• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Dasar Hukum Perilaku Konsumen

Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al- Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.

Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah SWT kepada sang khalifaf agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Dalam satu pemanfaatan yang telah diberikan kepada sang khalifah adalah kegiatan ekonomi dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi. Islam mengajarkan kepada sang khalifah untuk memakai dasar yang benar agar mendapat keridhaan dari Allah SWT.

Adapun dasar hokum konsumsi dalam Islam antara lain;3[2]

a. Al-Qur’an

Dalam al-Qur’an yang menjadi dasar hokum konsumsi adalah surat Al-A’raaf ayat 31 yang artinya: “….makan dan minumlah,namun janganlah berlebih-lebih,sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” Dalam ayat tersebut jelah bahwa Allah memerintahkan kita untuk makan dan minum. Namun dalam melakukan konsumsi islam melarang untuk bersikap berlebihan, karana sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

b. As-Sunnah

Dari Abu Said Al-chodry berkata; “ketika kami bepergian bersama Nabi SAW, mendadak dating seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan dan kekiri seolah-olah

mengharapkan bantuan makanan, maka, Nabi bersabda; “siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan kepada orang yang tak berbekal.” Kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya. (H.R. Muslim). Dari hadits

3[2]

tersebut dapat disimpulkan bahwa kita boleh melakukan konsumsi, namun tidak boleh lebih dari apa yang kita butuhkan. Dan kita harus berbagi dengan orang lain yang tak punya.

c. Ijtihad para Ahli Fiqh

Ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat.

B. Prinsip Konsumsi Dalam Islam

Etika ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mengurangi kebutuhan materi yang luar biasa sekarang ini, untuk mengurangi energy manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya.

Perkembangan batiniah yang bukan perluasan lahiriah telah dijadikan cita-cita tertinggi manusia dalam hidup. Tetapi semangat modern dunia barat sekalipun tidak merendahkan nilai kebutuhan akan kesempurnaan batin, namun rupanya mengalihkan tekanan kea rah perbaikan kondisi-kondisi kehidupan material. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar, antara lain;

1. Prinsip Keadilan

Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari reaeki secara halal dan tidak dilarang hokum. Dalam soal makanan dan minuman, yang dilarang adalah darah,daging binatang yang telah mati sendiri,daging babi dan daging binatang yang ketika disembelih tidak disebutkan nama selain Allah, seperti yang tertulis dalam al-Qur’an surat Albaqarah ayat 173. Tiga golongan pertama yang dilarang karena hewan-hewan itu berbahaya bagi tubuh, sebab yang berbahaya bagi tubuh juga berbahaya bagi jiwa. Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung membahyakan moral dan spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan mempersekutukan Allah. Kelonggaran diberikan kepada orang-orang yang terpaksa dan bagi orang-orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhan saat itu juga.

2. Prinsip Kebersihan

Syarat yang ke dua ini tercantum dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah tentang makanan.

Makanan yang akan dikonsumsi haruslah baik dan cocok untuk dimakan, yang berarti tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang

diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.

Prinsip ini memiliki manfaat bagi kesehatan, karena bila semua orang menerapkan prinsip ini denga baik maka akan kecil kemungkinan tubuhnya terkena penyakit. Dengan makan

makanan yang bersih badan akan menjadi sehat dan tentunya akan tumbuh jiwa yang kuat.

Dengan tubuh dan jiwa yang kuat tentunya orang muslim tidak akan terhalang dalam melakukan ibadah sehari-hari. Selain itu kebersihan juga merupakan sebagian dari iman.

3. Prinsip Kesederhanaan

Prinsip ini mengatur perilaku manusia dalam melakukan konsumsi. Dalam prinsip ini diajarkan bahwa tidak baik bila seseorang itu berlebihan. Seperti yang tercantum dalam al- Qur’an surat Al-Maidah ayat 87, yang artinya; “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas”. Arti penting dalam ayat ini adalah kurang maka adalah dapat

mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian juga bila perut diisi secara berlebihan tentu akan ada pengaruhnya bagi perut. Maka hendaklah orang-orang muslim hidup

sederhana saja. Baik itu dalam makanan ataupun dalam belanja sehari-hari. Karena dengan hidup sederhana tidak akan menjadikan seseorang bersikap sombong terhadap yang lain.

