BAB II TINJAUAN PUSTAKA
C. Gerusan
1. Pengertian Gerusan
Gerusan adalah fenomena alam yang disebabkan oleh aliran air yang biasanya terjadi pada dasar sungai yang terdiri dari material alluvial namun terkadang dapat juga terjadi pada dasar sungai yang keras. Pengalaman menunjukkan bahwa gerusan dapat menyebabkan terkikisnya tanah di sekitar fondasi dari sebuah bangunan pada aliran air. Gerusan biasanya
terjadi sebagai bagian dari perubahan morfologi dari sungai dan perubahan akibat bangunan buatan manusia. (Anton Ariyanto,2006)
Menurut Laursen (1952, dalam Garde dan Raju, 1977), gerusan didefinisikan sebagai pemindahan material yang disebabkan oleh gerakan fluida akibat pembesaran dari suatu aliran.Gerusan terjadi pada suatu kecepatan aliran tertentu dimana sedimen yang ditranspor lebih besar dari sedimen yang disuplai. Dalam ilmu teknik sungai yang penting adalah pengruh pengaliran yang dapat berakibat buruk karena dibangunnya suatu bangunan silangan pada sungai berupa penempatan beberapa pilar dan cara menanggulanginya. Akibat buruk tersebut terutama terjadinya penggusuran (scouring) di sekeliling pilar.Oleh karena itu bahaya penggusuran bagi terancamnya tiang harus diperhitungkan.
2. Jenis – Jenis Gerusan
Gerusan yang terjadi pada sungai dapat digolongkan menjadi:
a. Gerusan umum (general scour)
Yaitu bertambah dalamnya dasar saluran sungai akibat interaksi yang terjadi antara aliran yang terjadi pada sungai dengan material dasar sungai.
Hal ini menyebabkan terjadinya angkutan sedimen pada sungai, yang dapat di bagi menjadi :
(1) Angkutan sedimen dasar adalah pergerakan material lepas dasar sungai yang bergerak mengelinding, bergeser atau melompatlompat di dasar sungai atau saluran akibat gaya seret aliran.
(2) Angkutan sedimen kikisan adalah pergerakan material lepas yang berasal dari hasil kikisan permukaan daerah tangkapan hujan, bergerak melayang bersama aliran, sukar mengendap, kecuali ditampungan waduk atau muara sungai.
(3) Angkutan sedimen laying adalah pergerakan material lepas yang berasal dari dasar sungai atau hasil kikisan permukaan daerah tangkapan hujan,bergerak melayang bersama aliran dan dapat mengendap jika gaya berat material tersebut lebih besar daripada kombinasi gaya angkat air dan gaya akibat turbulansi aliran.
b. Gerusal lokal (local scour)
Gerusan lokal adalah penggerusan pada dasar atau tebing sungai yang terjadi setempat di sekitar bangunan akibat peningkatan energi dan turbulensi aliran karena gangguan bangunan atau gangguan alami. Tiap gerusan memiliki metodenya sendiri. Beberapa mekanisme gerusan adalah sebagai berikut :
(1) Clear Water Scour
Gerusan ini terjadi jika tegangan geser yang terjadi lebih besar daripada tegangan geser kritis.Pergerakn sedimen hanya terjadi pada sekitar abutmen.
(2) Lef Bed Scour
Gerusan ini terjadi disertai dengan adanya angkutan sedimen dari material dasar, akibat aliran dalam saluran yang menyebabkan materal dasar bergerak. Hal tersebut menunjukkan bahwa tegangan geser pada dasar saluran lebih besar dari nilai kritiknya. Keseimbangan kedalaman gerusan tercapai jika jumlah material yang terangkat dari lubang gerusan sama dengan material yang disuplai ke lubang gerusan.
Gerusan yang terjadi disekitar penyempitan saluran akibat keberadaan bangunan adalah akibat sistem pusaran (vortex system). Vortex system yang menyebabkan adanya lubang gerusan tersebut dimulai dari sebelah hulu penyempitan (hulu bangunan) yaitu saat mulai munculnya komponen aliran dari arah bawah. Selanjutnya pada bagian bawah komponen tersebut, aliran akan terbalik arah menjadi vertikal yang kemudian diikuti dengan terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran spiral di daerah gerusan.
