ُهْنِم ٌحْوُرَو ََيَْرَم َلىِا اَه اَقْلَا ُهُتَمِلَكَو
) QS. Al-Nisa‟ (4):171, (
ْمُه اَوَْنََو ْمُهمرِس ُعَمْسَنَلا امنَا
) QS. Al-Zukhruf (43): 80, dan seterusnya.16Ulama yang sepakat berpendapat bahwa taraduf dalam
„Ulum Al-Qur‟an ditandai dengan adanya ilmu al-Mutasyabih (penyerupaan). Taraduf adalah bagian dari macam-macam hal yang serupa dalam Al-Qur‟an. Muhammad Nuruddin al-Munajjad mengutip pendapat al-Zarkasyi berkenaan dengan pendefinisisan ilmu al-Mutasyabih, ilmu al-Mutasyabih yakni menunjukkan pada kisah yang satu namun berada dalam surat-surat berlainan.
Maksudnya ialah bergantinya kalimat satu dengan yang lainnya dalam dua ayat yang semisal. Contohnya, seperti dalam QS. Al- Baqarah (2) (
اَنَء اَبَأ ِهْيَلَع اَماَنْ ي َا َفْل
) dan dalam QS. Luqman (31) (اَنْدَجَو اَم اَنَءاَبَأ ِهْيَلَع
), dalam QS. Al-Baqarah (2): 60 (ْتَرَجَفْ ناَف
) dan dalam QS.Al-A‟raf (7): 160 (
ْتَسَجَبْ ناَف
), dalam QS. Al-baqarah (2): 36 )اَمُملََّزَأَف
)dan dalam QS. Al A‟raf (7): 20 (
اَمَُلَّ َسَوْسَوَ ف
( , dalam QS. Ali Imran (3): 47 (ٌدَلَو ِلى ُنْوُكَي ِّنَِّأ ِّبَِّر ْتَلاَق
) dan dalam QS. Maryam (19):20 (
ُمَلاُغ ِلى ُنْوُكَي ِّنَِّأ ْتَلاَق
) dan seterusnya.17Selain kedua hal diatas yang menjadikan keberadaan sinonimitas dalam „Ulum Al-Qur‟an juga ditandai dengan penafsiran bebarapa ulama yang menafsirkan lafadz-lafadz dalam Al-Qur‟an dengan lafadz-lafadz yang memiliki persamaan atau
16 Muhammad Nuruddin al-Munajjad, al-Taraduf fi Al-Qur‟an al-Karim, h. 117
17 Muhammad Nuruddin al-Munajjad, al-Taraduf fi Al-Qur‟an al-Karim, h. 117
sinonim. Hal ini terlihat pada penafsiran yang dilakukan oleh al- Maturidiy mengenai penciptaan tujuh lapis langit. Sesekali menggunakan (
ِتاَواََسَ َعْبَس منُهاموَسَف
), kemudian (ِتاَواََسَ َعْبَس َقَلَخ
) serta(
ِتاَواََسَ َعْبَس منُه اَضَقَ ف
) dan (ِتاَواَممسلا ُعْيِدَب
), semuanya kembali pada makna yang satu.Dalam tafsir al-Thabari dipaparkan ayat yang ditafsirkan dengan mengganti lafadz-lafadz dengan yang sinonim. Misalnya (
ِّقَلحااِب اَنَ نْ يَ ب ُحَتْفَ ي مُث
) ditafsirkan dengan kalimat yang serupa (ىِضْقَ ي مُث ِلْدَعلاِب اَنَ نْ يَ ب
), kemudian ayat (ُمْيِلَعْلا ُحاَتَفلا َوُهَو
) ditafsirkan dengan (ُهمللاَو هقلخ ينب ءاَضَقْلاِب ُمْيِلَعْلا ْيِضاَقْلا
).18Dapat diikhtisarkan pada pembahasan ini bahwa bebrapa ulama yang sepakat akan adanya taraduf atau sinonim dalam
„Ulum al-Qur‟an memiliki tiga argumen, yakni: pertama, bahwa sinonim adalah jenis dari taukid yang ditinjuan dari maknanya.