Hendaklah kebutuhan hidup dipenuhi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, yang berarti tidak membelanjakan harta untuk barang-barang yang tidak perlu.

4. Prinsip Kemurahan Hati

Dengan menaati perintah Islam yang tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hatinya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan dan kesehatan yang lebih baik, dengan tujuan untuk menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya.

Kemurahan hati Allah tercermin dari Qs.Almaidah ayat 93, yang artinya; “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat

bagimu dan bagi orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepadaNya lah kamu akan dikumpulkan. Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa, hendaknya seseorang senantiasa bersyukur atas kemmurahan hati Allah. Karena dengan kemurahannya kita dapat makan dan minum makanan yang lezat, dimana itu merupakan kebutuhan pokok dalam hidup. Dan dengan prinsip ini tidak akan menjadikan manusia lupa bahwa semua kenikmatan yang didapat adalah berasal dari Allah karena kemurahan hati-Nya.

5. Prinsip Moralitas

Prinsip ini menekankan pada tujuan akhir dalam konsumsi, yaitu bukan hanya sekedar terpenuhinya kebutuhan tubuh, melainkan untuk peningkatan nilai-nilai moral dan spiritual.

Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan, dan berterimakasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan measakan kehadiran Tuhan pada waktu

memenuhi keinginan-keinginan fisiknya. Hal ini sangat penting karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang seimbang.

C. Teori Konsumsi Dalam Islam

Barang-barang kebutuhan dasar dapat didefinisikan sebagai barang dan jasa yang mampu memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan yang nyata dalam kehidupan konsumen. Barang-barang mewah sendiri dapat didefinisikan sebagai semua barang dan jasa yang diinginkan baik untuk kebanggaan diri ataupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan peubahan yang berarti bagi kehidupan konsumen.

Lebih lanjut Chapra mengatakan bahwa konsumsi agregat yang sama mungkin memiliki proporsi kebutuhan dasar dan barang mewah yang berbeda, dan tercapai tidaknya pemenuhan suatu kebutuhan tidak bergantung pada proporsi sumberdaya yang dialokasikan kepada masing-masing konsumsi. Semakin banyak sumberdaya masyarakat yang digunakan untuk konsumsi dan produksi barang barang dan jasa mewah, semakin sedikit sumberdaya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan demikian, meski terjadi

peningkatan pada konsumsi agregat, ada kemungkinan bahwa kehidupan masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar penduduk miskin, jika semua peningkatan yang terjadi pada konsumsi tersebut lari ke penduduk kaya untuk pemenuhan kebuuhan barang-barang mewah.

Fungsi konsumsi dalam ilmu makroekonomi konvensional tidak memperhitungkan komponen-komponen konsumsi agreget ini. Yang lebih banyak dibicarakan dalam ilmu ekonomi konvensional terutama mengenai pengaruh dan tingkat harga dan pendapatan terhadap konsumsi. Hal ini dapat memperburuk analisis, karena saat tingkat harga dan pendapatan benar-benar memainkan peran yang substansi dalam menentukan konsumsi agregat. Ada sejumlah factor moral, social ,politik, ekonomi dan sejarah yang mempengaruhi pengalokasiannya pada masing-masing konsumen. Dengan demikian faktor-faktor nilai dan kelembagaan serta preferensi, distribusi pendapatan dan kekayaan, perkembanga sejarah, serta kebijakan-kebijakan pemerintah tetunya tidak dapat diabaikan dalam analisis ekonomi.

Sejumlah ekonom muslim, diantarnya; Zarqa, monzer Kahf, M.M Metwallay, Fahim khan, M.A. Manan, M.A choudury, munawar iqbal, dan lain-lain telah beruha

memformalisaikan fungsi konsumsi yan g mencerminkan factor- factor tambahan ini meskipun tidak seluaruhnya, mereka beranggapan bahwa tingkat harga saja tidaklah cukup mengurangi tingkat konsumsi barang mewah yang dilakukan oleh orang kaya. Diperlukan

cara untuk mengubah sikap, selera preferensi, memberikan motivasi yang tepat, serta

menciptakan lingkungan social yang memandang buruk konsumsi sseperti itu. Disamping itu perlu juga untuk menyediakan sumberdaya bagi penduduk miskin guna meningkatkan daya beli atas barang dan jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar. Hal inilah yang mencoba dipenuhi oleh paradigm religious, khusunya Islam, dengan menekankan perubahan individu dan social melaui reformasi moral dan kelembagaan.

