Penyimpanan biji kacang tanah selama 4 bulan menurunkan kadar abu, protein dan lemak pada biji, masing-masing 3%, 0,9% dan 1,3% (Tabel 5). Hasil ini sejalan dengan penelitian Fagbohun dan Faleye (2012) yaitu terjadinya penurunan abu dan lemak masing-masing 0,1% dan 1,69% setelah biji kacang tanah disimpan selama 16 minggu. Hal ini berarti bahwa selama penyimpanan, aktivitas fisiologis biji kacang tanah tetap berlangsung. Energi yang digunakan untuk kegiatan tersebut diambil dari komponen kimiawi biji terutama lemak. Selain itu, lemak pada biji dimanfaatkan oleh jamur A. flavus untuk aktivitas lypolytic (hidrolisis gliserida oleh enzim Lipolitic menghasilkan asam lemak bebas) seperti yang dilaporkan oleh Bankole dkk (2005) pada penyimpanan biji melon. Penurunan kadar abu dan protein menyebabkan rusaknya jaringan biji kacang tanah selama penyimpanan.
Tabel 5. Kadar abu, protein dan lemak rata-rata biji kacang tanah sebelum dan setelah penyimpanan.
Waktu Abu
(% bk)
Protein (%)
Lemak (%)
Awal (sebelum disimpan) 2,705 27,38 41,78
Akhir ( setelah disimpan selama 4 bulan)
2,625 27,13 41,21
Penyimpanan berpengaruh pada kadar air biji, persen bobot biji keriput dan biji rusak (Tabel 6). Biji yang disimpan selama 4 bulan mulai bulan Nopember – Maret (musim hujan), meningkat 1,2% kadar airnya. Peningkatan ini karena biji menyerap uap air dari lingkungan sekitar yang kondisinya cukup lembab (RH 80- 90%), meskipun pengemas kantong plastik PP yang digunakan memiliki kemampuan transfer uap air (Water Vapour Transmission Rate) cukup rendah (Suyitno, 1990). Kantong plastik PP 0,08 mm ini dilaporkan efektif mempertahankan biji kacang tanah yang disimpan selama 4 bulan pada musim kemarau (Sumartini dkk, 2004).
180
Tabel 6. Mutu fisik biji kacang tanah sebelum disimpan dan setelah disimpan selama 4 bulan rata-rata dari tiga perlakuan pasca panen.
Waktu Kadar
air biji (%)
Bobot biji baik
(%)
Bobot biji keriput
(%)
Bobot biji rusak
(%)
Awal (sebelum disimpan) 5,3 47,9 14,2 37,9
Akhir ( setelah disimpan selama 4 bulan)
6,5 48,8 9,0 42,2
Penyimpanan biji selama 4 bulan ternyata tidak berpengaruh negatif pada persen bobot biji baik, namun persen bobot biji keriput berkurang 5,2% dan sebaliknya persen bobot biji rusak meningkat 4,3% (Tabel 6). Dengan demikian, biji-biji bernas belum mengalami kerusakan fisik ketika disimpan hingga 4 bulan, tetapi kerusakan dialami oleh biji keriput. Peningkatan bobot biji rusak (dari 37,9% menjadi 42,2%) karena terinfeksi jamur A. flavus sebanyak 4,3%, namun tingkat kontaminasi aflatoksin hanya meningkat sedikit (Tabel 7).
Tabel 7. Mutu mikrobiologis biji kacang tanah sebelum disimpan dan setelah disimpan selama 4 bulan rata-rata dari tiga perlakuan pasca panen.
Waktu Infeksi
Aspergillus flavus
(%)
Kontaminasi aflatoksin
(ppb)
Awal (sebelum disimpan) 2,1 9,9
Akhir ( setelah disimpan selama 4 bulan)
6,4 10,2
181
Peningkatan infeksi A. flavus menunjukkan adanya peningkatan kemampuan bertahan dan tumbuh dari jamur tersebut. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kadar air biji yang diperoleh dari kemampuan biji menyerap uap air dari lingkungannya (Chiou 1997; Fagbohun dan Faleye 2012). Selain air untuk aktivitas A. flavus (Bankole dan Ikotun 2002 dalam Bankole dkk 2005), jamur A. flavus memperoleh sukrosa dari biji yang digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan jamur. Seperti diketahui sukrosa merupakan salah satu karbohidrat mudah larut yang dominan pada biji kacang tanah. Ternyata bahwa biji-biji yang keriput (immature) mempunyai kadar gula lebih tinggi dari biji yang bernas (Nautiyal dkk 2010). Demikian pula kebutuhan jamur akan asam-asam lemak bebas untuk pertumbuhannya diperoleh dari protein biji yang diperoleh dengan cara jamur memproduksi enzim penghidrolisa protein untuk mengubah kompossisi asam amino terutama asam glutamat bebas (free glutamic acid) yang digunakan sebagai sumber utama nitrogen (Chiou 1997).
