komitmen, dan pola pengamalan yang baik terhadap kandungan nilai-nilai Pancasila. Sebab jika tidak, mereka akan melahirkan nilai-nilai instrumental yang menyesatkan rakyat dari nilai dasar Pancasila.
Jika seluruh warga bangsa taat asas pada nilai-nilai instrumental, taat pada semua peraturan perundang-undangan yang betul-betul merupakan penjabaran dari nilai dasar Pancasila, maka sesungguhnya nilai praksis Pancasila telah wujud pada amaliyah setiap warga. Pemahaman perspektif hukum seperti ini sangat strategis disemaikan pada semua warga negara sesuai dengan usia dan tingkat pendidikannya, termasuk pada para penyusun peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu menjadi suatu kewajaran, bahkan keharusan, jika Pancasila disebarluaskan secara massif antara lain melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal.
Penyelenggaraan pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi lebih penting lagi karena Perguruan Tinggi sebagai agen perubahan (agents of change) yang melahirkan intelektual-intelektual muda yang kelak menjadi tenaga inti pembangunan dan pemegang estafet kepemimpinan bangsa dalam setiap strata lembaga dan badan-badan negara, lembaga daerah, lembaga infrastruktur politik dan sosial kemasyarakatan, lembaga bisnis, dan lain sebagainya.
B. Tujuan Penyelenggaraan
Penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, diharapkan dapat tercipta wahana pembelajaran bagi para mahasiswa untuk secara akademik mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa dan negara dalam perspektif nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. Pendidikan Pancasila sebagai bagian dari pendidikan Nasional bertujuan untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional yang ada merupakan rangkaian konsep, program, tata cara, dan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi pun merupakan bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara spesifik tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi adalah untuk :
1. Memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa melalui revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Isnawan Dwi Parwanto
Mengerti PANCASILA
Paradigma Baru Pendidikan Pancasila
Penulis : Isnawan Dwi Parwanto Sampul : haikhi
Layout : 1sna1
CP : [email protected] - [email protected] +62899 5090 309
Cetakan: Pertama, Agustus 2015 ISBN: 978-602-7992-05-4 Penerbit:
Citra Sains Surakarta
© 2015, Hak Cipta dilindungi undang-undang,
dilarang keras menterjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Sanksi pelanggaran pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana diumumkan dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ISI DILUAR TANGGUNG JAWAB PENERBIT ATAU PERCETAKAN
3. Dasar Yuridis
Pancasila sebagai norma dasar negara dan dasar negara Republik Indonesia yang berlaku adalah Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD 1945) junctis Keputusan Presiden RI Nomor 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden RI/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang Tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Naskah Pembukaan UUD 1945 yang berlaku adalah Pembukaan UUD RI Tahun 1945 yang disahkan/
ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Sila-sila Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD RI Tahun 1945 secara filosofis-sosiologis berkedudukan sebagai Norma Dasar Indonesia dan dalam konteks politis-yuridis sebagai Dasar Negara Indonesia.
Konsekuensi dari Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD RI Tahun 1945, secara yuridis konstitusional mempunyai kekuatan hukum yang sah, kekuatan hukum berlaku, dan kekuatan hukum mengikat.
Nilai-nilai Pancasila dari segi implementasi terdiri atas nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar terdiri atas nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai dasar ini terdapat pada Pembukaan UUD RI 1945, dan Penjelasan UUD RI 1945 mengamanatkan bahwa nilai dasar tersebut harus dijabarkan konkret dalam Batang Tubuh UUD RI 1945, bahkan pada semua peraturan perundang- undangan pelaksanaannya.
Peraturan perundang-undangan ke tingkat yang lebih rendah pada esensinya adalah merupakan pelaksanaan dari nilai dasar Pancasila yang terdapat pada Pembukaan dan batang tubuh UUD RI 1945, sehingga perangkat peraturan perundang-undangan tersebut dikenal sebagai nilai instrumental Pancasila. Jadi nilai instrumental harus merupakan penjelasan dari nilai dasar; dengan kata lain, semua perangkat perundang-undangan haruslah merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila yang terdapat pada Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.
Para penyusun peraturan perundang-undangan (legal drafter) di lembaga- lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dari tingkat pusat hingga daerah adalah orang-orang yang bertugas melaksanakan penjabaran nilai dasar Pancasila menjadi nilai-nilai instrumental. Mereka ini, dengan sendirinya, harus mempunyai pengetahuan, pengertian dan pemahaman, penghayatan,
Rumusan tentang Pancasila tidak muncul dari sekedar pikiran logis- rasional, tetapi digali dari akar budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri.
Bung Karno hanya mengakui sebagai penggali Pancasila, karena nilai-nilai yang dirumuskan dalam Pancasila itu diambil dari nilai-nilai yang sejak lama hadir dalam masyarakat Nusantara. Oleh karena itulah Pancasila disebut mengandung nilai-nilai dasar filsafat (philosophische grondslag), merupakan jiwa bangsa (volksgeist) atau jati diri bangsa (innerself of nation), dan menjadi cara hidup (way of life) bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dengan demikian nilai-nilai dalam Pancasila merupakan karakter bangsa, yang menjadikan bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Pendidikan Pancasila perlu karena dengan cara itulah karakter bangsa dapat lestari, terpelihara dari ancaman gelombang globalisasi yang semakin besar.
2. Dasar Sosiologis
Bangsa Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan Pancasila karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan (materil, formal, dan fungsional) yang ada dalam masyarakat Indonesia. Kenyataan objektif ini menjadikan Pancasila sebagai dasar yang mengikat setiap warga bangsa untuk taat pada nilai-nilai instrumental yang berupa norma atau hukum tertulis (peraturan perundang- undangan, yurisprudensi, dan traktat) maupun yang tidak tertulis seperti adat istiadat, kesepakatan atau kesepahaman, dan konvensi.
Kebhinekaan atau pluralitas masyarakat bangsa Indonesia yang tinggi, dimana agama, ras, etnik, bahasa, tradisi-budaya penuh perbedaan, menyebabkan ideologi Pancasila dapat diterima sebagai ideologi pemersatu. Data sejarah menunjukan bahwa setiap kali ada upaya perpecahan atau pemberontakan oleh beberapa kelompok masyarakat, maka nilai-nilai Pancasilalah yang dikedepankan sebagai solusi untuk menyatukan kembali. Begitu kuat dan
‘ajaibnya’ kedudukan Pancasila sebagai kekuatan pemersatu, maka kegagalan upaya pemberontakan yang terakhir (G30S/PKI) pada 1 Oktober 1965 untuk seterusnya hari tersebut dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Bangsa Indonesia yang plural secara sosiologis membutuhkan ideologi pemersatu Pancasila. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila perlu dilestarikan dari generasi ke generasi untuk menjaga keutuhan masyarakat bangsa. Pelestarian nilai- nilai Pancasila dilakukan khususnya lewat proses pendidikan formal, karena lewat pendidikan berbagai butir nilai Pancasila tersebut dapat disemaikan dan dikembangkan secara terencana dan terpadu.
KATA PENGANTAR
Tahun 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merubah kurikulum mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Sesuai dengan Undang-pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Sesuai dengan Undang- Undang No 12 tahun 2012, bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi dalam penyusunan kurikulum, namun pada pelaksanaannya diperlukan rambu-rambu yang sama agar dapat mencapai hasil yang optimal.
Disamping itu, peserta didik di perguruan tinggi merupakan insan dewasa, sehingga dianggap sudah memiliki kesadaran dalam mengembangkan potensi diri untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan atau profesional.
Sehubungan dengan itu, maka perubahan pada proses pembelajaran menjadi penting dan akan menciptakan iklim akademik yang akan meningkatkan kompetensi mahasiswa baik hardskills maupun softskills. Hal ini sesuai dengan tujuan Pendidikan Tinggi dalam UU No 12 tahun 2012 yaitu menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, seluruh mahasiswa harus mengikuti pembelajaran mata kuliah dasar umum yang dikenal dengan MKDU (general education). Sebagian dari MKDU telah dinyatakan dalam UU No 12 tahun 2012 sebagai mata kuliah wajib, yakni Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Dalam rangka menyempurnakan capaian pembelajaran, maka MKDU ditambah dengan bahasa Inggris, Kewirausahaan, dan mata kuliah yang mendorong pada pengembangan karakter lainnya, baik yang terintegrasi maupun individu.
Mata Kuliah Pendidikan Pancasila merupakan pelajaran yang memberikan pedoman kepada setiap insan untuk mengkaji, menganalisis, dan memecahkansetiap insan untuk mengkaji, menganalisis, dan memecahkan masalah-maslah pembangunan bangsa dan Negara dalam perspektif nilai-nilai
dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Republik Indonesia. Gerakan untuk merevitalisasi Pancasila saat ini semakin menunjukkan gejala yang menggembirakan. Forum-forum ilmiah di berbagai tempat telah diselenggarakan baik oleh masyarakat umum maupun kalangan akademisi.
Apabila dilakukan jejak pendapat dikalangan mahasiswa biasanya mereka cenderung tidak menyukai empat mata kuliah yang dikenal sebagai Mata Kuliah Kepribadian (MPK) ini. Alasannya adalah pertama, mata kuliah ini bukan mata kuliah sesuai dengan bidang studi mereka, kedua, materinya tidak up to date, hanya mengulang apa yang pernah mereka dapatkan di jenjang pendidikan sebelumnya, ketiga, metode pembelajarannya yang tidak variatif dan inovatif sehingga menimbulkan kebosanan.
Pada penyusunan buku ini penulis sengaja menggunakan gaya bahasa sederhana agar pembaca lebih mudah untuk menelaah dan memperlajari. Tentu saja buku inipun tidak luput dari kekurangan, oleh karena itu masukan positif untuk pembenaran sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberikan kontribusi cakrawala pengetahuan bagi para pembaca, khususnya yang mengambil mata kuliah Pendidikan Pancasila. Amin
Yogyakarta, 1 Agustus 2015
Penulis
BAB 2
KONSEP PENDUKUNG CAPAIAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN PANCASILA
DI PERGURUAN TINGGI
A. Dasar-Dasar Pendidikan Pancasila 1. Dasar Filosofis
Ketika Republik Indonesia diproklamasikan pasca Perang Dunia kedua, dunia dicekam oleh pertentangan ideologi kapitalisme dengan ideologi komunis- me. Kapitalisme berakar pada faham individualisme yang menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak individu; sementara komunisme berakar pada faham sosialisme atau kolektivisme yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan individual. Kedua aliran ideologi ini melahirkan sistem kenegaraan yang berbeda. Faham individualisme melahirkan negara-negara kapitalis yang mendewakan kebebasan (liberalisme) setiap warga, sehingga menimbulkan perilaku dengan superioritas individu, kebebasan berkreasi dan berproduksi untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sementara faham kolektivisme melahirkan negara-negara komunis yang otoriter dengan tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak dari eksploitasi segelintir warga pemilik kapital.
Pertentangan ideologi ini telah menimbulkan ‘perang dingin’ yang dampaknya terasa di seluruh dunia. Namun para pendiri negara Republik Indonesia mampu melepaskan diri dari tarikan-tarikan dua kutub ideologi dunia tersebut, dengan merumuskan pandangan dasar (philosophische grondslag) pada sebuah konsep filosofis yang bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bahkan dapat berperan sebagai penjaga keseimbangan (margin of appreciation) antara dua ideologi dunia yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila hak-hak individu dan masyarakat diakui secara proporsional.
mempertahankan semangat persatuan dan kesatuan secara solid. Faktor inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia menjadi incaran bagi bangsa-bangsa maju, dan itulah juga yang menyebabkan bangsa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan kemudian Jepang dapat dengan mudah menguasai Indonesia.
Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia bangkita kembali para pertengahan penaklukan penjajahan Belanda. Di sisi lain kehadiran bangsa penjajah di Indonesia memberikan angin segar perubahan, yakni orientasi perjuangan dan sikap hidup dari perjuangan dan sikap hidup yang bercorak kedaerahan dan golongan berubah menjadi sikap hidup dan perjuangan yang berorientasi pada persatuahn seluruh bangsa Indonesia. Tiap daerah merasa mempunyai nasib yang sama, dengan demikian kehadiran penjajah telah berjasa menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia.
Dengan dideklarasikannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang dipelopori oleh kaum pemuda, bangsa Indonesia menyatakan ikrar berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, dan bertanah air satu tanah air Indonesia. Ikrar pemuda ini merupakan sumpah dan janji bangsa Indonesia untuk menegakkan kembali semangat nasionalisme, menghilangkan fanatisme kedaerahan maupun kelompok dan golongan.
Pada dasarnya setiap bangsa di dunia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara senantiasa mempunyai suatu dasar filsafat, suatu pandangan hidup. Setiap bangsa mempunyai ciri khas serta pandangan hidup yang berbeda dengan bangsa lain. Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukanlah hanya merupakan hasil konseptual perseorangan saja, melainkan hasil karya besar bangsa Indonesia yang diangkat dari nilai-nilai kultural para pendiri negara seperti Soekarno, Muh. Yamin, Soepomo dan tokoh-tokoh pendiri negara lainnya. Oleh karena itu para generasi penerus bangsa terutama kalangan intelektual sudah seharusnya untuk mendalami Pancasila secara dinamis dalam arti mengembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. [ ]
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ... iii
BAB 1 PENGANTAR ... 1
BAB 2 KONSEP PENDUKUNG CAPAIAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN PANCASILA DI PERGURUAN TINGGI ... 7
A. Dasar-Dasar Pendidikan Pancasila ... 7
B. Tujuan Penyelenggaraan ... 10
C. Capaian Pembelajaran ... 11
BAB 3 PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA 12 A. Pancasila Pra Kemerdekaan ... 20
B. Pancasila Era Kemerdekaan ... 35
C. Pancasila Era Orde Lama ... 45
D. Pancasila Era Orde Baru ... 60
E. Pancasila Era Reformasi ... 64
BAB 4 PENGERTIAN PANCASILA ... 68
A. Pancasila Secara Ilmiah ... 68
B. Pengertian Pancasila ... 69
BAB 5 PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA ... 79
A. Hubungan Pancasila dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ... 84
B. Penjabaran Pancasila dalam Batang Tubuh UUD 1945 ... 87
C. Implementasi Pancasila Dalam Pembuatan Kebijakan Negara Dalam Bidang Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, dan Hankam ... 94
BAB 6 PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA ... 101
A. Asal Mula dan Susunan Pancasila ... 101
B. Pancasila dan Liberalisme ... 105
C. Pancasila dan Komunisme ... 107
D. Pancasila dan Agama ... 109
E. Penutup ... 116
BAB 7 PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT ... 117
A. Pengertian Filsafat ... 119
B. Filsafat Pancasila ... 121
C. Hakikat Sila-Sila Pancasila 127 BAB 8 PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH KETATANEGARAN INDONESIA ... 132
A. Pengantar ... 132
B. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ... 133
C. Korelasi Pembukaan UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945 139 D. Korelasi Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila ... 140
E. Hubungan antara Pembukaan UUD 1945 dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 ... 141
BAB 9 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA ... 143
A. Apa itu Etika? ... 143
B. Aliran-aliran Besar Etika ... 144
C. Etika Pancasila ... 148
D. Pancasila Sebagai Solusi Persoalan Bangsa dan Negara ... 150
BAB 10 PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU 155 A. Pendahuluan ... 155
B. Ilmu dalam Perspektif hHistoris ... 156
C. Beberapa Aspek Penting dalam Ilmu Pengetahuan ... 161
D. Pilar-pilar Penyangga Bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan ... 163
E. Prinsip-prinsip Berpikir ilmiah ... 164
F. Masalah Nilai dalam IPTEK ... 165
G. Pancasila sebagai Dasar Nilai dalam Strategi Pengembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi ... 170
BAB 11 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI ... 171
A. Pengantar ... 172
B. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan ... 172
C. Gerakan Reformasi ... 176
DAFTAR PUSTAKA ... 179
RIWAYAT PENULIS ... 182
dengan keinginan mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Pandangan yang miring dan sinis serta upaya melemahkan peranan ideologi Pancasila sebagai dasar falsafah negara yang fundamentalis, pasca era reformasi akan berakibat fatal bagi bangsa Indonesia, yaitu lemahnya kepercayaan rakyat terhadap ideologi negara dan kemudian dalam realita kehidupan akan menggoncangkan desintegrasi bangsa. Kondisi ini dapat kita lihat dengan terjadinya kekacauan di beberapa daerah di Indonesia.