Kondisi aliran yang membentuk pusaran tersebut berdampak terjadinya pengikisan dasar sungai disekitar bangunan, yaitu dengan terbawa atau terangkutnya material dasar sungai di sekitar bangunan yang akan berakibat timbulnya lubang gerusan. Peristiwa ini berlangsung sampai terjadi keseimbangan yang tergantung pada media yang bergerak, kondisi aliran clear-water atau live-bad.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa kecepatan gerusan relatif tetap meskipun terjadi peningkatan kecepatan yang berhubungan dengan transport sedimen, baik yang masuk maupun yang keluar lubang gerusan.
Jadi kedalaman rata-rata gerusan pada kondisi seimbang (eguilibrium scour dept), dengan sendirinya menjadi lebih kecil dengan kedalaman gerusan maximum. Keseimbangan kedalaman gerusan biasanya akan tercapai pada aliran yang tinggi dan dalam waktu yang lama.
Kedalaman gerusan pada clear-water scour dan live-bed scour merupakan fungsi kecepatan geser. Kedalaman gerusan maksimum terjadi saat kecepatan geser (u*) sama dengan kecepatan geser kritik yaitu pada daerah transisi antara clear-water scour dan live-bed scur.
Gambar 1. kedalaman gerusan maksimum terhadap kecepatan geser (Sumber:
Istiarto 2002)
Menurut Chabert dan Engeldinger (1956) dalam Breusers dan Raudkivi (1991), lobang gerusan yang terjadi pada alur sungai disamping merupakan fungsi kecepatan geser, juga merupakan fungsi waktu seperti ditunjukkan pada gambar 3 berikut ini.
Gambar 2. Kedalaman Gerusan (ys) sebagai Fungsi Waktu (t) (Breusers dan Raudkivi,1991). (Andy Dictanata dkk, 2016).
3. Gerusan dilokalisir (constriction scour)
Gerusan dilokalisir (constriction scour) Gerusan dilokalisir adalah gerusan yang diakibatkan oleh adanya penyempitan alur sungai sehingga aliran akan menjadi terpusat. (Puji Harsanto dkk,2007).
4. Mekanisme Gerusan
Mekanisme Gerusan Gerusan lokal umumnya terjadi pada alur sungai yang terhalang pilar jembatan akibatnya menyebabkan adanya pusaran.
Pusaran tersebut terjadi pada bagian hulu pilar. Isnugroho (1992) dalam Aisyah (2004) menyatakan bahwa adanya pilar akan menggangu kestabilan butiran dasar. Bila perubahan air hulu tertahan akan terjadi gangguan pada elevasi muka air di sekitar pilar. Selanjutnya aliran akan berubah secara cepat. Karena adanya percepatan aliran maka elevasi muka air akan turun.
Pola aliran disekitar pilar pada aliran saluran terbuka cukup kompleks.
Bertambahnya kompleksitas disertai semakin luasnya lubang gerusan.
Suatu sail studi mengenai bentuk/pola aliran yang telah dilanjutkan oleh Melville dalam Indra (2000) agar lebih mengerti mekanisme dan peran penting pola aliran hingga terbentuknya lubang gerusan. Pola aliran dibedakan dalam beberapa komponen :
1. Arus bawah didepan pilar.
2. Pusaran sepatu kuda (horse shoes vortex).
3. Pusaran yang terangkat (cast-off vortices) dan menjalar (wake).
4. Punggung gelombang (bow wave).
Menurut Miller (2003) jika struktur ditempatkan pada suatu arus air, aliran air di sekitar struktur tersebut akan berubah, dan gradien kecepatan vertikal (vertical velocity gradient) dari aliran akan berubah menjadi gradien tekanan (pressure gradient) pada ujung permukaan struktur tersebut. Gradien tekanan (pressure gradient) ini merupakan hasil dari aliran bawah yang membentur bed. Pada dasar struktur, aliran bawah ini membentuk pusaran yang pada akhirnya menyapu sekeliling dan bagian bawah struktur dengan memenuhi seluruh aliran. Hal ini dinamakan pusaran tapal kuda (horseshoe vortex), karena dilihat dari atas bentuk pusaran ini mirip tapal kuda.
Pada permukaan air, interaksi aliran dan struktur membentuk busur ombak (bow wave) yang disebut sebagai gulungan permukaan (surface
roller). Pada saat terjadi pemisahan aliran pada struktur bagian dalam mengalami wake vortices.
Gambar 3. Mekanisme gerusan lokal (Sumber: Coastal Engineering Research Center)
Gerusan yang terjadi disekitar pilar jembatan adalah akibat dari system Pusaran (vortek system) yang timbul karena aliran terhadap pilar.
Sistem pusaran yang menyebabkan lubang gerusan, berawal dari hulu pilar yaitu pada saat timbul komponen aliran dengan arah kedasar pilar selanjutnya akan membentuk pusaran. Didekat dasar saluran ini akan berbalik kearah vertikal keatas. Peristiwa ini diikuti dengan terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran yang akan menyebabkan terjadinya gerusan dasar disekitar pilar. (Graf dan Yulistiyanto 1997 dan 1998) dalam renaldi 2002:6).
Menurut Hanwar (1999) mekanisme gerusan disekitar pilar jembatan adalah ketika partikel sedimen yang menutupi pilar mulai berpindah, maka proses gerusan mulai terbentuk. Partikel yang tererosi ini akan mengikuti
pola aliran dan terbawah dari dekat pilar kearah dasar sungai, Selanjutnya jika pertikel sedimen ini lebih banyak tererosi maka bentuk gerusan akan mencapai kedalaman maksimum.
Pada umumnya tegangan geser (shear stress) meningkat pada dasar saluran bagian depan struktur. Bila dasar saluran mudah tergerus maka lubang gerusan akan terbentuk di sekitar struktur. Fenomena ini disebut gerusan lokal (local or structure-included sediment scour).( Nenny dkk,2014).
Kedalaman gerusan lokal maksimum rerata di sekitar pilar sangat tergantung nilai relatif kecepatan alur sungai (perbadingan antara kecepatan rerata aliran dan kecepatan geser). Nilai diameter butiran (butiran seragam/
tidak seragam) dan lebar pilar. Dengan demikian maka gerusan local maksimum dalam kondisi setimbang.
5. Analisis Gerusan
Untuk menganalisa terjadinya penggerusan ada beberapa rumus yang bisa digunakan. Pada perencanaan ini, rumus yang digunakan adalah Hydraulic Circular Engineering No.18 (HEC-18), karena dapat digunakan untuk semua bentuk pilar baik itu pilar berbentuk silinder, persegi, maupun kelompok tiang dengan menggunakan Persamaan 1.
= 2,0.K1.K2.K3
0.65
.(Fr1)0.43………..……...…(14) Dimana:
ys = kedalaman penggerusan (m) y1 = kedalaman rata-rata (m)
K1 = faktor koreksi terhadap bentuk ujung pilar K2 = faktor koreksi terhadap sudut datang aliran (o) K3 = faktor koreksi terhadap kondisi dasar aliran a = lebar pilar (m)
Fr = bilangan Froude untuk kedalaman rata-rata fr =
√ ………..(15)
D = ………..……..…..(16) Dimana:
A = Luas penampang (m2) T = Lebar permukaan air (m) g = percepatan gravitasi (m/dt2)
V = kecepatan aliran rata-rata (m/detik) (Winda Ekasari dkk)
D. Pilar
Pilar merupakan bagian dari struktur bawah jembatan yang keberadaannya menyebabkan perubahan pola aliran sungai dan terjadinya gerusan lokal di sekitar pilar. Pilar jembatan mempunyai berbagai macam bentuk yaitu,persegi dan persegi persegi dengan sisi depan miring,silinder,persegi dengan ujung setengah lingkaran ticular,ellips.