Disimpulkan bahwa penyimpanan selama 4 bulan menurunkan kadar abu, protein, lemak, dan persen bobot biji keriput. Di sisi lain, penyimpanan meningkatkan kadar air biji, bobot biji rusak dan infeksi jamur A flavus.
Sedangkan cemaran aflatoksin relatif tetap.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa teknologi budidaya petani mampu menghasilkan biji kacang tanah dengan:
1. Tingkat infeksi jamur A. flavus dan cemaran aflatoksin rendah sehingga aman untuk dikonsumsi, dengan penanganan pasca panen yaitu pengeringan (dengan sinar matahari atau pemanas buatan), polong segera dirontok pada saat panen atau ditunda hingga 36 jam, dengan atau tanpa adanya inokulasi spora jamur A. flavus pada saat perontokan. Namun, kualitas mikrobiologis yang baik ini tidak dapat dipertahankan setelah biji disimpan selama 4 bulan dalam wadah kantong plastik PP 0,8 mm yang diikat rapat dan ditaruh di dalam ruang yang kering pada suhu kamar,. Hal ini
182
karena terjadi peningkatan infeksi jamur A. flavus dan cemaran aflatoksin yang berpotensi melebihi batas aman untuk konsumsi.
2. Komposisi kimia biji yaitu kadar abu, protein dan lemak mengalami penurunan ketika biji dikeringkan dengan cara dijemur selama 4 hari mulai pagi hingga sore. Demikian pula, penyimpanan biji selama 4 bulan menurunkan kadar abu, protein dan lemaknya.
3. Sifat fisik terutama kadar air biji dan persen bobot biji baik lebih unggul ketika polong dikeringkan dengan cara dijemur mulai pagi hingga sore selama 4 hari atau ketika perontokan ditunda 36 jam. Sebaliknya, penjemuran polong dan pemeraman 36 jam, secara individu, telah meningkatkan bobot biji rusak. Demikian pula, kadar air biji dan persen bobot biji rusak meningkat setelah biji disimpan selama 4 bulan. Dengan kata lain biji mengalami penurunan kualitas fisik setelah disimpan 4 bulan.
4. Masukan kepada petani untuk menerapkan penanganan pasca panen yang tepat dalam upaya menekan infeksi A. flavus dan cemaran aflatoksin pada hasil panen kacang tanah.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. (2005). Microchemical determination of nitrogen using microKjeldhal method (12.1.07). Official Methods of Analysis of AOAC International. Vol. I. Agricultural Chemicals, Contaminants, Drugs. AOAC International. Gaithersburs, Maryland, USA.
Ayoola, P.B., Adeyeye, A.A., and Onawumi, O.O. (2012). Chemical evaluation of food value of groundnut (Arachis hypogaea) seeds. American Journal of Food and Nutrition 2(3): 55-57.
Ayoola, P.B., and Adeyeye, A. A., (2010). Effect of heating on the chemical composition and physic-_cehemeical properties of Arachis hypogaea (groundnut) seed flour and oil. Pakistan Journal of Nutrition 9(8): 751-754.
Badan Pengawas Obat dan Makanan [Badan POM]. (2004). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.1.4057 tentang Batas Maksimum Aflatoksin dalam Produk Pangan.
Bankole, S.A., Osho, A., Joda, A.O., and Enikuomehin, O.A. (2005). Effect of drying method on the quality and storability of „egusi‟ melon seeds (Colocynthis citrillus L.). African Journal of Biotechnology 4(8): 799-803.
183
BSN. (1992). Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 01-2891-1992. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. 36 hlm.
