Keuangan publik Islam masa awal telah membedakan sumber-sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawarid al-Maaliyyah li al-dawlah).
Berdasarkan perolehannya, sumber-sumber pendapatan negara tersebut menurut Wahhab Khalaf dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yakni yang bersifat rutin (dawriyyah) dan pendapatan insidental (ghayr dawriyyah). Pendapatan rutin negara terdiri dari zakat, sebagaimana yang telah dibahas terdahulu. Jenis pendapatan ini muncul dalam konteks Daulah Khilafah Islam iyah sebagai dampak dari politik luar negeri (jihad) yang dilakukan oleh kaum Muslim. Ketika Daulah Khilafah Islam iyah tegak, tidak sedikit jumlah pemasukan negara yang berasal dari pos ini.
‘Usyr merupakan jenis pajak bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dan dibayar hanya sekali dalam setahun serta hanya berlaku terhadap barang-barang yang bernilai lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang dikenakan kepada para pedagang muslim sebesar 2,5%. ‘Usyr yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingakt bea orang-orang yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim 2,5%. Hal ini juga terjadi di Arab sebelum masa Islam, terutama di Makkah sebagai pusat perdagangan regional terbesar.
Sistem keuangan dengan model ‘Usyr ini diterapkan di zaman Umar bin Khatab dengan dilatarbelakangi oleh Abu Musa Al-Asy’ari yang telah menulis surat kepada Umar bin Khattab yang memberitahukan bahwa para pedagang kaum muslimin yang memasuki wilayah orang-orang musyrik atau ke negara kafir (darul harb) yang tidak ada perjanjian damai, mereka harus membayar ‘Usyr (1/10) per kepala dari barang dagangan mereka. Kemudian Umar bin al-Khattab menulis surat kepada Abu Musa yang berisi: ‘Ambilah olehmu dari mereka seperti yang telah dilakukan oleh mereka kepada para pedagang muslim.
Kemudian ambil pula dari ahlu dzimmah separuh (1/2) dari 1/10 (seper sepuluh) dirhamnya. Namun, janganlah kamu mengambil dari mereka sedikit juga bilamana jumlah barang mereka kurang dari 200 (dua ratus) dirham. Demikianlah anjuran Umar bin al-Khattab.
Selanjutnya bilamana mencapai dua ratus maka ambilah dari mereka lima dirham. Karenanya, Umar memerintahkan kaum muslimin mengambil pajak 1/10 kepada pedagang non muslim ketika mereka masuk ke negeri Islam. Dan memerintahkan mengambil setengah dari sepersepuluh kepada ahli dzimmah dan kepada kaum muslimin hanya ¼ (seperempat) dari ‘usyr jika barang dagangan mereka hanya 200 (dua ratus) dirham saja. Namun berbeda dengan jizyah yang dalam masa modern ini hampir tidak dijumpai lagi, pajak perdagangan masih tetap diberlakukan di Negara-negara Islam. Tentu saja penerapannya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam masa sekarang, penerapan pajak ini antara lain dengan memberlakukan bea masuk barang-barang impor.
a. Ghanimah
Ghanimah adalah harta rampasan perang yang diperoleh umat Islam dari kemenangan perang melawan orang kafir. Secara etimologi berasal dari kata ghanama-ghanimatuh yang berarti memperoleh jarahan ‘rampasan perang’. Harta ini menurut Sa’id Hawwa adalah harta yang didapatkan dari hasil peperangan dengan kaum musyrikin. Yang menjadi sasarannya adalah orang kafir yang bukan dalam wilayah yang sama (kafir dzimmi), dan harta yang diambil bisa dari harta yang bergerak atau harta yang tidak bergerak, seperti: perhiasan, senjata, unta, tanah, dan lain-lain. Untuk porsinya 1/5 untuk Allah dan Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, dan fakir miskin, dan ibn sabil, dan 4/5 untuk para balatentara yang ikut perang. Kemudian sisanya disimpan di Baitul Maal untuk didistribusikan kemudian. Al-Qur'an telah mengatur hal ini secara jelas dalam. (Q.S. Al-Anfal, ayat 41:
Artinya: ‘Katakanlah sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kamu turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di Hari (Furqan), yaitu hari bertemunya dua pasukan’.(Q.S. Al-Anfal, ayat 41).
Sementara Ibn Abbas membagi ghanimah menjadi 6 (enam) bagian : 1) bagian untuk Allah digunakan untuk kemaslahatan Ka’bah.
2) bagian untuk kerabat rasul.
3) bagian untuk anak-anak yatim 4) orang-orang miskin.
5) Ibn sabil
6) sokongan kepada ahl al-radkh dan ahl-al-zimmah.
