• Tidak ada hasil yang ditemukan

62

Pemikiran Weber (Turner, Bryan, 1982) yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalah, dari bentuk rasionalisme yang dimiliki. Orang yang rasional akan memilih mana yang paling benar untuk mencapai tujuannya. Pemikiran Weber tersebut bisa jadi menjadi isyarat pada perempuan Bugis yang beraktivitas sebagai pemegang kendali bisnis di pasar butung bahwa ketika keberadaan mereka hanya berkiprah di ranah domestik secara rasional kontribusi ekonomi kurang menjanjikan kesejahtraan. Apa lagi barang yang diperjualbelikan lebih pada busana muslim yang boleh jadi menurut mereka sangat rasional ketika dihubungkan dengan harapan mendapat berkah Allah Swt.

Selain Weber, Mc.Clelland juga memusatkan perhatian pada kepribadian sebagai pendorong utama perubahan. Masyarakat yang tinggi tingkat kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement) umumnya akan menghasilkan wiraswastawan yang lebih bersemangat dan selanjutnya menghasilkan perkembangan ekonomi yang lebih cepat Oleh karena itu motivasi berprestasi yang tinggi dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi (Lauer,2003:137).

Di semua jenis kehidupan sosial selalu ada rutinitas yang harus diikuti dalam rentetan yang teratur agar kehidupan sosial itu efektif(misalnya ekonomi tidak dapat di modernisasi tanpa terlebih dahulu mendidik tenaga kerja ; pola konsumsi tidak akan dapat diubah tanpa memproduksi atau mengimpor produk baru sebagai pengganti). Ketiga prinsip “rentetan” dalam arti fase-fase oprasi sudah terpola dan sering tak dapat dihilangkan (Sztompka, 2004:253).

Masyarakat- prinsip asosiasi-adalah yang utama,dan karena masyarakat secara tak terbatas mengungguli individu dalam ruang dan waktu, maka masyarakat berada pada posisi menentukan melalui cara bertindak dan berpikir terhadapnya. Beilharz (dalam Batara: 2010).

Seseorang akan lebih enggan memodifikasi atau merubah tingkah lakunya apabila didekati secara individual tetapi kecendrungan perubahan mereka apabila didekati secara kelompok. Seseorang memerlukan kesepakatan dari kelompoknya, karena itu ia akan menyesuaikan tingkah lakunya berdasar ukuran kelompoknya, dengan demikian akan mudah pula ia berubah jika urutan kelompoknya juga berubah

Ketika perempuan Bugis yang melakukan aktivitas bisnis pakaian di pasar Butung menjadikan asosiasi sebagai prinsip utama maka cara bertindak dan berpikir mereka akan mengungguli individu sehingga apa yang menjadi kesepakatan asosiasi menjadi keputusan dalam cara bertindak dan berpikir sehingga ketika terjadi perubahan maka dengan mudah asosiasi perempuan Bugis yang berdagang pakaian di pasar Butung juga akan berubah

Homans (1974) bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam berperilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Homans melihat semua perilaku sosial adalah hasil pertukaran. Pertukaran perilaku untuk memperoleh ganjaran adalah prinsio ekonomi sederhana. Seorang dapat mempertukarkan pelayanannya untuk memperoleh upah. Upah yang mereka terima dapat dibelanjakan dalam berbagai kebutuhan, seperti membeli kebutuhan sehari-hari, menabung, membeli barang produksi dan berbagai

64

kegiatan ekonomi lainnya. Setiap kegiatan seperti itu dianggap sebagai pertukaran ekonomi. Homans melihat hasil dari pertukaran ekonomi tidak hanya menghasilkan perilaku ekonomi tetapi juga menghasilkan perilaku sosial, seperti terjadinya persahabatan, kepuasan, dan mempertinggi harga diri, sehingga terhindar dari pengangguran.

