melaksanakan pengendalian mutu pelayananan. Pengelolaan sedian farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) di puskesmas gentungan antara lain:
1. Kegiatan Pengelolaan Obat a. Perencanaan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. Proses pemilihan obat di puskesmas dilakukan dalam rangka perencanaan permintaan obat ke dinas kesehatan kabupaten/kota dan pembuatan formularium puskesmas. Pemilihan obat di puskesmas harus mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional (FORNAS). Untuk menjaga ketersediaan obat, apoteker atau penanggungjawab ruang farmasi bersama tim tenaga kesehatan di puskesmas menyusun formularium puskesmas. Penggunaan formularium puskesmas selain bermanfaat dalam kendali mutu, biaya, dan ketersediaan obat di puskesmas, juga memberikan informasi kepada dokter, dokter gigi, apoteker dan tenaga kesehatan lain mengenai obat yang digunakan di puskesmas. Formularium puskesmas ditinjau kembali sekurang-kurangnya setahun sekali menyesuaikan kebutuhan obat di puskesmas. Data yang dibutuhkan antara lain data penggunaan obat periode sebelumnya (data konsumsi), data morbiditas, sisa stok dan usulan kebutuhan obat dari semua jaringan pelayanan puskesmas. Memperkirakan kebutuhan periode yang akan datang ditambah stok penyangga (buffer stock). Buffer stock ditentukan dengan mempertimbangkan waktu tunggu (lead time), penerimaan obat serta kemungkinan perubahan pola pernyakit dan kenaikan jumlah kunjungan. Buffer stock bervariasi tergantung kepada kebijakan puskesmas. Menyusun dan menghitung rencana kebutuhan obat menggunakan metode yang sesuai. Data pemakaian, sisa stok dan permintaan kebutuhan obat puskesmas dituangkan dalam Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) puskesmas. . Laporan pemakaian berisi jumlah pemakaian obat dalam satu periode dan lembar permintaan berisi jumlah kebutuhan obat puskesmas dalam satu periode. LPLPO puskesmas menjadi dasar untuk rencana kebutuhan obat tingkat puskesmas dan digunakan sebagai data pengajuan kebutuhan obat ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Dalam merencanakan kebutuhan obat perlu dilakukan perhitungan secara tepat. Perhitungan kebutuhan obat untuk satu periode dapat dilakukan dengan menggunakan metode konsumsi. Metode konsumsi adalah metode yang didasarkan atas analisa data konsumsi obat periode sebelumnya. Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metode konsumsi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengumpulan dan pengolahan data.
2. Analisa data untuk informasi dan evaluasi
3. Perhitungan perkiraan kebutuhan sediaan farmasi 4. Penyesuaian jumlah kebutuhan sediaan farmasi
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan dengan metode konsumsi:
a) Daftar Obat b) Stok awal c) Penerimaan d) Pengeluaran e) Sisa stok
f) Obat hilang/rusak, kadaluarsa g) Kekosongan obat
h) Pemakaian rata-rata/pergerakan obat pertahun i) Waktu tunggu
j) Stok pengaman
k) Perkembangan pola kunjungan b. Permintaan
Permintaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai diajukan kepada Dinas Kesehatan dilakukan berdasarkan LPLPO. Permintaan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi obat dan BMHP pada bulan sebelumnya dengan melihat jumlah persediaan yang ada dan pola pemakaian. Pada jumlah permintaan yang ditulis oleh pihak puskesmas dalam LPLPO biasanya tidak langsung disetujui oleh gudang farmasi kota Dinas Kesehatan. Gudang farmasi akan melakukan analisa terlebih dahulu sebelum menyetujui permintaan yang ada di LPLPO, dengan
melihat ketersediaan Obat dan BMHP dan pola pemakaian di Puskesmas, serta mempertimbangkan ketersediaanya di Gudang farmasi Dinas Kesehatan. Setelah itu dapat ditetapkan jumlah obat dan BMHP yang akan diberikan kepada puskesmas yang bersangkutan.