Ditunjukkan dengan adanya taukid dengan lafadz sinonim dan taukid dengan jenis dari bentuk penyerupaan (al-Mutasyabih) yaitu pergantian kata satu dengan lainnya dalam dua ayat yang semisal. Ketiga , penafsiran ayat oleh ulama dengan menggunakan kalimat yang mirip untuk mendekati maknanya serta menjelaskan yang samar terhadap lafadz-lafadz Al-Qur‟an.
1. Pendapat Ulama yang Menolak adanya Sinonimitas dalam
„Ulum al-Qur‟an.
18 Muhammad Nuruddin al-Munajjad, al-Taraduf fi Al-Qur‟an al-Karim, h. 118
Al-Baraziy berpendapat bahwa ada kata yang memiliki kemuliaan dibandingkan kata yang lain, walaupun kata tersebut sama. Ia tida mengingkari adanya taraduf namun memuliakan kata satu atas kata yang lain. Seperti dalam firman-Nya (
ْنِم اْوُلْ تَ ت َتْنُك اَمَو ِباَتِك ْنِم ِهِلْبَ ق
) lebih utama dibanding dngan penggunaann (أَرْقَ ت
), lalu(
ِهْيِف ِبْيَرَلا
) lebih baik dari (ّكَشَلا
), kemudian (اوُنَهَ تَلاَو
) lebih dibandigkan (اوفعضَتَلاَو
) dan (ْمُكَلَرْ يَخ
) lebih ringan dibandingkan(
مكل لَضْفَا
). Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Nuruddinal-Munajjad dalam kitab Al-Taraduf fi AL-Qur‟an al-Karim.19
Salah satu ulama yang menolak adanya sinonim dalam Al-Qur‟an bahkan dalam bahasa Arab secara umu ialah Bint al- Syati‟. Ia dipengaruhi oleh ulama klasik, diantaranya Abu Hilal al-
„Asykariy, Ibnu „al‟‟Anbariy, Abu Qasim al-Anbariy dan al- Sa‟labiy. Ia berpedoman pada al-„Anbariy, bahwa setiap kata yang telah ditetapkan menunjuk pada referen terntentu, didalamnya mengandung „Illat atau sebab terntentu yang menyebabkan kata tersebut diucapkan pada referen tersebut. Menurut al- Munajjad, al-Anbariy melihat pada kondisi-kondisi eksternal yang berhubungan dengan ucapan suatu kata.20
Bint al-Syati‟ mengutip Ibn Faris bahwa jika ada dua lafadz untuk satu makna atau untuk satu benda, niscaya lafadz yang sama memiliki kekhususan yang tidak dimiliki lafadz yang lainnya itu sia-sia, lafadz yang banyak itu hanya merupakan sifat.
19 Muhammad Nuruddin al-Munajjad, al-Taraduf fi Al-Qur‟an al-Karim, h. 119
20 Muhammad Nuruddin al-Munajjad, al-Taraduf fi Al-Qur‟an al-Karim, h. 121
Misalkan, dikatakan makna batu memiliki 70 kata, makna singa 500 lafadz, makna ular 200 lafadz dan makna pedang 50 lafadz.21 Bint al-Syati‟ menemukan rumus setelah menelusuri penggunaan kata ni‟mah (
ةمعن
) dan na‟im (مييعن
) dalam Al-Qur‟an, bahwa na‟im digunakan Al-Qur‟an untuk nikmat-nikmat ukhrawi, bukan duniawi.22 Kemudian kata aqsama yaitu digunakan untuk jenis sumpah sejati yang tidak pernah diniatkan untuk dilanggar, sedangkan kata halafa yaitu digunakan untuk menunjukkan sumpah palsu yang selalu dilanggar.23Hal serupa dilakukan oleh mufasir Syi‟ah. Al-Taba‟taba‟i (1321-1402 H.), dalam tafsirnya al-Mizan (sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam buku Kaidah tafsir). Disana anatara lain dikemukakan tentang makna sirat (
طارص
) dan perbedaannya dengan sabil (ليبس
). Kesimpulannya, sirat adalah jalan lebar yang mengantar kepada kebaikan, keadilan, dan hak. Sirat hanya satu, karena itu tidak ditemukan bentuk jamaknya. Ini berbeda dengan sabil, yang merupakan bentuk jamaknya. Disamping itu ada sabil yang baik ada yang buruk; karena demikian itulah penggunaan AL-Qur‟an.24M. Quraisy Shihab salah satu pakar tafsir di Indonesia, termasuk ulama yang menolak adanya sinonim murni dalam Al- Qur‟an. Ia mengungkapkan kaidah umum mengenai Mutaradif yakni, tidak ada dua kata berbeda akar katanya, yang sama akar