Chiou, R.Y. (1997). Estimation of fungal infection of peanut kernels by determination of free glutamic acid content. Applied and Environmental Microbiology 63(3):
1083-1087.
Cole, R.J., Dorner, J.W., and Holbrook, C.C. (1995). Advances in mycotoxin elimination and resistence. p. 456-74. In: Advance Peanut Science. Chapter 13.
Crop Link. (2000). Aflatoxin in Peanuts. Tips to Reduce the Risk. Queensland Department of Primary Inductries. Farming Systems Institute. 12p.
Dharmaputra, O.S., Putri, A.S.R., Retnowati, I. dan Ambarwati, S. (2003). Aspergillus flavus dan Aflatoxin pada Kacang Tanah dari Berbagai Tingkatan Rantai Distribusi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Laporan Penelitian. SEAMEO BIOTROP. 24 hlm.
Dharmaputra, O.S., Retnowati, I., Putri, A.S.R., dan Ambarwati, S. (2004). Aspergillus flavus and aflatoxin in peanuts at various stages of the delivery chains in Wonogiri regency, Central Java. Final Report. ACIAR Project #PHT 97/017. 25 pp.
Diener, U.L., Pettit, R.E., and Cole, R.J. (1982). Aflatoxins and other mycotoxins in peanut. In: Pattee, H.F., and Young, C.T. (Eds.). Peanut Science and Technology. p. 486-519. American Peanut Research and Education Society Inc., Texas.
DSN. (1995). Standar Mutu Kacang Tanah. SNI 01-3921-1995. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. 7 hal.
Eke-Ejiofor, J., Kiin-Kabari, D.B., and Chukwu, E.C. (2012). Effect of processing method on the proximate, mineral and fungi properties of groundnut (Arachis hypogaea) seed. Journal of Agriculture and Biological Sciences 3(1): 257-261.
Fagbohun, E.D., and Faleye, O.S. (2012). The nutritional and mycroflora changes during storage of groundnut (Arachis hypogaea). International Journal of Agronomy and Agricultural Research: 2(6): 15-22.
Fubara, E.P., Ekpo, B.O., and Ekpete, O.A. (2011). Evaluation of the effects of processing on the mineral contents of maize (Zea mays) and groundnut (Arachis hypogaea). Libyan Agriculture Research Center Journal International 2(3): 133-137.
184
Ginting, E. (2006). Mutu dan kandungan aflatoksin biji kacang tanah varietas Kancil dan Mahesa yang disimpan dalam beberapa bahan pengemas. Junal Agrikultura 17(3): 165-172.
Keenan, J.I. and Savage, G.P. (1994). Mycotoxins in groundnuts, with special reference to aflatoksxin. In J. Smartt (Edt). The Groundnut Crop. p. 509-551.
Chapman and Hall, London.
Lee, A.N., and Kennedy, I. R. (2002). Practical I. University of Sydney quick aflatoxin B1 ELISA Kit. Paper presented Paper presented at ELISA Workshop Analysis of Aflatoxin B1 in Peanuts, held in Bogor on 12-13 February 2002. Organized by University of Sydney, ACIAR and SEAMEO Biotrop Bogor. 8 pp
Nautiyal, P.C., Misra, J.B., and Zala, P.V. (2010). Influence of seed maturity stages on germinability and seedling vigor in groundnut. SAT eJournal 8: 1-10 (http://ejournal.icrisat.org/Volume8/Groundnut/Influence _of_.pdf. [22 Desember 2013].
Pettit, R.E., (1984). Yellow mold and aflatoxin. In: Porter, D.M., Smith, D.H., and Rodriguez-Kabana, R. (Eds.). Compendium of Peanut Diseases. p. 35-36. The American Phytopathological Society.
Porter, D.M., Smith, D.H., and Rodriguez-Kabana, R. (1982). Peanut plant diseases.
In: H.F. Pattee and C.T. Young, C.T. (Eds.). Peanut Science and Technology. p.
326-410. American Peanut Research and Education Society Inc., Texas.
Rahmianna, A.A., Ginting, E., dan Yusnawan, E. (2007). Cemaran aflatoksin B1 pada kacang tanah yang diperdagangkan di sentra produksi Baanjarnegara. Jurnal Pertanian Tanaman Pangan. 26(2): 137-144.