Ahl al-radkh adalah mereka yang hadir dalam peperangan akan tetapi tidak memperoleh bagian. Dengan melihat pendapat ulama tentang khums yang variatif maka disimpulkan bahwa hal itu bergantung pada kebijakan negara. Ghanimah merupakan sumber yang berarti bagi negara Islam waktu itu, karena masa itu sering terjadi perang suci. Perintah persoalan ghanimah turun setelah Perang Badar, pada tahun kedua setelah Hijrah ke Madinah. Ghanimah merupakan pendapatan negara yang didapat dari kemenangan perang. Penggunaan uang yang berasal dari ghanimah ini, ada ketentuannya dalam Al-Qur'an. Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan kepada para prajurit yang bertempur (mujahidin), sementara seperlimanya adalah khums. Jadi, khums adalah satu seperlima bagian dari pendapatan (ghanimah) akibat dari ekspedisi militer yang
dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos penerimaan ini dapat digunakan negara untuk program pembangunannya.31
Menurut Abu Yusuf, ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum Muslim dari harta orang kafir melalui peperangan. Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah merupakan sumber pemasukan Negara. Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik.
Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.32
Abu Yusuf juga membagi jenis-jenis harta atau barang yang dikategorikan sebagai 1/5 (khums), yaitu:
1). Barang-barang tambang seperti emas, perak, tembaga, besi dan timah 2). Tanah arab atau tanah orang asing yang didalamnya diletakkan tempat
shadaqoh.
3). Apa pun yang keluar dari lautan.
4). Rikaz (barang temuan berupa emas, perak, mutiara dan lain-lainya.
Kedudukan ghanimah dalam perpajakan kontenporer (saat ini), bukan hanya rampasan perang, tetapi juga pahala, keuntungan lebih, atau kelebihan dari penghasilan. Ghanimah adalah kelebihan harta yang diperoleh baik dari peperangan mau-pun bukan peperangan. Dengan demikian, surah Al-Anfal ayat 41 harus kita artikan, ‘Dan ketahuilah bahwa apa-apa yang kamu peroleh sebagai ke-lebihan penghasilan (keuntungan), yang seperlima adalah kepunya-an Allah Rasul, kerabat, . . . dan seterusnya. jadi, di samping zakat, di dalam Islam dikenal adanya perlimaan (khumus). Banyak keterangan dari Al-Sunnah bahwa Nabi memungut khumus di luar zakat untuk kelebihan penghasilan selain rampasan perang. Sebagian di antaranya kita cantumkan berikut ini:
Pertama: Rombongan Bani Qays menemui Nabi SAW. Mereka mengeluh tidak dapat menemui Nabi kecuali di bulan Haram. Mereka takut kepada kaum musyrik Mudhar. Nabi memerintahkan mereka untuk mengucapkan syahadat, menegakkan shalat, dan mengeluarkan seperlima dari kelebihan penghasilan mereka (Shahih Al-Bukhari 4:205; Shahih Muslim 1:35-36; Musnad Ahmad 3:318). Tidak mungkin mereka disuruh mengeluarkan seperlima dari rampasan perang, karena mereka justru selalu menghindari peperangan.
Kedua: Ketika Nabi SAW, mengutus ‘Umar bin Hazm ke Yaman, Nabi menyuruhnya untuk mengumpulkan perlimaan di samping zakat (Futuh Al- Buldan 1:81; Sirah Ibnu Hisyam 4:265). Begitu pula ketika beliau menulis surat kepada kepala-kepala suku (Lihat: Tanwir Al-Hawalik; Syarh Al-Muwatha 1:157;
Thabaqat Ibnu Saad 1:270, dan lain-lain). Kepada juhaynah bin Zaid, Nabi juga menyuruh, ‘Minumlah airnya dan keluarkan perlimaannya’ (Al-Watsaiq Al- Siyasiyah, 142).
Contoh praktisnya, sebagai berikut: misalkan Anda seorang dokter, mendapat penghasilan Rp 3.000.000,- satu bulan. Keluarkanlah dari penghasilan itu untuk sewa tempat praktek, membayar gaji pegawai, membayar obat-obatan dan listrik, membayar biaya transport, juga membayar kebutuhan pokok dan
31 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Depok: Gramata Publishing, hal. 119.
32 Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer, hal 72.
orang-orang yang menjadi tanggungan Anda. Katakan-lah, Anda menghabiskan satu juta setengah untuk segala pengeluar-an itu. Ini disebut mu’nah. Kemudian Anda harus mengeluarkan seperlima dari sisanya. Dipotong mu’nah, penghasilan Anda tinggal satu juta setengah lagi. Keluarkanlah seperlimanya; yaitu sejumlah Rp 300.000,- satu bulan.
Anda seorang pegawai negeri sipil dengan pangkat III/d. Jika gaji Anda sebesar Rp 350.000,- dipandang cukup untuk membayar kebutuhan pokok Anda sekeluarga, maka Anda tidak membayar perlimaan. Kemudian Anda menulis buku, Anda mendapat royalti sebesar dua juta. Bayarkanlah sebagian royalty itu untuk ongkos tukang tik, beli kertas, dan hubungan dengan penerbit. Setelah dipotong pengeluaran itu, Anda memperoleh hasil bersih satu setengah juta rupiah. Keluarkan Rp 300.000,- Begitulah seterus-nya.33
b. Fay’i
Fay’i adalah harta yang didapatkan dari musuh tanpa berperang seperti harta yang tidak bergerak (tanah) atau merupakan harta yang di peroleh dari al-Islam secara tunai. Seperti yang pernah terjadi pada Bani Nadhir, atau orang-orang kafir melarikan diri karena takut terhadap kaum muslimin, dengan meninggalkan rumah dan harta mereka, sehingga harta tersebut dikuasai oleh kaum muslimin, atau orang-orang kafir takut dan melakukan perdamaian dengan kaum muslimin serta menyerahkan sebagian dari harta dan tanah mereka, seperti terjadi pada penduduk Fidak.