Sudut yang terbentuk pada pilar terhadap aliran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya gerusan lokal yang terjadi di sekitar pilar jembatan. Besarnya sudut ini akan sangat mempengaruhi waktu yang diperlukan bagi gerusan lokal. Semakin besar sudutnya maka waktu yang diperlukan untuk melakukan gerusan akan berbeda, sehingga besarnya gerusan yang diakibatkan adanya pengaruh sudut yang terbentuk pada pilar terhadap aliran juga akan berbeda.( Muchtar Agus Tri Windarta dkk,2016).
Bentuk pilar akan berpengaruh pada kedalaman gerusan lokal, pilar jembatan yang tidak bulat akan memberikan sudut yang lebih tajam terhadap aliran datang yang diharapkan dapat mengurangi gaya pusaran tapal kuda sehingga dapat mengurangi besarnya kedalaman gerusan. Bentuk pilar akan berpengaruh pada kedalaman gerusan lokal, pilar jembatan yang tidak bulat akan memberikan sudut yang lebih tajam terhadap aliran datang yang diharapkan dapat mengurangi gaya pusaran tapal kuda sehingga dapat mengurangi besarnya kedalaman gerusan. Hal ini juga tergantung pada panjang dan lebar (l/b) masing-masing bentuk mempunyai koefisien faktor bentuk Ks.
Tabel 1. Koefisien faktor bentuk pilar
Bentuk Pilar b/l b/l Ks Gambar Bentuk Pilar
Silinder 1.0
Persegi (Rectangular)
1:1 1:5
1.22 0.99
Persegi dengan ujung setengah lingkaran (rectangular with semi circular nose)
1:3
Ujung setengah lingkaran dengan bentuk belakang lancip (semi circular nose with wedge shape tail)
1:5 0.86
Persegi dengan sisi depan miring (rectangular with wedge shape nose)
1:3 1:2 1:4
0.76 0.65
Elips (Elliptic)
1:2 1:3 1:5
0.83 0.80 0.61
Lenticular 1:2
1:3
0.80 0.70
Aerofil 1:3.5 0.80
(Sumber : Breuser dan Raudkivi,1991:73)
Pilar jembatan dapat dibuat dari pasangan batu kali, beton bertulang atau baja. Pasangan batu kali biasanya digunakan untuk sungai yang kedalamannya kurang dari 5 m, dimana penggunaan batu kali masih memungk.inkan dan lebih murah daripada beton. Beton bertulang sangat bebas penggunaannya. Baja biasanya digunakan pada daerah-daerah pegunungan dimana kecepatan air banjimya sangat besar. Dengan penggunaan baja diharapkan hambatan terhadap air lebih kecil. dan gaya
tekanan air yang bekerja pada pilarpun lebih kecil. Penggunaan pilarbaja pada daerah pegunungan lebih baik dari pada beton karena terkait dengan masalah kondisi lapangan dan pelaksanaan.
1. Jenis - Jenis Pilar :
(a) Pilar tunggal, terbuat dari pipa baja dan beton bertulang.
(b) Pilar Perancah/portal , terbuat dari baja dan betonbertulang.
(c) Pilar masif ,terbuat dari pasangan batu kali dan beton bertulang
Gambar 4. Jenis-jenis pilar (Sumber : Perencanaan jembatan, Bina Marga, PU) 2. Pilar Jembatan Pasangan Batu Kali
Pilar dari pasangan batu kali digunakan dalam kondisi:
(a) Dalamnya sungai kurang dari 5 meter.
(b) Tidak untuk jembatan pada jalan klas utama.
(c) Cukup tersedia material batu kali di lokasi pekerjaan.
(d) Penggunaanya lebih murah daripada menggunakan beton atau baja.
Pilar tunggal Pilar masif Pilar perancah /portal
Gambar 5. Pilar dari pasangan batu kali (www.buildingengineeringstudy.com)
3. Pilar Jembatan Beton Bertulang
Pilar dari beton bertulang dewasa ini cukup banyak digunakan dengan pertimbangan:
(a) Kuat dan tahan lama.
(b) Tidak perlu perawatan.
(c) Mudah dibentuk sesuai dengan desain .
(d) Untuk daerah kota dan desa mudah untuk memperoleh materialnya.