21 Muhammad Nuruddin al-Munajjad, al-Taraduf fi Al-Qur‟an al-Karim, h. 124
22 Aisyah Abdurrahman, al-I‟jaz al-Bayani fi al-Qur‟an wa Nafi‟ bin al-Azraq), h.212
23 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h.124
24 Issa Bollata, Tafsir Bint al-Syati‟, terj. Muzakir, (Bandung: Mizan 1996), h. 21
katanya pun, tetapi berbeda bentuknya akibat penambahan huruf, seperti kata rahman dan rahim, atau qatal dan qattala, makna pasti ada perbedaan maknaya, sedikit atau banyak.25
Sekali lagi ada perbedan walau sedikit antara kedua kata yang dinilai Mutaradif atau sinonim itu, baik dalam satu susunan kalimat, seperti firman Allah dalam QS. Al-Maidah [5]: 48;
اًجاَهْ نِمَو ًةَعْرِش ْمُكْنِم اَنْلَعَج ٍّلُكِل
“untuk tiap-tiap umat diantara kamu. Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”
Maupun terpisah dalam dua ayat yang berbeda, seperti kata tabdzir (
ريذبت
) dalam QS. Al-Isra‟ (17):26 dan kata israf(
فارسا
) dalam QS. An-Nisa‟ (4):6, yang oleh sementara orangdinilai semakna. Padahal masing-masing mempunyai makna yang tidak dimiliki oleh rekan sinonimnya. Kata Syi‟rah (
ةعرش
) dipahami dalam arti awal dan prinsip sesuatu, sedang minhaj (اجاهنم
) adalahrincianya secara umum. Adapun israf (
فارسا
), ia mengandung makna memberikan sesuatu kepada yang wajar diberi, tetapi dengan pemberian ang melebihi kewajaran, sedang tabzir (ريذبت
)adalah memberi sesuatu yang tidak wajar diberi, seperti memberi senjata berat guna berperang kepada orang lumpuh atau memberi petani buku kedokteran. Ada juga ulama yang merumuskan
25 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h.125
perbedaanya dengan menyatakan bahwa tabdzir adalah ketidaktahuan tentang kadar yang hendak diberikan.26
Tidak hanya mengutip pendapat paraulama yang menolak adanya sinonimitas Al-Qur‟an, M. Quraisy shihab juga telah melakukan riset terhadap bebrapa kata yang dianggap sinonim.
Yakni antara lain lafadz fa‟ala (
لعف
) dan kasaba (بسك
), qalb(
بلق
) dan fuad (داؤف
), „ibad (دابع
) dan „abid (ديبع
), diya‟ (ءايض
) dannur (
رون
), khalaqa (قلخ
) dan ja‟ala (لعج
), serta ma adraka (ام كاردأ
) dan ma yudrika (كيرديام
). Dari pasangan lafadz tersebut, ia dapat menunjukkan perbedaan penggunaanya dalam Al-Qur‟an.27 Pakar-pakar bahasa seperti pendapat al-Mubarrad ketika menafsirkan QS. Al-Maidah [5]: 48( اًجاَهْ نِمَو ًةَعْرِش ْمُكْنِم اَنْلَعَج ٍّلُكِل
) iamengatakan bahwa
ًةَعْرِش
disambungkan kepadaاًجاَهْ نِمَو
karenaًةَعْرِش
adalah awal sesuatu, sedangkan
اًجا َهْ نِمَو
adalah keseluruhan atau matan sesuatu itu. Ia mengambil alasan ungkapan dalam bahsa Arab, Syara‟ fulan kaza, artinya ia memulainya, dan wa anhajal baly fits-tsaub, yaitu bila baju itu muat baginya. Ia mengatakan bahwa sesuatu disambungkan kepada yang lain, sekalipun kedaunya sama-sama berkenaan dengan satu persoalan, bila yang satu berbeda dengan yang kedua. Tetapi bila yang kedua kepada yang pertama tidak dibenarkan. Anda tidak boleh mengatakan
26 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h.112
27 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h.126-138
misalnya, “Zaid dan Abu Abdullah telah datang,” bila Abu Abdullah itu adalah Zaid.
