• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan dan Pertanggungjawabannya dalam Hukum Administrasi Negara

N/A
N/A
Dwi Komala Septiani

Academic year: 2024

Membagikan " Penggunaan dan Pertanggungjawabannya dalam Hukum Administrasi Negara"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

DISKRESI: PENGGUNAAN DAN PERTANGGUNGJAWABANNYA DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Hukum dalam Ilmu Hukum

MALA HAYATI 1106150843

FAKULTAS ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA

2014

(2)
(3)
(4)

Syukur Alhamdulillah senantiasa terucap kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat membuat dan menyelesaikan penulisan Tesis ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam semoga tercurah limpah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga beliau, para sahabat beliau, dan semoga kepada kita selaku ummatnya yang taat dan patuh hingga akhir zaman.

Penulis menyusun Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dengan segala kerendahan hati, Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Tesis ini tentunya tidak luput dari adanya kekeliruan dan kekurangan dan/atau ketidaksempurnaan baik dari segi materi maupun dari segi tata bahasa penulisan. Namun dengan segala kemampuan yang ada serta dengan dorongan keinginan baik dari keluarga, dosen pembimbing serta rekan-rekan seperjuangan di Pascasarjana, Penulis berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyelesaikannya dengan baik. Penulis berharap penulisan Tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun masyarakat secara umum.

Dalam penulisan Tesis ini, Penulis banyak sekali mendapat bantuan, bimbingan, pengarahan, serta dorongan dari berbagai pihak baik berbentuk moril maupun materiil, oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Orang tua Penulis Ayahanda tercinta Bapak Tarzaman, beliau begitu sabar serta penuh perjuangan dalam membesarkan dan mendidik Penulis hingga saat ini, serta Ibunda yang telah lama tiada, Ibu Marhamah (almh) semoga beliau bahagia disana. Untuk kakak-kakakku, Fitriyani dan Adhi Ardiansyah; serta adik-adikku Ari Nurdiansyah, Endah Setyaningrum dan Ananda Mutiara Rizki.

2. Bapak Dr. Ari Santosa, DEA Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan izin dan dorongan kepada Penulis menempuh pendidikan pascasarjana.

3. Bapak Nelwan Isa, S.E., M.M., Kepala Bagian Tata Usaha dan Bapak Drs.

Kusdianto, M.Si., Kepala Subbagian Tatalaksana dan Kepegawaian Pustekkom Kemdikbud atas semua permakluman dan dukungannya selama ini. Demikian juga kepada Ibu Dra. Mariana Soemitro dan Dra.

Sunarti atas dukungan dan dorongan ketika diawal-awal Penulis memulai studi S2.

(5)

bantuan pembiayaan studi Penulis selama menempuh pendidikan Magister Hukum.

5. Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang telah begitu sabar menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan Penulis dalam penyusunan tesis ini, meskipun disela-sela kesibukan beliau tetapi masih bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada Penulis.

6. Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., selaku ketua sidang sekaligus penguji tesis. Dr. Fatmawati, S.H., M.H., selaku penguji tesis.

7. Seluruh guru Penulis di Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, yang banyak memberikan pencerahan dan ilmu bagi penulis serta motivasi.

8. Rekan-rekan seperjuangan, di kampus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

9. Serta semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan hingga selesainya penulisan tesis ini.

Jakarta, 6 Januari 2014

Mala Hayati

(6)
(7)

Nama : Mala Hayati

Program Studi : Hukum dan Kehidupan Kenegaraan

Judul : Diskresi: Penggunaan dan Pertanggungjawabannya Dalam Hukum Administrasi Negara

Dalam negara hukum modern (negara kesejahteraan), diskresi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara merupakan hal yang tak terhindarkan.

Dinamisnya tugas-tugas administrasi negara serta keterbatasan peraturan perundang-undangan dalam merespon kemajuan masyarakat menjadikan diskresi acapkali dilakukan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.

Walaupun diskresi sering diartikan sebagai kewenang bebas atau kebebasan dalam bertindak, namun sejatinya penggunaan disresi dalam administrasi negara tidak benar-benar bebas, tetap harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kedua hal tersebut merupakan acuan ketika menggunakan wewenang diskresi agar tidak menjadi penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang yang justru malah merugikan masyarakat. Selain itu, pejabat administrasi negara pun harus dapat mempertanggungjawabkan diskresi yang telah dilakukan, tanggung jawab ini berupa tanggung jawab moral dan tanggung jawab hukum.

Kata kunci: wewenang, diskresi, pertanggungjawaban.

(8)

Name : Mala Hayati

Major : Law and State of Life

Tittle : Discretion: The Uses and TheLiability in Administrative Law

In modern state law( welfare state ), discretion by administrative officials is inevitable. Dynamic state administration tasks as well as the limitations of legislation in response to the progress of society often make discretionary done in solving the problems that arise. Although discretion is often interpreted as free authority or freedom to act, but actually the use of discretion in the administration officials is not really free, but still have to pay attention to the laws in force and the general principles of good governance. Both of these are a reference when using discretionary powers so as not to be an abuse of authority and arbitrary that it actually detrimental to society. In addition, administration officials must be accountable discretion that has been made, the liability is a moral liability and legal liability.

.

Keywords : authority , discretion , liability.

(9)

HALAMAN JUDUL ... ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ... vi

ABSTRAK ... ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ... ix

DAFTAR TABEL ... ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... ... 1

1.1. Latar Belakang ... ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... ... 7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ... 8

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1.1. Tujuan Umum ... ... 8

1.3.1.2. Tujuan Khusus ... ... 8

1.3.2. Manfaat Penelitian ... . 8

1.4. KerangkaKonsep ... ... 9

1.4.1. Wewenang ... ... 9

1.4.2. Diskresi ... 12

1.4.3. PertanggungjawabandalamHukumAdministrasi Negara ... 15

1.4.4. Administrasi Negara ... ... 16

1.4.5. Asas-asasUmumPemerintahan yang Baik (AAUPB) ... 18

1.5. MetodePenelitian ... ... 20

1.5.1. JenisPenelitian ... ... 20

1.5.2. MetodePendekatan ... ... 21

1.5.3. MetodePengumpulanBahanHukum ... ... 22

1.6. SistematikaPenulisan ... ... 22

(10)

2.1. Kewenangan Administrasi Negara ... ... 24

2.1.1. Asas Legalitas ... 24

2.1.2. Sumber Wewenang ... ... 27

2.1.3. Sifat Wewenang ... 32

2.1.4. Batas-Batas Wewenang ... ... 33

2.2. Pertanggungjawaban Administrasi Negara ... 35

2.2.1. Kesalahan Pribadi dan Kesalahan Jabatan ... 38

2.2.1.1. Kesalahan Pribadi ... 39

2.2.1.2. Kesalahan Jabatan ... 39

2.2.2. Tanggung Jawab pribadi dan Tanggung Jawab Jabatan ... 40

2.2.2.1. Tanggung Jawab Pribadi ... ... 41

2.2.2.2. Tanggung Jawab Jabatan ... ... 42

BAB III PENGGUNAAN DISKRESI DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA ... 44

3.1. Pengertian Diskresi ... 44

3.1.1. Diskresi sebagai Wewenang ... ... 46

3.1.2. Diskresi sebagai Sikap Tindak Administrasi Negara .... 49

3.1.3. Diskresi sebagai Instrumen Administrasi Negara ... 49

3.2. Macam-macam Diskresi ... .... 53

3.3. Batas-Batas Penggunaan Diskresi ... ... 56

3.4. Kedudukan Diskresi ... 59

3.5. Menguji Legalitas Tindakan Diskresi ... .. 62

3.6. Praktik Diskresi di Indonesia ... .... 73

3.6.1. Peraturan Kebijakan ... ... 76

3.6.2. Diskresi di Institusi Kepolisian... 79

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN DISKRESI DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA ... 83

4.1. Pertanggungjawaban Diskresi ... 83

(11)

4.1.2.1. Tanggung jawab pribadi ... 89

4.1.2.2. Tanggung jawab jabatan ... 91

4.2. Pengawasan Diskresi ... 93

4.3. Penyimpangan Diksresi ... 101

4.4. Diskresi dalam RUU Administrasi Pemerintahan ... 102

4.4.1. Pengertian Diskresi ... ... 103

4.4.2. Ruang Lingkup dan Persyaratan Diskresi ... .... 103

4.4.3. Pengawasan Diskresi ... 105

4.4.4. Prosedur Penggunaan Diskresi ... ... 105

4.4.5. Melampuai dan Mencampur adukan Wewenang serta Sewenang-wenang ... 106

BAB V PENUTUP ... 107

5.1. Simpulan ... 107

5.2. Saran ... 107

DaftarPustaka ... 109

(12)

1. Tabel 2.1. PerbedaanAntaraDelegasidanMandat ... ... 31 2. Tabel 2.2. PerbedaanDelegasidanMandatMenurut

Philipus M. Hadjon ... ... 32 3. Tabel 5.1. PerbandinganTanggungJawabJabatan

danTanggungJawab Pribadi ... ... 88

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Permasalahan

Pada setiap pejabat pemerintah, sejatinya melekat wewenang yang bersifat diskresional (discretionary power), yang diberikan undang-undang untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan berdasarkan pertimbangan- pertimbangannya sendiri. Esensi dasar kewenangan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah menghindari kekosongan pemerintahan, menyelamatkan kepentingan negara dan kepentingan umum yang mendesak, serta berbagai pilihan tindakan yang disediakan peraturan perundang-undangan untuk dilakukan. Prinsip dasarnya adalah tidak melanggar tujuan-tujuan konstitusional negara dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Perkembangan konsep “Negara Hukum” sekarang ini telah menghasilkan suatu konsep negara kesejahteraan (welvaarstaat, welfare state).1 Dalam suatu negara hukum yang demikian ini, tugas negara bukan hanya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban saja, melainkan juga sebagai service publik (bestuurszorg) yaitu menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial bagi masyarakatnya. Oleh karena itulah maka negara melakukan campur tangan hampir di setiap sektor kehidupan masyarakat. Menurut E. Utrecht, sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, lapangan

1 Sebelum sampai kepada konsep “negara kesejahteraan (welfare state)”, negara hukum telah mengalami beberapa perkembangan. Dimulai dari konsep “Nomoi” (negara hukum) dari Plato, yang berkembang menjadi negara polisi (polizei staat) yaitu segala sesuatu ditentukan oleh raja, kedudukan raja diatas warga negaranya. Hubungan yang terbangun dapat dikatakan sepihak, rajalah yang menentukan segalanya. Kemudian menjadi negara hukum formal (nachtwachker staat) yang merupakan antitesis atau reaksi dari tipe pertama. Biasa juga disebut sebagai negara hukum dalam arti sempit atau negara penjaga malam. Dalam tipe ini, negara tidak dibenarkan turut campur dalam penyelenggaraan kepentingan umum. Peran negara sangat terbatas dalam tipe negara ini. Dan selanjutnya adalah negara hukum materiil atau negara kesejahteraan (welvaarstaat, welfare state). Disini negara bukan semata-mata menjaga keamanan tetapi juga berperan aktif dalam urusan kemasyarakatan dan kesejahteraan rakyat. Lihat Azhari, “Negara Hukum Indonesia:

Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya”, (Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta, 1995). hal. 5-15.

(14)

pekerjaan pemerintah semakin lama semakin luas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszong).2

Pada negara kesejahteraan, peranan hukum administrasi negara menjadi sangat luas dan dominan. Friedmann dalam bukunya The Rule of Law and The Walfare state menyebutkan adanya lima fungsi dari negara kesejahteraan, yaitu sebagai protector, provider, regulator, entrepreneur, dan sebagai arbitrator.3 Mengingat sedemikian luasnya aspek kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat, maka sudah barang tentu tidak setiap permasalahan yang dihadapi dan tindakan yang akan diambil oleh administrasi negara telah tersedia aturannya.

