• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Dalam dokumen Buku Paradigma Baru Pendidikan Pancaslila (Halaman 70-73)

BAB 7 PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

B. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan pernyataan pokok pendirian suatu negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalamnya mengemukakan latar belakang, tujuan pernyataan kemerdekaan, falsafah, dasar negara, dan cita-cita luhur suatu negara. Pembukaan UUD 1945 bersama- sama dengan pasal-pasal UUD 1945, disahkan oleh PPKI pada sidang pertama tangal 18 Agustus 1945, dan kemudian diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Pembukaan UUD 1945 dalam ilmu hukum mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di atas pasal-pasal UUD 1945. Antara Pembukaan UUD 1945 dengan pasal-pasalnya dalam tertib hukum Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang berlainan, namun keduanya terjalin dalam hubungan kesatuan yang bersifat hubungan kausal organis.

Pembukaan UUD 1945 mempunyai spesifikasi bilamana ditinjau dari segi isi. Alinea pertama, kedua, dan ketiga memuat segolongan pernyataan yang tidak memiliki hubungan kausal organis dengan pasal-pasalnya. Bagian tersebut memuat serangkaian pernyataan yang menjelaskan peristiwa atau keadaan yang mendahului sebelum terbentuknya Negara Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat pernyataan tentang keadaan setelah Negara Indonesia terbentuk dan memiliki hubungan yang bersifat kausal organis dengan asal- pasal UUD 1945, hubungan ini menyangkut beberapa hal, yaitu:

a. Undang-Undang Dasar ditentukan akan ada.

b. Yang diatur dalam UUD adalah tentang Oembentukan pemerintahan negara yang memenuhi perbagai syarat.

c. Negara Indonesia adalah berbentuk Republik yang berkedaulatan rakyat d. Ditetapkannya Pancasila sebagai dasar filsafat atau pandangan hidup

Negara Indonesia.

1. Pembukaan UUD 1945 bersifat tetap karena berkaitan dengan kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945

Pembukaan UUD 1945 memuat sifat-sifat fundamental dan azasi bagi negara, pada hakikatnya mempunyai kedudukan yang tetap dan tidak dapat diubah oleh siapapun, bahkan oleh MPR hasil pemilu. Oleh karena Pembukaan UUD 1945 pada intinya menyatakan bahwa; “Pembukaan UUD 1945 sebagai Peryataan Kemerdekaan yang terinci yang mengandung ciita-cita luhur dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan memuat Pancasila sebagai dasar filsafat negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan oleh karena itu tidak dapat diubah oleh siapapun juga

PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH KETATANEGARAN INDONESIA

A. Pengantar

Pancasila merupakan sumber nilai dan norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia. Tertib hukum ini berlaku secara universal bagi penyelenggara negara maupun rakyat Indonesia. Dalam kontek inilah, maka Pancasila merupakan suatu azas kerokhanian negara, sehingga sebagai sumber nilai, norma, dan kaidah baik moral maupun hukum dalam negara Republik Indonesia. Konsekuensinya, maka seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarannya senantiasa bersumber pada nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.

Sebagai negara demokratis, Indonesia yang berlandaskan atas hukum Pancasila maka segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur dalam suatu sistem perundang-undangan. Pembagian kekuasaan lembaga negara, hak dan kewajiban warga negara, keadilan dan lainnya diatur dengan suatu Undang-Undang Dasar, hal inilah yang dimaksud dengan pengertian Pancasila dalam konsteks ketatanegaraan. Dalam pembahasan ini tentu saja tidak dapat lepas dari Pembukaan UUD 1945 yang merupakan deklarasi bangsa dan negara bagi Indonesia. Oleh karena itulah, maka Pembukaan UUD 1945 dalam tatakenegaraan Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting sebab merupakan suatu staatfundamentalnorm, dan berada pada hierakhi tertib hukum yang tertinggi di negara Indonesia. Pancasila merupakan suatu azas kerokhanian yang dalam ilmu kenegaraan disebut sebagai dasar filsafat negara (philosofischer gronslag).

satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila Pancasila tersebut, diuraikan sebagai berikut:

1. Susunan sila-sila Pancasila bersifat Hierakhis dan berbentuk piramidal Pancasila terdiri atas lima sila yang merupakan suatu kesatuan yang bersifat

‘Majemuk Tunggal’ pada hakekatnya kelima sila tersebut bersifat hierarkhis yang berbentuk piramidal. Kesatuan dari sila-sila Pancasila merupakan kesatuan yang bertingkat (hierarkhis), pengertian piramidal dipergunakan untuk menggambarkan hubungan antara sila-sila dari Pancasila. Urutan kelima sila tersebut memiliki hubungan yang saling mengikat antara sila satu dengan sila lainnya sehingga merupakan suatu kesatuan yang bulat. Dengan demikian sila pertama mempunyai pengertian yang paling luas, karena merupakan basis (dasar) dari keempat sila lainnya.