Norma konsumsi Islami mungkin dapat memmbantu memberikan orientasi prefensi individual yang menentang konsumsi barang-barang mewah. Dan bersama denga jaringan pengaman social, zakat, serta pengeluaran-pengeluaran untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumberdaya yang dapat meningkatkan tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar. Produsen kemudian mungkin akan merespon permintaan ini sehingga volume investasi yang lebih besar dialihkan kepada produksi barang-baranng yang terkait dengan kebutuhan dasar.

Latar belakang

Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe pertama dan pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran tipe pertama adalah pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dunia namun memiliki efek pada pahala diakhirat). Pengeluaran tipe kedua adalah pengeluaran yang dikeluarkan semata – mata bermotif mencari akhirat.

Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi, konsumsi, distribusi, seringkali muncul pertanyaan manakah yang paling penting dan paling dahulu antara mereka. Jawaban atas pertanyaan itu jelas tidak mudah, sebab memang ketiganya merupakan mata rantai yang terkait satu dengan yang lainnya, lebih jelasnya akan dibahas dalam isi makalah.

Etika Konsumsi dalam Islam

Konsumsi berlebih – lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur – hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti menggunakan barang

dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju tujuan – tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal – hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan.

Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih – lebihan untuk hal – hal yang melanggar hukumdalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, atau bahkan sedekah.

Ajaran – ajaran Islam menganjurkan pada konsumsidan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi diatas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap lisraf dan tidak disenangi Islam.

Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai – nilai dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan – tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya.

Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatif terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzil. Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan – pembatasan dan, bila dianggap perlu,dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syari’ah dia seharusnya diperlukan sebagai orang yang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.

Model Keseimbangan Konsumsi Islam

Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islamdidasarkan pada prinsip keadilan distribusi. Jika tuan A mengalokasikan pendapatannya setahun hanya untuk kebutuhan materi, dia tidak berlaku adil karena ada pos yang nbelum dibelanjakan, yaitu konsumsi sosial. Jika demikian, sesungguhnya dia hanya bertindak untuk jalannya diakhirat nanti. Dalam ekonomi islam. Kepuasan konsumsi seorang Muslim bergantung pada nilai-nilai agama yang diterapkan pada rutinitas kegiatanya, tercermin pada alokasi uang yang dibelanjakanya.

Secara sederhana Metwally (1995: 26-23) telah memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam perumusan keseimbangan konsumsi Islami.

Dimana :

S : Sedekah

H : Harga barang dan jasa BR : Barang

JS : Jasa

Z : Zakat (25%) P : Jumlah pendapatan Batasan Konsumsi Dalam Syari’ah

Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan

\keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap – sikap terhadap sesama manusia, sumberdaya, dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat kuantitas, dan kulitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan

materil maupun spiritual. Dalam konteks inilah kita dapat berbicara tentang bentuk – bentuk halal dan haram, pelarangan terhadap israf, pelarangan terhadap bermewah – mewahan dan bermegah – megahan, konsumsi sosial, dan aspek – aspek normatif lainnya. Kita melihat batasan konsumsi dalam Islam sebagaimana diurai dalam Alqur’an surah Al-Baqarah [2]: 168 -169 :

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah – langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. Sesungguhnya setan hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.

Sedangkan untuk batasan terhadap minuman merujuk pada firman Allah dalam al qur’an surah Al-Maidah[5] : 90 :

Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya (minuman khamer, berjudi,(berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan – perbuatan itu agar kamu beruntung.

Ketentuan Islam Dalam Konsumsi

Konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan. Kebutuhan konsumen yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumnya merupakan insentif pokok bagi kegiatan – kegiatan ekoniminya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya. Hal ini berarti pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan prinsip produksi dan konsumsi. Perbedaan antara ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatan dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata – mata dan pola konsumsi modern. Islam berusaha mengurangi kebutuhan material manusia yang luar biasa sekarang ini.

