• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Pembelajaran di Pesantren

Dalam dokumen implementasi pembelajaran kitab kuning (Halaman 114-119)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Implementasi Pembelajaran

5. Metode Pembelajaran di Pesantren

Bagi Nurcholis Madjid, pesantren selaku badan pembelajaran Islam konvensional yang bertahan dengan Fokus keilmuan konvensional, dikala saat ini lagi mengalami 2 opsi problematis. Bagi Nurcholis Madjid begitu juga yang diambil oleh Yasmadi, pesantren wajib mengutip tindakan apakah hendak senantiasa menjaga tradisinya, yang bisa jadi bisa melindungi nilai- nilai agama; ataukah menjajaki kemajuan dengan efek kehabisan asetnya. Namun, sesungguhnya terdapat jalur ketiga, cuma saja menuntut daya cipta serta keahlian rekayasa pembelajaran yang besar lewat identifikasi aset-asetnya ataupun identitasnya terlebih dulu, setelah itu melaksanakan pengembangan dengan cara modern.119

Begitu pula Mastuhu, dalam disertasinya yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, yang melaporkan kalau selaku suatu badan pembelajaran Islam konvensional, Pesantren memiliki 4 karakteristik spesial yang muncul, ialah mulai dari cuma membagikan pelajaran agama tipe kitab- kitab Islam klasik berbicara Arab, memiliki metode pengajaran yang istimewa dengan tata cara sorogan serta bondongan ataupun wetonan.121

Lebih lanjut Mastuhu122 berdasarkan temuan dalam penelitiannya, membahas metodik didaptik pengajarannya diberikan dalam bentuk:

sorogan, bandongan, halaqoh, dan hafalan.

Sorogan, maksudnya belajar dengan cara perseorangan dimana seseorang santri berdekatan dengan seseorang guru, terjalin interaksi silih memahami diantara keduanya. Bandongan maksudnya, belajar dengan cara golongan yang diiringi oleh semua santri. Umumnya kyai memakai bahasa wilayah setempat serta langsung meterjemahkannya perkataan untuk perkataan Dari buku yang dipelajarinya. Halaqah, maksudnya dialog buat menguasai buku, bukan buat mempersoalkan mungkin betul salahnya apa-apa yang diajarkan oleh buku, namun buat menguasai apa arti yang diajarkan oleh buku. Santri percaya kalau kyai tidak hendak mengarahkan perihal yang salah, serta mereka pula percaya kalau isi buku yang dipelajari merupakan betul.

121 Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS. 1994). 25.

122 Ibid. 61.

Metode halaqah di pesantren merupakan metode berlatih bersama dampingi santri buat menguasai anutan ajengan, ustadz serta isi buku.

Arahnya buat bertanya dari bidang “apanya” serta buat “mempunyai”

ilmu-ilmu yang sudah diajarkan kepadanya. Dengan tutur lain tata cara yang dipakai dalam halaqah merupakan mengingat.

Martin van Brunessen juga menyebutkan dalam tulisannya although a different selection from the classical corpus is made than in the traditional pesantren, maksudnya bahwa pesantren tradisional di indonesia belum mengenal dan menggunakan sistem seleksi dan sistem kelas dalam pembelajarannya, bahkan beliau menegaskan, bahwa pesantren gontor sebagai pesantren modern yang melakukan perubahan dan pengembangan pembelajaran dengan sistem kelas. 123 Karel Steenbrink dari hasil temuan penelitiannya mengklasifikasikan pengajian kitab agama ini berbeda dengan pengajian Al-Qur’an yang telah disebutkan di muka. 124 Proses pembelajaran yang dilakukan kiai kepada santri, lebih banyak menggunakan hubungan pembelajaran satu arah (one way), tidak ada proses timbal baliknya, khususnya dalam proses pembelajaran yang berlangsung di Pesantren Mahasiswa. Proses pembelajaran ini terjadi baik dalam sistem pembelajaran klasikal maupun non-klasikal.125

Dalam rangka pembelajaran pendidikan budaya dan karakter bangsa, setiap unit sekolah di Pesantren Tebuireng menggunakan