Gambar 3. Daftar Pesanan BMHP Puskesmas Gentungan
Gambar 4. Berita Acara Serah Terima BMHP
Untuk permintaan yang dilakukan Puskesmas Gentungan kepada Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Gowa antaranya Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) yaitu infuset dewasa 1 box, masker medis 1 karton, blood lancet 5 box, abbocath 20 70pcs, abbocath 22 70pcs, Kasa 1, dan untuk permintaan obat-obatan di Puskesmas Gentungan yaitu Acetylsistein 10 box, amoxicillin 500mg 50 box,amoxicillin sirup 70 botol, CTM 50 box, GG 20 box, Hidrokortison salep 48 tube, ketoconazole 2 box, Ketorolac injeksi 5 box, methyl prednisone 15 box, miconazole salep 24 tube, natrium diklofenak 20 box, paracetamol 500mg 63 box, vitamin B6 10 box, meloxicam 80 box, Allopurinol 7 box, Kalsium Laktat 5 botol, Kotrimoxazol 480mg 10 box, Prednisone 5 box, Ranitidin inj 1 box @100 ampul, Haloperidol 5mg 5 box, Trihexyphenidil 2mg 5 box.
c. Penerimaan
Penerimaan sediaan farmasi dan BMHP dari dinas kesehatan kabupaten/kota kepada puskesmas gentungan dilakukan dengan memeriksa terhadap kesesuaian jenis sediaan obat, jumlah, bentuk sediaan dengan yang terdapat di LPLPO. Uga memperhatikan kondisi fisik dan tanggal kadaluarsa dari sediaan farmasi dan BMHP. Setelah melakukan pengecekan sediaan farmasi, LPLPO ditandatangani oleh penerima obat. Sediaan farmasi dan BMHP yang diserahkan dibuatkan Berita Acara serah terima dalam 2 rangkap untuk Puskesmas dan Gudang Farmasi DInas Kesehatan.
Gambar 5. Daftar Penerimaan Obat
Penerimaan obat-obatan di Puskesmas Gentungan dari Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Gowa yaitu Acetylsistein 10 box, amoxicillin 500mg 50 box,amoxicillin sirup 70 botol, CTM 50 box, GG 20 box, Hidrokortison salep 48 tube, ketoconazole 2 box, Ketorolac injeksi 5 box, methyl prednisone 15 box, miconazole salep 24 tube, natrium diklofenak 20 box, paracetamol 500mg 63 box, vitamin B6 10 box, meloxicam 80 box, Allopurinol 7 box, Kalsium Laktat 5 botol, Kotrimoxazol 480mg 10 box, Prednisone 5 box, Ranitidin inj 1 box @100 ampul, Haloperidol 5mg 5 box, Trihexyphenidil 2mg 5 box.
d. Penyimpanan
Penyimpanan dilakukan setelah penerimaan obat. Obat akan disimpan di gudang obat puskesmas. Penyimpanan obat disimpan pada rak-rak obat sesuai abjad dan jenis sediaan. Untuk pengeluaran pemakaian obat, puskesmas gentungan melakukan sistem FIFO dan FEFO, obat psikotropik dan obatdisimpan dalam lemari 2 kunci, obat-obat yang penyimpanan 2-8oC disimpan di lemari pendingin, dan sediaan obat luar disimpan terpisah dengan obat oral.
Gambar 6. Penyimpanan di Rak Obat
Gambar 7. Penyimpanan di Lemari Kulkas
Penyimpanan Obat di Puskesmas Gentungan berdasarkan sistem FIFO dan FEFO, LASA seperti amlodipine 5 mg dan amlodipine 10 mg, kalsium laktat dan kalsium karbonat, ketoconazole dan ketorolac, asam mefenamat dan Asam traneksamat, Amoxicillin dan Ampicillin, obat psikotropik dan obat Prekursor disimpan dalam lemari 2 kunci seperti Alprazolam, diazepam, chlorpromazine Hcl, Haloperidol, Trihexyphenydil, Risperidone, obat-obat yang penyimpanan 2-8oC disimpan di lemari pendingin seperti vaksin, dan injeksi oxytocin, dan sediaan obat pemakaian luar disimpan terpisah dengan obat pemakaian oral.
e. Pendistribusian
Pendistribusian merupakan kegiatan yang dilakukan meyalurkan obat dan BMHP dari puskesmas gentungan ke unit pelayanan kesehatan lainnya, sehingga tersedia dalam jumlah, jenis, dan mutu yang dibutuhkan. Pendistribusian obat dan BMHP dari Gudang puskesmas gentungan dilakukan ke beberapa sub unit pelayanan seperti puskesmas pembantu. Masing-masing petugas unit pelayanan kesehatan mengajukan permintaan sediaan farmasi dan BMHP yang dicatat pada buku Pengeluaran Obat dan BMHP. Petugas Gudang farmasi Puskesmas akan menyerahkan sediaan farmasi dan BMHP yang dibutuhkan dengan mempertimbangkan ketersediaannya di unit pelayanan dan di gudang farmasi puskesmas.
f. Pemusnahan dan penarikan
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengelolaan limbah farmasi seperti obat rusak dan kedaluwarsa yang berasal dari puskesmas dilakukan dengan membuat data perbekalan farmasi yang akan dimusnahkan, dalam hal ini menyiapkan berita acara pemusnahan, mengoordinasikan jadwal, metode, dan tempat pemusnahan kepada pihak terkait yaitu PT Mitra Hijau sebagai pihak ketiga, menyiapkan tempat pemusnahan dan melakukan pemusnahan yang disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta peraturan yang berlaku.
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dokumen yang harus disiapkan yaitu berita acara pemusnahan kepada pihak ketiga yaitu PT Mitra Hijau, menyiapkan tempat pemusnahan dan melakukan pemusnahan yang disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta peraturan yang berlaku.
g. Pengendalian
Pengendalian bertujuan agar tidak terjadi kelebihan atau kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas). Kegiatan pengendalian tersebut yaitu:
1) Memperkirakan atau menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu di puskesmas dan seluruh staf unit pelayanan. Jumlah ini disebut stok kerja.
2) Menentukan stok optimum dan stok pengaman. Stok optimum yaitu jumlah stok obat yang diserahkan kepada unit pelayanan agar tidak mengalami kekosongan, sedangkan stok pengaman adalah jumlah stok yang disediakan untuk mencegah terjadinya sesuatu hal yang tidak terduga.
3) Menentukan waktu tunggu, yaitu waktu yang diperlukan dari Gudang farmasi Dinas Kesehatan.
h. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan di puskesmas gentungan meliputi pencatatan LPLPO, E-Puskesmas (digital), laporan rangkaian pengeluaran harian obat, laporan persediaan obat, apliakasi SMILE, SELENA. Catatan dan laporan digunakan sebagai sarana pertanggung jawaban oleh puskesmas kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui Gudang farmasi.
i. Administrasi
Administrasi yaitu pecatatan dan pelaporan terhadap seluruh rangkaian kegiatan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai, baik sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan dipuskesmas atau unit pelayanan lainnya.
Administrasi memiliki tujuan utnuk mempermudah pengelolaan sedian farmasi dan BMHP serta sumber data yang dilakukan dalam pengaturan dan pengendalian.
2. Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi:
Pengkajian dan pelayanan Resep, Pelayanan Informasi Obat (PIO), Konseling, Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Pemantauan Terapi Obat (PTO) dan Evaluasi Penggunaan Obat (Permenkes No 74, 2016).
a. Pengkajian Resep, Penyerahan Obat, dan Pemberian Informasi Obat
Alur pelayanan di Puskesmas Gentungan bagian apotek dilakukan pengakajian resep terlebih dahulu atau skrining resep yang tujuannya untuk memastikan kesesuaian, keamanan obat dan kerasioanlan obat yang ditulis oleh dokter agar tercapainya tujuan dari pengobatan dalam hal ini kelengkapan administratif, indikasi obat, dosis obat serta cara pemakaian obat yang telah sesuai.
Setelah dilakukan skrining resep kemudian diserahkan ke petugas/mahasiswa PKPA untuk menyiapkan obat sesuai resep yang telah di skrining. Setelah itu, dilakukan pengecekan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyerahan obat untuk mencegah terjadinya kesalahan. Dalam penyerahan obat diberikan pemberian informasi obat terkait indikasi, efek samping, aturan pakai dan penyimpanan obat.
Kegiatan pengkajian resep, penyerahan obat, dan pemberian informasi obat di Puskesmas Gentungan telah sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pada pelayanan informasi obat yang dilakukan di Puskesmas Gentungsn kepada pasien ataupun kepada profesi kesehatan lainnya dengan memberikan penyampaian terkait jumlah, jenis, dan kegunaan masing-masing obat, cara pemakaian, efek samping, cara mengatasi jika terjadi masalah efek samping dan cara penyimpanan obat serta pola hidup yang diterapkan.
Pelayanan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien (Permenkes No 74, 2016).
c. Konseling
Konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat pasien rawat jalan dan rawat inap serta keluarga pasien (Permenkes No 74, 2016).
d. Metode SOAP dan DRPs
Gambar 8. Resep SOAP dan DRPs
Menggunakan metode SOAP dengan Subjective mencatat keluhan utama pasien, yaitu demam dan batuk, yang menjadi dasar untuk mengevaluasi kondisi kesehatan. Selanjutnya, dalam Objective, dicatat hasil pemeriksaan fisik, seperti
tekanan darah 140/90 mmHg, frekuensi napas 20 kali per menit, denyut nadi 80 kali per menit, dan suhu tubuh 36°C. Data ini penting untuk mendukung diagnosis dan pemantauan kondisi pasien.
Pada tahap Assessment, dilakukan identifikasi masalah terkait, termasuk infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan hipertensi. Untuk menangani kondisi ini, diberikan terapi yang terdiri dari cetirizine sebagai antihistamin untuk mengatasi gatal di tenggorokan, dexamethasone sebagai kortikosteroid untuk mengurangi peradangan, paracetamol sebagai antipiretik dan analgetik, ambroxol sebagai mukolitik untuk membantu mengencerkan dahak, serta amlodipine sebagai antihipertensi untuk mengontrol tekanan darah pasien.
Bagian terakhir, yaitu Plan, berisi rekomendasi terapi dan tindakan lanjutan.
Pasien diberikan resep obat dengan aturan pakai yang jelas serta edukasi mengenai pola makan sehat, membatasi konsumsi garam dan lemak, menjaga hidrasi dengan mengonsumsi 8–10 gelas air per hari, serta berolahraga secara teratur. Selain itu, pasien disarankan untuk memantau tekanan darah secara berkala guna mengontrol hipertensinya. Dengan pendekatan SOAP ini, penanganan pasien menjadi lebih terarah, efektif, dan terstruktur.
Drug Related Problem (DRP) mengidentifikasi beberapa masalah terkait terapi obat yang diberikan kepada pasien dengan diagnosis ISPA dan hipertensi.
Terapi yang diresepkan sudah sesuai dengan kondisi pasien, mencakup Cetirizine, Dexamethasone, Paracetamol, Ambroxol, dan Amlodipine, namun perlu dipastikan bahwa semua obat ini benar-benar diperlukan mengingat ISPA umumnya bersifat self-limiting. Dari segi bentuk sediaan, tidak ditemukan masalah karena semua obat telah sesuai dengan resep yang tertulis. Namun, terdapat ketidaktepatan pada dosis beberapa obat, seperti Allopurinol dan Natrium Diklofenak, yang tidak memiliki dosis yang jelas. Selain itu, pemberian Dexamethasone dalam dosis 1x1 seharusnya dikaji ulang, karena untuk terapi ISPA yang memerlukan antiinflamasi kortikosteroid, dosis yang lebih umum digunakan adalah 3x sehari setelah makan untuk hasil yang lebih optimal.
Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah efek samping dari Cetirizine, yang merupakan antihistamin generasi kedua dengan potensi efek sedasi ringan yang dapat menyebabkan kantuk. Oleh karena itu, pasien perlu diedukasi untuk tidak mengonsumsi obat ini pada siang hari, terutama jika memiliki aktivitas yang memerlukan konsentrasi tinggi seperti mengemudi atau mengoperasikan alat berat.
Selain itu, penggunaan Amoxicillin sebagai antibiotik dalam terapi ISPA perlu dipastikan bahwa indikasi infeksi bakteri memang ada, mengingat sebagian besar ISPA bersifat virus dan tidak membutuhkan antibiotik.
Sebagai langkah tindak lanjut, perlu dilakukan evaluasi ulang terhadap dosis dexamethasone serta memastikan bahwa antibiotik diberikan hanya jika ada indikasi bakteri. Pasien juga harus mendapatkan edukasi mengenai cara konsumsi cetirizine yang tepat agar tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Selain itu, pemantauan tekanan darah secara berkala tetap harus dilakukan untuk menilai efektivitas Amlodipine dalam mengontrol hipertensi. Gaya hidup sehat juga sangat dianjurkan, termasuk diet rendah garam dan lemak, konsumsi air yang cukup, serta olahraga teratur guna membantu menjaga tekanan darah tetap stabil dan mempercepat pemulihan ISPA. Dengan perbaikan ini, terapi yang diberikan dapat lebih efektif dan aman bagi pasien.
Gambar 9. Resep SOAP dan DRPs
Pendekatan SOAP digunakan untuk menilai dan menangani kasus hipertensi tahap 2 pada Ny. Sahara, 59 tahun, yang datang ke Puskesmas dengan keluhan hipertensi. Hasil pemeriksaan menunjukkan tekanan darah 164/85 mmHg dan detak jantung 80 kali per menit, yang menegaskan bahwa pasien mengalami hipertensi tahap 2. Pasien diberikan terapi Amlodipin 5 mg, Simvastatin 20 mg, Asam Mefenamat 500 mg, dan Vitamin B kompleks. Namun, ditemukan Drug Related Problems (DRPs), yaitu interaksi mayor antara Simvastatin dan Amlodipin, yang dapat meningkatkan kadar Simvastatin dalam darah dan berisiko menyebabkan kerusakan hati, rabdomiolisis, serta miopati. Selain itu, Amlodipin sebagai
monoterapi kurang efektif untuk hipertensi tahap 2, yang seharusnya ditangani dengan kombinasi ACEI atau ARB + CCB, seperti Captopril 25 mg (2-3 kali sehari).
Untuk meningkatkan efektivitas terapi, pasien disarankan untuk memantau tekanan darah secara rutin, mengevaluasi nyeri otot sebagai tanda miopati, dan menghindari makanan tinggi garam serta lemak. Edukasi mengenai pola hidup sehat dan aktivitas fisik teratur juga diberikan agar tekanan darah lebih terkontrol.
Dengan pendekatan ini, pengobatan hipertensi pasien menjadi lebih optimal dan sesuai dengan standar klinis terkini.