Adakalanya administrasi negara dihadapkan pada permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap permasalahan tersebut tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif. Dalam keadaan seperti ini membawa administrasi negara kepada suatu konsekuensi khusus, yaitu memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif atau kebijaksanaannya sendiri. Kemerdekaan dan kebijaksanaan sendiri ini, dalam hukum administrasi negara disebut dengan diskresi.4

2 Diberikannya tugas “bestuurszong” itu membawa suatu konsekuensi yang khusus bagi adminstrsi negara. Agar dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, menyelenggarakan pengajaran bagi semua warga negara, dan sebagainya secara baik, maka administrasi negara memerlukan kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan genting yang timbul dengan sekonyong-konyong dan yang peraturan penyelenggaraannya belum ada, yaitu belum dibuat oleh badan-bandan kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif. Lihat E. Utrecht, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1988), hal. 28-31.

3 Sebagai protector negara melindungi warga negara; sebagai provider negara bertanggung jawab dan menjamin suatu standar minimum kehidupan secara keseluruhan dan memberikan jaminan seosial lainnya; sebagai regulator negara mengadakan aturan kehidupan bernegara; sebagai enterpreneur, negara menjalankan sektor ekonomi melalui badan usaha milik negara/daerah dan menciptakan suasana yang kondusif untuk berkembangnya bidang-bidang usaha; sebagai arbitrator, negara menjadi penengah apabila terjadi perselisihan diantara warga masyarakat. Sebagaimana dikutip oleh Saut P. Panjaitan, “Makna dan Peran Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara” dalam “Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara”, (UII Press: Yogyakarta, 2001), hal 106; lihat juga Sunarjati Hartono dalam “Apakah Rule of Law itu?”, (Alumni: Bandung, 1976); lihat juga Friedmann, The State and The Rule od Law in Mixed Economy, (London: Steven & Son, 1971), hal. 3.

4 Sjahran Basah, “Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia”, (Alumni: Bandung, 1985), hal. 12; lihat juga E. Utrech dalam “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, (Pustaka Tinta Mas: Surabaya, 1988), hal. 4.

(15)

Menurut Mahfud MD, diskresi menimbulkan implikasi di bidang eksekutif dan di bidang peraturan perundang-undangan. Dibidang eksekutif antara lain ditandai dengan terdapatnya hak prerogatif. Sedangkan di bidang peraturan perundang-undangan terdapat tiga macam kewenangan bagi pemerintah yaitu:

Pertama, pemerintah berwenang membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan kepada parlemen. Kedua, pemerintah mempunyai kewenangan membuat peraturan pelaksana atas ketentuan UU. Ketiga, pemerintah mempunyai kewenangan sendiri dalam menafsirkan materi peraturan perundang-undangan.5

Dengan adanya diskresi ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan pembentuk undang- undang dipindahkan kedalam administrasi negara sebagai badan eksekutif. Jadi supremasi badan legislatif diganti oleh supremasi badan eksekutif, karena administrasi negara melakukan penyelesaian masalah tanpa harus menunggu perubahan undang- undang dari bidang legislatif.6 Hal tersebut karena pada prinsipnya badan atau pejabat administrasi pemerintahan tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan hukumnya tidak ada ataupun hukumnya ada tetapi tidak jelas, sepanjang hal tersebut masih menjadi kewenangannya.7

Melalui diskresi, maka administrasi negara diharapkan dapat menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya penting dan mendesak yang aturan hukumnya belum tersedia itu, administrasi negara atas inisiatifnya sendiri diperkenankan mengambil tindakan atau putusan.

5 Mahfud MD..Lihat Dalam Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 30.

6 E. Utrech, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1988), hal 24.

7 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, “Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara”, (Liberty: Yogyakarta, 1987), hal. 46.

(16)

Diskresi secara bebas didefinisikan sebagai “kewenangan atau hak untuk memutuskan atau bertindak menurut penilaian atau pilihan seseorang”.8 Diskresi sering juga disebut sebagai kewenangan bebas,9 maksudnya adalah diskresi memberikan administrasi negara suatu hak istimewa berupa kemerdekaan bertindak atas inisiatif dalam membuat keputusan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan administrasi negara.

Oleh karena sering diartikan sebagai kewenangan bebas, diskresi kerap diartikan sebagai “tindakan bebas” yang seolah-olah “lepas” dari hukum. Selain itu, karena sifatnya untuk menyelesaikan suatu masalah yang tidak tercover hukum, maka seakan-akan diskresi merupakan tindakan administrasi negara yang

“lepas” dari hukum. Tidak jarang pula diskresi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara bertentangan dengan hukum.

Hal tersebut tentu saja menjadi rancu. Ronald Dworkin menggambarkan diskresi dengan “doughnut analogy”, “Discretion like the hole in a doughnut, does not exist except as an area left open by a surrounding belt of restriction.10 Disini terlihat menurut Dworkin diskresi merupakan bagian dari hukum, yang dalam penggunaannya masih berada dalam koridor hukum dan tidak boleh bertentangan dengan hukum.

Penggunaan diskresi memang menjadi dilema tersendiri bagi administrasi negara. Tidak dapat dipungkiri, ketika dalam menjalankan administrasi negara ada beberapa persoalan yang tidak diatur dalam aturan perundang-undangan yang ada, tetapi menuntut untuk diselesaikan. Hal tersebutlah yang mau tidak mau membuat pejabat administrasi negara melakukan diskresi. Disisi lain, diskresi juga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan sewenang-

8 Lihat Anna Pratt dan Lorne Sossin dalam “The Dilemmas of Discretion, A Breif Introduction of the Puzzle of Discretion”, (Canadian Journal of Law and Society: 2009), hal. 2.

9 Prajudi Atmosudirjo, “Hukum Administrasi Negara”, Edisi Revisi, (Galia Indonesia:

Jakarta, 1994), hal. 82.

10 Lihat Noel B Reynolds, “Dworkin as Quixote”, (University of Pennsylvania Law Review: 1975), hal. 3.

(17)

wenangan (willekeur) administrasi negara, yang pada akhirnya jusrtu malah merugikan kepentingan masyarakat. Tidak adanya batasan yang jelas mengenai diskresi membuat diskresi sangat mudah untuk disimpangi penggunaannya.

