• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Sampah Tuntas (Zero Waste Management) Sampah dipandang sebagai simbol dari kondisi tidak

BAB III KAJIAN PUSTAKA

3.3 Pengelolaan Sampah Tuntas (Zero Waste Management) Sampah dipandang sebagai simbol dari kondisi tidak

26 Gambar 5. Hubungan Strategi Pengelolaan Sampah dengan

Tingkat Resiko dan Biaya yang Dibutuhkan [8]

3.3 Pengelolaan Sampah Tuntas (Zero Waste Management)

27 yang direkomendasikan menyerupai cara sumber daya didaur ulang pada lingkungan alami.

Pada sistem penanganan sampah tuntas (zero waste system), siklus alur penggunaan material berbentuk lingkaran, dimana material yang sama digunakan lagi dan lagi sampai pada tingkat pemakaian optimum [10]. Itu artinya bahwa pada akhir masa siklus hidupnya, produk tersebut digunakan kembali, diperbaiki, dijual atau didistribusikan ulang dalam sistem. Jika penggunaan kembali atau perbaikan tidak memungkinkan untuk dilakukan, produk tersebut bisa di daur ulang atau diperbaharui dari arus sampah dan digunakan sebagai bahan baku/input, sebagai pengganti sumber daya alam untuk kebutuhan bahan ekstraksi. Oleh karena itu, produk yang menggunakan konsep zero waste mengeliminasi “fase sampah” pada siklus hidup produk tradisional dengan menerapkan prinsip perencanaan cradle to cradle yang memungkinkan produk tersebut digunakan kembali, diperbaiki, atau diproduksi ulang menjadi produk sekunder [11].

Prinsip utama yang digunakan pada pengelolaan sampah tuntas adalah penekanan utama dan pertama pada pencegahan dan reduksi timbulan sampah melalui perencanaan produk inovatif, dan baru kemudian melaksanakan opsi pendauran ulang dan composting [9]. Untuk menyukseskan penerapan konsep zero

28 waste diperlukan beberapa prinsip kunci yang menjadi faktor pendorongnya. Prinsip atau strategi tersebut ada yang bersifat jangka panjang, yaitu (i) penyadaran, pendidikan, dan penelitian, (ii) perubahan perilaku, (iii) pemikiran tersistem, dan ada yang bersifat jangka pendek, seperti (iv) perencanaan industri inovatif, (v) pembuatan peraturan, serta (vi) 100% daur ulang. Aspek penting yang perlu juga diperhatikan adalah mengubah pemahaman arus sampah linier menjadi siklus yang melingkar (circular).

Untuk mengubah mindset tersebut diperlukan proses transformasi yang melalui serangkaian implementasi strategi menyeluruh (holistik) yang berdasarkan pada prinsip pengembangan kunci [9]. Edukasi terkait kesadaran lingkungan dan riset berkelanjutan merupakan prinsip utama yang menempati puncak hirarki konsep zero waste. Perilaku hidup dan pola konsumsi berkelanjutan merupakan prinsip yang berada pada tangga kedua. Tingkatan ketiga dalam hirarki ini adalah transformasi perencanaan industrial, seperti perencanaan cradle- to-cradle, eco-design, produksi bersih + tanggungjawab produsen yang diperluas. Untuk itu, dibutuhkan peraturan dan insentif kebijakan terkait penerapan aturan secara ketat. Apabila inovasi perencanaan produk berjalan dengan efektif, dimana semua produk yang dihasilkan dapat didaur ulang, maka pemulihan

29 sumber daya alam menjadi optimal. Dan tingkatan terakhir dalam hirarki ini adalah perlu juga ditunjang oleh pendekatan sistem berpikir baru dan teknologi inovatif.

Untuk mengevaluasi kesiapan suatu wilayah/kawasan mengelola sampah secara berkelanjutan dengan menerapkan konsep ini dapat dilihat dari tolok ukur kesadaran sampah (wasteaware benchmark) [12]. Indikator untuk menilainya dapat ditinjau dari aspek fisik dan tata kelola. Komponen fisik yang menjadi tolok ukur terdiri dari tiga dimensi, yaitu proses pengumpulan sampah (aspek kesehatan publik), perlakuan sampah (aspek lingkungan yang terkontrol), dan implementasi prinsip 3R (pengurangan/reduce, penggunaan kembali/reuse, dan pendaur ulang/recycle, yang termasuk aspek penghargaan terhadap sumber daya). Komponen tata kelola juga memiliki tiga dimensi, yaitu inklusivitas dari sisi pengguna dan penyedia jasa, keberlanjutan penganggaran/finansial, dan aspek kelembagaan dan kebijakan yang proaktif (kerangka kerja nasional dan kelembagaan di tingkat lokal). Selain tolok ukur tersebut, evaluasi kinerja pengelolaan sampah menuju konsep nol sampah dapat menggunakan indikator yang berkenaan dengan isu (i) penyadaran individu, pendidikan, dan perubahan perilaku, (ii) penghindaran sampah, (iii) pengumpulan sampah, (iv) kebijakan dan peraturan pendauran ulang sampah, (v) teknologi pengolahan

30 sampah, (vi) pengurugan sampah, (vii) kebijakan bagi industri, dan (viii) isu berkenaan dengan strategi nol sampah [11].