Upaya untuk mempelajari, memahami, menghayati serta mengamalkan Pancasila dalam tatanan kehidupan bangsa yang remuk redam seiring bergulirnya reformasi merupakan tugas yang sangat berat bagi bangsa Indonesia. Interpretasi terhadap Pancasila mengalami berbagai macam perkembangan serta dinamika itu sebetulnya justru membuktikan bahwa sifat Pancasila yang terbuka, aktual, dinamis, serta reformatif yang senantiasa dikembangkan selaras dengan aspirasi masyarakat sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena itu perlu kiranya mengkaji Pancasila secara netral dan ilmiah sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa seperti yang diharapkan dan diteladankan oleh para pendiri negara kita.
Proses terbentuknya bangsa Indonesia sebagai negara Republik Indonesia melalui proses sejarah yang panjang. Dimulai zaman Kerajaan Kutai, Sriwijaya, Mataram Kuno, Majapahit, hingga masuknya bangsa lain yang menjajah sertai menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia berjuang untuk menemukan jati diri sebagai suatu bangsa yang merdeka. Dalam hidup berbangsa dan bernegara dewasa ini terutama pasca bergulirnya reformasi, maka bangsa Indonesia harus memiliki visi serta pandangan hidup yang kuat dan kokoh agar tidak terombang-ambing di tengah kancah masyarakat internasional. Pendeknya bangsa Indonesia harus mempunyai nasionalisme serta rasa kebangsan yang kuat. Hal ini akan dapat terlaksana bukan melalui suatu kekuasaan atau hegemoni ideologi melainkan suatu kesadaran berbangsa dan bernegara yang berakar pada sejarah bangsa.
Bangsa Indonesia telah mengalami kejayaan pada masa Sriwijaya dan Majapahit yang dibangun atas dasar modal kekayaan alam (aspek material) dan semangat persatuan (aspek spiritual). Akan tetapi modal dasar ketiga, yakni:
Sumber Daya Manusia (aspek intelektual) belum berhasil diwujudkan. Bahkan hingga bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan yang cukup panjang, masih tetap belum mempunyai sumber daya manusia yang cukup memadai.
Kurangnya aspek intelektual tersebut mengakibatkan kurangnya kemampuamn untuk memberdayakan kekayaan alam secara tepat guna dan kemampuan untuk
pendirian hidup bangsa Indonesia dalam melangsungkan dan mempertahankan eksistensinya terhadap tantangan dunia dalam menghadapi era globalisasi, pasar bebas, dan beserta masalah-masalah lainnya. Sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan sendi dasar dan pedoman bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat. Sebagai falsafah bangsa, maka Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai yang tumbuh dari diri pribadi bangsa Indonesia sebagai kumpulan manusia yang menyatukan diri, dengan demikian Pancasila merupakan pencerminan realitas bangsa Indonesia. Sebagai sesuatu yang berkembang tentunya faktor-faktor ketatanegaraan mempunyai kemungkinan dapat berubah dan bergeser dari isi dan bentuk semula, akan tetapi sepanjang sejarah ketatanegaraan faktor Pancasila belum pernah berubah, faktor Pancasila bersifat tetap dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Berbeda halnya dengan faktor konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, pernah mengalami beberapa kali perubahan atau pergeseran. Sejarah konstitusi kita sejak UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, kemudian diganti dengan konstitusi RIS pada akhir tahun 1949, dan delapan bulan kemudian diganti dengan UUDS 1950, kemudian kembali lagi ke UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan sekarang dengan bergulirnya reformasi pada akhir abad ke-20, maka UUD 1945 telah diamandemenkan (4 tahap dari tahun 1999 hingga 2002) walaupun masih muncul lagi tuntutan untuk amandemen ulang, bahkan adapula yang menginginkan kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen.
Eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia telah mengalami berbagai macam interpretasi dam manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi mempertahankan kekuasaan dengan berlindung di balik legitimasi ideologi Pancasila. Singkatnya Pancasila tidak diposisikan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara melainkan direduksi, dibatasi, dan dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa.
Seiring berjalannya reformasi di Indonesia, maka monopoli Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa secara absolut sebagai satu-satunya azas tunggal di Indonesia harus diakhiri. Imbas yang dirasakan dunia pendidikan khususnya Perguruan Tinggi mempunyai tugas yang sangat berat, yaitu harus mengkaji dan memberikan pengetahuan kepada peserta didik terutama kalangan mahasiswa untuk benar-benar mampu memahami Pancasila secara ilmiah dan objektif tanpa muatan kepentingan politik tertentu. Muncul anggapan dari banyak kaum elit politik dan masyarakat yang beranggapan bahwa Pancasila merupakan label Orde Baru, sehingga mengembangkan serta mengkaji Pancasila dianggap identik
Bab 1
Pengantar
Undang-undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, secara eksplisit juga menyebutkan bahwa terkait dengan kurikulum nasional setiap perguruan tinggi wajib menyelenggarakan mata kuliah kepribadian, yakni: Pancasila, Kewarganegaraan, Agama, dan Bahasa Indonesia.
Apabila dilakukan jejak pendapat dikalangan mahasiswa biasanya mereka cenderung tidak menyukai empat mata kuliah yang dikenal sebagai Mata Kuliah Kepribadian (MPK) ini. Beberapa alasannya adalah pertama, mata kuliah ini bukan mata kuliah sesuai dengan bidang studi mereka, kedua, materinya tidak up to date, hanya mengulang apa yang pernah mereka dapatkan di jenjang pendidikan sebelumnya, ketiga, metode pembelajarannya yang tidak variatif dan inovatif sehingga menimbulkan kebosanan.
Alasan yang pertama perlu diberikan penjelasan kepada mahasiswa bahwa mempelajari ilmu sesuai dengan bidangnya saja tidaklah cukup untuk bekal ketika mereka lulus kuliah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 60% keberhasilan seseorang tidak ditentukan pada penguasaan bidang ilmunya, namun pada kepribadiannya. Dengan menyadari pentingnya kepribadian ini diharapkan mahasiswa lebih tertarik pada mata kuliah ini.
Alasan kedua yaitu materi tidak up to date sebenarnya hal ini lebih terkait dengan masalah SDM (dosen pengampu). Bahan-bahan pendukung perkuliahan yang terkait dengan Pancasila sangat banyak. Tulisan dalam jurnal, majalah, buku maupun internet sangat mencukupi untuk digunakan sebagai bahan ajar.
Persoalan sebenarnya juga tidak dapat ditimpakan sepenuhnya kepada dosen karena realitas di lapangan jumlah dosen Pancasila sangat terbatas, sehingga yang terjadi satu dosen dapat mengajar banyak kelas atau dosen yang tidak
berkompeten mengajar Pancasila. Persoalan materi terkait pula dengan metode pembelajaran yang berujung pada SDM juga. Sehinggga perlu kiranya kedepan dilakukan up grading bagi pengajar Pancasila dan pelatihan untuk calon dosen pengajar Pancasila.
Panduan umum tentang bagaimana mengajarkan Pancasila kepada mahasiswa tentu sangat dibutuhkan baik untuk dosen pengampu maupun mahasiswa. Buku ini sudah memilahkan antara Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan yang sebelumnya dijadikan satu, sehingga memperjelas pokok bahasan apa saja yang perlu disampaikan kepada mahasiswa terkait dengan Pendidikan Pancasila ini. Selain itu gambaran tentang metode pembelajaran juga diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk dikembangkan lebih lanjut.
Gerakan untuk merevitalisasi Pancasila saat ini semakin menunjukkan gejala yang menggembirakan. Forum-forum ilmiah di berbagai tempat telah diselenggarakan baik oleh masyarakat umum maupun kalangan akademisi. Tidak terkecuali lembaga negara yaitu MPR mencanangkan empat pilar berbangsa yang salah satunya adalah Pancasila. Memang ada perdebatan tentang istilah pilar tersebut, karena selama ini dipahami bahwa Pancasila adalah dasar negara, namun semangat untuk menumbuhkembangkan lagi Pancasila perlu disambut dengan baik.