Adagium yang begitu populer dari Lord Acton, yaitu “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”; (Manusia (organ) yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan disalahgunakan).11 Sebagaimana pendapat Lord Acton, kekuasaan sangat potensial untuk disalahgunakan. Semakin besar kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan.12

Penggunaan diskresi dalam lapangan administrasi negara memang banyak dikritisi. Bank Sentral di Jerman berani mengklaim dalam menjalankan roda administrasinya sama sekali tidak pernah menggunakan diskresi. Mereka mengklaim bahwa semua tindakan administrasi di bank tersebut berjalan sesuai aturan yang tertulis.13 walaupun banyak yang meragukan klaim tersebut, penggunaan diskresi dalam administrasi negara kadangkala justru mendatangkan persoalan baru, seperti penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang.

Diskresi juga merupakan bukti kurangnya pejabat administrasi negara dalam memahami sebuah aturan perundang-undangan, atau pejabat administrasi negara yang terlalu pragmatis dalam menjalankan administrasi negara. Diskresi dikhawatirkan akan bertentangan dengan asas legalitas, terutama prinsip wetmatigeheid van bestuur, yang artinya perbuatan administrasi negara harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Meskipun begitu, penggunaan diskresi dalam administrasi negara merupakan hal yang tak terhindarkan dalam negara modern saat ini.

Perkembangan persoalan-persoalan di masyarakat yang begitu cepat seringkali tidak bisa diatasi oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Disinilah diskresi

11 Ridwan HR, Hukum Adminstrasi Negara, Op. Cit., hal. 6.

12 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 52.

13 Lihat Edward L Rubin, “Discretion and its Discontents”, (Chicago-Kent Law Review:

1997), hal. 14.

(18)

memegang peranan penting dalam pelaksanaan administrasi negara. Administrasi negara bukan hanya terompet dari suatu peraturan perundang-undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya itu mereka wajib bersikap aktif demi terselenggaranya tugas-tugas service publik (bestuurszorg), yang kesemuanya tidak dapat ditampung oleh hukum tertulis saja. Oleh karenanya maka diperlukan diskresi.

Agar diskresi yang dilakukan oleh administrasi negara tepat sasaran, yaitu mengatasi persoalan yang datang secara tiba-tiba dan penyelesaiannya belum tercover oleh undang-undang, dan dan terhindar dari tindakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan sewenang-wenangan (willekeur) maka penggunaan diskresi harus dilakukan dalam koridor hukum yang berlaku, yaitu asas legalitas dan juga peraturan hukum yang tidak tertulis berupa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).14

Selanjutnya diskresi tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Sjachran Basah15 “....administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Walaupun demikian sikap tindakannya itu haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun secara hukum.” memang dapat dirasakan bahwa tanggung jawab secara moral terlalu abstrak untuk menilainya, tetapi disinilah letak moral pejabat administrasi negara dipertaruhkan.16

Tesis ini akan menguraikan mengenai penggunaan dan pertanggungjawaban diskresi dalam Hukum Administrasi Negara secara umum, secara khusus menguraikan praktik penggunaan dan pertanggungjawaban diskresi di Indonesia. Lebih lanjut, ruang lingkup penelitian ini tidak sebatas pada menguraikan teori dan konsep mengenai penggunaan diskresi dan

14 Saud P Panjaitan, Op. cit., hal. 114. Lihat juga Prajudi Atmosudirjo, “Hukum Administrasi Negara”, Op. cit.

15 Sjachran Basah, “Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi negara”, (Alumni: Bandung, 1986).

16 Saud P. Panjaitan, “Makna dan Peran Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara”Op. cit.

(19)

pertanggungjawabannya, tetapi juga pengawasan penggunaan diskresi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang dalam pembuatan keputusan diskresi.

Penelitian ini penting untuk ditelusuri lebih lanjut, mengingat begitu seringnya pejabat administrasi negara mengambil keputusan yang bersifat diskresi, maka dengan pemahaman yang benar mengenai diskresi dan pertanggungjawabannya pejabat administrasi negara dapat membuat keputusan diskresi sesuai dengan aturan hukum, sehingga bahtera negara dapat selamat dan sentosa melaju menuju pulau harapan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, masyarakat yang cerdas dan sejahtera, berperan dalam menciptakan keterlibatan dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.17 Dengan demikian, tesis ini di beri judul “Diskresi:

Penggunaan dan Pertanggungjawabannya dalam Hukum Administrasi Negara”.

1.2 Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar permasalahan yang telah disampaikan pada pembahasan terdahulu, maka masalah-masalah yang dapat diidentifikasi dan dirumuskan berkenaan dengan masalah pokok penggunaan diskresi dan pertanggungjawabannya dalam Hukum Administrasi Negara maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan permasalahan diantaranya :

1. Bagaimanakah penggunaan diskresi dalam hukum administrasi negara?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban diskresi dalam hukum administrasi negara?

17 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004)., hal. 2-3.

(20)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

1.3.1.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan melakukan pendalaman dan penganalisisan dalam memahami kewenangan yang melekat pada pejabat administrasi negara dalam pengambilan keputusan yang bersifat diskresi. Oleh karena itu, konsep mengenai kewenangan, diskresi, administrasi negara dan pertanggungjawaban serta AAUPB dalam hukum administrasi negara akan menjadi salah satu norma yang menjadi rujukan.

1.3.1.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan dan menganalisis bagaimana penggunaan diskresi yang dilakukan oleh administrasi negara apabila dikaitkan dengan konsep kewenangan.

2. mengetahui pertanggungjawaban diskresi yang dilakukan oleh administrasi negara dikaitkan dengan asas legalitas dan AAUPB.

1.3.2 Manfaat penelitian secara teoritis dan praktis.

1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan baik bagi peneliti, maupun kalangan akademisi, dengan bertambah referensi ilmu pengetahuan hukum administrasi negara terutama berkaitan dengan penggunaan dan pertanggungjawaban diskresi dalam Hukum Administrasi Negara.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu kejelasan pada masyarakat luas dan para praktisi di bidang hukum administrasi berkenaan dengan penggunaan dan pertanggungjawaban diskresi dalam Hukum Administrasi Negara.

(21)

1.4 Kerangka Konsep 1.4.1 Wewenang

Wewenang atau kewenangan18 dalam bahasa Inggris disebut authority, kewenangan adalah otoritas yang dimiliki suatu lembaga untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Robert Bierstedt mengatakan wewenang adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).19 Kewenangan merupakan wujud nyata dari kekuasaan.