c. Uang tebusan
Uang tebusan ini untuk tawanan perang, hanya dalam kasus perang Badar pada perang lain tidak di sebutkan jumlah uang tebusan tahanan perang. Tebusan adalah uang atau harta lain yang diminta sebagai imbalan pembebasan orang yang disandera. Penyanderaan untuk tebusan telah terjadi sepanjang sejarah. Pada tahun 78 SM, bajak laut dari wilayah yang sekarang dikenal sebagai Turki menangkap Julius Caesar dan menahannya di Pharmacusa sampai ada tebusan terhadapnya.
Pada Zaman Pertengahan di Eropa, tebusan menjadi kebiasaan perang di kalangan ksatria. Seorang ksatria penting, terutama keluarga bangsawan atau raja, berharga cukup tinggi jika tertangkap, tetapi tak berharga apa pun jika terbunuh. Karena alasan ini, praktik tebusan memiliki kontribusi perkembangan ilmu lambang (heraldry), yang memungkinkan para ksatria menunjukkan identitas mereka, dan nilai tebusan mereka, sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk langsung dibunuh.
d. Pinjaman dari muslim/non muslim
Pinjaman dari muslim/non muslim yaitu pinjaman pinjaman untuk pembayaran uang tebusan pembebasan kaum muslimin. Istilah pinjam meminjam sudah sangat familiar bagi setiap orang khususnya bagi mereka yang sedang memiliki masalah keuangan atau dalam keadaan sangat mendesak. Biasanya seseorang akan mengambil pinjaman baik dari keluarga, teman, maupun instansi
33 Jalaluddin Rakhmat. Islam Aktual, Mizan, Bandung. hal: 145-153.
bank dan sebagainya untuk memenuhi suatu keperluan dan pinjaman tersebut harus dikembalikan sebagaimana yang disebutkan dalam perjanjian. Dalam Islam sendiri perkara mengenai pinjaman diatur sedemikian rupa dan memiliki rukun serta syarat yang harus dipenuhi.
1) Pengertian Pinjaman Dalam Islam
Dalam bahasa Arab istilah pinjaman yang berasal dari kata pinjam atau Ariyah. Pinjaman sendiri diartikan sebagai suatu harta atau benda yang dipinjamkan kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dan harus dikembalikan kepada pemiliknya dalam keadaan utuh atau dengan melalui proses pinjam meminjam (baca harta dalam Islam dan pembagian harta warisan meurut Islam).
Dalam Islam perkara pinjam meminjam ini termasuk dalam perbuatan tolong menolong antar sesama manusia sehingga umat Islam boleh melakukannya asal memenuhi kriteria dan adab pinjam meminjam dengan benar. Tanpa memenuhi ketentuan dan rukun yang berlaku maka pinjam meminjam bisa dikatakan tidak sah.
2) Dasar Hukum Pinjaman Dalam Islam
Seperti perkara fiqh atau hal lainnya misalnya jual beli dan hutang piutang, pinjam meminjam juga memiliki dasar hukum baik yang disebutkan dalam Alqur’an maupun yang disebutkan dalam hadits (baca berhutang dalam Islam dan hutang dalam pandangan Islam). Hukum pinjaman sendiri adalah diperbolehkan dalam Islam selama pinjaman tersebut adalah sesuatu yang baik dan bukanlah pinjaman yang diperuntukkan untuk maksiat. Berikut ini adalah dalil mengenai pinjaman dalam Alqur’an dan hadits.
3) Bentuk Tolong Menolong
Pinjam meminjam dalam Islam sebagai bentuk tolong menolong tentunya boleh dilakukan atau hukumnya mubah. Sebagaimana yang disebutkan Allah SWT dalam Quran Surat Al Maidah ayat 2 (dua) bahwa umat muslim dianjurkan untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan.
لا ي لا ا ر لا ر شلا ر ا او ج او ٌ لا ا ٌ ا ٌ ٍ ا ا ا ح ا ا ا و ر ر و ح ٌ ا ر لا ث ٍ لا ر ٌ ا ج و حلا ر لا ى او ا ج ا ح ج ا ر لا لا ك و ى او ا لا ٌ او جا ا لا ا
Artinya; ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al Maidah:2).
4) Ganjaran pahala yang melimpah
Memberikan pinjaman kepada orang lain tentunya tidak hanya memberi manfaat kepada orang yang dipinjamkan melainkan juga mendatangkan pahala bagi mereka yang memberikan pinjaman atau mereka yang memberikan sedekah (baca keutamaan bersedekah). Selain itu disebutkan dalam ayat lainnya bahwa memberikan pinjaman yang baik akan mendapatkan pahala dan balasan yang melimpah dari Allah SWT seperti yang disebutkan dalam firmanNya berikut ini: