BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 1
Nama Mahasiswa :Desti Wahyuni
Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 048389628
Kode/Nama Mata Kuliah : ADPU4332/Hukum Administrasi Negara
Kode/Nama UT Daerah : 18/Palembang
Masa Ujian : 2023/2024 Genap (2024.1)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
NASKAH TUGAS MATA KULIAH UNIVERSITAS TERBUKA SEMESTER: 2023/2024 Genap (2024.1)
Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kode/Nama MK : ADPU4332/Hukum Administrasi Negara
Tugas 1
No. Soal
1. Dua Warga Binaan Rutan Batam Dapat Pendampingan Hukum dari LBH Mawar Saron
Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum. Negara memberikan bantuan hukum kepada warga negara yang kurang mampu atau tidak bisa membayar pengacara. Untuk wilayah Provinsi Kepri, Kanwil Kemenkumham bekerja sama dengan dua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk mendampingi setiap warga binaan yang membutuhkan bantuan hukum. Kedua LBH yang sudah bekerja sama dengan Kanwil Kemenkumham Kepri adalah LBH Mawar Saron dan LBH Anisa.
Dalam hal memberikan bantuan hukum kepada warga miskin, Kemenkumham tidak bekerja sendiri tetapi menjalin kerja sama dengan LBH yang sudah disertifikasi. LBH akan melaksanakan pendampingan terhadap masyarakat miskin yang berhadapan dengan hukum, mulai dari penyidikan di Kepolisian, dan Kejaksaan, sampai persidangan di pengadilan.
Untuk pendampingan hukum yang dilakukan oleh LBH, masyarakat tidak perlu memikirkan biaya apapun.
Berdasarkan pada artikel diatas dapat kita pahami bahwa negara dalam fungsinya memiliki hubungan yang saling mengatur antara pemerintah dengan masyarakatnya.
Pertanyaan:
a. Korelasikan kasus di atas antara bantuan hukum yang diberikan dengan substansi ilmu hukum administrasi negara secara umum!
b. Bantuan hukum yang diberikan oleh pemerintah dapat dikatakan sebagai salah satu fungsi utama hukum administrasi negara. Berikan analisis dan penjelasan saudara termasuk ke dalam fungsi yang manakah yang telah dijalankan oleh pemerintah?
2. Langkah Pemerintah Susun Pedoman Interpretasi UU ITE Dipertanyakan
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mempertanyakan langkah pemerintah soal penyusunan pedoman interpretasi resmi atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Feri mengatakan, pedoman interpretasi tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU tersebut disebutkan hierarki perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, kata Feri, pedoman interpretasi tidak dapat diterapkan sebagai regulasi atau aturan hukum.
Feri mengatakan, interpretasi atas undang-undang bukan menjadi ranah pemerintah, melainkan hakim yang memutus di pengadilan. Feri menambahkan, jika pemerintah benar-benar ingin menghindari multitafsir atas pasal-pasal yang ada di UU ITE, maka sebaiknya UU tersebut direvisi atau diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berbagai cara bisa agar UU menjadi rigid dan detail, misalnya revisi, uji ke MK, dan membuat aturan pelaksana yang benar. Sebelumnya diberitakan, pemerintah akan menyiapkan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE. Hal ini disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate saat dikonfirmasi soal langkah pemerintah terkait revisi UU ITE.
Johnny mengatakan, pembentukan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo. Pedoman tersebut dibuat agar implementasi pasal-pasal UU ITE berjalan adil dan tak multitafsir. Selain Kemenkominfo, pedoman ini juga akan disusun oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Menurut Johnny,
pedoman interpretasi resmi UU ITE bakal dibuat dalam bentuk yang bisa menjadi acuan formal dan mempunyai kedudukan hukum. Koordinasi pembahasannya dilakukan melalui Kemenko Polhukam.
Terkait target penyusunan pedoman, Johnny mengatakan akan ditentukan dalam pembahasan pertama pemerintah. Johnny menyampaikan bahwa Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE yang kerap dianggap sebagai pasal karet atau multitafsir sudah beberapa kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasilnya, MK selalu menyatakan bahwa pasal tersebut konstitusional dan tak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pada prinsipnya, lanjut dia, UU ITE bertujuan untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Jaminan keadilan dalam UU ITE diklaim telah diupayakan pemerintah. Namun, jika pelaksanaannya tidak dapat memberikan rasa adil, terbuka peluang UU ITE direvisi kembali.
Pertanyaan:
a. Dalam hukum administrasi negara ada yang dinamakan instrumen hukum menurut Riawan Tjandra yang dapat digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Berikan analisis saudara, termasuk dalam instrumen hukum manakah permasalahan pada kasus di atas.
b. Ada asas yang perlu diperhatikan di dalam penyusunan perundang-undangan seperti prinsip dasar dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Korelasikan salah satu asas dengan kasus di atas.
3. Dalam hak dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil (PNS) ada hak yang dapat diterima selain berhak mendapatkan pendapatan juga diberi hak untuk mendapat cuti berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil.
Contoh kasus
Ibu Anisa merupakan seorang PNS sudah 10 tahun di salah satu instansi pemerintahan. Ibu Anisa berumur 40 tahun dan telah memiliki 3 orang anak, saat ini sedang hamil anak ke 4 dengan usia kandungan 7 bulan.
a. Tentukan perlakuan yang diberikan kepada ibu Anisa untuk hak cutinya pada kelahiran anak ke 4.
b. Bagaimana proses pengajuan cuti anak keempat?
JAWABAN
1. a. Korelasi antara Bantuan Hukum dan Substansi Ilmu Hukum Administrasi Negara:
Kasus di atas menggambarkan bagaimana negara memberikan bantuan hukum kepada warga negara yang kurang mampu melalui kerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Mari kita korelasikan dengan substansi ilmu hukum administrasi negara secara umum:
1. Prinsip Keadilan Sosial:
Bantuan hukum yang diberikan kepada warga binaan yang membutuhkan mencerminkan prinsip keadilan sosial. Negara bertanggung jawab untuk memastikan akses setara terhadap hukum bagi semua warga, terlepas dari status sosial atau ekonomi.
2. Fungsi Pelayanan Publik:
Pemerintah bekerja sama dengan LBH untuk memberikan layanan hukum kepada warga miskin. Ini sejalan dengan fungsi pelayanan publik dalam administrasi negara, di mana negara bertugas memberikan layanan yang bermanfaat bagi masyarakat.
3. Kerjasama Antar Lembaga:
Kerja sama antara Kanwil Kemenkumham dan LBH menunjukkan koordinasi antara lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Ini mencerminkan prinsip kerjasama dan koordinasi dalam administrasi negara.
b. Fungsi Utama Hukum Administrasi Negara yang Dijalankan oleh Pemerintah:
Bantuan hukum yang diberikan oleh pemerintah melalui LBH dapat dikaitkan dengan beberapa fungsi utama hukum administrasi negara:
1. Fungsi Pelayanan:
Pemerintah memberikan layanan hukum kepada warga miskin melalui LBH. Ini termasuk pendampingan selama proses hukum, mulai dari penyidikan hingga persidangan. Fungsi ini bertujuan untuk memastikan akses keadilan bagi semua.
2. Fungsi Perlindungan:
Bantuan hukum melindungi hak-hak warga binaan yang membutuhkan pendampingan. Ini mencakup hak atas pembelaan hukum dan perlindungan dari ketidakadilan.
3. Fungsi Pengawasan:
Kerja sama dengan LBH juga berperan dalam mengawasi proses hukum dan memastikan bahwa hak-hak warga terpenuhi. Ini sejalan dengan fungsi pengawasan dalam administrasi negara.
Dengan demikian, bantuan hukum yang diberikan oleh pemerintah melalui LBH merupakan implementasi dari beberapa fungsi utama hukum administrasi negara yang berfokus pada pelayanan, perlindungan, dan pengawasan.