Susunan secara hirarkis mengandung pengertian bahwa sila-sila Pancasila memiliki tingkatan berjenjang, yaitu sila yang ada di atas menjadi landasan sila yang ada di bawahnya. Sila pertama melandasi sila kedua, sila kedua melandasi sila ketiga, sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi sila kelima. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hirarkis sila-sila Pancasila menurut urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas). Dengan demikian, diperoleh pengertian bahwa menurut urut-urutannya, setiap sila merupakan pengkhususan dari sila- sila yang ada dimukanya.

Rumusan hubungan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut.

1 ——> 2, 3, 4, 5 1 <—— 2 ——> 3, 4, 5 2, 3 <—— 3 ——> 4, 5 3, 2, 1 <—— 4 ——> 5 4, 3, 2, 1 <—— 5

Penjelasan:

Sila 1, meliputi, mendasari, dan menjiwai sila-sila 2, 3, 4, dan 5.

Sila 2, diliputi, didasari dan dijiwai sila 1, serta mendasari dan menjiwai sila-sila 3, 4, dan 5.

Sila 3, diliputi, didasari dan dijiwai sila 1 dan 2, meliputi serta mendasari

dan menjiwai sila-sila 4 dan 5.

Sila 4, diliputi, didasari dan dijiwai sila 1, 2 dan 3, meliputi serta mendasari dan menjiwai sila 5.

Sila 5, diliputi, didasari dan dijiwai sila-sila 1, 2, 3, dan 4.

Dalam susunan hirarkis dan piramidal, sila Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial.

Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila lainnya.

Secara ontologis, kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, sebagaimana diungkapkan oleh Notonagoro (1984: 61 dan 1975:

52, 57), bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (sila pertama). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (sila kedua).

Dengan demikian, negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (sila ketiga). Selanjutnya terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu (sila keempat). Adapun keadilan yang pada hakikatnya merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila kelima) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara.

2. Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan salingmengisi dan saling mengkualifikasi

Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam kerangka hubungan hirarkis piramidal seperti di atas. Dalam rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya atau dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan hubungan kesatuan keseluruhan sila-sila Pancasila yang dipersatukan dengan rumusan hirarkis piramidal tersebut, berikut disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi.

a. Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang

berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia,yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

b. Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

c. Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

d. Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

e. Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975: 43-44). [ ]

Bab 8

Perbuatan korupsi terjadi karena hilangnya kontrol diri dan ketidakmampuan untuk menahan diri melakukan kejahatan. Kebahagiaan material dianggap segala-galanya dibanding kebahagiaan spiritual yang lebih agung, mendalam dan jangka panjang. Keinginan mendapatkan kekayaan dan kedudukan secara cepat menjadikannya nilai-nilai agama dikesampingkan.

Kesadaran manusia akan nilai ketuhanan ini, secara eksistensial akan menempatkan manusia pada posisi yang sangat tinggi. Hal ini dapat dijelaskan melalui hirarki eksistensial manusia, yaitu dari tingkatan yang paling rendah, penghambaan terhadap harta (hal yang bersifat material), lebih tinggi lagi adalah penghambaan terhadap manusia, dan yang paling tinggi adalah penghambaan pada Tuhan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna tentu tidak akan merendahkan dirinya diperhamba oleh harta, namun akan menyerahkan diri sebagai hamba Tuhan. Buah dari pemahaman dan penghayatan nilai ketuhanan ini adalah kerelaan untuk diatur Tuhan, melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya.

Penanaman satu nilai tentunya tidak cukup dan memang tidak dapat dalam konteks Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila merupakan kesatuan organis yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan demikian, akan menjadi kekuatan moral besar manakala keseluruhan nilai Pancasila yang meliputi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan dijadikan landasan moril dan diejawantahkan dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam pemberantasan korupsi.

Penanaman nilai sebagaimana tersebut di atas paling efektif adalah melalui pendidikan dan media. Pendidikan informal di keluarga harus menjadi landasan utama dan kemudian didukung oleh pendidikan formal di sekolah dan non- formal di masyarakat. Peran media juga sangat penting karena memiliki daya jangkau dan daya pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat. Media harus memiliki visi dan misi mendidik bangsa dan membangun karakter masyarakat yang maju namun tetap berkepribadian Indonesia. [ ]

5. Refleksi Pancasila di Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Jika kita amati dengan seksama refleksi Pancasila terdapat di dalam pembukaan undang-undang dasar pada hakekatnya merupakan refleksi Pancasila. Tekanan yang berbeda misalnya sila pertama berefleksi pada alinea ketiga, sila kedua berefleksi terutama alinea pertama, sila ketiga, keempat, dan kelima berefleksi terutama pada alinea kedua dan keempat, bahkan pada alinea keempatlah terdapat rumusan dan susunan Pancasila.

Itulah sebabnya maka di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pancasila memiliki peranan yang besar. Sudah dikatakan bahwa revolusi 17 Agustus 1945 berupa proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 adalah revolusi Pancasila. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pernyataan kemerdekaan secara terperinci dan mengandung cita-cita luhur proklamasi maka pembukaan adalah pengejawantahan lebih lanjut Pancasila.

Pembukaan yang merupakan pengejawantahan Pancasila merupakan dasar sumber hukum batang tubuhnya.

C. Korelasi Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945

Dalam dokumen Buku Paradigma Baru Pendidikan Pancaslila (Halaman 70-73)