• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Hukum Pidana islam

BAB III ANALISIS HUKUM TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA

A. Analisi Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Hukum Pidana islam

kata al-jinayah. 91 Wahbah Zuhaili mengakatakan: ”Jinayah adalah setiap tindakan yang dapat menghilangkan nyawa seperti membunuh atau mengancam keselamatan seperti menggugurkan kandungan (aborsi) dan memotong anggota tubuh.” 92

Uraian di atas menjelaskan bahwa fiqih jinayah membahas tentang bentuk-bentuk kejahatan yang dilarang oleh Allah serta dosa dan sangsi yang diterima oleh pelakunya. Oleh karena itu dalam fiqih jinayah setiap pembahasan tentang tindak pidana kejahatan selalu diiringi dengan sangsi atau `uqubat yang dalam istilah umum disebut denga hukum pidana.

Hukum pidana Islam pada praktiknya telah diterapkan sejak masa Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin sebagai hukum publik yang mengatur hubungan sosial kemasyarakatan umat saat itu, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Wardi Muslich :

Hukum pidana Islam atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syariat Islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah SAW.

Oleh karenanya, pada zaman rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana Islam berlaku sebagai hukum publik, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri, yang masa itu dirangkap oleh Rasulullah sendiri dan kemudian diganti oleh khulafaur Rasyidin.93

Al-Ahkam Al-Jina`iyah (hukum-hukum pidana Islam) sebagai bagian dari hukum Islam secara umum, tidak dapat dipisahkan dari maqashid syariyah (tujuan-tujuan syariat Islam) yang mendasari setiap

91 Azzumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet ke 11, 2003, h. 320

92 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi`i juz 3 (al-Fiqhu asy-Syafi`i al-Muyassar), alih bahasa Muhammad Afifi dan Abdul Aziz, (Jakarta; Almahira, 2010), h. 151

93 Ahmad wardi Muslich, Pengantar dan AsasHukum Pidaana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h 3

ketetapan hukum dalam Islam, yakni memelihara kemaslahatan bagi manusia yang mencakup lima hal, yaitu “ Agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima hal inilah yang menjadi pokok tujuan dari Syari`

( pembuat hukum/Allah SWT).” 94

Uraian di atas menjelaskan bahwa tujuan dari hukum Islam adalah agar terciptanya kemaslahatan hidup manusia, baik yang berkaitan dengan agama, jiwa, maupun harta benda, serta menolak segala madharat yang membahayakan hidup manusia.

2. Asas-asas Hukum Pidana Islam

”Asas-asas dalam lapangan hukum pidana Islam antara lain adalah: (1) asas legalitas, (2) asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain, (3) asas praduga tidak bersalah.” 95

Uraian di atas menjelaskan bahwa seseorang dinyatakan melanggar dan dikenai hukuman setelah adanya undang-undang atau peraturan yang mengaturnya. Demikian pula setiap pribadi bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya, dan ia tidak dapat dikenai hukuman atas kesalahan yang dilakukan orang lain. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran Surah al-Isra` ayat 15 sebagai berikut:

        

   

94 Azzumardi Azra dkk, loc cit

95 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999), h. 115

”Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.)Q.S. Al-Isra: 15( 96

Mencermmati ayat di atas dipahami bahwa pertanggungjawaban pidana bersifat individual, artinya kesalahan seseorang tidak dapat dipindahkan oleh orang lain, meskipun orang yang dilimpahi kesalahan terse-but rela menerimanya. Demikian pula Allah tidak akan menyalahkan suatu kaum, sehingga Allah Swt mengutus kepada kaum tersebut Rasul yang memberikan petunjuk tentang peraturan hidaup manusia. Asas-asas tentang pidana Islam dapat pula dipahami dari Al-Quran

           

       

    

”Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.