123 Martin van Brunessen. Pesantren and Kitab Kuning: Continuity and change in a tradition of religious learning, in: Wolfgang Marschall( ed.), Texts from the islands: Oral and written traditions of Indonesia and the Malay world (Ethnologica Bernensia, 4), Berne: The University of Berne Institute of Ethnology, 1994, pp. 121-146. 1

124 Karel A Steenbrink., Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1994). 1215

125Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri; Dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan (Yogyakarta: TERAS, 2009). 159.

pendekatan proses belajar aktif (active learning) dan berpusat pada anak (student centered) dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah dan masyarakat.126 Ada metode yang lain dari temuan penelitian Ronald Alan Lukens-Bull, bahwa pendidikan ngaji di an-Nur secara umum diselenggarakan dalam empat bagian, yaitu Madrasah Diniyah, Madrasah Salafiyah, STIKK (Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning), dan wetonan.127

Dapat disimpulkan kalau reaksi pesantren kepada pembaharuan pembelajaran Islam serta perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berjalan dalam warga Indonesia semenjak dini era ini melingkupi: awal, pembaruan akar ataupun isi pembelajaran pesantren dengan memasukkan subyek-subyek biasa serta vocational; kedua, pembaruan metodologi, semacam sistem klasikal, penjenjangan; ketiga, pembaruan kelembagaan, semacam kepemimpinan pesantren, penganekaragaman badan pembelajaran; serta keempat, pembaruan guna, dari awal cuma guna kependidikan, dibesarkan alhasil pula melingkupi guna social ekonomi.128

Yang menarik adalah metode yang digunakan oleh kyai dalam pengajian. Sebagaimana kita ketahui kitab-kitab yang biasa diajarkan di pesantren adalah berbahasa Arab. Sehingga yang namanya ngaji adalah kegiatan mempelajari kitab bahasa Arab itu, dan sering kita dengar dengan ungkapan “ngaji kitab.” Di pesantren ini hanya buku-buku yang berbahasa Arab yang disebut “kitab” sedangkan yang berbahasa selain Arab disebut

126Syamsul Ma’arif, Pesantren Inklusif; Berbasis Kearifan Lokal (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015). 167.

127 Ronald Alan Lukens Bull. Jihad Pesantren Di Mata Antropolog Amerika (Gema Media. 2014).

207-209.

128Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: PARAMADINA, 1997). Xxii.

“buku”.129 Para santri menjajaki dengan teliti alih bahasa kyai itu, serta mereka mencatatnya pada kitabnya, ialah di bawah perkata yang diterjemahkan. Aktivitas menulis alih bahasa ini dikenal maknani (berikan arti), pula diucap ngesahi (mengesahkan, artinya mengesahkan pengertian, sekalian artikulasi perkataan Arab yang berhubungan bagi gramatikanya).130

Matthews memotret esensi filosofis yang mendasari pembelajaran kolaboratif dengan menyatakan: “Pembelajaran kolaboratif bisa berlangsung apabila pelajar dan pengajar bekerja sama menciptakan pengetahuan. Pembelajaran kolaboratif adalah sebuah pedagogi yang pusatnya terletak dalam asumsi bahwa manusia selalu menciptakan makna bersama dan proses tersebut selalu memperkaya dan memperluas wawasan mereka.”131

Bruffee, pendukung yang sangat getol terhadap pembelajaran kolaboratif, ingin sekali menghindari ketergantungan pelajar terhadap pengajar yang berperan sebagai pemegang otoritas, baik atas subyek yang diajarkan maupun proses belajar. Oleh karena itu, ketika mendefinisikan pembelajaran kolaboratif, Bruffee berpendapat bahwa pengajar tidak boleh hanya menjadi pemantau proses belajar, sebaliknya pengajar harus mampu menjadi anggota, seperti halnya para pelajar, dari sebuah komunitas yang tengah mencari pengetahuan.132

129Ibid., 22.

130Ibid., 22.

131 Elizabert E. Barkley, K. Patricia Cross, dan Claire Howell Major, Teknik-teknik Pembelajaran Kolaboratif, Narulita Yusron (terjemah), (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2012), 8.

132 Ibid

6. Inovasi Pembelajaran Kitab Kuning

Dalam dokumen implementasi pembelajaran kitab kuning (Halaman 114-119)

Dokumen terkait