Abu al-Hilal berkata, “Athaf” penyambung itu memberi petunjuk bahwa semua taraduf yang terdapat baik dalam Al- Qur`an maupun bahasa Arab, seperti al-„Aql dan al-Lubb, al- Ma‟rifat dab al-„Ilm, al-Kasb dan al-Jarh, al-„Amal dan al-Fil, yang disambungkan satu dengan yang lain, hanya boleh dilakukan bila keduanya berbeda makna, kecuali bila yang kedua itu untuk pengagungan, seperti penyambungan Jibril dan Mikail kepada malaikat dengan ayat berikut (QS. Al-Baqarah [2]: 98):
“barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat- Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.”
Sebagian pakar ilmu nahwu menyatakan bahwa satu kata tidak boleh menunjuk dua makna yang berbeda, karena itu masing-masing makna memiliki cirinya dan bila ciri itu tidak ada akan membuat pendengar bingung. Disamping bahwa tidak ada gunanya memberikan bukti-bukti yang membingungkan itu kecuali bila terpaksa atau karena adanya alasan, namun kalimat seperti itu jarang sekali. Bila satu kata tidak boleh memiliki dua makna yang berbeda, begitu pulalah dua kata tidak boleh
menunjuk satu makna yang sama, karena hal itu berarti memperkaya bahasa dengan sesuatu yang tidak ada gunanya itu.
Ia selanjutnya menyatakan, “Tidak boleh fa‟ala sama maknanya dengan af‟ala, bangunanya saja sudah berbeda, kecuali bila hal itu berasal dari dua bahasa. Bila salam satu bahasa tidak mungkin dua kata yang berbeda maknanya satu, sebagaimana disangka oleh banyak ahli nahwu dan bahasa. Yang terjadi adalah bahwa ketika orang Arab menyatakan makna-makna itu, mereka menyangka maknanya seperti yang mereka sangka lalu menafsirkannya dengan makna yang tidak sesuai.
Begitu juga tidak boleh dalam bahasa Arab dua kata yang berbeda barisnya sama maknanya. Bila seseorang mampu sesuatu,ia disebut muf‟il, seperti muhrim „yang menyayangi‟ dan muhrib „yang berperang‟. Bila ia kuat sekali mengerjakan sesuatu ia disebut fa‟ul seperti shabur „yang sangat sabar‟ dan syakur
„yang sangat berterimakasih‟. Bila ia mengerjakan suatu perbuatan berkesinambungan waktu demi waktu ia disebut fa‟ala seperti
„allam „yang selalu tahu‟ dan shabbar „yang selalu sabar‟. Dan bila hal itu merupakan kebiasaannya maka ia disebut mif‟al seperti mi‟tha‟ yang suka memberi dan mihda „ysng suka menunjuki‟.
Begitu pula ungkapan fa‟alta berbeda maknanya dengan af‟alta. Ungkapan anda Saqaitu al-rajul artinya anda meminumkannya yaitu mencurahkan minuman itu kedalam tenggorokannya. Tetapi bila anda katakan, Asqaituhu artinya anda memberinya sesuatu yang bisa diminum. Bila anda katakan, Syaraqat al-Syams itu artinya matahari terbit, antonim terbenam.
Tetapi asyraqat artinya matahari itu bersifat “terbit”.
Demikian dua kata yang berbeda. Bila perbedaan baris memastikan perbedaan makna, maka perbedaan makna itu lebih pasti terjadi pada dua kata yang berbeda.
Namun demikian, tentu ada yang menyatakan bahwa biasa dalam berbahasa dikatakan misalnya: al-Lubb artinya adalah al-„Aql. Kita setuju demikian, tetapi kata al-Lubb itu seperti berbeda maknanya dengan al-„Aql. Seperti kata al-Mukmin , maknanya adalah “yang berhak atas pahala”. Namun, “yang berhak atas pahala” itu tetap berbeda maknanya dengan al- Mukmin.28
Contoh-contohnya tidak adanya taraduf dalam Al-Qur`an:
a. Kata shalawat dan rahmah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 157:
“mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Shalawat adalah pujian Allah terhadap hamba-Nya di dalam persidangan tertinggi, sedangkan rahmah sudah dimaklumi (kasih sayang). Shalawat tidak bisa ditafsirkan dengan rahmah.
b. QS. An-Nisa‟ [4]: 4:
28 Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: Qaf, 2107), h. 456-459
“berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
c. QS. Al-Baqarah [2]: 171:
“dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. mereka tuli, bisu dan buta, Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.”