)Q.S. Al-An`am:164(” 97

Hukum Pidana Islam merupakan sarana untuk menciptakan kemaslahatan umat, baik didunia maupun diakhirat. Sebab siasat dan kebijakan para penguasa tidak akan bisa diaplikasikan secara utuh kecuali dengan cara menghukum para pelaku kejahatan dengan hukum Allah.

96 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2005), h. 283

97 Ibid, h. 172

“Suatu komunitas manusia tidak akan meraih stabilitas yang diharapakan kalau sekedar diatur dengan besi dan peralatan canggih saja. Akan tetapi sebaliknya mereka akan bisa meraih stabilitas jika diatur dengan ketetapan-ketetapan dan hukum Allah.” 98

Allah SWT telah mensyariatkan hukum pidana serta mewajibkan pelaksanaannya kepada para penguasa negeri, demi melindungi nyawa manusia, serta menjaga keselamatan jiwa dan raga orang-orang yang tak berdosa, dan melenyapkan fitnah sejak awalnya karena dengan dihukumnya pelaku yang bersalah, maka hal itu menjadi peringatan keras baginya dan bagi masyarakat umum serta mencegah tindakan sewenang- wenang, sebab seseorang yang bermaksud membunuh sasarannya, lalu menahan diri karena takut pada hukum qishash sehingga tidak jadi melaksanakan pembunuhan; hal ini berarti kelangsungan hidup bagi dirinya dan diri orang yang hendak dibibunuhnya.

B. Analisis Hukum Tururt Serta dalam Tindak Pidana Pembunuhan 1. Deskripsi tentang Tururt Serta dalam Tindak Pidana Pembunuhan

Jarimah (tindak pidana) adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalnya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Tururt serta dalam melakukan jarimah (tindak pidana) dapat digolongkan menjadi dua macam :

a) Turut serta langsung (al-isytirok al-mubasyaroh), Orang yang tururt serta ini disebut peserta langsung (al-syirku al-mubasyir)

98 H.A. Djazuli, Fiqih Jinayah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet ke-3, 2000, h. 11

b) Turut serta secara tidak langsung (al-isytirok bil tasabbub). orang yang turut serta disebut peserta tidak langsung.99

Adapun yang dimaksud dengan orang yang turut serta dalam tindak pidana tidak langsung adalah “ Setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan oang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan.” 100

Dalam hubungannya dengan turut serta berbuat jarimah atau tindak pidana, para fuqhoha mengenal dua macam perkara yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu al-tawafuq dan al-tamalu`.

H.A. Djazuli dalam bukunya fiqih Jinayah menjelaskan :

Al-tawafuq adalah beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Jadi kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba-tiba. Al-Tamalu` adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama dan terencana, misalnya pembunuhan atas seseorang oleh sekelompok orang yang terencana; ada yang mengikatnya, memukulnya atau menembaknya.

Mereka semua bertanggung jawab atas kematian korban.101

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat dipahami bahwa meskipun antara al-tawafuq dan al-tamalu` berbeda dalam hal latar belakang psikologis yang melatar belakanginya, namun demikian keduanya sama-sama mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, oleh karena itu dalam pandangan hukum Islam termasuk kategori tindak pidana (jarimah) yang mengakibatkan pelakunya mendapat hukuman,

99 Ahmad Wardi Muslich, op cit h. 66

100 Ibid, h. 70

101 H.A. Djazuli, op cit,, h. 17

meskipun tingkat hukumannya berbeda seseuai dengan perannya masing- masing.