Dalam kaitan dengan pertukaran seperti yang diuraikan oleh Homans, ilmu ekonomi dapat menggambarkan hubungan-hubungan pertukaran dan sosiologi dapat menggambarkan struktur-struktur sosial dimana pertukaran itu terjadi. Akan tetapi, menurut Homans, yang memegang kunci dari pertukaran adalah teori perilaku dari Skinner yang terdiri atars proposisi-proposisi.

Selanjutnya Homans (1974; 16) mengungkapkan bahwa proses pertukaran dapat dijelaskan lewat lima proposisi:

a. Proposisi sukses, dalam setiap tindakan, semakin sering tindakan tertentu memperoleh ganjran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu.

b. Proposisi stimulus, jika di masa lau terjadi stimulus yang khusus atau seperangkat stimuli yang ada sekarang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama.

c. Proposisi nilai, semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu.

d. Proposisi Deprivasi-Satiasi, semakin sering di masa yang baru nerlalu seseorang menerima suatu ganjaran tertentu, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjran.

e. Proposisi Restu-Agresi, bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan, atau menerima hukuman yang tidak diinginkan, maka dia kana marah dan menjadi sangat cenderung menunjukkan perilaku agresif dan hasil perilaku menjadi lebih bernilai baginya. Jika tindakan seseorang mendapat ganjaran yang diharapkannya, khusus ganjaran yang lebih besar dari yang dikiranya, atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya maka dia kan merasa senang, dia akan lebih mungkin melakukan perilaku yang disenanginya, dan hasil dari perilaku yang demikian akan menjadi lebih bernilai baginya.

Proposisi-prosisi yang telah diungkapkan oleh Homans, menunjukkan bahwa perilaku individu sangat tergantung dari ganjaran apa yang telah dan mungkin akan diperolehnya. Bila ganjaran itu memuaskan baginya, maka terdapat kecenderungan utnuk mengulang perilaku yang serupa pada masa yang akan datang, dan sebaliknya bila ganjaran yang diperolehnya tidak memuaskan, maka terdapat kecenderungan untuk tidak mengulangi perilaku serupa pada masa yang akan datang. Dalam bahasa ekonomi, jika kegiatan yang dilakukan memberikan keuntungan baginya maka ia cenderung utnuk mengulangi kegiatan semacam itu, akan tetapi jika kegiatan itu tidak memberikan keuntungan maka ia akan cenderung untuk mencari kegiatan yang lain yang mungkin dapat menguntungkan baginya.

Homans menekankan bahwa proposisi itu saling berkaitan dan harus diperlakukan sebagai suatu perangkat. Untuk menjelaskan setiap perilaku,

66

kelima proposisi yang telah disebutkan di atas harus dipertimbangkan, walaupun proposisi dapat jelas dilihat. Bagi Homans proposisi-proposisi dinyatakan dalam suatu teori pertukaran dan digunakan dalam penelitian empiris. Homans mengakui bahwa ganjaran yang diperoleh atas pertukaran dapat berwujud materi dan non-materi. Seseorang bisa saja memilih karier sebagai pengajar buka semata-mata untuk mencari nafkah, tetapi demi ganjaran interik dengan bekerja untuk memberi pengetahuan pada muridnya dengan mendapatkan kepuasan dari pelaksanaan aktivitasnya. Demikian juga seorang kaum humanis yang pasrah unruk menolong kaum miskin tidak membutuhkan ganjaran materi tetapi ganjaran non-materi berupa kepuasan penghargaan orang lain dalam arti moral dari tindakan membantu orang yang kurang beruntung.

Damsar (2005; 49) menyatakan perilaku ekonomi yang dimaksud dalam sosiologi ekonomi adalah tidak hanya terbatas pada aktor (pelaku) individu saja, tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti penetapan harga dan institusi-institusi ekonomi, yang ada dalam suatu jaringan hubungan sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan hubungan sosial adalah suatu rangkaian hubungan yang teratur atau hubungan sosial yang sama diantara individu atau kelompok.