Gambar 6. Pilar tunggal jembatan
4. Permasalahan yang sering terjadi pada Pilar Jembatan
Kasus yang sering terjadi pada pilar jembatan adalah terjadinya scouring dasar sungai di sekitar kaki pilar, scouring ini dapat disebabkan oleh:
a) Bentuk penampang pilar yang kurang baik, sehingga menimbulkan olakan air pada dasar sungai yang mengakibatkan scouring.
Gambar 7. Aliran air pada penampang Pilar
b) Pilar-pilar yang dibuat tidak sejajar dengan arah aliran air,yang dapatmenimbulkan local scouring pada dasar sungai.
Gambar 8. Pilar tidak sejajar dengan arah aliran sungai
Gambar 9. Local scouring pada dasar Pilar
Problematika yang sudah beberapa kali ditemui pada jembatan melintang sungai adalah kegagalan struktur bawah jembatan (fondasi, pilar, pangkal/abutment) dalam menopang jembatan. Pada beberapa kasus, kegagalan ini berujung pada keruntuhan jembatan. Ancaman terhadap keamanan struktur bawah jembatan sering kali bersumber pada dinamika sungai, khususnya dinamika dasar sungai di sekitar fondasi dan pilar jembatan. Penurunan atau degradasi dasar sungai dan gerusan lokal di sekitar fondasi-pilar jembatan sering kali menjadi faktor utama kegagalan struktur bawah jembatan. Banjir, khususnya banjir besar, dapat memperbesar degradasi dasar sungai dan gerusan lokal, yang pada gilirannya menambah ancaman terhadap keamanan struktur bawah jembatan.
Berikut ini beberapa contoh problematika jembatan runtuh yang berkaitan dengan faktor degradasi dasar sungai dan gerusan lokal di sekitar fondasi/pilar jembatan.
Gambar 10. Jembatan Kebonagung, Yogyakarta, 2006 (Sumber: Istiarto, 2011)
Jembatan Kebonagung melintas Sungai Progo, berlokasi di ruas jalan Kota Yogyakarta-Nanggulan/Godean, di Kecamatan Minggir, Sleman, Yogyakarta. Jembatan bediri di atas 4 pilar silinder beton. Setiap pilar ditopang oleh dua buah fondasi sumuran. Pada awal 2000-an sampai 2006, terjadi degradasi dasar sungai dan gerusan lokal di sekitar sebagian pilar jembatan. Pada pengukuran tahun 2006, dasar sungai di pilar ke-4 (pilar pertama di sisi Nanggulan atau di sisi barat) telah mendekati dasar fondasi.
Degradasi dasar sungai dipicu oleh keruntuhan groundsill di hilir jembatan.
Gambar 11. Jembatan Trinil, Magelang, 2009 (Sumber: Istiarto, 2011)
Jembatan Trinil melintas Sungai Progo, menghubungkan Desa Kalijoso, Kecamatan Secang dengan Desa Banjarsari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jembatan Trinil berdiri di atas 3 pilar dan fondasi pasangan batu kali. Panjang bentang jembatan lebih kurang 70 m. Pada 25 Februari 2009, pilar ke-3 (paling barat) turun atau amblas yang memutus lalu lintas melewati jembatan. Setahun kemudian pada 4 Maret 2010, terjadi banjir yang menyebabkan kedua pilar lainnya miring dan turun. Memperhatikan foto-foto Jembatan Trinil pasca pilar paling barat amblas serta membaca laporan adanya aliran banjir yang melimpas melewati jembatan, maka dapat diduga bahwa pilar jembatan mengalami gerusan lokal dan pembebanan horizontal oleh gaya hidrodinamik aliran banjir. Degradasi dasar sungai tidak terjadi karena adanya groundsill di hilir jembatan.