PERILAKU KONSUMEN MUSLIM

Dalam bidang konsumsi, Islam tidak menganjurkan pemenuhan keinginan yang tak terbatas. Secara hirarkisnya, kebutuhan manusia dapat meliputi ; keperluan, kesenangan dan kemewahan. Dalam pemenuhan kebutuhan manusia, Islam menyarankan agar manusia dapat bertindak ditengah – tengah (moderity) dan sederhana (simpelicity). Pembelanjaan yang dianjurkan dalam Islam adalah yang digunakan untuk memenuhi “kebutuhan” dan melakukan dengan cara rasional. isharf dilarang dalam al – Qur’an. Tabzir berarti membelanjakan uang ntuk sesuatu yang dilarang menurut hukum Islam. Perilaku ini sangat dilarang oleh Allah swt.

Dasar Hukum prilaku konsumen

Hasan sirry menyatakan bahwa sumber hukum konsumsi yang tercactum dalam Al- Qur’an adalah,

Artinya:

Makanlah dan minumlah,namun janganlah berlebih – lebihan, Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang – orang berlebih – lebihan.

Sumber yang berasal dari Hadits Rasul adalah, Artinya:

Abu Said Al – Chodry r.a. berkata: ketika kami dalam bepergian bersama Nabi saw.

Mendadak datang seseorang berkendara, sambil menoleh kekanan kekiri seolah – olah mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi: “siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantu kepada yang tidak berbekal.” Kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya..

Hubungan Konsumsi, Investasi, dan Tabungan

1. Konsumsi dan Pendapatan

Perbedaan yang terjadi dalam fungsi konsumsi seorang muslim dengan non muslim akan berpengaruh pada fungsi lain seperti fungsi Tabunngan dan Investasi. Hal ini disebabkan karena dalam fungsi konsumsi perilaku konsumen muslim dipengaruhi adanya keharusan pembayaran zakat dalam konsep pendapatan optimum serta adanya larangan pengambilan riba dalam transaksi apapun termasuk konsumsi, investasi dan tabungan.

Pendapatan yang siap dibelanjakan seorang muslim akan berbeda dengan bukan muslim, sebab terdapat zakat. Pendapatan seseorang yang telah memenuhi syarat akan dikenakan zakat sebesar 2,5%. Seseorang biasanya akan menabung sebagian dari pendapatannya dengan beragam motif, antara lain:

1. Untuk berjaga-jaga terhadap ketidakpastian masa depan

2. Untuk persiapan pembelian suatu barang konsumsi dimasa depan 3. Untuk mengakumulasikan kekayaan

Demikian pula, seseorang akan mengalokasikan dari anggarannya untuk investasi, yaitu menanamkannya pada sector produktif. Secara sederhana, alokasi pendapatan seorang muslim akan dapat diformulasikan sebagai berikut:

Y−z=C+S+I Dimana:

Y : pendapatan Ct : konsumsi S : tabungan I : investasi Z : zakat

Ajaran agama Islam sangat mendorong kegiatan menabung dan investasi. Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih baik meninggalkan anak keturunanmu kaya daripada miskin dan bergantung kepada belas kasih orang lain” (HR. Bukhari-Muslim)

1. Konsumsi dan Tabungan

Alokasi anggaran (pendapatan) untuk konsumsi total berbanding terbalik (negatif) dengan tabungan. Semakin tinggi konsumsi berarti semakin kecil tabungan dan sebaliknya semakin besar tabungan akan menguragi tingkat konsumsi. Untuk mencapai tingkat kepuasan yang optimal sesuai dengan tujuan maslahah, maka seorang muslim akan mencari kombinasi yang tepat antara tingkat konsumsi dan tingkat tabungan.

Dampak yang dapat dianalisa dari penerapan zakat dan larangan riba pada konsumsi dan tabungan antara lain:

1. Zakat dikenakan atas total pendapatan atau harta yang menganggur (idle capacity) yang kurang atau tidak produktif bagi seorang muzakky. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai konsumsi dan penurunan nilai tabungan.

2. Pelarangan praktek riba dalam setiap transaksi ekonomi juga akan berdampak pada berkurangnya jumlah konsumsi yang dibiayai oleh bunga tapi hanya bersifat sementara karena dialihkan kebentuk konsumsi lain.