Memperhatikan berbagai pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku ekonomi adalah perbuatan yang berhubungan dengan tindakan, merencanakan, mengelola dan memilih kegiatan yang akan dilakukan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhannya, dengan demikian perilaku ekonomi pedagang dapat dilihat dari perbuatan pedagang untuk, (1) pengadaan

barang dagangan, (2) pemilihan barang dagangan, (3) pemilihan tempat berjualan, (4) penawaran barang, (5) mendapatkan modal, dan (6) menggunakan pendapatannya.

Pedagang merupakan suatu pekerjaan yang aktivitas utamanya adalah membeli dan menjual barang dengan motif memperoleh keuntungan. Dari kajian ekonomi, keuntungan yang diperoleh akan digunakan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhannya dan keluarganya. Sedangkan berdasarkan kajian sosiologi keuntungan yang diperoleh akan dapat mempengaruhi status sosial di masyarakat.

Begitupun yang dilakukan pedagang di pasar butung, dalam tubuh perempuanya mereka melakukan aktifitas-aktiftas dagang sebagai bagian entrepreneurship mereka. Sebagai perempuan bugis yang aktif dalam transaksi jual beli di pasar butung, perempuan memiliki kelebihan dalam memperdagangkan barang jualannya karena lebih dapat menjanjikan dalam menjajakan barang dagangan.

2. Bias Gender Terhadap Peranan Perempuan Bugis Dalam Berdagang Dipasar Butung Makassar

Rahma Sugiharti dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 49) berpendapat bahwa adanya kecenderungan, setiap kali wanita akan bekerja dan mengembangkan diri serta kariernya di dunia publik, mereka harus menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan rumah tangga. Hal ini berarti bahwa apabila wanita itu ingin mengembangkan karier atau berkecimpung di dunia publik, mereka dituntut untuk tetap dan selalu tidak melupakan tugas mereka

68

sebagai ibu rumah tangga. Dan acap kali terjadi dalam mayarakat kita bahwa bila dalam keluarga dimana suami – istrii bekerja di dunia publik dan terjadi keretakan dalam keluarganya/rumah tangganya, maka pada wanitalah segala kesalahan akan ditimpakan. Keadaan semacam ini menunjukkan bahwa kendati masyarakat telah semakin berkembang ke arah masyarakat industri, namun pandangan umum tentang wanita yang bekerja belum disamakan dengan pria.

Pada kehidupan perempuan atau wanita pedagang, sangat memungkinkan bahwa mereka biasanya selalu mengalami kelebihan bobot kerja. Dimana mereka harus bekerja ekstra, baik di ruang lingkup domestik maupun publik guna membantu mengurus dan menyediakan berbagai kebutuhan keluarganya. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa mau tidak mau mereka yang rata-rata berasal dari keluarga dengan taraf ekonomi menengah ke bawah harus ikut berpartisipasi guna membantu pendapatan ekonomi keluarga.

Namun akan timbul masalah apabila nantinya tidak terjadi pembagian kerja yang adil dan sikap tenggang rasa dalam keluarga, sehingga perempuan dalam keluarga lama kelamaan akan mengalami ketidakadilan gender.

Asumsi yang dipakai pada konsep kesetaraan ini mengindikasikan bahwa laki-laki dan perempuan harus mempunyai kapasitas, kesukaan dan kebutuhan yang sama, sehingga idealnya mereka harus meraih tingkat kesehatan, pendidikan, pendapatan, partisipasi politik yang sama pula. Secara implisit di sini tidak diakui adanya perbedaan biologis yang mempengaruhi potensi kemampuan antara laki-laki dan perempuan. Padahal kalau ditilik secara cermat kemampuan manusia bisa dipandang dalam sifatnya yang

universal dan spesifik. Kemampuan universal adalah kemampuan yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan dalam kapasitas dan potensinya yang sama.

