PENDAHULUAN
1.3. Sistem Peradilan Pidana (SPP)
1.3.2. Pendekatan dalam Sistem Peradilan Pidana Dalam perkembangannya sistem peradilan pidana
dalam bekerjanya dapat dilakukan dengan 3 (tiga) bentuk pendekatan, yaitu pendekatan normatif, pendekatan administratif (manajemen), dan pendekatan sosial (so- siologis)46. Pendekatan Normatif memandang keempat komponen dalam sistem peradilan pidana yaitu keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata atau sistem peradilan pidana pada khususnya. Pendekatan administratif (manajemen) memandang keempat komponen
44 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Ibid, hlm. 14, mengutip Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana: Melihat kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batasbatas Toleransi, Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993, hlm. 1
45 Romli Atmasasmita, Ibid, hlm. 15
46 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum), (Bandung:
Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 38-39; lihat pula Romli Atmasasmita, Ibid, hlm. 17
dalam sistem peradilan pidana (keempat penegak hukum) sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut, sistem yang digunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial memandang keempat komponen dalam sistem peradilan pidana (keempat aparatur penegak hukum) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari ke empat komponen (empat aparatur penegak hukum) tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut di atas, meskipun berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, bahkan ketiganya akan saling mempengaruhi dalam menentukan tolak ukur keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan.
Lebih jauh lagi, terkait bentuk pendekatan normatif dalam sistem peradilan pidana dikenal dengan 2 (dua) model yang diperkenalkan oleh Herbert L. Parker. Model ini sebenarnya tidak nampak dalam kenyataan. Namun ini merupakan sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan di berbagai negara.
Pembedaan yang Parker lakukan saat itu sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan struktur masyarakat Amerika Serikat. Pendekatan ini juga dikenal dengan pendekatan dikotomi. Terdapat 2 (dua) model dalam pendekatan dikotomi ini, yaitu crime control model dan due process model. Adapun kedua model tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut47:
47 Ansorie (et al), Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa,
a. Crime Control Model
Model ini didasarkan atas anggapan bahwa penye- lenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas pelaku kriminal (Criminal Conduct) dan ini menjadi tujuan utama dari proses peradilan pidana. Sebab dalam hal ini yang diutamakan adalah ketertiban umum (Public Order) dan efisiensi.48 Dalam model ini berlandaskan prinsip “sarana cepat” (speedy) dan tuntas (finality) dalam rangka pemberantasan kejahatan dan berlaku apa yang disebut “Presumption of Guilty” (asas praduga bersalah), sehingga akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien. Proses penegakan hukum model ini menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa ke arah: (1) pembebasan tersangka dari penuntutan, atau (2) kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah atau (plead of guilty). Crime Control Model merupakan tipe affirmative model, yaitu tipe yang selalu menekankan pada eksistensi dan penggunaan kekuasaan formal pada setiap sudut dari prosedur peradilan pidana. Dalam model ini kekuasaan legislatif sangat dominan.
b. Due Process Model
Dalam model ini muncul nilai baru, yaitu konsep perlin dungan terhadap hak-hak asasi manusia, dan pem- batasan kekuasaan pada peradilan pidana. Oleh karena itu, model ini menempatkan individu secara utuh dan utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewe- nang formal, sangat memperhatikan kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh negara. Proses peradilan dipandang sebagai
1990), hlm. 5, lihat pula Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana:
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Ibid, hlm. 18-21
48 Ansorie (et al), Ibid, hal. 6
coercive (menekan), restricting (membatasi) dan meren- dahkan martabat (demeaning). Jadi, dalam model ini proses peradilan harus dapat dikendalikan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaaan dan sifat otoriter dalam rangka maksimum efisiensi, karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara. Due Process Model merupakan tipe negative model, yaitu tipe yang selalu menekankan pembatasan pada kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan model kekuasaan tersebut. Kekuasaan yang dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif dan selalu mengacu kepada konstitusi.
Selain pendekatan dikotomi di atas, juga terdapat pendekatan trikotomi yang diperkenalkan oleh Denis Szabo, Direktur the International Centre for Comparative Criminology, the University of Montreal, Canada dalam Konferensi UNAFEI di Fuchu, Tokyo, Jepang bulan Desember 1982.49 Terdapat 3 (tiga) model dalam pendekatan trikotomi, yaitu medical model, justice model, serta model gabungan dari preventive model dan justice model. Adapun ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Medical Model
Pendekatan ini berawal dari ajaran Lombroso, yang menyatakan penjahat merupakan seorang yang memiliki kepribadian yang menyimpang, dan disebut sebagai orang yang sakit. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana harus menjadi terapi, sehingga pelaku kejahatan menjadi manusia yang normal. Pemikiran ini diperkuat teori social defence, yang dikemukakan oleh Grammatica yang menyatakan hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang, dalam tulisan berjudul La lotta
49 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 139
contra la pena sehingga seorang pelaku tindak pidana di- inte grasikan kembali dalam masyarakat bukan diberi pidana terhadap perbuatannya,50 dan diperbaharui oleh Marc Ancel.51
b. Justice Model
Model ini melakukan pendekatan pada masalah- masalah kesusilaan, kemasyarakatan dan norma-norma hukum serta pengaruh-pengaruh sistem peradilan pidana.
Pendekatan justice model diperkenalkan oleh Norval Morris, dengan suatu pemikiran yang bertitik tolak pada mekanisme peradilan dan perubahan-perubahan penghukuman. Model ini melakukan re-evaluasi terhadap hasil-hasil administrasi peradilan pidana dan memberikan perhatian khusus pada sanksi pidana, moral dan social cost untuk mencapai tujuan pencegahan dan perlindungan atas masyarakat dari kejahatan.52
c. Model Gabungan dari Preventive Model dan Justice Model
Model ini menitikberatkan pada kompensasi atas korban-korban kejahatan. Dasar pemikiran model ini me- nempatkan negara selain sebagai pemberantas kejahatan dan perlindungan masyarakat juga harus memberikan jami- nan sosial kepada seorang korban kejahatan, sama halnya dengan jaminan sosial yang diperoleh dari pendapatan negara dari sektor pajak. Melalui pendekatan model ini sistem peradilan pidana harus mempertimbangkan faktor financialaccountability.53
50 Barda nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: BP Undip, 1994), hlm. 19
51 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Op Cit, hlm. 139
52 Ibid, hlm. 139
53 Ibid, hlm. 140
Di samping pendekatan dikotomi dan trikotomi, di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mulai dikenal model ketiga sistem peradilan pidana yang disebut Model Kekeluargaan (Family Model), yang diperkenalkan oleh John Griffith. Model ini merupakan reaksi dari adversary model (terkait adversary model akan dijelaskan pada subbab selanjutnya), yang dipandang tidak menguntungkan. Model kekeluargaan menempatkan pelaku tindak pidana tidak sebagai musuh masyarakat, melainkan dipandang sebagai anggota keluarga yang harus dimarahi guna mengendalikan kontrol pribadinya, tetapi tidak boleh ditolak atau diasingkan. Semua dilandasi oleh semangat cinta kasih.54
1.3.3. Sistem Inkuisitur dan Akusatur dalam Sistem