Indonesia adalah negara besar. Wilayahnya mencakup seluas ± 5,2 juta km2 terbentang dari Sabang hingga Merauke. 65% wilayah Indonesia terdiri atas perairan/lautan, sedangkan 35% berupa daratan yang terdiri atas 17.506 pulau besar maupun kecil. Negeri yang subur kang sarwo tinandur gemah ripah lohjinawi tata titi tentrem karta raharja. Penggambaran tanah Indonesia yang subur seperti diungkapkan subur kang sarwo tinandur “dapat membuat tongkat kayu dan batu pun dapat menjadi tanaman”. Negara yang dihuni oleh beraneka ragam penduduk, dengan perbedaan suku, etnis, bahasa, dan golongan. Oleh karena itu tepatlah kiranya semboyan Bhinneka Tunggal Ika dicanangkan sebagai persatuan bagi bangsa Indonesia yang memang multi etnis dan kultur ini.
Pada kenyataannya, memang bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar.
Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur; Indonesia tercatat sebagai negeri yang besar kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Nusantara dan beberapa bagian di Semenanjung Malaka. Kebesaran Indonesia ditandai dengan wilayah laut dan daratan yang sangat luas, dan masing-masing memberikan kekayaan alam yang
melimpah-ruah. Dua bentuk wilayah itu pula yang menempatkan Indonesia sebagai “negara bahari” dan negara agraris” sekaligus.
Pancasila merupakan Ideologi Negara Republik Indonesia, secara resmi Pancasila ditetapkan sebagai Ideologi Negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh para pemimpin Indonesia pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 1945 yang pada akhirnya memperoleh kesepakatan. Kesepakatan ini merupakan konsensus nasional pertama bangsa Indonesia yakni menetapkan Pancasila sebagai dasar bagi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Konsensus nasional tersebut merupakan hasil puncak yang gemilang sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia pada waktu mendirikan Negara Indonesia. Teks Pancasila yang diakui oleh negara tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, kemudian diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7
Ditempatkannya Pancasila dalam Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Dasar Negara Indonesia, maka Pancasila mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai pokok kaidah negara yang fundamental bagi negara. Dengan kedudukan dan fungsi yang demikian, maka Pancasila merupakan faktor utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Di samping faktor utama Pancasila di dalam sistem ketatenegaraan Indonesia terdapat faktor Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, membicarakan kehidupan ketatanegaraan Indonesia tidak dapat lepas harus juga membicarakan faktor Pancasila dan UUD 1945.
Pancasila dan UUD 1945 tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain dalam teori maupun dalam praktek ketatanegaraan. Di satu pihak Pancasila sebagai sistem dasar dan merupakan landasan ideal, maka di lain pihak UUD 1945 adalah sub sistem dari Pancasila yang merupakan landasan struktural dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Pancasila merupakan faktor utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, maka mekanisme penyelenggaraan Negara Indonesia haruslah didasarkan dan diukur dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Dalam arti Pancasila menjadi dasar seluruh Peraturan Perundang-undangan yang mengarus segala segi kehidupan di dalam negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, merupakan pedoman yang tertinggi dan kaidah dasar Hukum Nasional.
Sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa Pancasila mencakup kesatuan integral norma-norma fundamental bangsa Indonesia, yakni suatu keyakinan dan
Beliau juga memaparkan bagaimana teori berdirinya suatu negara yaitu:
1. Teori Individualistik yaitu negara didirikan oleh individu-individu dengan tujuan untuk kesejahtraan individu-individu yang ber- sangkutan. Dalam memimpin pemerintahan mereka menunjuk orang perorangan dengan mengadakan kontrak politik dan sosial dengan individu-individu itu apabila dilanggar perjanjiannya maka harus diganti.
2. Teori Golongan (class theory) yaitu negara didirikan oleh golongan yang ekonominya kuat untuk menumpas golongan ekonomi yang lemah. Menurut teori ini negara dan pemerintahan tidak akan stabil karena golongan yang ditindas pasti akan menyusun kekuatan untuk menurunkan golongan yang berkuasa.
3. Teori Integralistik yaitu negara didirikan oleh semua lapisan masyarakat dengan tujuan untuk mencapai kesejahtraan bersama. Menurut Drs.
Moch. Hatta teori ini yang paling tepat bagi bangsa Indonesia.
c. Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945)
Soepomo dalam usulannya menyebutkan syarat mutlak suatu negara harus meliputi; rakyat, wilayah, pemerintah, dan ideologi (konstitusi dan pandangan hidup). Dengan menyebutkan beberapa teori negara, salah satu yang patut menjadi catatan adalah paham negara integralistik;
menurut paham ini negara bukanlah untuk menjamin seseorang atau golongan akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat secara keseluruhan sebagau suatu kesatuan yang integral. Dengan demikian yang terpenting dalam suatu negara adalah penghidupan bangsa seluruhnya, negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat atau besar, tidak memandang kepentingan seseeorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup bangsa keseluruhan sebagai satu kesatuan yang utuh.
Kemudian Soepomo mengemukakan tiga permasalahan, yakni: 1) Persatuan Negara, Negara Serikat Persekutuan Negara, 2) Hubungan antar negara dan agama, dan 3) Republik atau Monarkhi. Akhirnya disekapati dalam persidangan, bahwa; disetujui negara nasional, menolak negara federal, kepala negara adalah pemimpin negara dan rakyat seluruh negara, dan negara bersifat kekeluargaan.
Kaitannya dalam dasar filsafat Negara Indonesia, Soepomo
2. Memberikan pemahaman dan penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai dasar Pancasila kepada mahasiswa sebagai warga negara Republik Indonesia, serta membimbing untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Mempersiapkan mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui sistem pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
4. Membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kecintaan pada tanah air dan kesatuan bangsa, serta penguatan masyarakat madani yang demokratis, berkeadilan, dan bermartabat berlandaskan Pancasila, untuk mampu berinteraksi dengan dinamika internal dan eksternal masyarakat bangsa Indonesia.
C. Capaian Pembelajaran
1. Memiliki kemampuan analisis, berpikir rasional, bersikap kritis dalam menghadapipersoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Memiliki kemampuan dan tanggung jawab intelektual dalam mengenali masalah-masalah dan memberi solusi berdasarkan nilai-nilai Pancasila 3. Mampu menjelaskan dasar-dasar kebenaran bahwa Pancasila adalah
ideologi yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang majemuk (Bhinneka Tunggal Ika).
4. Mampu mengimplementasikan dan melestarikan nilai-nilai Pancasila dalam realitas kehidupan
5. Memiliki karakter ilmuwan dan profesional Pancasilais yang memiliki komitmen atas kelangsungan hidup dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bab 3
PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia sebelum disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, nilai-nilainya telah lama mengendap dalam kehidupan bangsa Indonesia, jauh sebelum bangsa Indonesia mendirikan negara. Nilai-nilai tersebut berwujud dalam adat-istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius yang telah melekat dan diamalkan dalam kehidupan sehari- hari sebagai pandangan hidup.
Proses terbentuknya negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang, yakni sejak zaman batu (prasejarah) hingga kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke-4, ke-5, dan kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai tampak pada abad ke-7, yaitu saat munculnya kerajaan Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra di Palembang, dan puncaknya pada zaman Majapahit abad ke-13 hingga sampai awal abad ke-16.
Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modern dirintis oleh para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh para tokoh pejuang Kebangkitan Nasional tahun 1908, akhirnya dicetuskan pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, dan puncaknya tercapainya pendirian Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, yakni; Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Presiden Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”,
tersebut oleh Bung Karno sering disingkat dengan istilah sosio Nasionalisme dan sosio Demokrasi. Faham itu tidak berubah sampai pada sidang-sidang BPUPKI.
Namun ketika Bung Karno mendengar usulan dari golongan Islam, antara lain seperti disampaikan oleh Ki Bagus Hadikusumo, Bung Karno sadar bahwa apa yang menjadi gagasannya tersebut baru dapat diterima oleh kedua belah pihak manakala ide-ide yang ada dalam faham Marhaenisme tersebut disintesakan atau dipadukan (dikonversikan) dengan usulan dari pihak Islam. Dari inilah Bung karno mencoba memadukan empat sila dari Marhaenisme dengan intinya ajaran Islam yang tidak lain adalah ajaran tauhid atau keyakinan bahwa Allah itu satu dalam (being, substance), kekuasaan dan Keagungan-Nya, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian seseungguhnya Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Bung Karno dijadikan sila penyempurna dari empat sila yang terlebih dahulu telah dirumuskan, dan oleh karena itu dapat dipahami pula jika kemudian oleh Bung Karno diletakkan pada urutan yang kelima.