Gambar 12. Jembatan Pabelan, Magelang, Maret 2011 (Sumber: Istiarto, 2011)
Jembatan Pabelan melintas Sungai Progo di jalan raya Yogyakarta- Magelang. Di lokasi ini terdapat 2 jembatan, yaitu jembatan lama yang ditopang oleh pilar dan fondasi pasangan batu kali, serta jembatan baru yang ditopang oleh pilar beton. Pada Maret 2011, salah satu bentang jembatan lama hilang diterjang banjir lahar hujan (sebagian orang menyebut banjir lahar dingin). . Pada banjir lahar hujan, mekanisme gerusan lokal di pilar jembatan adalah live-bed scour. Artinya, gerusan ditimbulkan oleh aliran air yang membawa sedimen dari hulu. Ini berbeda dengan clear-water scour, yaitu gerusan yang ditimbulkan oleh aliran air yang tidak membawa sedimen dari hulu. Pada live-bed scour, dapat terjadi penutupan lubang gerusan oleh sedimen yang masih datang pada saat banjir sedang surut, yang melebihi kemampuan aliran air menggerus dasar sungai di pilar jembatan. Transpor netto sedimen di lubang gerusan,
dengan demikian, telah menutup lubang gerusan lokal. (Problematika jembatan, Istiarto, 2011)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitan
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Sungai Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar, penelitian dimulai bulan September sampai oktober 2020.
B. Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini akan menggunakan variabel bebas seperti Panjang gerusan, lebar saluran, tinggi muka air, dan waktu yang digunakan sedangkan variabel terikat yang digunakan adalah debit (Q), kecepatan aliran (V), kedalaman gerusan (ys).
C. Alat dan Bahan
Pada umumnya, alat, bahan, dan model penelitian yang digunakan dalam menunjang penelitian adalah sebagai berikut :
1. Alat
a) Flowwatch untuk mengukur kecepatan air.
b) Stopwatch untuk mengukur waktu yang digunakan dalam pengukuran debit aliran.
c) Pilar beton d) Mistar
e) Meteran f) Pompa
g) Kamera digital digunakan untuk merekam (dalam bentuk poto) momen-momen yang penting dalam keseluruhan kegiatan penelitian khususnya tahap-tahap dalam proses penelitian.
h) Tabel data untuk mencatat data-data yang di ukur, serta alat tulis.
i) Komputer, printer dan scanner digunakan untuk membantu dalam menganalisa data.
j) Ayakan pasir.
k) Sendok adukan l) Ember
m) Cangkul n) Waterpas o) Selang air p) Benang
q) Bak penampung air dan bak sirkulasi r) Pintu air (pengatur debit aliran) s) Tali
2. Bahan
a) Pipa PVC 3” yang digunakan sebagai jaringan sirkulasi air.
b) Air
c) Pasir yang lolos saringan No.50, berdasarkan standar ASTM.
d) Pasir e) Semen f) Papan g) kayu
D. Variabel yang digunakan
Sesuai tujuan penelitian ini pengujian model hidraulik dilaksanakan pada model saluran terbuka (flume), dengan kajian pada bagian hilir sungai yang mengacu pada rancangan yang telah disetujui untuk mendapatkan data sebagai bahan kajian.
Variabel yang digunakan adalah : 1. Variabel bebas
a) Tinggi muka air (h) b) Kecepatan aliran (v) c) Waktu (t)
d) Lebar penampang (b)
e) Kemiringan dasar saluran (I) 2. Variabel terikat
a) Debit (Q) b) Froude (Fr) c) Reynold (Re)
d) Tegangan geser (τₒ)
e) Tegangan geser kritis (τc ) f) Kec. Geser kritis (U*)
E. Perancangan Alat
Pada simulasi ini menggunakan data primer, dengan menggunakan nilai debit dan waktu sesuai dengan model fisik.
1. Model saluran
Saluran yang digunakan adalah saluran tanah yang dihamparkan material pasir dengan penampang bentuk trapezium. Bentuk geometris dari saluran adalah saluran lurus dengan dinding permanen, lebar dasar saluran 0,50 m, tinggi saluran 0,10 m dan panjang saluran percobaan 6 m.
