BAB IV
faktor genetik karena didalam riwayat keluarga Ny. E tidak ada yang mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami oleh Ny. E
Untuk faktor presipitasi adalah faktor pencetus terjadinya halusinasi penglihatan yaitu dimensi fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Pada Ny. E faktor presipitasi yang muncul adalah dimensi intelektual dimana klien tidak mampu memecahkan masalah dan cenderung diam ketika ada masalah, dimensi sosial dimana klien lebih asik dengan halusinasinya daripada berinteraksi dengan lingkungannya, dimensi spiritual dimana kurangnya aktivitas ibadah yang dijalani oleh klien.
Tanda dan gejala halusinasi penglihatan menurut (Emulyani & Herlambang, 2020) diantaranya adalah bicara sendiri, tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan pandangan ke arah tertentu, menutup mata, menunjuk-nunjuk ke arah tertentu, mulutnya komat-kamit sendiri ketika melihat bayangan/sosok tanpa adanya wujud. Pada Ny. E gejala yang muncul adalah melihat ke satu arah, melambaikan tangan, bicara sendiri, dan tertawa sendiri.
Mekanisme koping halusinasi menurut (Purba, 2020), diantaranya adalah menghindari stress (regresi), menyalahkan orang lain (proyeksi), menarik diri (isolasi sosial). Pada Ny. E mekanisme koping klien halusinasi yang muncul adalah menarik diri (ketika terdapat masalah enggan bercerita) dimana klien selalu menyembunyikan tentang masalah yang dialami yang membuat klien tidak bisa menemukan masalahnya.
Penatalaksanaan medis pada klien halusinasi diantaranya adalah psikofarmakoterapi dari golongan Seroquel 400 mg XR (Quetiapin) 0-0-1-0 tab per oral dinaikkan, Clozapine 25 mg MERSI 0-0-0-1 tap per oral, Valproat tablet 250 mg NOVELL 2 dd 250 mg per oral, Inj Zypin 1 amp im bila gelisah. Sedangkan penatalaksanaan keperawatan diantaranya adalah komunikasi terapeutik, cara mengontrol halusinasi dengan Strategi Pelaksanaan (SP), Terapi Aktivitas Kelompok (TAK), Cognitive Behavior Therapy (CBT) dan Family Psychoeducation (FPE). Pada Ny. E penatalaksanaan keperawatan yang diberikan yaitu komunikasi terapeutik dan cara mengontrol halusinasi dengan Strategi Pelaksanaan (SP).
4.1 PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan, yang terdiri dari pengumpulan data baik data subjektif maupun data objektif dan perumusan masalah.
Dalam pengumpulan data ini, kami menggunakan metode wawancara langsung
dengan klien dan melihat catatan keperawatan medis klien. Proses pengkajian keperawatan jiwa meliputi identitas, alasan masuk, faktor predisposisi, pemeriksaan fisik, psikososial, status mental, kebutuhan perencanaan pulang, mekanisme koping, masalah psikososial dan lingkungan, pengetahuan, aspek medis. Sedangkan pada Ny.
E kami melakukan proses pengkajian yang terdapat di teori dengan ditambah keluhan saat ini. Penulis melakukan pengkajian yakni keluhan saat ini bertujuan untuk mendapatkan data yang aktual karena klien sudah masuk Rumah Sakit Jiwa Dr.
Radjiman Wediodiningrat selama 14 hari.
4.2 ANALISA DATA
Menurut (Yosep, 2016), daftar masalah gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan meliputi resiko perilaku kekerasan, gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan, gangguan komunikasi verbal, gangguan proses pikir, isolasi sosial, harga diri rendah dan koping individu tidak efektif. Sedangkan pada Ny. E daftar masalah yang muncul yaitu gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan, isolasi sosial, koping individu tidak efektif, defisit pengetahuan, dan penyangkalan tidak efektif. Hasil pengkajian pada Ny. E penulis mendapatkan daftar masalah yang berbeda dengan teori dimana daftar masalah yang ditemukan pada Ny. E tidak terdapat dalam teori menurut (Yosep,2016) diantaranya : koping tidak efektif : klien mengatakan ketika terdapat masalah klien diam, klien tidak tahu cara untuk menyelesaikan masalahnya.
4.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut (Martikainen et al., 1999), diagnosa keperawatan pada klien gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan diantaranya yaitu resiko perilaku kekerasan, gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan, isolasi sosial, harga diri rendah dan koping individu tidak efektif, regimen terapeutik in terapeutik. Sedangkan pada Ny. E diagnosa yang muncul yakni gangguan persepsi sensori: halusinasi penglihatan, risiko kekerasan, koping tidak efektif.
