Tahun 2019
B. Pembahasan
Kedaerahan sebagai Dampak Otonomi Daerah pada Bahasa Ruang Publik Secara spesifik, artikel ini akan membahas kondisi ruang publik dalam hal lanskap linguistik di dua lokasi di provinsi Jawa Timur yaitu Kota Surabaya dan Kabupaten Jember. Pemilihan lokasi tersebut sebagai objek pembahasan artikel ini berdasarkan pengalaman penulis setelah mengunjungi kedua lokasi tersebut pada bulan Juni 2019. Meskipun demikian, kasus analisis artikel ini tentu banyak pula dijumpai di daerah-daerah lain.8 Khususnya dalam hal studi lanskap bahasa,
8 Lihat Hestiyana (2018) “Penggunaan Bahasa pada Papapn Nama di Ruang Publik Kabupaten Kepulauan Tanah Laut”; Rejeki (2018) “Variasi Penggunaan Bahasa pada Papan Nama Komersial di Ruang Publik Malioboro”.
113
dampak otonomi daerah barang tentu berimplikasi pula terhadap kondisi kebahasaan di ruang publik.
Salah satu bentuk representasi fanatisme kedaerahan tercermin dalam rambu-rambu lalu lintas pada sebuah jalan di Kota Surabaya. Rambu-rambu yang dimaksud adalah imbauan untuk tertib berlalu lintas yang dipasang di pinggir jalan.
Meski rambu-rambu tersebut bukan merupakan produk pemerintah atau lembaga terkait, akan tetapi hal ini tentu cukup mencerminkan kondisi kebahaaan di Kota Surabaya yang memang secara kondisi banyak menggunakan bahasa Jawa dialek Surabaya(an) sebagai representasi budaya. Berikut adalah foto yang berisikan imbauan untuk tertib berlalu lintas di salah satu jalan Kota Surabaya.
Gambar di atas menunjukkan penggunaan bahasa Jawa pada salah satu imbauan tertib berlalu lintas di Kota Surabaya. Dapat diamati bahwasanya bahasa yang digunakan sepenuhnya menggunakan bahasa daerah. Memang bahasa tersebut tidak secara signifikan menunjukkan kekhasan dialek Surabaya(an). Akan tetapi, secara umum bahasa tersebut dipahami oleh masyarakat Surabaya khususnya masyarakat yang bertutur dengan bahasa Jawa.
Selain Kota Surabaya, kondisi bahasa ruang publik di Kabupaten Jember sebagai pembanding berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah, terdapat di perempatan Kora, yaitu perempatan besar sebelum Alun-alun kota apabila perjalanan ditempuh dari arah barat. Berbeda dengan kondisi penggunaan bahasa
114
di Kota Surabaya, informasi ruang publik tersebut terpampang pada running text yang dipasang di atas jalan raya. Berada di perempatan jalan, sering kali masyarakat dapat melihat tulisan tersebut apabila sedang berhenti, mengikuti tanda lampu merah yang dapat diamati pada foto berikut.
Gambar di atas merupakan pendokumentasian running text yang ada di perempatan Kora. Imbauan tersebut bertuliskan dengan bahasa Indonesia dan beberapa imbauan lainnya menggunakan bahasa Madura. Secara berurutan, imbauan pada running text tersebut bertuliskan “Kurangi Kecepatan Anda”,
“Maksimal 50 km/jam”, “Angkot & Roda 2 Gunakan Lajur Kiri”, “Todus Mon Ta’
Tertib”, “Todus Mon E’ Tilang”, “Gunakan Helm SNI”, dan “Tertib Berlalu Lintas”.
Melihat data pada gambar di atas, terdapat dua unsur bahasa yang digunakan yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Madura sebagai bahasa daerah. Kondisi tersebut menunjukkan karakter unik penggunaan bahasa di ruang publik dengan adanya alih kode9 antara bahasa Indonesia dan bahasa Madura. Masyarakat lokal Kabupaten Jember mayoritas merupakan keturunan Madura yang telah lama berpindah dan menetap di daerah Jember dan sekitarnya10. Apek bahasa Madura dalam teks tersebut adalah “Todus Mon Ta’ Tertib” (malu kalau tidak tertib) dan “Todus Mon E’
Tilang” (malu kalau ditilang).
9 Ronald Wardhaugh (2006) alih kode atau code-switching usually a speaker required to select a particular code whenever they choose to speak, and they may also decide to switch from one code to another or to mix codes even within sometimes very short utterances and thereby create a new code.