Al-Nida‟ adalah mengeraskan suara dengan makna tertentu, Al-du‟a adalah mnegeraskan suara atau merendahkannya, dikatakan, Da‟autuhu min ba‟îd „saya memnaggil dari jauh‟, tidak anda katakan, Do‟autuhullah fi nafsi
„saya memanggil Allah dalam hati saya.‟
Target kita disini hanyalah sekedar memberi contoh bagi kaidah ini, bukan untuk membicarakan dan membahas makna- makna ayat itu secara mendalam. Yang penting diperhatikan
adalah apa yang telah ditegaskan bahwa yang lebih tepat mengenai masalah taraduf adalah bahwa taraduf itu faktual dalam bahasa dan dalam Al-Qur`an, tetapi hanya pada menu dasarnya tidak pada makna sekundernya. Dan maksud kaidah ini bukan pula untuk menolak pendapat tentang adanya taraduf, disamping bahwa perbedaan-perbedaan makna yang disebutkan dalam contoh-contoh diatasa hanya dikemukakan dari pendapat Abu Hilal al-„Askari, yang dikenal sebagai seorang berpendapat tidak adanya taraduf itu.29
29 Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: Qaf, 2107), h. 461-463
37
MAKNA KATA AZKA DAN ATHHAR
A. Makna dasar dan relasinoal kata Azka 1. Makna Dasar
Makna Dasar adalah suatu yang melekat pada sebuah kata dan akan terus terbawa pada kata tersebut jika kata itu digunakan.1 Makna ini lebih dikenal dengan makna asli dari sebuah kata.
Pelacakan kata tersebut meliputi sisi kesejarahan atau historis sebuah kata.2
Kata Zakah (
ةاكز
) bentuk mashdar yang berasal dari kata zaka-yazku-zaka‟an, zaka-yazku-zaka‟an, yang berarti tumbuh, suci, baik, dan keberkahan. Dalam Al-Qur`an kata zakah dan derivasinya disebut dalam QS. Al-Kahfi [18]: 81 (اًْحُْر َبَرْ قَأَو ًةوَكَز ُهْنِّم اًرْ يَخ
) yangmenjelaskan alasan nabi Khidzir, megapa membunuh anak kecil, yaitu agar kedua orang tuanya diberi ganti oleh Tuhan dengan yang lebih suci dan saleh serta lebih dekat kasih sayangnya.3
Dalam Mu‟jam Mufradat, al-Asfahani menyatakan bahwa (
ىكز
) berasal dari kata (ةاكّزلا
) yang artinya tumbuh dari keberkahan Allah Swt, yang dijelaskna dari suatu pekara dunia dan akhirat1 Thoshihiko Izutsu, Relasi Tuhan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al- Qur`an, (Yogya: PT Tiara Wacana Yogya ( Anggota Ikapi), 2003), terj. Amirudin (dkk), cet II, h. 12
2 Zulaikhah Fitri Nur Ngaisah, Keadilan Dalam AL-Qur`an (Kajian Semantik Atas Kata Al-„Adl dan Al-Qist), Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Yogyakarta, 2014), h. 22
3 M. Quraish Shihab (dkk), Ensiklopedia Al-Qur`an: Kajian Kosakata, Vol I, (Tangerang: Lentera hati, 2007), h. 1124
dikatakan dalam QS. Al-Kahfi [18]: 19 (
اًماَعَط ىَكْزَأ اَهُّ يَأ
) tumbuhan yang berkembang, tumbuhan itu telah berkembang dari karunia Allah Swt, maka lihatlah mana makanan yang lebih bagus. Tanda dai makanan yang bagus dan halal adalah makanan yang tidak menimbulkan penyakit atau racun. Tumbuhan atau makanan diberikan oleh manusia atas hak Allah Swt untuk orang-orang kafir miskin, dna tumbuhan tersebut dinamakan (ةاكز
) yang berguna untuk mengharap keberkahan dari Allah Swt dan membersihkan dirinya dari dosa.Allah Swt menjelaskan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 43
“dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”
Kesucian dirinya dari dosa menjadikan manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban dunia dari sifat-sifat yang terpuji dan mempunyai pahal diakhirat dan manusia akan menjadi mulia da terhormat atas kesucian dirinya. 4