Dari penjabaran tersebut dapat dipahami bahwa esensi sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada hakikatnya diadopsi dari inti ajaran Islam, dalam hal ini pengertian Ketuhanan benar-benar “... has basically a Muslim background”.
Dengan menelaah uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tanggal 1 Juni 1945 tercatat sebagai tanggal lahirnya Pancasila kurang tepat, sebab pada waktu itu Pancasila masih berupa konsep atau rancangan untuk diusulkan menjadi Dasar Negara Republik Indonesia.
1. Sidang BPUPKI Pertama
Sidang pertama BPUPKI dilaksanakan selama empat hari, berturut-turut yang tampil menyampaikan pidato usulan dasar negara adalah: tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin, 31 Mei 1945 Prof. Soepomo, dan 1 Juni 1945 Ir.
Soekarno. Secara historis proses perumusan Pancasila dapat dijelaskan secara singkat, adalah sebagai berikut.
a. Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945)
Pada sidang I BPUPKI Muhammad Yamin mendapat kesempatan untuk menyampaikan pemikirannya tentang dasar negara sebagai pondasi falsafah negara yang terdiri atas lima dasar, yaitu; 1) Peri Kebangsaan, 2) Peri Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan, 4) Peri Kerakyatan, dan 5) Kesejahteraan Rakyat.
b. Drs. Muh Hatta
Drs. Moh. Hatta pada tanggal 30 Mei 1945 menyampaikan saran dan pendapatnya yaitu jangan mendirikan negara dengan satu agama.
sangat disayangkan dari segi sejarah, bahwa fakta sejarah yang menyangkut dokumen sidang-sisdang BPUPKI hasil dari para steniograf yang memuat seluruh pembicaraan yang berlangsung dalam sidang telah hilang, sehingga bilamana seseorang yang ingin mempelajari sejarah sekitar sidang BPUPKI tidak akan dapat menemukannya kembali kecuali satu-satunya sumber yang ada adalah buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 karya Muhammad Yamin.
Seluruh berkas hasil rumusan notulen sidang BPUPKI diminta oleh Muhammad Yamin (ketika menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) untuk diterbitkan, memang benar diterbitkan dengan judul seperti tersebut di atas.
Akan ttapi sayangnya berkas yang sangat berharga tersebut oleh Muhammad yamin tidak dikembalikan atau diserahkan kepada Lembaga Arsip Nasional guna dijadikan data sejarah. Selanjutnya Bung Hatta menerangkan bahwa “...
kemudian (setelah meninggal) isterinya saya kirimi surat, Hutasoit juga, tetapi isterinya mengatakan tidak ada lagi dan tidak tahu lagi bundel itu (Hatta, 1977:
104-105).
Muhammad Yamin menyatakan dalam bukunya bahwa gagasan tentang Pancasila pertama kali disampaikan dalam pidatonya pada sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945. lebih menarik lagi justru rumusan kelima sila Muh. Yamin lebih mirip dengan rumusan Pancasila 18 Agustus 1945 dibandingkan rumusan Bung Karno. Terhadap hal ini Bung Hataa menyatakan “... sepengetahuan saya pidato Pancasila yang pertama kali Bung Karno, bukan Yamin, kalau dia lebih dahulu tentu saya ingat bahwa itu (pidato Bung Karno sekedar) ulangan” (Hatta, 1977: 100-101). Menurut Bung Hatta, pengakuan Yamin bahwa dirinya yang pertama kali pidato tentang Pancasila dalam sidang BPUPKI tidak benar.
Naskah yang diklaim sebagai pidatonya di depan sidang BPUPKI sesungguhnya merupakan hasil rumusan Pendahuluan yang dibuat Yamin atas permintaan Panitia Sembilan, yang isinya mirip dengan pidato Bung Karno (1 Juni 1945), kemudian hasil rumusan tersebut dimasukan dalam buku naskah Persiapan UUD 1945, dengan pengakuan bahwa teks tersebut merupakan pidatonya di depan sidang BPUPKI yang disampaikan pada tanggal 29 Mei 1945.
Dilihat dari kepentingan golongan Kebangsaan yang menghendaki dasar negara diletakkan di atas dasar sekularisme, sesungguhnya keinginan seperti ini telah terwakili dengan baik dalam Marhaenisme yang dikembangkan oleh Bung Karno sejak tahun 1927. Marhaenisme ditegakkan di atas empat pilar (empat sila), yakni Insternasionalisme atau Peri Kemanusiaan, nasionalisme atau Peri Kebangsaan, Demokrasi, dan Kesejahteraan Sosial. Keempat pilar
yang bermakna, “sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu “sejarah merupakan guru kehidupan”. Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita.
Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan cita- cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989:
64). Pentingnya cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya sepanjang masa. Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “confirm and deepen” identitas Bangsa Indonesia.
Ia lebih dari itu. Ia adalah identitas Bangsa Indonesia sendiri sepanjang masa.
Sejak Pancasila digali kembali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka ia membangunkan dan membangkitkan identitas yang dormant, yang “tertidur” dan yang “terbius” selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
Proses terbentuknya negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang, yakni sejak zaman batu (prasejarah) hingga kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke-4, ke-5, dan kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai tampak pada abad ke-7, yaitu saat munculnya kerajaan Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra di Palembang, dan puncaknya pada zaman Majapahit abad ke-13 hingga sampai awal abad ke-16.
Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modern dirintis oleh para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh para tokoh pejuang Kebangkitan Nasional tahun 1908, akhirnya dicetuskan pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, dan puncaknya tercapainya pendirian Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, yakni; Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dr. Radjiman Wediodiningrat, selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka, permintaan
itu menimbulkan rangsangan anamnesis yang memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang; hal ini mendorong mereka untuk menggali kekayaan keruhanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam lumpur sejarah (Latif, 2011: 4).
Begitu lamanya penjajahan di bumi pertiwi menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah dalam menentukan dasar negaranya. Dengan permintaan Dr.
Radjiman inilah, figur-figur negarawan bangsa Indonesia berpikir keras untuk menemukan kembali jati diri bangsanya.
Bangsa Indonesia semakin menyadari bahwa untuk mengusir penjajahan tidak cukup hanya dengan cara mengadu kekuatan fisik saja, akan tetapi perlu adanya cara yang lebih teratur dan terkoordinir serta terpadu. Betapapun ketatnya Belanda menekan bangsa Indonesia agar tetap bodoh, tetapi terbuka juga peluang bagi sekelompok kecil orang Indonesia memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, dari sekelompok kecil yang berpendidikan inilah yang kemudian menggelorakan semangat kebangkitan bangsa.
Pada awal dekade abad ke-20 panggung politik internasional terjadi pergolakan kebangkitan Dunia Timur, yaitu kesadaran akan kekuatan sendiri.
Philipina (1898) yang dipelopori oleh Joze Rizal, kemenangan Jepang terhadap Rusia di Tsunia (1905), Partai Konggres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, China dengan gerakan Sun Yat Sen (1911), dan Indonesia bergolak kebangkitan akan kesadaran berbangsa yang dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo, maka tanggal 20 Mei 1908 lahirlah Boedi Oetomo. Gerakan ini merupakan awal gerakan nasional untuk mewujukan suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan bernegara.
Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908, ini merupakan pelopor pergerakan nasional dan merupakan perhimpunan modern pertama di Indonesia yang dibentuk oleh mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau sekolah untuk mendidik dokter bumi putera oleh Soetomo, dkk). kelahiran Budi Utomo merupakan fenomena dari sebuah proses awal lahirnya nasionalisme Indonesia. Proses kelahiran suatu nasionalisme yang tumbuh dan berakar pada kesadaran akan harga diri serta martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, baik sebagai makhluk indidivu maupun sosial.