Sementara itu, kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.20 Kekuasaan seringkali dipandang sebagai suatu sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih kesatuan, sehingga kekuasaan dianggap mempunyai sifat yang rasional. Karenanya perlu dibedakan antara scope of power dan domain of power. Scope of power atau ruang lingkup kekuasaan menunjuk pada kegiatan, tingkah laku, serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan. Sementara istilah domain of power, jangkauan kekuasaan, menunjuk pada pelaku, kelompok, atau kolektivitas yang terkena kekuasaan.21

18 Prajudi Atmosudirjo membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid), walaupun dalam praktik perbedaannya tidak selalu dirasakan perlu. “Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan (yang biasanya terdiri atas beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheid).

Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik, misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat-surat izin dari seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangan tetap berada ditangan menteri (delegasi wewenang). Lihat Prajudi Atmosudirjo,

Hukum Administrasi Negara”, Op. cit., hal. 78.

19 Robert Bierstedt dikutip oleh Prof. Miriam Budiharjo dalam Firmansyah Arifin, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005), hal. 16.

20 Miriam Budiharjo dalam Firmansyah Arifin, dkk, ibid.

21 Robert Bierstedt, Loc. cit.

(22)

E. Utrecht membedakan istilah “kekuasaan” (gezag, authority) dan “kekuatan” (macht, power). Dikatakan bahwa “kekuatan”

merupakan istilah politik yang berarti paksaan dari badan yang lebih tinggi kepada seseorang, biarpun belum menerima paksaan tersebut sebagai sesuatu yang sah sebagai tertib hukum positif. “kekuasaan” adalah istilah hukum. Kekuatan akan menjadi kekuasaan apabila diterima sebagai sesuatu yang sah atau sebagai tertib hukum positif dan badan yang lebih tinggi itu diakui sebagai penguasa (otoriteit).22

Soerjono Soekanto mengemukakan pengertian “kekuasaan” sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pemegang kekuasaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, atau dengan kata lain antara pihak yang memiliki kemampuan melancarkan pengaruh dan pihak lain menerima pengaruh itu dengan rela atau karena terpaksa.23

Beda antara “kekuasaan” dan “wewenang” (authority) adalah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedang “wewenang” adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.24

Wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara : “Het begrip bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staats-

22 E. Utrech, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Op. cit., hal. 43.

23 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), hal. 79-80.

24 Bangir Manan dalam Lukman Hakim, Kewenangan Organ Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal Konstitusi Volume IV No. 1, Juni 2011. Hal. 206.

(23)

en administratief recht,25 yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan- tindakan hukum tertentu. Mengenai wewenang, H.D. Stout mengatakan:

“Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging et uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer”26

(Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan- aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).

Lebih lanjut, H.D. Stout, dengan menyitir pendapat Goorden, mengatakan bahwa wewenang adalah “het geheel van rechten en plichten dat hetzij expliciet door de wetgever aan publiekrechtelijke rechtssubjecten is toegekend”27 (keseluruhan hak dan kewajiban yang secara eksplisit diberikan oleh pembuat undang-undang kepada subjek hukum publik).

Sedangkan Nicolai memberi pengertian:

“Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen (handelingen die op rechtsgevolg gericht zijn en dus ertoe strekken dat bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te verrichten of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het verricchten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een bepaalde handeling to verrichten of na te laten”.

(Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu [yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul lenyapnya akibat hukum].

hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).

25 Lihat Ridwan, Hukum Administras Negara, Op. cit., hal. 99.

26 Ibid., hal. 98.

27 Ibid.

(24)

Dalam negara hukum yang menempatkan asas legalitas sebagai sendi utama penyelenggaraan pemerintahan, wewenang pemerintahan (bestuursbevoegdheid) itu berasal dari peraturan perundang-undangan.

R.J.H.M. Huisman menyatakan pendapat sebagai berikut:

“Een bestuursorgaan kan zigh geen bevoegdheid toeegenen. Slechts de wet kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet allen attribueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteurs, inspecteur voor het milieu enz.) of aan speciale colleges (bijvoorbeeld de kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke rechtspersonen”.28

(Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Wewenang hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai [misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya] atau terhadap badan khusus [seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah], atau bahkan terhadap badan hukum privat).

Dari berbagai pendapat diatas, Penulis menjadikan pendapat R.J.H.M. Huisman sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.

1.4.2 Diskresi29

Oxford: the Australian Reference Dictionary mengartikan diskresi atau discretion sebagai “kemerdekaan (freedom) atau otoritas (authority) [seseorang] untuk bertindak (act) sesuai dengan penilaian/pertimbangan (judgment)-[nya]”.30 Istilah diskresi kemudian masuk dalam khazanah Hukum Administasi Negara. Bahkan diskresi menjadi salah satu pokok

28 Ibid., hal. 100.

29RUU Administrasi Pemerintah: Diskresi, Hukum Administrasi Inggris: Discretionary Power, Hukum Administrasi Jerman: Ermessen (bukan Freies Ermessen), Hukum Administrasi Belanda: Vrij bevoegdheid. Lihat Philipus M. Hadjon, “Kebutuhan akan Hukum Administrasi Umum”, dalam “Hukum Administrasi dan Good Governance”, (Penerbit Universitas Trisakti:

Jakarta, 2010), hal. 24.

30 Erlyn Indarti, “Diskresi dan Paradigma: Sebuah Telaah Filsafat Hukum”, Pidato Pengukuhan Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, Semarang, 4 November 2010, hal. 38.

(25)

bahasan yang sangat penting dalam Hukum Administrasi Negara seperti halnya topik asas legalitas atau asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dalam lapangan hukum administrasi negara, Prajudi Atmosudirjo31 mengatakan:

“...asas diskresi (discretie; freies Ermessen), artinya pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan „tidak ada peraturannya‟ dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan asas legalitas...”

Senada dengan pendapat tersebut, Sjahran Basah32 mengatakan diperlukannya freies Ermessen oleh administrasi negara itu:

“...dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri...terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang timbul secara tiba-tiba. Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan- keputusan yang diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah itu, harus dapat dipertanggungjawabkan”.