Pada kasus Ny. Sahara yang mengalami hipertensi tahap 2, ditemukan beberapa Drug Related Problems (DRPs) yang dapat mempengaruhi efektivitas terapi serta meningkatkan risiko efek samping. Salah satu DRP utama adalah interaksi mayor antara Simvastatin dan Amlodipin, di mana kombinasi kedua obat ini dapat meningkatkan kadar Simvastatin dalam darah. Hal ini berisiko menyebabkan kerusakan hati dan rabdomiolisis, yaitu kondisi serius yang dapat merusak jaringan otot rangka dan berpotensi mengakibatkan kerusakan ginjal. Oleh karena itu, pasien perlu dimonitor terhadap tanda-tanda miopati seperti nyeri otot, kelemahan otot, malaise, atau demam, serta dilakukan pemeriksaan kadar kreatin kinase jika diperlukan. Selain itu, penggunaan Amlodipin sebagai monoterapi pada hipertensi tahap 2 kurang efektif, karena standar terapi menyarankan kombinasi ACE Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dengan Calcium Channel Blocker (CCB) agar kontrol tekanan darah lebih optimal. Oleh karena itu, sebaiknya pasien diberikan terapi tambahan seperti Captopril 25 mg sebanyak 2-3 kali sehari. Selain itu, perlu diperhatikan efek samping Amlodipin, yaitu edema perifer, yang dapat menyebabkan pembengkakan pada kaki atau tangan akibat retensi cairan. Untuk mengatasi masalah ini, pasien harus mendapatkan pemantauan ketat terhadap kemungkinan edema dan dilakukan evaluasi lebih lanjut jika diperlukan. Terakhir, monitoring tekanan darah secara berkala sangat penting untuk memastikan efektivitas terapi serta mencegah komplikasi lebih lanjut. Pasien juga perlu diberikan edukasi mengenai gaya hidup sehat, seperti mengurangi asupan
garam, menjaga pola makan seimbang, serta rutin beraktivitas fisik, guna mendukung efektivitas terapi dalam mengontrol tekanan darahnya.
3. Pelayanan Kefarmasian Dalam Penggunaan Obat dan BMHP a. Distribusi Eksternal Obat dan BMHP
Distribusi obat dan BMHP eksternal umumnya di dilakukan Puskesmas dengan dinas kesehatan melalui bagian gudang penyimpanan obat dan beberapa obat atau BMHP yang di distribusikan dari sumber lainnya umunya dari sumbangan. Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas menyebutkan bahwa pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang berperan dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
Pelayanan kefarmasian dilakukan secara terpadu yang meliputi kegiatan pengelolaan sediaan farmasi dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Dukungan sarana dan prasarana yang memadai sangat diperlukan dalam meningkatkan efektivitas pelayanan. Pengelolaan sediaan farmasi salah satu bagian dari penyelenggaraan kegiatan pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas meliputi perencanaan kebutuhan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, Administrasi (pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan), serta pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
Kegiatan pengelolaan ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sediaan farmasi dan bahan habis pakai yang efektif, efisien, dan rasional. Selain itu, juga meningkatkan kompetensi dan kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan (Permenkes No 74, 2016).
Pendistribusian adalah Kegiatan menyalurkan obat ke unit-unit di Puskesmas dengan tujuan memberikan pelayanan Kesehatan kepada masyarakat disebut mekanisme pendistribusian obat. Kegiatan ini merupakan tanggung jawab kepala puskesmas (Bakri, 2021). Tujuan Distribusi:
1) Terlaksananya distribusi obat secara merata dan teratur sehingga dapat di peroleh pada saat dibutuhkan.
2) Terjaminnya kecukupan persediaan obat di unit pelayanan kesehatan. Kegiatan distribusi obat di Instalasi farmasi kabupaten/kota terdiri dari:
a) Kegiatan distribusi rutin: mencangkup distribusi untuk kebutuhan pelayanan umum di unit pelayanan kesehatan.
b) Kegiatan distribusi khusus: mencangkup distribusi obat program dan obat pelayanan kesehatan dasar (PKD) diluar jadwal distribusi rutin.
b. Distribusi Internal Obat dan BMHP
Sesuai dengan metode yang digunakan oleh Puskesmas Gentungan yaitu sistem distribusi internal satu pintu yang mana semua pendistribusian dan penggunaan obat harus melalui persetujuan atau pengetahuan apoteker penanggung jawab gudang penyimpanan obat, dalam hal ini semua poli di Puskesmas harus mengirim permintaan obat di gudang penyimpanan obat sehingga semua akses penggunaan obat dapat diketahui oleh penanggung jawab gudang apotek.
BAB V