Karena itu pada kemampuan yang bersifat universal ini, konsep kesetaraan 50- 50 ini sangat mungkin untuk dicapai. Sedangkan kemampuan spesifik adalah kemampuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan karena adanya keragaman biologis.

Perempuan dengan sifat khas femininnya, misalnya, menjadikan hal tersebut sebagai faktor yang mempengaruhi dalam proses pemilihannya untuk terjun dalam kegiatan publik. Dengan adanya keragaman biologis ini menyebabkan kesetaraan 50-50 tidak tepat, karena sarana untuk mencapai itu tidak sama antara laki-laki dan perempuan (Megawangi, 1999: 29-30).

Pemilahan seperti ini akan melahirkan kepribadian terpecah (split personality) dan tentu akan menjadi masalah besar. Perempuan seharusnya dibiarkan menjadi dirinya sendiri di mana pun ia berada, tanpa harus terkotak kotak pada ruang publik atau domestik. Pemilahan secara dikotomis justru sangat kontraproduktif terhadap kemandirian perempuan itu sendiri.

Perempuan boleh memiliki banyak peran (multi peran) selama ia punya komitmen terhadap kebenaran dan keadilan.

Keterpurukan pada dikotomi semacam ini dapat diatasi bila paradigma yang digunakan diubah dengan cara pandang pada sisi kemanusiaan yang bersifat universal. Salah seorang tokoh feminis, Naomi Wolf, mengatakan bahwa upaya untuk memperbaiki kehidupan perempuan membutuhkan keberanian untuk secara terus-menerus mensosialisasikan gagasan feminis

70

secara rasional dan simpatik. “Menjadi feminis” bagi Wolf harus diartikan

“menjadi manusia”, karena feminis adalah sebuah konsep yang mengisahkan harga diri pribadi dan harga diri seluruh kaum perempuan (Wolf, 1997 dalam www. Kunci.or.id). Laki-laki dan perempuan tidak dilihat sematamata pada kelaki-lakiannya dan keperempuannya, tetapi dilihat secara umum sebagai manusia. Keduanya merupakan agen keadilan dan kebenaran serta mempunyai peluang yang sama dalam membangun peradaban.

Dari penjelasan akan data penelitian diatas maka hal yang dapat ditarik bahwa faktor yang mendasar wanita pedagang memilih menggeluti dunia kerja dagang adalah faktor ekonomi, apakah itu menambah penghasilan keluarga (suami) atau pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri, kedua, mereka terdorong karena informasi akan pengalaman orang-orang disekelilingnya (dorongan motivasi dari keluarga), dan menambah aktifitas keseharian mereka, dan bagi mereka karyawan (pekerja) memilih pekerjaan tersebut karena sifat pemilik usaha (penghargaan, baik, dan mengeluarkan aturan yang tidak terlalu disiplin) dan rasa sadar akan tanggung jawab mereka sebagai seorang ibu atau perempuan akan pemenuhan kebutuhan hidup, dan jelasnya bahwa mereka (karyawan) memilih pekerjaan seperti itu karena pilihan mereka sendiri untuk mengguluti dunia kerja.

71 A. Simpulan

Setelah melakukan penelitian, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan untuk menjawab masalah yang diangkat dalam penelitian ini, kesimpulan yang dapat ditarik yaitu :

1. Entrepreneurship Perempuan Bugis Pedagang Pakaian Di Pasar Butung Makassar memungkinkan dalam membantu kestabilan ekonomi keluarga, terlebih lagi pekerjaan sebagai pedagang merupaka pekerjaan yang mudah dan cocok bagi prempuan.

2. Bias Gender Terhadap Peranan Perempuan Bugis Dalam Berdagang Dipasar Butung Makassar tidak terlalu nampak seiring perubahan zaman, meskipun masih ad stigma yang beredar di sebagian masyarakat bahwa perempuan yang berkerja sebagai pedagang akan sulit mengurusi urusan rumah.

Dokumen terkait