Gambar 13. Model saluran terbuka dengan penampang trapesium
2. Model Pilar
Model pilar yang digunakan pada penelitian ini terbuat dari beton yang dibentuk sesuai model. Penelitian ini menggunakan pilar model silinder dengan ketinggian cm dan dengan diameter pilar 10 cm. Model pilar diletakkan di tengah model saluran pada jarak 6 m dari hulu
Gambar 14. Model silinder
3. Model Tirai
Model tirai yang digunakan pada penelitian ini terbuat dari beton yang dibentuk sesuai model. Penelitian ini menggunakan tirai bentuk persegi dengan sisi depan melengkung (rectanguler with wedge shape curve) dengan ketinggian 25 cm dan dengan lebar tirai 5 cm.Model tirai ini diletakkan di depan model pilar jembatan dengan jarak tiria ke pilar 20cm dan jarak tirai ke tirai lainnya 10cm.
Gambar 15. Dimensi variasi bentuk Tirai persegi sisi depan melengkung
F. Pelaksanan Penelitian
Pada pelaksanaan penelitian direncanakan dengan menggunakan model pilar silinder dan peredam gerusan dengan model tirai bentuk persegi sisi depan melengkung (rectanguler with wedge shape curve) dengan formasi, seperti pada gambar dibawah ini :
Gambar 16. Penempatan model tirai
G. Langkah-langkah pelaksanaan penelitian :
1) Model pilar diletakkan di tengah saluran tanah dengan jarak 6 m dari hulu, kemudian diatur penempatan model peredam di depan pilar serta dihamparkan material pasir dalam keadaan rata.
2) Air dialirkan dari debit kecil sampai debit yang ditentukan sehingga mencapai konstan.
3) Pengamatan yang dilakukan : kecepatan aliran (v), tinggi muka air (h) dilakukan setiap percobaan.
4) Pengamatan kedalaman gerusan , dilakukan melalui pengamatan setiap percobaan dengan mencatat kedalaman dan dari awal running setiap selang waktu tertentu. yaitu 1 – 10 menit dicatat setiap selang waktu 1 menit, 10 – 20 menit dicatat setiap selang waktu 5 menit, 40 – 80 menit dicatat setiap selang waktu 10 menit, 90 – 120 menit dicatat setiap selang waktu 15 menit. Pengamatan kedalaman gerusan dicatat terus menerus selama waktu kesetimbangan.
5) Pengambilan data kontur gerusan di sekitar zona pilar diukur setelah running selesai, dengan cara memperkecil debit aliran secara perlahan agar gerusan di sekitar pilar tidak terganggu oleh adanya perubahan debit. Hal ini dilakukan agar diperoleh data kontur yang mewakili gerusan tersebut. Data kontur diukur dengan menggunakan alat point gauge. Daerah gerusan yang diukur elevasinya dibagi atas beberapa bagian yaitu arah sejajar aliran dan arah melintang aliran.
6) Pengambilan panjang gerusan disekitar zona pilar diukur setelah running selesai.
7) Setelah dilakukan pengukuran tiga dimensi, pasir diratakan kembali untuk selanjutnya dilakukan running dengan model tirai yang lain.
H. Analisis Data
Pada penelitian ini sifat aliran yang digunakan adalah sub kritis (Fr
< 1), kritis (Fr = 1), dan super kritis (Fr > 1). Data hasil pengamatan di plot menjadi grafik hubungan antara bilangan Froude (Fr) dengan kecepatan sebelum dan setelah penempatan model tirai.
Kedalaman aliran (yo) diukur pada titik tertentu yang belum terganggu akibat adanya pilar. Pencatatan kedalaman aliran dilakukan beberapa kali pada saat yang bersamaan untuk mendapatkan data rata-rata kedalaman aliran yang optimal. Begitupula setelah ada bangunan pilar, penempatan model tirai dengan variasi jarak.
Kedalaman gerusan (ys) diukur pada daerah gerusan yang paling maksimal yaitu disekitar ujung pilar setelah bangunan tirai. Kecepatan aliran rata-rata (U) adalah perbandingan data debit yang telah dikalibrasi dengan luas penampang basah (A) . Kecepatan aliran kritis (Uc) diambil pada saat material dasar mulai bergerak.
Data kontur hasil pengukuran kemudian diolah untuk mendapatkan tampilan kontur permukaan di sekeliling pilar dengan program Surver.