Henry Black Campbell mengemukakan pengertian diskresi sebagai berikut33:

“When applied to public functionalities, discretions means a right conferred upon them by the law of acting officially in certain circumtances, according to the dictate of their judgement and conscience, uncontrolled by the judgement or conscience of others. As applied to public officers, means power to act in an official capacity in a manner which appear to be just and proper under the circumtances‟.

(Jika diperlukan bagi pejabat-pejabat publik, diskresi mengandung arti sebagai hak yang diserahkan kepada pejabat publik berdasarkan hukum yang bertindak secara resmi dalam keadaan tertentu sesuai dengan ketentuan penilaian dan hati nuraninya yang tidak terkontrol oleh penilaian atau hati nurani orang lain. Jika diterapkan terhadap petugas- petugas publik, mengandung arti kekuasaan untuk bertindak dalam

31 Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Op. cit., hal. 85.

32 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Alumni: Bandung, 1985), hal. 151.

33 Henry Black Campbell, “Black‟s Law Dictionary”, (St. Paul: West Publishing, 1983), hal. 609.

(26)

kapasitas yang resmi dalam suatu cara yang resmi yang tampak sebagai adil dan patut berdasarkan keadaan yang bersangkutan).

Dalam pengertian yang kurang lebih sama, Thomas J. Aron mengemukakan pengertian diskresi sebagai kekuasaan atau kewenangan yang diberikan oleh hukum atau undang-undang kepada pejabat publik untuk mengambil suatu tindakan berdasarkan penilaian sendiri. Penilaian pejabat administrasi dalam hal diskresi yang dilakukannya bukan atas dasar pertimbangan hukum, melainkan lebih condong kepada pertimbangan moralitas. Dalam hubungan itu Thomas J. Aron merumuskan diskresi sebagai, “...a power of authority conferred by law to act on the basis of judgement or conscience and itu uses more an idea of morals than laws.”

(...suatu kewenangan yang diberikan oleh hukum untuk bertindak berdasarkan penilaian hati nurani dan memakainya sebagai suatu gagasan yang lebih bersifat moral daripada hukum).34

Marcus Lukman sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R.

mengartikan diskresi sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.35 Hal senada diberikan oleh Bachsan Mustofa yang menyebutkan diskresi diberikan kepada pemerintah mengingat fungsi pemerintah atau administrasi negara yaitu menyelenggarakan kepentingan umum yang berbeda dengan fungsi kehakiman untuk menyelesaikan sengketa antarpenduduk. Keputusan pemerintah lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).36 Dari berbagai pendapat diatas, Penulis Prajudi Atmosudirjo sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.

34 Lihat Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), hal. 71.

35 Ridwan, Hukum Adminstrasi Negara, Op.cit., hal. 169.

36 Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 55.

(27)

1.4.3 Pertanggungjawaban dalam Hukum Administrasi Negara

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya) dalam kamus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban yakni liability (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible).37

Liablity merupakan istilah hukum yang luas (a board legal term), di dalamnya antara lain mengandung makna bahwa, “it has been referred to as of the most comprehensive significance, including almost every character of hazard or responsibility, absolute, contingent, or likely. It has been defined to mean; all character of debts and obligations” (liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin.38

Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban). Di samping itu, liability juga merupakan: conditioning of being actually or potentially subject to an obligation, condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense, or burden;

condition which creates a duty to perform an act immediately or in the future (kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial;

kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang).39

37 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Op. cit., hal. 318.

38 Ibid.

39 Ibid.

(28)

Sementara responsibility berarti, “The state of being answerable for an obligation, and include judgement, skill, ability and capacity” (Hal dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk keputusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan). Responsibility juga berarti ,

“The obligation to answer for an act done, and to repair or otherwise make restitution for any injury it may have caused” (kewajiban bertanggungjawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau –sebaliknya- memberikan ganti rugi atas kerusakan apapun yang ditimbulkannya).40

Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik, berupa pertanggungjawaban pemerintah pada parlemen, yang meliputi collective and individual responsibility. Bentuk lain dari responsibility adalah legal responsibility dari menteri dan para pegawainya atas tindakan-tindakan mereka. Political responsibility dilaksanakan melalui parlemen, legal responsibility bisa dilaksanakan melalui pengadilan.41

1.4.4 Administrasi Negara

Prajudi Atmosudirjo42 memberikan empat macam pengertian administrasi negara yang satu sama lain tidak dapat dipisah-pisahkan.

Pertama, dari segi fungsional: administrasi negara adalah keseluruhan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh pemerintah beserta aparatur yang dipimpinnya. secara institusional: administrasi negara adalah keseluruhan

40 Ibid.

41 Tatiek Sri Djatmiati, Malaadministrasi dalam Konteks Kesalahan Pribadi dan Kesalahan Jabatan, Tanggung Jawab Pribadi dan Tanggung Jawab Jabatan, dalam Philipus M.

Hadjon, et.al, Hukum Administrasi dan Good Governance (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010), hal. 101-102.

42 Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia: 1995), hal. 67.

(29)

jabatan-jabatan dan satuan-satuan organisasi negara yang merupakan suatu aparatur negara yang secara langsung dipimpin dan digerakan oleh pemerintah. Secara proses: administrasi negara adalah keseluruhan aktivitas- aktivitas negara yang berasal dari atau bersumber pada kehendak-kehendak, penetapan-penetapan, atau perintah-perintah pemerintah. Dalam arti hukum, administrasi negara adalah pelaksanaan dan atau penyelenggaraan undang- undang dalam arti luas (wet in ruime zin).

Perlu dibedakan antara administrasi sebagai badan atau aparatur pemerintahan (the administration, de administratie)43 dan administrasi sebagai proses kegiatan-kegiatan (bestuur dalam arti dinamis). Administrasi dalam arti institusional adalah keseluruhan (aggregate, het geheel) daripada badan-badan (aparatur) yang menyelenggarakan tugas/kegiatan-kegiatan kenegaraan di bawah pimpinan pemerintah.

Kita mempergunakan istilah administrasi negara dalam arti luas, yang terdiri atas:44

1. Administrasi (Pemerintah) Pusat; yaitu administrasi dibawah pimpinan langsung dari pemerintah pusat.

2. Administrasi (Pemerintah) Daerah –Provinsi, Kotamadya, kabupaten; yaitu administrasi yang dipimpin oleh pemerintah daerah (Gubernur, Walikota, Bupati).

