• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

3. Bandul Lonceng yang Berayun Terlalu Jauh

4.2 Pengawasan Diskresi

secara lebih sederhana J.S. Badudu mengartikan “kontrol” dengan pengawasan, pemeriksaan, dan pengendalian.191

Menurut Prajudi pengawasan terhadap administrasi negara terdiri atas:

legislative controls, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh legislatif;

administrative controls, pengawasan yang bersifat intern sendiri dari administrasi negara; dan yudicial controls atau pengawasan oleh pengadilan.192 Paulus Effendie Lotulung mengatakan kontrol yang dilakukan oleh badan peradilan (judicial control) pada prinsipnya hanya menitik beratkan pada segi legalitas, yaitu kontrol segi hukum.193 Lebih lanjut menurut George R. Terry menggunakan istilah “control”

kontrol yang didalamnya mengandung unsur pengawasan serta pengendalian adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi, dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu memastikan hasil yang sesuai dengan rencana.

Sebagaimana yang dikutip oleh Muchsan, sebagai berikut:

Control is to determine what is accomplished, evaluate it, and apply corrective measures, if needed to ensure result in keeping with the plan”194 Senada dengan pendapat George R. Terry, Djajoesman mengintrodusir pendapat Henry Fayol, mengemukakan bahwa: Kontrol adalah penelitian apakah segala sesuatu dilakukan sesuai dengan rencana, perintah-printah dan prinsip- prinsip yang telah ditetapkan.195 Berbeda dengan Bagir Manan memandang kontrol sebagai :196

191 J.S. Badudu, Kamus : Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2003), hal. 196

192 Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Op.cit, hal. 188

193 Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993) hal. xvii.

194 Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1992), hal. 37.

195 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Negara Terhadap Tindakan Pemerintah, Op.Cit., hal. 89.

196 Bagir Manan, Peningkatan Fungsi Kontrol Masyarakat Terhadap Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Makalah pada Forum Orientasi dan Tatap Muka Tingkat Nasional Kosgoro di Cipanas-Cianjur, Tanggal 26 Juli 2000, hal. 1-2.

“Sebuah fungsi dan sekaligus hak, sehingga lazim disebut fungsi kontrol, atau hak kontrol. Kontrol mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian. Pengawasan yang bertalian dengan pembatasan, dan pengendalian bertalian dengan arahan (directive).

Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa “kontrol”

merupakan suatu instrumen untuk mengawasi jalannya suatu tugas/ fungsi/

wewenang seseorang ketika mendapat suatu jabatan (amanah) tertentu agar tercapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sekaligus mengoreksinya ketika terdapat penyimpangan-penyimpangan.

Ditinjau dari segi saat/waktu dilaksanakannya suatu kontrol atau pengawasan, dapat pula dibedakan dalam dua jenis kontrol, yaitu kontrol a-priori dan ada yang disebut kontrol a-posteriori. Dikatakan sebagai kontrol a-priori adalah bilamana pengawasan itu dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah ataupun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi menjadi wewenang pemerintah.197

Sedangakan sebaliknya, kontrol a-posteriori adalah bilamana pengawasan itu baru terjadi sesudah dikeluarkannya keputusan/ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan/perbuatan pemerintah. Dengan kata lain, arti pengawasan di sini adalah dititik-beratkan pada tujuan yang bersifat korektif dan memulihkan suatu yudisial kontrol (control judicial) adalah selalu bersifat kontrol a-posteriori, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya suatu perbuatan atau tindakan.198

Di samping kedua macam kriteria pembedaan tersebut di atas, dikenal pula pembedaan yang ditinjau dari segi sifat kontrol itu terhadap objek yang diawasi.

Dengan kata lain, apakah kontrol itu hanya dimaksudkan untuk menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat hukumnya saja (segi legalitas), yaitu segi

rechtsmatigheid” dari perbuatan pemerintah atau juga di samping segi

197 Dalam hal ini, tampak jelas unsur preventif dari maksud kontrol itu, sebab tujuan utamanya adalah mencegah dan menghindari terjadinya kekeliruan. Misalnya: pengeluaran suatu peraturan yang untuk dapat berlaku sah dan dilaksanakan, harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dan pengesahan dari instansi atasan, atau peraturan pemerintah daerah tingakat II harus mendapat pengesahan terlebih dahulu dari pemerintah tingkat I, demikian seterusnya. Paulus E. Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Tindakan Pemerintah, Op.

Cit. hal. xvi.

198 Paulus E. Lotulung, Ibid.

rechtmatigheid” ini dinilai pula benar-tidaknya perbuatan itu ditinjau dari segi/pertimbangan kemanfaatannya (opportunitas), yaitu segi “doelmatigheid”.

Jadi dibedakan antara kontrol segi hukum (rechtsmatigheid) dan kemanfaatannya (doelmatigheid).199 Menurut M. De Baecque sebagaimana di kutip oleh Supandi, menyatakan bahwa:

Le controle jurisdictionnel vise a faire respecter la regle de droit quand le processus administratif est termine, alors que le controle non juridictionnel peut s‟appuyer sur des motife de legalite, mais aussi d‟opportunite (effcacite, rentabilite de I‟Administration et intervient a toutes les etapes de l‟elaboration de la decision administrative.

Berdasarkan rumusan di atas, jelas terlihat perbedaan antara kontrol yuridis, dengan kontrol non yuridis. Kontrol yuridis harus memperlihatkan, apakah semua ketentuan-ketentuan hukum telah dipatuhi selama proses pembuatan keputusan pemerintahan tersebut. Kontrol yuridis dapat dilakukan setelah keputusan tersebut terjadi.200

Kontrol non yuridis harus dapat menunjang segala alasan-alasan hukum (legalitas) dan tujuan kemanfaatan (oportunitas) dari suatu keputusan pemerintah, dan hal tersebut berlangsung dalam semua tahapan/proses pembuatan keputusan pemerintah. Kontrol non yuridis dapat dilakukan baik selama proses pembuatan keputusan pemerintah tersebut (kontrol preventif), maupun sesudah keputusan tersebut selesai di buat (kontrol represif).201 Untuk membedakan antara kontrol yuridis dengan kontrol non yuridis, bahwa kontrol yuridis dalam praktek harus memenuhi 3 hal, yaitu: sebagaimana dikemukakan oleh Paulus Efendi Lotulung bahwa; pertama, ekstern karena dilakukan oleh suatu badan atau lembaga di luar pemerintahan; kedua, a-posteriori karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol; ketiga, legalitas atau kontrol segi hukum, karena hanya menilai dari segi hukum

199 Bandikan dengan Paulus E. Lotulung, Ibid.

200 Bandingkan dengan Supandi, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (Keputusan Hukum Pejabat Dalam Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara), (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010), hal. 81.

201 Ibid.

Apabila dihubungkan dengan kontrol terhadap pemerintahan, terlihat bahwa pengertian umum kontrol masih tetap relevan, alasannya: pertama, pada umumnya sarana kontrol atau pengawasan terhadap pemerintahan adalah pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik dan dapat pula membawa kekuasaan pemerintahan sebagai penyelenggara kesejahteraan masyarakat kepada pelaksanaan yang baik pula dan tetap dalam batas kekuasaannya.202 Kedua, tolok ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan pemerintah dalam bentuk hukum materiil maupun hukum formal (rechtmatigheid), serta manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat (doelmatigheid); ketiga, adanya pencocokan antara perbuatan dan tolok ukur yang telah ditetapkan; keempat, jika terdapat tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolok ukur tersebut dilakukan tindakan pencegahan; kelima, apabila dalam pencocokan menunjukkan telah terjadi penyimpangan dari tolok ukur, kemudian diadakan koreksi melalui tindakan pembatalan, pemulihan terhadap akibat yang ditimbulkan dan mendisiplinkan pelaku kekeliruan tersebut.203

Kontrol terhadap kekuasaan eksekutif oleh kekuasaan yudikatif tidak terbatas pada pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan eksekutif. Melainkan pengawasan oleh kekuasaan yudikatif terhadap kekuasaan eksekutif dapat dilakukan melalui mekanisme yang sama dengan pengujian yang dilakukan terhadap kekuasaan legislatif yang dikenal dengan judicial review, akan tetapi, mekanisme pengujian tersebut dapat dilakukan hanya terhadap produk hukum badan eksekutif yang termasuk dalam kelompok peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Seperti terhadap Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Peresiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), dan lain-lain. Hal ini karena dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, selain badan legislatif, pemerintah atau pejabat administrasi negara juga memiliki

202 S.F. Marbun., Peradilan Administrasi Negara...,Op. Cit., hal. 12. Bandingkan dengan E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Op.Cit., hal. 23.

203 Bandingkan dengan Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Negara Terhadap Tindakan Pemerintahan, Op, Cit., hal. 91.

wewenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah undang-undang.204

Administrasi negara dalam menjalankan pemerintahan fungsinya, tidak hanya berdasarkan kepada hukum yang telah ditetapkan lembaga legislatif, tetapi melalui lembaga freies ermersser, eksekutif dapat mengambil kebijakan, bahkan menetapkan peraturan perundang-undangan tertentu demi tercapainya tujuan negara. Menurut Mahfud MD, diskresi menimbulkan implikasi di bidang eksekutif dan di bidang peraturan perundang-undangan. Dibidang eksekutif antara lain ditandai dengan terdapatnya hak prerogatif. Sedangkan di bidang peraturan perundang-undangan terdapat tiga macam kewenangan bagi pemerintah yaitu:

Pertama, pemerintah berwenang membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan kepada parlemen. Kedua, pemerintah mempunyai kewenangan membuat peraturan pelaksana atas ketentuan UU. Ketiga, pemerintah mempunyai kewenangan sendiri dalam menafsirkan materi peraturan perundang-undangan.205

Dalam menjalankan fungsinya administrasi negara tidak terlepas dari pengawasan oleh banyak pihak. Terdapat berbagai macam bentuk pengawasan, maka dapat membedakan bentuk pengawasan tersebut dari berbagai segi. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan pengawasan itu terhadap badan/organ administrasi negara, dapat dibedakan antara jenis kontrol yang disebut pengawasan intern dan pengawasan ekstern. Suatu pengawasan intern berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam lingkungan administrasi negara sendiri, misalnya: pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkis, ataupun pengawasan yang dilakukan oleh team/panitia verifikasi yang dibentuk secara insidentil dan biasanya terdiri dari

204 Kewenangan pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam membentuk peratran perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintan, Peraturan Peresiden, Peraturan Menteri dan peraturan lain dibawahnya, didasarkan pada wewenang pendelegasian (delegated legislation).

Lihat Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 91.

205 Mahfud MD..Lihat Dalam Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 30.

beberapa orang ahli dalam bidang-bidang tertentu. Bentuk pengawasan semacam itu dapat digolongkan dalam jenis pengawasan teknis-administratif atau lazim pula disebut sebagai suatu bentuk “built-in control”.206

Sebaliknya, suatu pengawasan ekstern adalah pengendalian serta pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris /struktural berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif, misalnya:

kontrol keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pusat Pelaporan Analisi dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan lain-lain. Kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat melalui pers/mass-media, pengawasan politis yang pada umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga perwakilan rakyat dalam bentuk “hearing” ataupun hak bertanya para anggotanya. Termasuk pula pengawasan ekstern ini adalah pengawasan yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan (judicial control) dalam hal ini timbul persengketaan atau perkara antara warga negara dengan pihak pemerintah.207

Dalam praktek adanya pengawasan tersebut sering dilihat sebagai sarana untuk mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas administrasi negara dari apa yang telah digariskan. Di samping adanya pengawasan segi hukum (rechtmatigheidstoetsing) juga dikenal apa yang disebut pengawasan segi kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing) yang umumnya dilakukan oleh aparat di lingkungan administrasi negara sendiri.

Ada dua tehnik untuk melakukan kontrol terhadap wewenang diskresi.

Teknik retrospektif adalah dengan menilai tindakan-tindakan terdahulu, kemudian diadakan mekanisme pengajuan gugatan, banding, atau yudicial review. Teknik prospektif, adalah dengan mengatur pelaksanaan diskresi lebih lanjut, atau bisa disebut sebagai pembuatan peraturan. Tipe kontrol prospektif terdiri dari dua bagian, yaitu pembatasan dan strukturisasi diskresi. Pembatasan, meliputi perangkat batas-batas diskresi dengan menggunakan peraturan yang tegas membatasi area yang dapat dipilih oleh pembuat keputusan dalam pelaksanaan

206 Paulus E. Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Tindakan Pemerintahan, Op.Cit., hlm. xv.

207 Bandingkan dengan dengan Paulus E. Lotulung, Ibid., hlm. xvi.

diskresi. Strukturisasi, mengontrol cara-cara yang dipilih oleh administrasi diantara pilihan-pilihan yang berada dalam batas-batas diskresi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara, pertama meletakan standar yang luwes sebagai pedoman melaksanakan diskresi; kedua dengan menetapkan peraturan yang harus diobservasi oleh administrasi dalam melaksanakan diskresi. Bila wewenang diskresi dipertahankan, maka harus dikontrol melalui parlemen (kontrol politik) dan peradilan (kontrol hukum). if discretionary power is to be tolerate it must be kept under two kind of control: political control through parliament, and legal control through the courts.208

Di Indonesia, kontrol politik yang dilakukan DPR terhadap tindakan administrasi negara berupa hak interplasi, hak angket, pembentukan Pansus (Panitia Khusus) dan Panja (Panitia Kerja). Contoh kontrol politik yang dilakukan oleh DPR terhadap diskresi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara adalah pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Bank Century. Pansus ini dibentuk terkait Keputusan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang menyatakan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, sehingga untuk menyelamatkan bank tersebut, pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memberikan dana talangan kepada Bank Century dengan total sekitar 6,7 trilyun rupiah.209

Kontrol hukum bisa dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, apabila diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi negara berupa beschikking. Sedangkan mekanisme judicial review melalui Mahkamah Agung bisa ditempuh apabila diskresi yang dibuat oleh pejabat administrasi negara berbentuk regeling. Salah satu kontrol hukum terhadap putusan diskresi pejabat administrasi negara yaitu ketika PTUN Jakarta membatalkan Keputusan Presiden

208 H.W.R. Wade & C.F. Forsyth, Administrative Law, Op. cit., hal. 4; lihat juga Anna Erliyana, Keputusan Presiden Analisis Keppres Tahun 1987-1998, Op.cit., hal. 87

209 Wikipedia.org, Aliran Dana Lembaga Penjamin Simpanan Pada Bank Century, diunduh tanggal 15 Januari 2014.

Nomor 87/P tanggal 22 Juli 2013. Keppres itu isinya menetapkan pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai hakim konstitusi.210

Dokumen terkait