Rahmianna, A.A., Taufiq, A., dan Yusnawan, E. (2012). Kualitas dan hasil kacang tanah pada lingkungan dengan perbedaan ketersediaan air dan aplikasi Dolomit. Jurnal Pertanian Tanaman Pangan. 31(1): 46-53.
Rucker, K.S., Kvien, C.K., Calhoun, K., Henning, R.J., Koehler, P.E., Ghate, S. R., and Holbrook, C.C. (1994). Sorting peanuts by pod density to improve quality and kernel maturity distribution and to reduce aflatoksin. Peanut Science. 21:
147-152.
Sumartini, Yusnawan, E., dan Kasno, A. (2004). Pengaruh waktu pemeraman dan cara pencucian polong kacang tanah terhadap infeksi Aspergillus flavus. Dalam.
Makarim, A. K., dkk (peny.). Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-
185
kacangan dan Umbi-umbian: Prosiding seminar teknologi inovatif komoditas Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. P. 487-492. Pusat Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan. Bogor.
Suyitno. (1990). Bahan-bahan pengemas. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
hal. 20.
Tjindarbumi, D. dan Mangunkusumo, R. (2002). Cancer in Indonesia. Japan Journal Clinic Oncology. 32(supplement 1):S17-S21
Xue, H. (2004). Evauation of peanut (Arachis hypogaea L.) germplasm for resistance to aflatoxin production by Aspergillus flavus Link ex Freis (under the direction of Dr. Thomas S. Isleib). University of Raleigh. 176 p.
Yan, C., Li, C., Wan, S., Zhang, T., Zheng, Y., and Shan, S. (2012). Cloning, expression and characterization of PnLOX2 gene related to Aspergillus flavus- resistance from peanut (Arachis hypogaea L.) seed coat. Journal of Agricultural Science 4(7): 67-75.
186
PENGARUH PERLAKUAN MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF SERTA PANJANG DAN KERAPATAN AKAR PADA PERBENIHAN
PEPAYA MERAH DELIMA SIAP TANAM
(The effect of planting media treatment on vegetative growth, length and root density of Carica Merah Delima seedling)
Listy Anggraeni, Lilia Fauziah, dan Nurul Istiqomah
Assessment Institute for Agricultural Technology (AIAT) East Java Jl.Raya Karangploso KM 4, Malang 65101 East Java, Indonesia
Corresponding author: [email protected] ABSTRAK
Varietas Pepaya Merah Delima merupakan hasil inovasi tenologi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian. Pada tahun 2017 hingga 2019 BPTP Jatim diberikan tugas untuk mendiseminasikan pepaya ini melalui penyebaran pepaya dalam polybag siap tanam ke seluruh daerah sentra produksi di Jawa Timur. Beberapa masalah yang dihadapi antara lain adalah pemilihan komposisi media tanam untuk pertumbuhan perakaran benih secara optimal sehingga dapat beradaptasi lebih baik dan mengurangi stress ketika ditanam di lahan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan media tanam yang paling sesuai untuk pertumbuhan benih Pepaya Merah Delima dalam polybag siap tanam.
Penelitian dilakukan di Lahan Penunjang Laboratorium Agronomi BPTP Jatim, disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat kali ulangan. Perlakuan berupa kombinasi media tanam, yaitu A = media tanam 100%
tanah (kontrol), perlakuan B = media tanam 50% tanah + 50% sekam padi, perlakuan C = media tanam 33,3% tanah + 33,3% sekam padi + 33,3% pupuk kandang, perlakuan D = media tanam 50% tanah + 50% sekam padi bakar, perlakuan E = media tanam 33,3% tanah + 33,3% pupuk kandang + 33,3% sekam bakar padi, dan perlakuan F = media tanam 50% tanah + 50% pupuk kandang.
Analisis data menggunakan Genstat edition 18th dari hasil pengamatan dianalisis menggunakan Uji F dilanjutkan dengan DMRT 5%. Komponen tanaman yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, serta perakaran tanaman meliputi total panjang akar (LRV= Length Root Volume) dan kerapatan panjang akar (DRV= Density Root Volume). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, LRV, dan DRV. Media tanam dengan perlakuan E menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik daripada perlakuan lainnya dengan tinggi tanaman (37,16 cm), jumlah daun (13,49 helai), dan diameter batang (0,91 cm) serta LRV (0,27 cm cm-3) dan DRV (1,65 g cm-3) sehingga diharapkan mampu beradaptasi lebih baik saat ditanam di lahan.