3. Penerapan zakat bagi mustahiq akan berdampak pada peningkatan pendapatan dari perolehan zakat, sehingga peningkatan ini akan mempengruhi pula pada peningkatan konsumsi mereka, dan bahkan dapat dikatakan meningkatkan tabungan mereka.

Dari gambaran diatas, diasumsikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk menghindar dari zakat. Sehingga ada beberapa pilihan bagi seseorang yang mempunyai tingkat pendapatan tertentu untuk mengambil tindakan.

1. Konsumsi dan Investasi

Berpijak pada asumsi bahwa harta yang digunakan untuk transaksi tabungan dianggap sebagai harta yang menganggur. Keadaan yang mungkin terjadi dengan penerapan zakat dan larangan riba terhadap fungsi konsumsi dan investai adalah sebagai berikut:

1. Penerapan zakat atas aset yang kurang atau bahkan tidak produktif berpengaruh pada peningkatan konsumsi dan investasi.

2. Pelarangan atas riba akan berdampak bagi seorang pelaku ekonomiuntuk mengalokasikan anggarannya lebih kepada bentuk investasi dan bukan tabungan yang mengandung bunga.

3. Dengan peningkatan konsumsi masing-masing individu akan menimbulkan kenaikan konsumsi secara nasional.

Melihat paparan di atas sungguh merupakan suatu kondisi yang diharapkan oleh setiap masyarakat dimana pertumbuhan ekonomi meningkat dengan adanya kesempatan kerja yang ada serta menurunnya angka kemiskinan.

Sumber: http://ihsanamirul.blogspot.com/2012/06/teori-konsumsi-dalam-ekonomi- islam.html

Diposkan oleh Ema Nurul Afifah di 22.07

Teori Konsumsi Islam

BAB I

PENDAHULUAN

Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yamg penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi-konsumsi-distribusi, seringkali muncul pertanyaan manakah yang paling penting dan paling dahulu diantara mereka.

Jawaban atas pertanyaan ini jelas tidak mudah, sebab memang ketiganya merupakan mata rantai yang terkait satu dengan lainnya. Kegiatan produksi ada karena ada yang mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena ada yang memproduksi, dan kegiatan disribusi muncul karena ada gap atau jarak antara konsumsi dan produksi.

Dalam ekonomi konvesional perilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu perilaku konsumsi yang hedonistic materialistik serta boros (wastefull). Karena rasionalisme ekonomi konvensional adalah self-interst, perilaku konsumsinya juga cenderung individualistik sehingga seringkali mengabaikan keseimbangan dan keharmonisan social. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip dasar bagi konsumsi adalah “saya akan mengkonsumsi apa saja dan dalam jumlah berapapun sepanjang: (1) anggaran saya memadai, (2) saya memperoleh kepuasan yang maksimum”. Apakah perilaku konsumsi yang seperti ini dapat dibenarkan oleh ajaran Islam?

Bab ini akan membahas perilaku konsumsi yang lebih Islami, yaitu perilaku konsumsi yang dibimbing oleh nilai-nilai agama Islam. Di makalah ini kita akan membahas tentang:

1. Konsep kebutuhan dan keinginan

2. Kualitas dan kemurnian

3. Motif dan tujuan konsumsi

4. Perilaku konsumen muslim

5. Hubungan konsumsi, investasi, tabungan

BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Kebutuhan dan Keinginan

Seperti yang kita pelajari sebelumnya, bahwa teori konsumsi lahir karena adanya teori permintaan akan barang dan jasa. Sedangkan permintaan akan barang dan jasa timbul karena adanya keinginan (want) dan kebutuhan (need) oleh konsumen riil maupun konsumen potensial. Dalam ekonomi konvensial motor penggerak kegiatan konsumsi adalah adanya keinginan.

Islam berbeda pandangan tentang teori permintaan yang didasar atas keinginan tersebut.

Keinginan identik dengan sesuatu yang bersumber dari nafsu. Sedangkan kita ketahui bahwa nafsu manusia mempunyai kecenderungan yang bersifat ambivalen, yaitu dua kecenderungan yang saling bertentangan, kecenderungan yang baik dan kecenderungan yang tidak baik. Oleh karena itu teori permintaan dalam ekonomi Islam didasar atas adanya kebutuhan (need).[1]

Dalam dokumen TEORI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM (Halaman 61-75)

Dokumen terkait