Proses ini dimulai dengan kesadaran pentingnya sebuah organisasi perjuangan, dalam hal ini pendidikan merupakan sasaran utama untuk dapat meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, kepada para pelajar dan mahasiswa di luar negeri, oleh para tokoh Budi Utomo diminta untuk dapat membentuk cabang- cabang di negara tempat mereka melanjutkan studinya.
satu pemerintah yang adil dan bijaksana berdasar budi pekerti yang luhur bersendikan permusyawaratan dan putusan rapat, luas berlebar dada, serta tidak memaksakan agama. Kalau benar demikian, dirikanlan pemerintah itu atas Agama Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaian sifat-sifat itu (Ki Bagus Hadikusumo, tt: 13).
Di bagian lain pada pidatonya yang sama Ki Bagus Hadikusumo menyatakan
“... oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia yang asli dan murni, belum ada campurannya, dan sebagai seorang muslim, yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka, maka supaya negara Indonesia itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat, dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam. Sebab itulah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak, sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi. Janganlah hendaknya jiwa yang 99% dari rakyat itu diabaikan saja tidak diperdulikan (Ki Bagus Hadikusumo, tt, 21-22).
Di lain pihak golongan kebangsaan mengusulkan agar negara Indonesia ditegakkan di atas dasar kebangsaan, suatu dasar yang oleh Soepomo dikatakan dapat “... mengatasi segala golongan dan segala orang seorang, mempersatukan diri dengan lapisan rakyat seluruhnya” (Yamin, 1971: 114). Khususnya dalam hubungan antara agama dan negara, dari sebagian golongan kebangsaaan (nasionalis) mengusulkan agar supaya antara keduanya dipisahkan secara tegas, sebagaimana diusulkan oleh Bung Hatta dalam sidang BPUPKI agar “Negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari ururan agama (Yamin, 1971: 11).
Menanggapi usulan dari golongan nasionalis sekuler tersebut, Ki Bagus Hadikusumo menangkis dengan telak sambil mengutip kata-kata salah seorang anggota BPUPKI yang secara terang-terangan memperlihatkan ketidaksetujuannya terhadap usulan negara yang didasarkan pada asas Islam. Ki Bagus Hadikusumo menyatakan “... terpenting dibicarakan ialah tentang dasar negara kita, pakah negara kita ini akan didasarkan Kebangsaan atau Agama?
Pembicara tidak setuju kalau negara berdasarkan Agama. Katanya sebab peraturan agama tidak cukup lagi untuk mengatur negara, dan lagi katanya agama itu tinggi dan suci, jadi agar supaya tetap terus suci janganlah agama campurkan dengan urusan negara (Ki Bagus Hadikusumo, tt: 14).
Usulan tetang dasar negara, baik yang berasal dari golongan Kebangsaan maupun golongan Islam secaras berturut-turut disampaikan di muka sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. satu hal yang
Enam puluh anggota biasa (Iin) bangsa Indonesia tersebut (tidak termasuk Ketua dan Ketua Muda) adalah tokoh-tokoh nasional yang dianggap representatif mencerminkan perwakilan dari berbagai kekuatan sosial politik yang ada pada waktu itu. Semuanya yang menjadi anggota BPUPKI ini berdomisili di Jawa, karena badan penyelidik ini diadakan oleh Saikoo Sikikan Jawa. Selain 60 anggota BPUPKI seperti tersebut di atas, terdapat juga 7 orang Jepang sebagai anggota (Tolchah Mansur, 1977: 13). Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa rumusan mengenai syarat menjadi Presiden pada UUD 1945 (sebelum amandemen) pasal 6 menyatakan: Presiden ialah orang Indonesia asli (JCT Simorangkir, 1984: 12).
Secara historis berarti Pancasila dari sudut pandang keruntutan proses perumusan Pancasila, diawali dari sidang BPUPKI, pernyataan proklamasi kemerdekaan, dan yang terakhir adalah pada saat pengesahan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, termasuk Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat rumusan lima prinsip sebagai dasar negara yang kemudian dikenal dengan nama Pancasila.
Namun apabila ditinjau dari segi aksentuasi perjuangan serta motif- motif yang melatar belakanginya ternyata bangsa Indonesia mengelompok dalam dua golongan besar, yang oleh Bung Karno disebut sebagai golongan Kebangsaan/Nasionalis dan golongan Islam. Memang bila kita tidak hati-hati dalam mensikapi penyebutan istilah seperti disebutkan oleh Bung Karno, maka seolah-olah golongan Islam tidak berjiwa nasionalis. Tentunya akan lebih netral bila penggolongan tersebut disebut misal dengan istilah golongan nasionalis sekuler dan golongan nasionalis muslim.
Perbedaan persepsi dan pendapat dari dua kelompok itu termanifestasikan juga dalam sidang-sidang BPUPKI, terutama pada saat Badan ini membahas tentang dasar negara. Kedua golongan ini saling mengemukakan aspirasi ideologi masing-masing dengan warna yang sangat berbeda. Golongan Islam mengusulkan kepada sidang agar supaya negara Indonesia Merdeka yang sedang digagaskan bersama ideologi negara yang akan dibentuk kelak berlandaskan Islam dengan disertai alasan bahwa mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam.
Salah seorang tokoh yang mengusulkan Islam dijadikan dasar negara tercatat nama Ki Bagus Hadikusumo pada saat itu beliau menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dengan penuh keyakinan dalam sidang BPUPKI Ki Bagus Hadikusumo menyatakan ‘Tuan-tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya
Namun kelahiran Budi Utomo juga menimbulkan reaksi dari kalangan priyayi birokrasi, baik golongan ningrat maupun aristrokrat feodal. Bentuk reaksi atas kekhawatiran adanya ancaman bagi status sosial ekonomi, bahkan politik mereka dengan munculnya gerakan Budi Utomo ini.
Perkembangannya Budi Utomo mengalami hambatan dalam memobilisasi massa, karena keanggotaannya terbatas pada kalangan priyayi Jawa. Sifat gerakan juga cenderung moderat, evolusioner, bahkan kooperatif pada pemerintah Belanda. Kondisi ini menimbulkan kecemburuan di kalangan kultur daerah lain dan tataran subkultur priyayi. Kemudian melahirkan reaksi untuk mendirikan organisasi pergerakan yang beridentitas golongan maupun daerah, sehingga lahirlah organisasi-organisasi seperti Jong Sumatera, Jong Sunda, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan lain sebagainya (Sartono Kartodirdjo, 1993).
Kemudian setelah itu muncul organisasi-organisasi pergerakan lainnya.
Seperti misal, Sarekat Islam (SI) tahun 1912 dikomandani oleh Haji Oemar Said Cokroaminoto. Pergerakan ini sebetulnya berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905 yang didirikan oleh Haji Samanhoedi. Oerientasi pergerakannya berkiprah melalui perdagangan, sebagai reaksi terhadap sistem monopoli ekonomi kolonial Belanda. SDI berusaha membawa perjuangan Indonesia dan mengangkat harkat dan martabat bangsa dengan menumbuhkan derajat ekonomi bangsa pribumi. SDI ini dilebur menjadi Sarekat Islam dan mengubah konsep pergerakan menjadi gerakan sosial-politik, Sarekat Islam berusaha menumbuhkan nasionalisme terhadap realitas masyarakat Indonesia.
Pada awal perkembangannya, Sarekat Islam menjadi “gelombang besar”, organisasi ini mampu memobilisasi massa secara besar-besaran, dari kota sampai ke pelosok pedesaan. Mobilisasi menjadi semakin besar, ketika Islam dijadikan sebagai ideologi pergerakan. Semangat relegius tidak saja mampu melebarkan sayap pergerakan dengan semakin banyaknya cabang-cabang Sarekat Islam di seluruh pelosok Indonesia, akan tetapi juga menjadi ruh pergerakan. Konsep nasionalisme yang didorong di atas semangat religius ternyata lebih mendapatkan tempat di hati rakyat Indonesia.
Organisasi pergerakan ini kemudian menjadi gerakan nasional secara total, sehingga mampu mengembangkan misi gerakan kebangsaan untuk menentukan nasibnya sendiri. Pada konggres pertamanya di Bandung, pergerakan ini telah berani mengajukan tuntutan “Indonesia Merdeka”, ini merupakan inti aspirasi masyarakat Indonesia. Pergerakan SI ini memberi pengaruh terhadap gerakan- gerakan nasional yang lahir kemudian, pengaruh ini dapat terlihat dari beberapa
organisasi yang lahir kemudian mempergunakan bagian-bagian dari lambang SI sebagai gambar atau lambang organisasi pergerakan tersebut.