Perbedaan latar belakang tindak pidana di atas berdampak pula pada perbedaan tanggung jawab yang diterima masing-masing pihak yang terlibat dalam tindak kejahatan. Ahmad Wardi Muslich dalam hal ini mengatakan :

Menurut jumhur ulama ada perbedaan pertanggung jawaban peserta antara tawafuq dan tamalu`. Pada tawafuq masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya sendiri dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Sedangkan pada tamalu` para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatan mereka secara keseluruhan.102

Meskipun demikian, pada dasarnya mayoritas fuqoha telah sepakat apabila sekelompok orang dengan sengaja dan masing-masing pihak dalam kelompok tersebut turut berperan secara langsung dalam pembunuhan, maka semuanya dikenai qishash. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sayid Sabiq dalam karyanya Fiqih Sunah yang mengatakan

Andaikata satu kelompok orang telah sepakat untuk membunuh seseorang, kemudian mereka laksanakan, maka semua mereka wajib dihukum qishash, baik jumlah mereka banyak atau sedikit, sekalipun diantara mereka ada yang tidak melakukan pembunuhan secara langsung. Dasarnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatha bahwa ada satu orang lelaki dibunuh dengan dikeroyok oleh segerombolan penjahat pada masa kekhalifahan Umar r.a. Mereka membunuh dengan cara licik.

Umar ra. berkata: Seandainya seluruh penduduk kotta Shan`a bersekongkol membunuh- nya, niscayalah aku hukum mati mereka semuanya.103

102 Ahmad Wardi Muslich, op cit, h. 68

103 Sayid Sabiq, op cit, h. 429

Ibul Qoyim sebagaimana dikutip oleh Saleh Al-Fauzan mengatakan : “ Semua sahabat Rasul, begitu pula juga mayoritas ahli fiqih bersepakat untuk membunuh sekelompok orang yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang.” 104 Ali Ash-Shabuni, dalam kitabnya Rawaiul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Minal Quran Juz I mengatakan “ Apakah sekelompok orang yang membunuh satu orang harus dibunuh semuanya ? pendapat jumhur ulama serta keempat Imam pencipta mazhab ialah para pembunuh itu dibunuh.” 105

A. Djazuli dalam bukunya Fiqih Jinayah juga mengatakan : “ Apabila sekelompok membunuh satu orang, menurut mazhab empat semuanya diancam hukuman qishash bila mereka semuanya melakukan pembunuhan itu secara langsung.”106

Berasarkan pendapat para fuqoha di atas, selanjutnya dapat dicermati bahwasanya ittifaq (kesepakatan) mayoritas fuqoha` atas wajibnya hukum qishash bagi semua pihak yang terlibat dalam pembunuhan didasarkan adanya dua hal, yaitu :

- Pembunuhan tersebut termasuk kategori al-tamalu`, yakni adanya kesepakatan dan kesengajaan semua pihak sebelum melaksanakan pembunuhan, dan

- Masing-masing pihak berperan langsung dalam pembunuhan.

104 Saleh Fauzan, al-Mulakhkhasul Fiqhi, Alih Bahasa Abdul Hayyi El-Katatani dkk, (Jakarta,Gema Insani, 2006), h. 793

105 Ali Ash-Shabuni, Rawaiul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Minal Quran Juz I, Alih bahasa Saleh Mahfoed, (Bandung, Al-Ma`arif, 19940), h. 328

106 H.A. Djazuli, op cit, h. 138

2. Pendapat Fuqoha` tentang Turut serta dalam Tindak Pidana Pembunuhan secara tamalu`

Para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah apabila semua pihak dalam suatu kelompok bersepakat untuk membuunh seseorang (al- tamalu`), namun salah seorang dari mereka tidak berperan secara langsung dalam pembunuhan itu.

a. Pendapat Imam Malik

Dalam pembunuhan secara Al-Tamalu` tetapi ada salah satu orang yang tidak ikut berperan langsung Imam Malik, sebagaimana dijelaskan oleh A.Djazuli mengatakan:

Dalam kasus ini semua orang yang hadir dianggap membantu meskipun tidak langsung. Perbuatan demikian diancam dengan qishash, seperti seorang dari mereka hanya menjaga pintu dan yang lain mengawasi kalau-kalau ada orang yang datang.

