• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Terdahulu

Dalam dokumen implementasi pembelajaran kitab kuning (Halaman 39-44)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Semenjak era ke-20 sampai hari ini, wujud serta bumi pesantren sudah menarik atensi para akademisi buat dijadikan materi riset serta fokus analisis ilmiahnya serta sudah keluar beberapa buatan temuan pesantren dengan bermacam sudut pandangnya. Berkaitan dengan fokus dalam riset ini ialah mengenai manajemen pembelajarannya, penulis paparkan sebagian riset lain sebagai referensi antara lain:

Zamaksyari Dhofir dalam disertasinya yang berjudul Tradisi Pesantren: Kajian Peran Kiai dalam Pemeliharaan Ideologi Tradisional Islam di Jawa (1977-1978) yang telah di terbitkan oleh LP3ES pada tahun 1980 dengan judul Tradisi Pesantren: Riset Mengenai Pemikiran Hidup Kyai.

Riset ini dicoba di 2 pesantren, ialah pesantren Tegalsari di Sidorejo, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Serta Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Penelitian ini mengulas dengan cara rinci andil kyai dalam menjaga serta meningkatkan mengerti Islam konvensional di Jawa yang disebutnya sebagai tradisi pesantren.29 Dalam tulisannya Dhofir pula menyampaikan terdapatnya bermacam berbagai jaringan yang terencana dibentuk oleh para kyai selaku upaya membentengi kultur pesantren itu.

Jaringan itu antara lain berbentuk jaringan transmisi ilmu alhasil membuat

29 Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta:

LP3ES, 2011), 06.

geneologi intelektual, atau jaringan kekerabatan lewat sistem pernikahan yang endegamous.

Disertasi Mastuhu15 yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Yang dilakukan berkisar tahun 1982, yang berlokasi di 6 pesantren, An-Nuqayyah Guluk-Guluk, Salafiyah Syafi’iyah Ibrahimiyah Sukorejo, Darussalam Blok Agung, Tebuireng Jombang, Karang Asem Muhammadiyah Paciran dan di pondok modern Darussalam Gontor. Mastuhu mengungkap tentang metodik didaptik pengajarannya diserahkan dalam wujud sorogan, bandongan, halaqoh, serta mahfudzat atau menghafal.

Sorogan, maksudnya berlatih dengan cara perseorangan dimana seseorang santri berdekatan dengan seseorang guru, terjalin interaksi saling memahami diantara keduanya. Bandongan maksudnya, berlatih dengan cara golongan yang diiringi oleh semua santri. Umumnya kyai memakai bahasa wilayah setempat serta langsung menerjemahkannya perkataan untuk kalimat dari buku yang dipelajarinya. Halaqah, maksudnya dialog buat menguasai buku, bukan buat mempersoalkan mungkin betul salahnya apa-apa yang diajarkan oleh buku, namun untuk menguasai apa arti yang diajarkan oleh buku. Santri percaya kalau kyai tidak hendak mengarahkan perihal yang salah, serta mereka pula percaya kalau isi buku yang dipelajari merupakan betul.

Martin Van Bruinessen16 dalam Buku Kuning, Pesantren serta Tarekat, dari hasil temuan penelitiannya, dirinya membuat statistik tentang kitab kuning sembilan ratus karya berbeda-beda, nyaris lima ratus ataupun

15 Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. (Jakarta: INIS. 1994), 61.

16 Martin Van Bruinessen. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. (Jogjakarta: Gading Publishing.

2012), 151-152.

lebih setengah, ditulis ataupun diterjemahkan oleh malim’ Asia Tenggara.

Mayoritas para malim’ ini menulis dalam bahasa Arab nyaris seratus kepala karangan, ataupun dekat 10 ataupun dekat 10%, ialah karya-karya bahasa Arab ataupun oleh banyak orang Asia Tenggara (ataupun banyak orang Arab yang berdiam di area itu). Semua buku berbahasa Indonesia, tentu saja ditulis orang Asia Tenggara (tertera yang angkatan Arab).

Kajian kitab kuning juga terungkap dari hasil penelitian Karel A Steenbrink,17 Pesantren Madrasah Sekolah, yang didalamnya menguak pengajian buku agama (buku kuning) ini berlainan dengan pengajian al- Qur’an yang sudah dituturkan di wajah. Perbandingan itu bisa diamati dari 3 metode ialah masuk tes, menekuni bahasa arab yang tertata dalam penjelasan pendek yang berupa persamaan bunyi, serta dengan cara perseorangan namun pula dengan cara beregu.

Ronald Alan Lukens-Bul,18 Jihad Pesantren di Mata Antropolog Amerika, dari hasil risetnya di Pondok Pesantren Tebuireng, mengatakan Pembelajaran agama di Tebuireng dikira oleh sebagian golongan bukan yang terbaik. Memanglah, dibanding dengan an-Nur II poin bab selanjutnya, ini kelihatannya sesuai. Mula-mula, Tebuireng memakai hanya separuh kitab kuning bila dibanding dengan An-Nur II. Lebih jauh, 40% buku yang dipakai di Tebuireng merupakan mengenai keterampilan-keterampilan dasar membaca serta menulis bahasa Arab.