3. Administrasi badan-badan usaha negara adalah administrasi dibawah pimpinan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) walaupun bergerak di bidang niaga (business).

Pengertian administrasi negara dalam arti luas mencakup ketiga bidang administrasi tersebut. Sedangkan administrasi negara dalam arti

43 Di Amerika Serikat digunakan istilah “the administration” untuk pengertian keseluruhan pemerintahan, termasuk Presiden. lihat Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004)., hal. 12.

44 Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Op. cit., hal. 79.

(30)

sempit hanya mencakup administrasi pusat dan administrasi daerah.

Administrasi dalam arti fungsional adalah kegerakan atau kegiatan dari administrasi (dalam arti institusional). Jadi, di bidang kenegaraan administrasi praktis dapat kita samakan dengan pemerintahan atau bestuur dalam arti luas.

Dalam tesis ini, pengertian administrasi sama dengan pemerintahan45 atau bestuur, walaupun sebenarnya lebih baik dibedakan oleh karena pemerintahan bersifat politik, sedangkan administrasi lebih bersifat penyelenggaraan teknis. Menggunakan cara berfikir teori sisa (residu theorie atau aftrektheorie), pengertian administrasi negara dapat dipertegas sebagai: gabungan jabatan -aparat administrasi- yang dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian dari tugas pemerintah yang tidak dilakukan oleh badan pengadilan maupun badan legislatif.46

1.4.5 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)

AAUPB dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang dengan cara demikian, penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang- wenang.47

45Pemerintahan (atau disebut juga pangreh) adalah fungsi pemerintah (het besturen, het regeren) dalam arti menjalankan tugas-tugas memerintah (bestuursfunctie). Dalam arti pemerintahan ini dapat dipandang sejajar atau berhadapan dengan fungsi peradilan (rechtspraak) dan tugas perundang-undangan (wetgeving). Maka tugas pemerintahan dapat diartikan secara negatif adalah tugas penguasa yang bukan peradilan ataupun perundang-undangan. Lihat Kuntjoro Purbopranoto, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, (Bandung: Angkasa Offset Bandung, 1981), hal. 1.

46 Pendapat Prins dalam bukunya Inleiding in het Administratief recht van Indonesie, sebagaimana dikutip oleh Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Op. cit., hal. 67. Lihat juga E.

Utrech., Hukum Administrasi Negara Indonesia, Op. cit., hal. 10.

47 Ibid., hal. 234.

(31)

Berdasarkan penelitiannya, Jazim Hamidi menemukana pengertian AUPB sebagai berikut:

1. AAUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan Hukum Administrasi Negara.

2. AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan /beschikking), dan sebagai dasar penggugatan sebagai pihak penggugat.

3. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan dimasyarakat.

4. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaedah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.48

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia diidentifikasikan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pasal 3 dalam undang-Undang tersebut merumuskan Asas Umum Penyelenggaraan Negara adalah sebagai berikut:

Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam rangka negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara.

Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

48 Ibid., hal.235.

(32)

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. Asas Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara. Asas Profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum yuridis normatif,49 merupakan penelian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2) penelitian terhadap sistematik hukum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal; (4) perbandingan hukum; (5) sejarah hukum. Dari peraturan perundangan yang tersebut kemudian dilakukan klasifikasi yang relevan sehinnga membentuk sumber bahan hukum yang comperhensive, all inclusive, dan systematic.50 Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan jalan melakukan identifikasi terhadap kaidah hukum yang ada seperti perundang-undangan.

Penelitian ini terutama difokuskan pada penelitian atas bahan-bahan berupa dokumen, sehingga pendekatan kualitatif yang akan digunakan

49 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 12-15.

50 Johny Ibrahim. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Banyumedia Publishing, 2008; hal. 303.

(33)

dalam penelitian ini.51 Penelitian di bidang hukum, Soerjono dan Sri Mamudji mengklasifikasikan dalam metode penelitian hukum normatif.52Melalui metode penelitian hukum normatif akan dilakukan studi dokumen yang berkaitan dengan penggunaan dan pertanggungjawaban diskresi dalam hukum administrasi negara. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis.

1.5.2 Metode Pendekatan

Menurut Morris L. Cohen sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra, bahwa dalam penelitian hukum (Legal research) terdapat beberapa pendekatan yang digunakan, yaitu statute approach, conceptual approach, analitycal approach, comparative approach, hystorical approach, philosophical approach, dan case approach.53 Berdasarkan pendekatan- pendekatan tersebut, penulis menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan analitis (analitycal approach).

Pendekatan konseptual (conceptual approach), digunakan untuk meneliti, memahami, dan menelaah berbagai konsep-konsep, teori-teori dan doktrin-doktrin yang mengatur mengenai penggunaan dan pertanggungjawaban diskresi dalam Hukum Administrasi Negara.

Pendekatan analitis (analytical approach) bertujuan untuk menganalisa praktek penggunaan dan pertanggungjawaban diskresi di Indonesia.

51 Kenneth D. Bailey, Methods of Social Research, Second Edition (New York: The Free Press-Devision of MacMillan Publishing Co. Inc, 1982), hal. 62-63.

52 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Op.Cit., hal. 15.

53 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta; Kencana Perdana Media Grub, 2005), hlm. 29.

(34)

1.5.3 Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dengan melakukan studi kepustakaan terhadap bahan hukum primer54 dan bahan hukum sekunder.55 Pengumpulan data terhadap bahan hukum primer maupun sekunder tersebut, dilakukan melalui studi kepustakaan dengan menggali berbagai kemungkinan jawaban permasalahan dalam penelitian ini. Pengumpulan data dengan studi dokumenter yakni suatu cara pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non pemerintah berupa putusan pengadilan, perjanjian, surat keputusan, memo, konsep pidato, risalah rapat, laporan-laporan, media masa, internet, intruksi, aturan suatu instansi, publikasi, arsip-arsip ilmiah, dan sebagainya.

1.6 Sistematika Penulisan

Tesis ini disampaikan dalam lima bab dengan urutan penyampaian sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang akan menguraikan latar permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian serta manfaat penenelitian, kerangka konsep, metode penelitian, hingga sistematika penulisan.