Sedangkan orang yang tidak hadir meskipun ia membantu terjadinya pembunuhan-maka ia hanya dikenai sanksi ta`zir.107

Mencermati pendapat Imam Malik di atas, maka dapat diketahui bahwa orang yang hadir pada saat berlangsungnya pembunuhan dan ia sebelumnya telah sepakat untuk melakukan pembunuhan, maka orang tersebut dikenai hukuman qishash, meskipun ia tidak berperan langsung dalam pembunuhan itu.

Sedangkan orang yang tidak hadir meskipun ia tidak berperan langsung atas terjadinya pembunuhan, tetapi ia dikenai sanksi ta`zir.

Dalam masalah ikut serta dalam pembunuhan yang di dalamnya bergabung antara orang yang sengaja dan tidak sengaja

107 Ibid

membunuh, orang mukallaf dan bukan mukallaf, seperti orang gila, atau anak kecil, menurut Imam Malik sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusyd: ”Orang yang sengaja dikenai qishash, sedangkan orang yang tidak sengaja dan masih anak-anak masing-masing dikenai separuh diyat.” 108

b. Pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad

Pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad berbeda dengan pendapat Imam Malik di atas, Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh H.A. Djazuli mengatakan “ yang dikenai qisahash hanyalah orang yang membunuh secara langsung. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad .” 109

Muhammad Hasbie Ash-Siddiqie mengatakan: ”Apabila seseorang memegang tangan korban dan seorang lagi membunuh, maka qishash itu dijatuhkan kepada orang yang membunuh, sedang orang memegang tangan, dita`zir saja. Begini juga pendapat Abu Hanifah” 110

Pendapat di atas berbeda dengan pendapat Imam Malik yang mengatakan: ” Kedua-duanya dianggap bersekutu. Jadi keduanya dibunuh, sekiranya pembunuhan tersebut tidak mungkin dilakukan kalau bukan karena ada yang memegangi tangan si korban, dan tak

108 Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Jilid 3, (Jakarta Pustaka Amanai, 2007)), h. 508

109 Ibid

110 Tengku Muhammad hasbi Ash-Siddiqie, Hukum-hukum Fiqih Islam, (Semarang, Pustaka Rizki), 1997, h. 452

sanggup pula bagi korban melepaskan diri dengan lari umpamanya.”

111

Berdasarkan analisa beberapa pendapat fuqoha dan para ahli hukum Islam sebagaimana penulis uraikan sebelumnya, maka selanjutnya diambil garis besar pemahaman sebagai berikut:

1) Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwasanya sekelompok orang yang telah sepakat untuk melakukan pembunuhan dan semuanya berperan langsung dalam pembunuhan itu, maka semuanya dikenai hukuman qishash.

2) Fuqoha berbeda pendapat dalam masalah apabila peranan yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam pembunuhan tidak sama. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad, yang dikenai qisahash hanyalah orang yang membunuh secara langsung, sedangkan pihak yang tidak membunuh secara langsung hanya dikenai hukum ta`zir meskipun ia sepakat melakukan pembunuhan.

3) Menurut imam Malik, semua pihak yang telah sepakat mekukan pembunuhan dan hadir pada saat pembunuhan berlangsung dikenai hukuman qishash, meskipun ada beberapa yang tidak membunuh secara langsung.

BAB IV

111 Ibid

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pembunuhan dibagi menjadi tiga macam: pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tersalah atau tidak sengaja.

Pelaku pembunuhan sengaja sengaja dikenai hukum qishas apabila tidak dimaafkan oleh ahli waris atau keluarga korban, sedangkan apabila dimaafkan oleh ahli waris korban maka dikenai diyat mugholzadoh.

Pelaku pembunuhan semi sengaja dikenai diyat mugholzadoh, sedangkan pembunuhan tersalah dikenai diyat mukhoffafah.