Menurut M. Quraish Shihab terdapat perbedaan atas menyucikan antara QS. Al-Baqarah [2]: 151 dan QS. Al-Baqarah [2]:
129, yaitu bahwa menyucikan ditempatkan pada peringkat terakhir dari empat macam permohonan, yaitu:
1. Rasul dari kelompok merekea 2. Membacakan ayat-ayat Allah Swt 3. Mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah 4. Menyucikan mereka
4 Al-Rahgib Asfahani, Mu‟jam Mufradat al-Fazh Al-Qur`an (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 2004), h. 380
Sedangkan pada ayat yang dibahas ini, menyucikan ditempatkan pada peringkat ketiga dari lima macam anugerah Allah Swt dalam konteks memperkenankan doa Nabi Ibrahim itu. Lima macam anugerah itu adalah:
1. Rasul dari kelompok mereka 2. Membacakan ayat-ayat Allah Swt 3. Menyucikan mereka
4. Mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah
5. Mengerjakan apa yang mereka belum ketahui.
Hal kedua yang terlihat dari hasil membandingkan permohonan Nabi Ibrahim as, dan pengabulan Allah adalah bahwa Allah mendahulukan apa yang dimohonkan terakhir dan mengakhirkan apa yang dimohon terlebih dahulu. Yang terakhir disebutkan oleh Nabi Ibrahim as adalah penyucian sedang penyucian disebut oleh Allah dalam konteks pengabulan pada peringkat ketiga setelah pembacaan ayat-ayat Nya dan sebelum mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca ayat-ayat Allah walau sebelum memperoleh rahasia-rahsianya telah dapat mengantar kepada kesucian jiwa. Demikian Allah mengatur anugerah-Nya, pengaturan yang sesuai dengan yang terbaik untuk manusia. Di sisi lain, ia juga menunjukkan bahwa Allah memilihkan yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya yang tulus memohon. Di samping itu terlihat pula bahwa dia tidak mesti terkabul seketika.
Lihatlah berapa lama jarak antara doa Nabi ibrahim as, dan diutusnya Nabi Muhammad Saw. Ribuan tahun lamanya. 5
5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. 1, (Jakarta; Lentera Hati, 2002), h. 432-433
2. Makna Relasional
Makna relasional adalah suatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus.6 Sebagai tambahan, untuk mendapatkan makna relasional tidak terbatas hanya dengan melakukan analisis konotasi saja, untuk menemukan makna baru secara relasional dapat dilakukan juga dengan cara analisis sintagmatik dan paradigmatik.7
Analisis sintagmatik merupakan analisis yang berusaha menentukan makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di depan dan di belakang kata yang sedang dibahas dalam suatu bagian tertentu, kata-kata tersebut memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain dalam membentuk makna sebuah kata.
Sedangakan analisis paradigmatik merupakan analisis yang mengkompromosikan kata atau konsep tertentu dengan kata konsep lain, bak dengan kata yang memiliki kemiripan makna atau pun dengan maknanya berlawanan. Dalam pembahasan ini pula akan diketahui posisi kata yang maknanya lebih luas dan posisi kata yang maknanya lebih sempit.8
a. Analisis Sintagmatik
6 Thoshihiko Izutsu, Relasi Tuhan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al- Qur`an, h. 12
7 Zulaikhah Fitri Nur Ngaisah, Keadilan Dalam AL-Qur`an (Kajian Semantik Atas
Kata Al-„Adl dan Al-Qist), Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Yogyakarta, 2014), h. 25
8 Zulaikhah Fitri Nur Ngaisah, Keadilan Dalam AL-Qur`an (Kajian Semantik Atas
Kata Al-„Adl dan Al-Qist), Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Yogyakarta, 2014), h. 25