Bab kedua membahas tinjauan umum yang menguraikan teori dan pendapat para pakar hukum tentang wewenang dan pertanggungjawaban dalam Hukum Administrasi Negara, dimulai dengan pembahasan tentang asas legalitas, sumber wewenangan, sifat wewenangan, dan batas-batas wewenang. Selanjutnya juga dibahas mengenai pertanggungjawaban

54 Bahan hukum primer adalah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide). Bahan ini mencakup: (a) buku; (b) kertas kerja konperensi, lokakarya, seminar, simposium, dan seterusnya; (c) laporan penelitian; (d) laporan teknis; (e) majalah; (f) disertasi atau tesis; dan (g) paten. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Op. Cit. , hal. 29.

55 Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer, yang antara lain mencakup: (a) abstrak; (b) indeks; (c) bibliografi; (d) penerbitan pemerintah; dan (e) bahan acuan lainnya. Ibid.

(35)

administrasi negara yang melitputi kesalahan pribadi dan kesalahan jabatan serta tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab jawab jabatan.

Bab ketiga menguraikan penggunaan diskresi dalam hukum administrasi negara, meliputi pengertian diskresi, macam-macam diskresi, batas-batas penggunaan diskresi, kedudukan diskresi dan pengujian legalitas tindakan diskresi. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan mengenai praktik penggunaan diskresi di Indonesia.

Bab keempat menganalisa mengenai pertanggungjawaban diskresi menurut hukum administrasi negara, meliputi tanggung jawab moral, tanggung jawab hukum berupa tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi.Bab kelima merupakan penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.

(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WEWENANG DAN PERTANGGUNGJAWABAN ADMINISTRASI NEGARA

2.1 Kewenangan Administrasi Negara 2.1.1 Asas Legalitas

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelengaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem Kontinental. Pada mulanya asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara. Di Inggris terkenal ungkapan; “no taxation without representation”, tidak ada pajak tanpa (persetujuan) parlemen, atau di Amerika ada ungkapan; “taxation without representation is robbery”, pajak tanpa (persetujuan) parlemen adalah perampokan. Hal ini berarti penarikan pajak hanya boleh dilakukan oleh setelah adanya undang- undang yang mengatur pemungutam dan penentuan pajak. Asas ini dinamakan juga dengan kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de wet).56 Asas legalitas ini merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintahan.

H.D. Stout, dengan mengutip pendapat Verhey, mengemukakan bahwa het beginsel van wetmatigheid van bestuur mengandung tiga

56 Secara historis, asas pemerintahan berdasarkan undang-undang itu berasal dari pemikiran hukum abad ke-19 yang berjalan seiring dengan keberadaan negara hukum klasik atau negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatidee) dan dikuasai oleh berkembangnya pemikiran hukum legalistik-positivistik, terutama pengaruh aliran hukum ligisme, yang menganggap hukum hanya apa yang tertulis dalam undang-undang. Di luar undang-undang dianggap tidak ada hukum atau bukan hukum. Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, dengan kata lain, asas legalitas dalam gagasan negara hukum liberal memiliki kedudukan sentral, atau sebagai suatu fundamen dari negara hukum (als een fundamenten van de rechtsstaat). Lihat Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Op.

cit., hal. 91.

(37)

aspek, yakni aspek negatif (het negative aspect), aspek formal-positif (het formeel-positieve aspect), dan aspek materiil-positif (het materieel- positieve aspect). Aspek negatif menentukan bahwa tindakan administrasi negara tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tindakan administrasi negara menjadi tidak sah jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Aspek formal-positif menentukan bahwa administrasi negara hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-undang. Aspek materiil-positif menentukan bahwa undang-undang memuat aturan umum yang mengikat tindakan administrasi negara. Hal ini berarti bahwa kewenangan harus memiliki dasar perundang-undangan dan juga bahwa isi dari kewenangan ditentukan normanya oleh undang-undang.57

Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapat persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin memerhatikan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, sebagaimana disebutkan Rousseau, “Vormde de wet de belichaming van de retionele, algemene wil (la raison humaine manifestee par la volonte generale) (undang-undang merupakan personifikasi dari akal sehat manusia, aspirasi masyarakat), yang pengejawantahannya harus nampak dalam prosedur pembentukan undang-undang yang melibatkan atau memperoleh persetujuan rakyat melalui wakilnya di parlemen.58

Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggara urusan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Asas legalitas

57 Secara normatif, prinsip bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan ini memang dianut di setiap negara hukum, namun dalam praktiknya penerapan prinsip ini berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Ada negara yang begitu ketat berpegang pada prinsip ini, namun ada pula negara yang tidak begitu ketat menerapkannya. Artinya untuk hal-hal atau tindakan-tindakan pemerintah yang tidak begitu fundamental, penerapan prinsip tersebut dapat diabaikan. Ibid., hal. 92.

58 Ibid., hal. 94.

Gambar

1. Tabel 2.1. Perbedaan Antara Delegasi dan Mandat ............... ......................

Referensi

Dokumen terkait

Djokosutono, S.H., bahwa hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara jabatan-jabatan dalam negara dan para warga masyarakat,

Seperti apa yang telah diuraikan di atas, bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan si Negara merupakan bagian dari Hukum Tata Negara dalam arti luas, maka di antara pab. bagian

Alat Administrasi Negara melaksanakan tugas dan fungsinya berlandaskan pada praktek administrasi negara atau sering dikenal dengan hukum kebiasaan yang telah

Golongan ini berpendapat bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tidak ada perbedaan prinsipil, hanya pada titik berat/focus pembahasan

Menyampaikan pendapat Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2014 15 Mengidentifikasi dan mengkaji Pertanggungjawaban Hukum Dalam Administrasi Negara

Aktivitas Hukum Administrasi Negara yang mencakup kegiatan administrasi negara yang bersifat nasional dan juga internasional sebagai perkembangan global saat ini, tentunya

van Vollenhoven menyatakan bahwa hukum administraasi negara terdiri atas hukum pemerintahan, hukum peradilan hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum acara peradilan administrasi

Korelasi antara Bantuan Hukum dan Substansi Ilmu Hukum Administrasi Negara: Kasus di atas menggambarkan bagaimana negara memberikan bantuan hukum kepada warga negara yang kurang mampu