Sebetulnya, SI adalah organisasi pergerakan yang lebih tepat dipergunakan sebagai dasar dan tonggak Kebangkitan Nasional, sebab selain lahir lebih dahulu dibanding BU, yakni pada tahun 1905, juga pengaruhnya lebih kuat dan luas. SI berdiri atas semua golongan masyarakat, sementara BU hanya tampil mewakili golongan priyayi Jawa. Sesungguhnya BU inilah yang menimbulkan
“kecemburuan” daerah-daerah lain, dan mengakibatkan berdirinya organisasi- organisasi yang bersifat kedaerahan.
Tahun 1912 lahir perkumpulan Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan, tahun 1913 muncul Indische Partij yang dipimpin oleh tiga serangkai, yaitu Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (kemudian dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara) tetapi sejak dari awal munculnya gerakan ini bersifat radikal akibatnya para pelopor pergerakan tersebut dibuang ke luar negeri. Kemudian lahirlah organisasi-organisasi lainnya, seperti Partai Komunis Indonesia (1921), Nahdatul Ulama (1926), Taman Siswa, dan lain sebagainya.
Gerakan-gerakan tersebut yang semula bersifat lokal, kemudian menjadi gerakan nasional dan meliputi seluruh bidang, misal pendidikan, sosial, kebudayaan, agama, dan politik. Gerakan itu pada dasarnya sama tujuannya yaitu mempelopori perjuangan untuk merebut kembali kemerdekaan bangsa Indonesia, dan melenyapkan penderitaan rakyat yang selama ini mereka rasakan
Setelah terjalin koordinasi yang baik dan teratur, maka perjuangan pergerakan ditingkatkan untuk merebut kemerdekaan dengan tegas dan jelas. Maka lahirlah gerakan-gerakan seperti Partai Nasional Indonesia (1927) yang dipelopori oleh Soekarno, Cipto Mangunkusumo, Sartono, dan tokoh-tokoh lainnya, partai ini bersikap non kooperatif.
Politik devide et empera yang diterapkan oleh Kolonial Belanda menjadi strategi yang ampuh untuk menaklukan wilayah Nusantara. Beberapa perlawanan yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia tidak saja bercorak kedaerahan.
Akan tetapi, juga diawali dengan perpecahan antara bangsa sendiri. Beberapa kasus tentang perpecahan itu, seperti: Perang Aceh didahului oleh pertentangan antarsuku; perang di Sumatera Barat didahului dengan pertentangan antara kaum ulama (Paderi) di bawah pimpinan Imam Bonjol dengan kaum adat, dan kasus-kasus lainnya. Perlawanan-perlawanan di tempat lain juga tidak jauh
1. Ir. Soekarno 2. Mr. Muh. Yamin
3. Dr. R. Kusumah Atmaja 4. R. Abdulrahim Pratalykrama 5. R. Aris
6. KH. Dewantara 7. Ki Bagus Hadikusuma 8. BPH Bintoro
9. Abdul Kahar Moezakir 10. BPH Poerbojo
11. RAA Wiranatakoesoema
12. Ir. R. Asharsoetedjo Moenandar 13. Oeij Tjiang Tjoei
14. Drs. Moh. Hatta 15. Oei Tjong Hauw 16. H. Agus Salim
17. M. Soetardjo Kartohadikusumo 18. RM. Margono Djojohadikusumo 19. KH. Abdul Halim
20. KH. Masjkoer 21. R. Soedirman
22. Prof. Dr. PAH. Djayadiningrat 23. Prof. Dr. Soepomo
24. Prof. Ir. R. Roeseno 25. Mr. Raden Panji Singgih 26. Mr. Ny. Maria Ulfah Santoso 27. RMT. A Soerjo
28. R. Ruslan Wongsokusumo 29. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo 30. Ny. RSS. Soemario
Mangunpoespito
31. Dr. R. Boentaran Martoatmodjo
32. Liem Koen Hian 33. Mr. J. Laturharhary 34. Mr. R. Hindromartono 35. R. Soekardjo Wirjopranoto 36. Hadji Ahmad Sanoesi 37. AM. Dasaat
38. Mr. Tan Eng Hoa 39. Ir. RMP. Soerachman
Tjokroadisurjo
40. RAA Soemitro Kolopaking Purbonegoro
41. KRMT H. Woerjaningrat 42. Mr. Ahmad Soebardjo 43. Prof. Dr. Djenal Asikin
Widjajakoesoema 44. Abikoesno Tjokrosujoso 45. Parada Harahap 46. Mr. RM Sartono 47. KH. Mas Mansoer
48. Drs. KRMA. Sosrodiningrat 49. Mr. Soewandi
50. KHA. Wachid Hasjim 51. PF. Dahler
52. Dr. Soekiman
53. Mr. KRMT Wongsonegoro 54. R. Otto Iskandar Dinata 55. A. Baswedan
56. Abdul Kadir 57. Dr. Samsi 58. Mr. AA Maramis 59. Mr. Samsoedin 60. Mr. R. Sastromoeljono
A. Pancasila Pra Kemerdekaan
Kelahiran Pancasila sebagai Dasar Negara diawali pada masa akhir zaman pendudukan fasisme Jepang di Indonesia. Pada sekitar tahun 1942 kedudukan balatentara Jepang di berbagai medan pertempuran, terutama di Asia Tenggara sudah mulai terdesak, sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Maka mulai saat itu Jepang hanya melakukan sikap defensif dari gempuran pihak sekutu. Dalam kondisi Pemerintahan Pendudukan Jepang seperti itu akhirnya melahirkan perubahan sikap politik terhadap negeri-negeri yang didudukinya, termasuk terhadap bangsa Indonesia. Mulailah pemerintah Jepang melancarkan politik merangkul bangsa-bangsa Asia dengan menjanjikan pemberian kemerdekaan bila bersedia membantu Jepang dalam menghadapi tentara Sekutu. Kondisi yang demikian ini digunakan oleh tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk mendesak Jepang agar bersedia memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Jika sekiranya hal itu belum memungkinkan diharapkan pihak pemerintah pendudukan Jepang melakukan berbagai langkah positif dan konkrit guna mempersiapkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama. Desakan ini ditanggapi secara positif oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Untuk mewujudkan kesediaan itu, maka pada tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Kuniaki Koyso (pengganti Perdana Menteri Tojo) memberikan janji kan menghadiahkan kemerdekaan ‘Indonesia kelak di kemudian hari’, The Japanese Empire (hereby) announce the future independence of all Indonesian people. Sidang Teikuku Gikoi (Parlemen Jepang), akan memberikan keperdekaan kepada bangsa Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Dan untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan janji tersebut, maka pada tanggl 29 April 1945 pemerintah Militer Jepada di Jawa membentuk suatu badan yang diberi nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada tanggal 28 Mei 1945, BPUPKI dilantik oleh Gunseikan (Kepala Pemerintah Bala Tentara Jepang di Jawa). Badan ini beranggotakan enam puluh orang ditambah dengan tiga orang ketua, salah satunya orang Jepang. Tokoh Jepang ini secara resmi ditunjuk oleh pemerintah untuk mewakili Pemerintah Pendudukan Jepang.
Secara rinci keanggotaan BPUKPI adalah sebagai berikut. Ketua (Kaicoo) : Dr.