Kecenderungan-kecenderungan tentang kekurang efektifan pendidikan agama dan moral diringkas oleh seorang mahasiswa IKAHA yang

17 Karel A. Steenbrink. Madrasah Perguruan Sekolah. (Jakarta: PT Pustaka LP3ES. 1994), 12-15.

18 Ronald Alan Lukens Bull. Jihad Madrasah Di Mata Antropolog Amerika. (Gemamedia. 2014), 182-183.

melanjutkan hidup di pondok. Keluhan-keluhan dari seorang mahasiswa ini adalah cukup normal dan hampir tidak menjamin sebutan seandainya tidak digemakan oleh beberapa guru dan petugas di Tebuireng. Juga, keinginan mahasiswa yang mengeluh dilihat oleh beberapa sebagai sebuah indikasi keruntuhan moral di Tebuireng bentuk sangat jelek di dunia pesantren untuk mengkritisi seorang guru.

Hirohiko Horikoshi,19 Dalam Kyai dan Perubahan Sosial, disamping memfokuskan penelitiannya pada pandangan hidup kyai, juga mengungkap tentang sistem pembelajaran di pesantren lokasi penelitiannya, bahwa pelajaran ngaji diberikan secara tradisional sekelompok santri yang setingkat, mengenakan sarung dan peci, duduk diatas lantai yang tidak beralas dan baca al-Qur’an tidak bersuara kemudian ustadz atau asistennya menerjemahkan kata perkata. Setelah santri sudah dianggap matang, interpretasi atau tafsir ayat-ayat itu diberikan akan tetapi bagi santri tingkat lanjutan, diskusi merupakan bagian yang penting bagi studinya.

Perlu juga menghargai hasil penelitian dari Mardiyah,20 Kepemimpinan kyai dalam memelihara tradisi pesantren, dari berbagai hasil risetnya, sebagian mengungkap sedikit tentang sistem pembelajaran di 3 pesantren lokasi penelitian, diantaranya:

PM Gontor menerapkan proses pembelajaran bagi para santrinya melalui bentuk bimbingan individu, kelompok, maupun klaksikal. Sedangkan pengelolaan pembelajaran tambahan diberikan melalui cara-cara belajar malam (disaat muraja’ah).

19 Hirohiko Horikoshi. Kyai Dan Transformasi Sosial.( Jakarta: P3M. 1987),120-123.

20 Mardiyah. Kepemimpinan KIAI dalam Memelihara Budaya Organisasi. (Malang:

AdityaLMedia Publishing.2014), 477-478.

PP Lirboyo, melalui kelompok belajar santri berdasarkan jenjang kelas dan penentuan kamar berdasarkan daerah tempat tinggal santri, mustahiq memberi tambahan pelajaran melalui pembinaan secara individual bagi santri binaannya, dan sistem musyawarah yang dikoordinasi oleh Majelis Musyawarah (MH3M), serta pendidikan ekstrakurikuler, melalui komputerisasi, pertanian, peternakan dan kewirausahaan, sarana olahraga, dan masjid.

Penelitian selanjutnya sempat penulis lacak pada hasil penelitian Moh Toha, Manajemen Peserta Didik Pada Program Akselerasi Pembelajaran Kitab Kuning Maktab Nubzatul Bayan Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Panaan Palengaan Pamekasan, penelitian ini untuk menguji 2 teori, yaitu teori kebutuhan dari Abraham Maslow, dan teori sosial belajar (social learning) yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Hasil penelitiannya, pertama menekankan pada pelaksanaan manajemen peserta didik di Maktab Nubzatul Bayan dikelola dengan cara pengelola terlebih dahulu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar peserta didik seperti kebutuhan minum, istirahat, perasaan aman, senang, dan sebagainya. Dan kedua, mendukung pelaksanaan manajemen peserta didik adalah pengelompokan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan bimbingan selama 24 jam dari seorang pembimbing. Seluruh kegiatan peserta didik dilaksanakan secara bersama dalam kelompok tersebut, sehingga suasana belajar senantiasa tercipta dalam komunikasi-komunikasi sosial diantara anggota kelompok tersebut. 21

21 Mohammad Toha. Manajemen Peserta Didik Pada Program Akselerasi Pembelajaran Kitab Kuning Maktab Nubzatul Bayan Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Panaan Palengaan Pamekasan. (Surabaya: Disertasi. UINSA.:2015), x.

Dari berbagai macam hasil riset terdahulu yang penulis temukan, dari Zamakhsyari Dhofir, Mastuhu, Martin Van Brunessen, Karel A. Steenbrink, Ronald Alan Lukens-Bull, Hirohiko Horikoshi, bahkan penelitian-penelitian terbaru dari Mardiyah dan Moh Toha, semuanya memang dipastikan memfokuskan diri pada sebuah pesantren (pondok pesantren), walaupun pesantren-pesantren yang dijadikan lokasi penelitian berbeda dan ada yang sama, namun topik dan waktu penelitiannya tidak sama, semuanya hanya mengungkap tentang program pengajaran atau pengajian kitab kuning, maksudnya hanya mengungkap beberapa kitab kuning yang digunakan dan diajarkan di pesantren-pesantren tersebut, dan juga mengungkap metode pembelajarannya (pengajaran), dan pada penelitian terakhir dari Moh Toha, juga masih memfokuskan kajiannya pada ranah pengelolaan peserta didik dalam belajar kitab kuning.

Pada kajian penulis, tentang Implementasi Pembelajaran Kitab Kuning: (Studi Metode Belajar Baca Kitab Kuning di PesanTren Mambaul Ulum Bata-Bata, Darussalam Puncak Banyuanyar Pamekasan, dan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo), merupakan upaya penulis untuk menjaga orisinalitas kajian penelitian, dengan harapan mampu mengangkat dan mengungkap teori-teori baru dalam kajian kitab kuning dan pesantren.

Dalam dokumen implementasi pembelajaran kitab kuning (Halaman 39-44)

Dokumen terkait