4.4 INTERVENSI KEPERAWATAN
Menurut (Rika Apriliana, Ayu Pratiwi, 2023), intervensi keperawatan klien gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan meliputi tujuan tindakan keperawatan pada klien, kriteria hasil dan tindakan keperawatan pada klien. Dimana
tujuan tindakan keperawatan untuk klien halusinasi adalah klien dapat mengenal halusinasi yang dialaminya serta dapat mengikuti program pengobatan dengan benar dan kriteria hasilnya yaitu pasien dapat mengontrol halusinasinya. Sedangkan tindakan keperawatan yang pertama dilakukan adalah membina hubungan saling percaya dengan menerapkan komunikasi terapeutik untuk membantu klien mengenal halusinasinya dengan cara berdiskusi dengan klien tentang isi halusinasi, waktu halusinasi, frekuensi halusinasi, situasi penyebab halusinasi muncul dan perasaan klien saat halusinasi itu muncul. Tindakan selanjutnya adalah melatih klien untuk mengontrol halusinasi dengan 4 cara yaitu : menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain saat halusinasi muncul, melakukan kegiatan yang terjadwal, dan minum obat secara teratur.
Pada saat pembuatan rencana tindakan keperawatan pada Ny. E telah disesuaikan dengan data kondisi klien saat ini sehingga rencana tindakan dibuat berdasarkan apa yang terjadi pada klien saat ini dan tindakan yang diberikan juga tepat sasaran.
4.5 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Menurut (Rika Apriliana, Ayu Pratiwi, 2023), implementasi keperawatan merupakan tindakan yang disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan yang telah disusun sebelumnya berdasarkan prioritas yang telah dibuat dimana tindakan yang diberikan mencakup tindakan mandiri maupun kolaboratif. Pada saat implementasi keperawatan kami menerapkan implementasi sesuai dengan rencana tindakan keperawatan yang telah dibuat sebelumnya. Kami juga menerapkan komunikasi terapeutik seperti yang telah dijelaskan oleh (Putri & Fitrianti, 2018) yaitu pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas komunikasi, baik meminta klien berkomunikasi dengan klien lain maupun dengan perawat, pasien halusinasi terkadang menikmati dunianya dan harus sering dialihkan dengan aktivitas fisik.
Pada Ny. E penulis mengajak Ny. E berkomunikasi dengan klien lain setiap kali Ny.
E melamun. Selama kami melakukan implementasi klien kooperatif mengikuti arahan dari mahasiswa sehingga kami tidak kesulitan berkomunikasi dengan klien.
Selain itu, klien juga kooperatif mengikuti arahan perawat ruangan karena perawat ruangan juga menerapkan komunikasi terapeutik pada klien sehingga terjalin hubungan yang baik antara perawat dan klien. Kemudian kami telah mengajarkan
pada klien cara mengontrol halusinasi pendengaran dengan empat cara yaitu menghardik halusinasi, minum obat secara teratur, bercakap-cakap dengan orang lain, dan melakukan kegiatan terjadwal.
4.6 EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi keperawatan merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai akibat dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi ini terdiri atas dua macam, yaitu evaluasi formatif (proses) yakni evaluasi yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan dan evaluasi sumatif (hasil) yakni evaluasi yang dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan umum dan tujuan khusus yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada kasus ini kami menggunakan evaluasi proses atau formatif.
Pada pertemuan pertama, Ny. E berkenalan dengan mahasiswa dan membina hubungan saling percaya. Ny. E berhasil menyebutkan namanya sendiri, umur, asal, dan alasan dibawa kesini.
Pada pertemuan kedua Ny. E dapat menyebutkan ciri-ciri halusinasi yang dia alami yaitu menyebutkan isi, frekuensi, waktu terjadinya halusinasi serta respon.
Namun belum menyadari bahwa dia sedang mengalami gangguan persepsi sensori.
Pada pertemuan ketiga Ny. E berhasil mengenal halusinasi yang dialaminya yakni halusinasi pendengaran dan berhasil menyebutkan isi, frekuensi, waktu terjadinya halusinasi serta respon.
Pada pertemuan keempat, Ny. E diajarkan cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik. Ny. E berhasil memperagakan secara mandiri cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik sehingga klien dapat mencapai tujuan rencana keperawatan yang telah dibuat dan dilanjutkan dengan bercakap-cakap dengan orang lain.
Pada pertemuan kelima klien dapat melakukan tindakan cara mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain, walaupun pada saat klien melakukan kegiatan itu halusinasinya tidak timbul. Sehingga kami menganalisa bahwa tujuan bercakap-cakap dengan orang lain tercapai dan tindakan dapat dilanjutkan dengan minum obat dengan benar.
Pada pertemuan keenam klien dapat mengetahui kapan jadwal dia harus minum obat dan cara minum obat yang benar. Sehingga kami menganalisa bahwa tujuan
tercapai yaitu minum obat secara teratur dan rencana tindakan selanjutnya adalah melakukan kegiatan terjadwal. Ny. E dapat mengoptimalkan cara mengontrol halusinasi yang telah diajarkan.
BAB V