Ada banyak cara untuk mengukur kinerja sistem pengelolaan sampah yang diterapkan suatu wilayah/kota.

Beberapa pemangku kebijakan dan pakar menggunakan indikator, seperti tingkat timbulan sampah per kapita, tingkat pengumpulan sampah, dan tingkat pendaur ulang sampah, tingkat pengalihan sampah, dan indeks nol sampah [9]. Indikator yang dapat menunjukkan ukuran sistem pengelolaan sampah secara holistik/

menyeluruh adalah menggunakan indeks nol sampah (zero waste index). Indeks nol sampah menunjukkan persentase potensi jumlah sampah yan terkelola dikalikan nilai faktor substitusi dan dibagi dengan jumlah sampah total yang dihasilkan wilayah tersebut. Nilai dari faktor substitusi seperti ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Faktor Substitusi Jenis Sampah [11]

Sistem pengelolaan sampah Kategori sampah Nilai faktor substitusi

Daur ulang Kertas 0,84 – 1,00

Kaca 0,90 – 1,00

Logam 0,79 – 0,96

Plastik 0,90 – 0,97

Campuran 0,25 – 0,45

Pengomposan Organik 0,60 – 0,65

Pengurugan Campuran 0,00

31 3.4 Perencanaan Strategis

Untuk mengatasi perubahan dan situasi yang tidak menentu di masa depan, pemegang kebijakan perlu memiliki kemampuan yang memadai mengenai dua hal, yaitu kemampuan mendefinisikan target yang ingin dicapai (menyusun sasaran dan strategi), dan kemampuan mencapai target tersebut (perencanaan dan pelaksanaan program) [13]. Perencanaan strategis merupakan proses merumuskan strategi berdasarkan analisis kondisi internal dan eksternal organisasi, dan menuangkannya menjadi rencana kerja jangka pendek, menengah dan panjang. Perencanaan strategis merupakan proses perencanaan untuk memaksimalkan prospek dan meminimalkan resiko yang akan dihadapi [14].

Proses tersebut didasarkan pada hasil evaluasi terhadap berbagai opsi yang memungkinkan pilihan tindakan merujuk pada hal yang paling diinginkan bersama.

Prinsip utama untuk menerapkan perencanaan strategis pada suatu organisasi atau lembaga adalah fleksibilitas, perubahan, keterlibatan, relevansi, dan penyederhanaan [14].

Perecanaan strategis bukanlah proses yang statis, melainkan dinamis dan fleksibel. Dalam proses tersebut selalu ada perubahan-perubahan yang dapat terjadi setiap waktu. Hal ini didasarkan pada pertimbangan terhadap elemen rasionalitas, afektif, dan pencapaian yang diharapkan. Untuk menyukseskan

32 strategi yang disusun, perlu adanya kolaborasi, partisipasi dan keterlibatan semua komponen. Rencana strategis perlu memperhatikan keunikan dan kebutuhan setiap individu atau kelompok komunitas. Dalam implementasinya, rencana strategis dijabarkan secara sederhana agar tidak membingungkan bagi pelaksana.

Terdapat beberapa model dalam perencanaan strategis, seperti perencanaan strategis tradisional dan perencanaan strategis berbasis nilai [14]. Perencanaan strategis tradisional dapat menggunakan pendekatan top-down yang dibantu oleh konsultan perencana dan pendekatan komite. Perencanaan strategis tradisional dengan pendekatan top-down dilakukan dengan tahapan, sebagai berikut: (i) eksekutif memutuskan lingkup perencanaan, (ii) penunjukan konsultan, (iii) pengamatan lingkungan (internal dan eksternal), (iv) audit kinerja, (v) analisis kesenjangan, (vi) identifikasi arah/tujuan strategis, (vii) menuliskan rencana (pengembangan strategi), (viii) konsultasi (review kemampuan organisasi), dan (ix) evaluasi. Pada model perencanaan strategis menggunakan pendekatan komite, tahapannya adalah (i) eksekutif memutuskan tujuan dan lingkup perencanaan strategis, termasuk penunjukan anggota komite, (ii) identifikasi arah strategis, (iii) perumusan rencana strategis, (iv) konsultasi (review kemampuan organisasi), dan (v) evaluasi.

33 Sementara itu, perencanaan strategis berbasis nilai memiliki sembilan tahapan, yaitu: (i) pendahuluan, (ii) pengamatan nilai, (iii) pembahasan isu kritis, (iv) menuliskan pernyataan misi, (v) menentukan apa saja hal yang telah ada tetap dilanjutkan, hal yang harus diubah, dan hal baru yang harus dicoba (keep, change, try), (vi) memeriksa/membandingkan dan menentukan prioritas wilayah hasil kunci (key result areas), (vii) mengembangkan area kunci kedalam bentuk lembaran fokus, (viii) menarik bersama (memutuskan strategi yang akan dilaksanakan bersama), dan (ix) pengamatan para pelanggan (sebagai penerima dampak).

3.5 Penerapan Teknologi Informasi untuk Pengelolaan

Dokumen terkait