2. a. Analisis Instrumen Hukum dalam Kasus Penyusunan Pedoman Interpretasi UU ITE:
Dalam hukum administrasi negara, terdapat instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam kasus penyusunan pedoman interpretasi UU ITE, permasalahan terkait dengan hierarki perundang-undangan. Mari kita korelasikan dengan instrumen hukum yang relevan:
1. Hierarki Perundang-Undangan: Hierarki perundang-undangan mengatur tingkatan keberlakuan dan kekuatan hukum berbagai jenis peraturan. Dalam UU ITE, hierarki perundang-undangan mencakup UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Permasalahan: Feri Amsari, pakar hukum tata negara, mempertanyakan langkah pemerintah dalam menyusun pedoman interpretasi resmi UU ITE. Menurutnya, pedoman interpretasi tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, pedoman interpretasi tidak dapat diterapkan sebagai regulasi atau aturan hukum.
2. Instrumen Hukum yang Terlibat: Dalam kasus ini, instrumen hukum yang relevan adalah UU ITE itu sendiri dan peraturan perundang-undangan yang mengatur hierarki. Pemerintah harus memperhatikan hierarki ini dalam menyusun pedoman interpretasi agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Korelasi dengan Prinsip Dasar dalam UU Nomor 12 Tahun 2011:
Salah satu prinsip dasar dalam penyusunan perundang-undangan adalah prinsip kepastian hukum. Mari kita korelasikan prinsip ini dengan kasus di atas:
• Prinsip Kepastian Hukum: Prinsip ini menuntut agar hukum harus jelas, dapat dipahami, dan dapat diterapkan secara konsisten. Dalam konteks UU ITE, pemerintah ingin menghindari multitafsir atas pasal-pasal yang ada. Dengan menyusun pedoman interpretasi resmi, pemerintah berusaha memberikan kepastian hukum bagi para pelaku dan pengguna teknologi informasi dan transaksi elektronik.
Dengan demikian, pemerintah perlu memastikan bahwa pedoman interpretasi UU ITE mematuhi prinsip kepastian hukum agar implementasi pasal-pasal UU ITE berjalan adil dan tidak multitafsir.
3. a. Perlakuan Hak Cuti Ibu Anisa pada Kelahiran Anak Keempat:
Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil, Ibu Anisa memiliki hak cuti yang relevan dengan kondisinya sebagai seorang PNS yang sedang hamil anak keempat. Dalam kasus ini, Ibu Anisa berhak mendapatkan cuti bersalin.
• Cuti Bersalin: Ibu Anisa berhak mendapatkan cuti bersalin selama 3 bulan (90 hari) terhitung sejak tanggal kelahiran anak keempat. Selama cuti bersalin, Ibu Anisa akan mendapatkan penggantian pendapatan sesuai ketentuan yang berlaku.
b. Proses Pengajuan Cuti Anak Keempat:
Untuk mengajukan cuti anak keempat, Ibu Anisa perlu mengikuti prosedur berikut:
1. Persiapan Dokumen:
o Ibu Anisa harus menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan, seperti surat pengajuan cuti, surat keterangan dokter yang menyatakan kehamilan, dan bukti kelahiran anak keempat.
2. Pengajuan Permohonan:
o Ibu Anisa mengajukan permohonan cuti anak keempat kepada atasan langsung atau bagian kepegawaian di instansi tempatnya bekerja.
o Permohonan dapat diajukan secara tertulis atau melalui sistem yang telah ditetapkan oleh instansi.
3. Verifikasi dan Persetujuan:
o Bagian kepegawaian akan memverifikasi dokumen yang diajukan oleh Ibu Anisa.
o Setelah diverifikasi, permohonan cuti akan disetujui oleh atasan atau pihak yang berwenang.
4. Pelaksanaan Cuti:
o Setelah mendapatkan persetujuan, Ibu Anisa dapat memulai cuti bersalin sesuai dengan tanggal kelahiran anak keempat.
o Selama cuti, Ibu Anisa akan menerima penggantian pendapatan sesuai ketentuan yang berlaku.
5. Pengajuan Kembali ke Tugas:
o Setelah cuti berakhir, Ibu Anisa mengajukan kembali diri untuk kembali bekerja setelah masa cuti bersalin selesai.
Penting bagi Ibu Anisa untuk memastikan bahwa semua prosedur dan persyaratan telah dipenuhi agar proses pengajuan cuti berjalan lancar. Semoga kelahiran anak keempat membawa kebahagiaan bagi Ibu Anisa dan keluarga