Kata kunci: media tanam, Pepaya Merah Delima, panjang akar, kerapatan akar
187 ABSTRACT
The Papaya of Merah Delima variety is tenology innovations produced by the Agricultural Research Agency of the Ministry of Agriculture. Starting in 2017- 2019 East Java AIAT given the task to disseminate this papaya through the distribute of papaya in polybags that ready for planting in all production centers area in East Java. Some of the problems faced are composition of the seedling media for the optimal growth of seedling roots so as to reduce papaya seedling stress when planted on the ground. The aim of this study was to obtain the most suitable planting media for the growth of papaya seedling in a polybag that ready for planting.
Research carried out in the area of Agricultural Laboratory East Java AIAT, compiled using a Randomized Complete Block Design (RCBD) with four replications The treatment was combination of seedling media, namely A = seedling media 100%
soil (contol), B treatment = seedling media 50% soil + 50% rice husk, C treatment = seedling media 33.3% soil + 33.3% rice husk + 33.3% organic fertilizer, D treatment
= seedling media 50% soil + 50% rice husk, E treatment = seedling media 33.3%
soil + 33.3% organic fertilizer + 33.3% rice husk burned, and F treatment = seedling media 50% soil + 50% organic fertilizer. Data analysed using 18th edition Genstat for F test followed by 5% DMRT. Plant components observed were plant height, number of leaves, and plant roots including root length (LRV=Length Root Volume) and root density (DRV=Density Root Volume). The results showed that the treatment of seedling media had a significant effect on plant height, number of leaves, root length (LRV) and root density (DRV). Seedling media in E treatment showed better growth than other treatments for were plant height (37,16 cm), number of leaves (13,49 leaves), stem diameter (0,91 cm), LRV (0,67 cm cm-3), and DRV (0,27 g cm-3).
Keywords: seedling media, Carica of Merah Delima, root length (LRV), root density (DRV)
PENDAHULUAN
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman buah tropika dari famili caricaceae berasal dari Amerika tengah dan Hindia barat (Setiaty, 2010). Pepaya banyak ditanam pada daerah tropis maupun subtropis. Di Indonesia, pepaya banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan potensi produksi yang tinggi. Menurut Direktorat Jendral Hortikultura (2015), produksi tanaman pepaya di Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 2013 total produksi mencapai 909.818 t sedangkan pada tahun 2014 jumlah produksi turun menjadi 840.112 t. Menurut Suketi dan Nandya (2011) penurunan produksi pada tanaman pepaya antara lain disebabkan kondisi curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun, terjadinya serangan hama dan penyakit, serta media tanam yang kurang tepat dalam perbenihan pepaya sehingga benih dalam polybag siap tanam tidak bisa beradaptasi
188
dengan baik saat dipindah tanam di lahan sehingga meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit (Firmansyah et al., 2017).
Pemilihan media tanam perbenihan yang sesuai pada pepaya dapat menghasilkan benih siap tanam dengan pertumbuhan yang baik. Tidak semua media tanam dapat menyediakan unsur hara dan ruang tumbuh akar yang dibutuhkan oleh tanaman karena masing-masing memiliki sifat fisik, kimia dan biologi yang berbeda. Konsistensi tanah atau media tanam penting bagi perakaran tanaman karena berhubugan dengan mudah tidaknya akar menembus tanah untuk menyerap unsur hara dan air.
Salah satu usaha untuk mendapatkan tanaman yang baik yaitu dengan pemilihan media tanam yang sesuai untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman pepaya dalam polybag siap tanam. Beberapa media tanam bisa digunakan antara lain sekam padi dan kokopit (Prajwalita et al, 2019). Menurut Soepardi (1983) media tanam yang baik yaitu media yang dapat menyediakan hara dan air bagi tanaman sehingga menunjang pertumbuhan benih dan mengembangkan perakaran tanaman. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan komposisi media tanam yang paling sesuai untuk pertumbuhan dan perakaran benih pepaya dalam polybag.