KRT Radjiman Wedyodiningrat; Ketua Muda (Fuku Kaicoo): Ichibangase (anggota luar biasa / Tolubetsu Iin), dan Ketua Muda (Fuku Kaicoo): RP. Soeroso
Nama-nama anggota BPUPKI menurut nomor duduk dalam persidangan adalah sebagai berikut.
berbeda, kekalahan yang diderita oleh bangsa Indonesia merupakan akibat dari pengkhianatan bangsa Indonesia sendiri.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari perpecahan dan peperangan antar bangsa sendiri, atau setidaknya meminimalisir perpecahan- perpecahan itu, perlu dilakukan persatuan bangsa Indonesia secara bulat. Dari kalangan pemuda tampillah tokoh-tokoh seperti: Muh. Yamin, Wongsonegoro, Kuncoro Purbopranoto, dan tokoh-tokoh lainnya yang merintis kesatuan nasional, sehingga lahirlah konggres pemuda 28 Oktober 1928, akhirnya melahirkan Sumpah Pemuda, yang berintikan: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa ialah Indonesia. Sumpah Pemuda merupakan ikrar dan janji bangsa Indonesia untuk menegakkan semangat nasionalisme, menghilangkan sikap fanatisme kedaerahan dan golongan. Sumpah Pemuda juga menjadi awal perjuangan bangsa Indonesia untuk menunjukan keberadaannya di dunia internasional, sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Bangsa Indonesia dewasa ini terus dihantui oleh lunturnya semangat persatuan dan rongrongan gejala-gejala desintegrasi bangsa, olehkarena itu sangatlah penting untuk merunut dan merenungkan kembali hakikat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang dipelopori oleh para pemuda Indonesia masa itu.
Butir pertama Sumpah Pemuda berbunyi: “Kami Putra-putri Indonesia, Bertanah Air satu tanah Air Indonesia”. Yang dimaksud dengan “tanah air Indonesia” tentunya seluruh tanah bekas jajahan Hindia Belanda yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Gugusan kepulauan yang terbentang di sekitar garis khatulistiwa, yang terapit antara benua Asia dan Australia, dan berada di antara Samudra Pasifik dan Hindia. Oleh karenanya, tanah air Indonesia adalah seluruh bekas jajahan Hindia Belanda sesuai dengan fakta-fakta ketika Sumpah pemuda dikumandangkan. Wilayah ini sebetulnya lebih sempit bila dibandingkan dengan wilayah ‘kebangsaan pertama’ di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Bahkan jauh berkurang dari wilayah ‘kebangsaan kedua’
di bawah panji-panji Kerajaan Majapahit, yang mempunyai wilayah meliputi Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang).
Butir kedua Sumpah Pemuda berbunyi: “Berbangsa satu bangsa Indonesia”, keterpurukan bangsa Indonesia di bawah penjajahan, mengakibatkan bangsa Indonesia nyaris menjadi bangsa kuli dan budak bangsa lain. Masa-masa penindasan/penjajahan inilah yang menjadi awal bangkitnya semangat sebagai suatu bangsa. Seperti disebutkan oleh Ernst Renan, terbentuknya
suatu bangsa memerlukan beberapa syarat; pertama adalah adanya Ledesir d’etree ensemble, yaitu keinginan yang secara sungguh-sungguh untuk bersatu dan selalu bersama-sama. Kelahiran bangsa Indonesia disebabkan oleh latar belakang sejarah yang sama, penderitaan yang sama, dan nasib yang sama.
Lahirnya bangsa Indonesia juga didorong oleh semangat untuk maju bersama, cita-cita dan keinginan yang sama.
Syarat kedua, adalah adanya keinginan untuk mempertahankan kehidupan mereka, warisan sejarah, kenangan masa lalu, nenek moyang dan pendahulunya.
Syarat ketiga, adanya rasa memiliki wilayah yang sama, menempati tanah dan lingkungan yang sama. Nasib mereka sangat bergantung dari keberadaan mereka di tempat mereka hidup, dengan demikian nasib mereka juga sangat bergantung dari tanah air mereka, baik dalam satu suku, satu kelompok, maupun satu bangsa. Baik ditu di masa lalu, masa sekarang, maupun masa yang akan datang. Kepentingan bersama itu juga tidak terbatas pada kepentingan sosial- ekonomi, tetapi juga karena ikatan-ikatan batin, emosional, idealisme dan praktis.
Bagi bangsa Indonesia, semangat satu bangsa itu ditandai oleh satu hubungan antara manusia dengan tanah airnya, antara kehidupan manusia dengan bumi tempat berpijak atau hubungan satu kelompok penduduk dengan tanah airnya. Bangsa ini merupakan kelompok masyarakat yang telah berabad- abad lamanya kehilangan harga diri, kehilangan martabat, juga kehilangan identitas kemudian bangkit bersama-sama menuju sebuah bangsa yang jelas keberadaannya. Syarat keempat, sebagai bangsa seperti juga dikemukakan oleh Douwes Dekker, yakni adanya home-land, satu tanah air yang jelas batas- batas wilayahnya.
Butir ketiga Sumpah Pemuda berbunyi: “Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”.
Berbahsaa satu sesungguhnya tersembunyi arti secara tersurat dan tersirat.
Pengertian Sumnpah Pemuda pada butir ketiga ini cenderung diartikan secara tersurat, sebatas sebagai lingua franca. Padahal ‘berbahasa satu’ secara tersirat justru mempunya makna dan arti yang sesungguhnya, yaitu adanya kesatuan seluruh gugusan kepulauan Nusantara yang sejak awal serajah Indonesia sudah mempunyai bahasa sebagai lingua franca, yaitu bahasa Melayu.
Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan bahasa yang dipergunakan dalam pergaulan maupun perdagangan sejak masa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Tuban, Gresik, dan lain-lainnya di sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16, bahasa perantara yang dipakai oleh para saudagar dan pelaut adalah Bahasa Melayu, bukan Bahasa Jawa Kuno. Demikian juga di
kepulauan alain di Indonesia seperti di Kesultanan Aceh, Tidore, maupun Ternate sebagaimana yang ditemukan dalam catatan perjalanan Tom Pires, bahasa perantara yang dipergunakan di wilayah itu juga menggunakan Bahasa Melayu.
Dengan demikian secara tersirat, pernyataan satu bahasa, bahasa Indonesia adalah menunjukan pengakuan sebagai satu kesatuan bangsa secara hakiki.
Menghadapi munculnya gerakan-gerakan kepartaian yang bersikap non kooperatif tersebut, maka Pemerintah Belanda menanggapi dengan tindakan keras, yaitu menangkap para pemimpin dan kemudian diasingkan. Dalam kondisi yang demikian maka PNI dibubarkan, dan dibentuklah Partai Indonesia disingkat dengan nama Partindo pada tanggal 30 April 1931 di bawah pimpinan Mr. Sartono (kelak kemudian hari dipimpin oleh Soekarno). Disusul golongan demokrat yang lain, antara lain Moh. Hatta dan Sutan Syahrir mendirikan PNI baru, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia tahun 1933.
Kedua organisasi ini (Partindo dan PNI Baru) juga bersifat non kooperatif, tujuannya adalah mencapai Indonesia merdeka menentang imperalisme dan kapitalisme. Organisasi ini berkembang secara pesat, sehingga Pemerintah Belanda berusaha menghalangi dan menentangnya dengan cara menangkap pemimpim-pemimpin organisasi dan membuangnya (dipenjara). Soekarno dibuang ke Flores (1934), kemudian Bengkulu (1938), dan akhirnya Padang (1942); Hatta dan Syahrir dibuang ke Digul (1934), kemudian Bandaneira (Ambon) 1936, dan Sukabumi (1942).
Perjuangan untuk merebut kemerdekaan tidak padam dengan penangkapan- penangkapan para pemimpin pergerakan. Muncullah gerakan-gerakan baru antara lain: Partai Indonesia Raya berdiri tahun 1935, merupakan penggabungan dari Partai Bangsa Indonesia, Budi Utomo, Serikat Sumatera, Serikat Minahasa, Serikat Madura, dan Serikat Ambon dipimpin oleh Dr. Soetomo. Lahir pula Partai Serikat Islam Indonesia dipimpin oleh Abikusno Tjokrosujoso. Gerakan-gerakan yang uncul belakangan pun masih tetap bersikat non kooperatif, meskipun pemimpinnya dibuang akan tetapi gerakan tetap berjalan bahkan ada yang bergerak di bawah tanah.
Memang dengan munculnya kesadaran berbangsa yang dipelopori pada jaman kebangkitan nasional 1908, Pemerintah Belanda mencoba mewadahi kepentingan bangsa Indonesia dengan mendirikan suatu dewan yang lazim dikenal nama Volksraad, tetapi sebenarnya tidak berfungsi sebagai parlemen biasa, sebab jika diperhatikan wakil rakyat Indonesia hanya sedikit yang duduk dalam lembaga ini.