10 Hadi (2016) menjelaskan keberadaan orang Madura di Jember pada kurun 1870-1930.
115
Dapat dipahami bahwasanya masyarakat Surabaya dengan bahasa Jawa yang digunakan dikenal dengan dialek Arekan. Dalam hal ini, sebagai representasi masyarakat yang besar dengan jumlah penduduk dan dominasi sejarah yang kuat, masyarakat Surabaya juga dikenal dengan ciri bertutur yang khas dan berbeda dengan logat masyarakat Jawa di kota lainnya. Representasi budaya kawasan Jember dikenal dengan Pendalungan11. Representasi ini setipe dengan Mataraman, Arekan, Banyumasan/Ngapak yang merupakan dialek-dialek dalam bahasa Jawa12. Ciri dari budaya Pendalungan adalah pengabungan antara budaya Madura dengan lokalitas masyarakat kawasan Situbondo, Probolinggo, Bondowoso, Jember, dan Banyuwangi. Meski secara khusus, Banyuwangi memiliki kekhasan dengan keberadaan suku Osing yang menolak konsepsi sebagai orang Jawa.
Representasi budaya baik Kota Surabaya maupun Kabupaten Jember tampak jelas dalam rambu-rambu di kedua kota tersebut. Kota Surabaya secara khusus menggunakan bahasa Jawa seutuhnya yang berisi sindiran untuk tertib berlalu lintas. Sedangkan Jember, meski dikombinasikan dengan penggunaan bahasa Indonesia, akan tetapi penggunaan bahasa Madura, tidak disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Meski dalam running text tersebut juga terdapat informasi yang menggunakan bahasa Indonesia, akan tetapi bukan berkaitan dengan terjemahan atas bahasa Madura dalam rambu-rambu di atas.
Fanatisme Kedaerahan dan Problematika Kebahasaan di Ruang Publik Mencermati kondisi kebahasaan di Kota Surabaya dan Kabupaten Jember sebagaimana tercermin pada rambu-rambu di atas, menunjukkan adanya sikap kedaerahan yang ingin ditonjolkan oleh stakeholder (pemangku kepentingan) maupun representasi masyarakat setempat pada umumnya. Sikap kedaerahan yang
11 Penjelasan mengenai Pendalungan dapat dilihat pada https://id.wikipedia.org/wiki/Pendalungan
12 Dialek bahasa Jawa menurut Nurhidayat (2014) dalam artikelnya berjudul “Persebaran Dialek Jawa”, terbagi ke dalam 12 dialek yang terdiri dari wilayah-wilayah di Jateng, DIY, dan Jatim.
116
berlebihan dapat diartikan sebagai bentuk fanatisme yang salah satu faktornya adalah kebijakan otonomi daerah yang berjalan dua dasawarsa terakhir13.
Berbagai unsur pemerintah daerah dan masyarakat setempat dapat memaknai suatu kesepakatan bersama atas pembuatan imbauan maupun rambu- rambu dengan memasukkan unsur bahasa sebagai cerminan kedaerahan. Hal itu tentu didasari atas kesadaran bahwasanya informasi yang disampaikan dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat setempat sebagai penutur asli bahasa yang digunakan pada rambu-rambu tersebut.
Kondisi kebahasaan pada rambu-rambu di atas, tentu tidak terjadi apabila sistem pemerintahan di Indonesia sepenuhnya masih dikontrol oleh pusat14. Pengadaan rambu-rambu yang bersifat umum, imbauan, dan papan informasi lainnya tentu sepenuhnya dalam pengawasan pusat yang menjadikan minimnya kemungkinan signifikansi bahasa daerah yang dominan.
Selain bahasa daerah harus dilestarikan, akan tetapi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara wajib diprioritaskan sebagimana Trigatra Bangun Bahasa;
Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing.
Artinya, melihat kembali kasus imbauan yang berada di salah satu jalan di Kota Surabaya, perlu juga dicantumkan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai priotitas pertama. Begitu juga kasus running text yang ada di Kabupaten Jember, meski imbauan tersebut telah menggunakan bahasa Indonesia, akan tetapi pada teks berbahasa Madura tidak disertakan terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Persoalan yang muncul adalah, tidak tersampaikannya pesan tersebut dengan baik kepada pengguna jalan yang bukan merupakan masyarakat Surabaya pada kasus pertama dan masyarakat Jember pada kasus kedua. Dengan penjelasan lain, imbauan tersebut hanya berlaku bagi pengguna jalan yang paham atas bahasa Jawa
13 Menurut KBBI (online), fanatisme data diartikan sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya).
14 Tidak tepat sebenarnya apabila dikatakan sistem pemerintahan sebelum otonomi daerah bernama sentralisasi, karena pada dasarnya sejak era Hindia-Belanda, pembentukan provinsi dan Kabupaten merupakan peralihan pemerintahan dari sentralisasi menjadi disentralisasi, lihat Subagyo (1983) Sastra Hindia Belanda dan Kita.
117
dan bahasa Madura. Hal itu menjadi persoalan megenai pesan yang ingin disampaikan melalui rambu-rambu di kedua kota tersebut bagi pengguna jalan yang tidak berasal atau tidak memahami kedua aspek kultural tersebut.