2. Ikut serta dalam tindak pidana pembunuhan dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu: tamalu’ dan tawafuq. Tawafuq adalah beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Jadi kejahatan tersebut terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba-tiba. Sedangkan tamalu’

adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama dan terencana.

3. Orang yang membunuh dan ikut serta membunuh dihukumi qishas. Atau orang yang hadir pada saat langsung pembunuhan dan ia sebelumnya sepakat melakukan pembunuhan.

Sedangkan orang yang tidak hadir meskipun tidak berperan langsung atas terjadinya pembunuhan dihukumi dengan sanksi ta’zir, adapun orang yang bukan mukallaf (orang gila, anak kecil, itu dihukumi separu diat).

B. Saran

1. Bagi masyarakat muslim, hendaknya lebih memahami hukum pidana Islam, sehingga terciptalah kedamaian dan kemaslahatan dalam realitas kehidupan masyarakat.

2. Hukum qishas merupakan hukuman yang telah ditetapkan oleh syara’

namun hukum ta’zir belum ditemukan karena hukum ta’zir adalah bertujuan untuk menanggulangi permasalahan atau bentuk hukuman yang belum ditentukan oleh syara’. Begitu juga dalam mengambil kesimpulan terhadap hukum orang yang ikut serta membunuh, maka bagi pemerintah dan aparat penegak hukum, hendaknya lebih memahami hukum pidana Islam sebagai bentuk pertanggungjawaban pribadi kepada Allah di akhirat sehingga menjadi motivasi untuk berlaku adil dan jujur dalam menegakkan hukum di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman I Doi, Syariat Hukum Islam, Alih Bahasa Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, Raja Grafindo, Jakarta, 1996

Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh, Kencana, Jakarta, 2003

..., Ushul Fiqih Jilid I, Logos Wacana Ilmu Dan Pemikiran,cet ke-2, 2000

Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari`ah Fi al-Islam. Alih Bahasa Khikmawati (Kuwais), Amzah, Jakarta, 2009.

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidaana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004

Ali Ash-Shabuni, Rawaiul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Minal Quran Juz I, Alih bahasa Saleh Mahfoed, Al-Ma`arif Bandung, 1994

Azzumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Jilid 2, cet ke -11, 2003

Burhan Bungin, Metedelogi Penelitian Sosial, Airlangga University Press, Surabaya, 2001

Departemen Agama RI, Al-Quran,Tajwid dan Terjemahnya, Syamil Cipta Mulia, Bandung, 2006

---, Al-Quran dan Tafsirnya, Jilid 2, Duta Grafika, Jakarta, cet ke-3, 2009

Edi Kusnadi, Metodologi Penelitian Aplikasi Praktis, Ramayana Press, 2005 Hermansyawarsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Jakarta, Gramedia, 1992 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah, Angkasa, Bandung, 2005

Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Alih Bahasa. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Asy-Syifa`, Semarang, 1990

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode penelitian Sosial-Agama, Remaja rosda Karya, Bandung cet ke-2, 2003

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara,Jakarta cet ke-3, 1999

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Yayasan Indonesia, Jakarta 2004 Moh Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cet: 3, 1980

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi ketiga cet ke- 3, 2003 h. 871

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa. Nor Hasanudin, Pena Pundi Aksara, Jakarta, Juz. 3. cet ke-1, 2006

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro, Pedoman Skripsi/karya Ilmiah, Metro, 2010

Saleh Fauzan, al-Mulakhkhasul Fiqhi, Alih Bahasa Abdul Hayyi El-Katatani dkk, Gema insani, Jakarta, 2006

Suharsimi Arikunto, Perosedure Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Rineka Cipta. Cet ke 12 Edisi Revisi. V. Jakarta. 2002.

Sumadi Surya Brata, Metode Penelitian, Rajawali Pers, jakarta, 2010

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, cet ke 38, 2005, Tim Disbantald, Al-Quran dan Terjemahnya, Sari Agung, Jakarta, cet ke-9, 1995

Dokumen terkait