• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN KARAKTER KUNCI WARGA NEGARA

A. Pengertian Karakter

Semakin sering dan intensnya kata karakter muncul dalam berbagai kajian menimbulkan pertanyaan mendasar: “Apa itu karakter?” “Ada apa dengan karakter?” Banyak cara yang bisa ditempuh untuk menjawab pertanyaan ini, salah satunya dengan mensearch kata tersebut di internet. Banyak jawaban yang bisa kita temukan tentang pengertian karakter, “Character is one of those overarching concepts that is the subject of disciplines from philosophy to theology, from psychology to sociology – with many competing and conflicting theories” (http://en.wikipedia.org/

wiki/Character_education). Menurut pengertian di atas karakter disebutkan sebagai suatu konsep yang bisa dikaji dari berbagai disiplin ilmu; filsafat, teologi, psikologi atau sosiologi.

Menurut Suyanto (2009) karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Sementara itu karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas sebagaimana dikutip oleh Akhmad Sudrajat (2010) adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh dalam (Sudrajat, 2010) karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitude), perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan keterampilan (skill).

Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Menurut Desain Induk Pembangunana Karakter Bangsa (2010:7), karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku.

Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok

81 E t i k a K e w a r g a n e g a r a a n

D r. Apel es Le xi Lont o, M . Si . & The odo r us Pa ng al i l a , S . Fi l s. , M . P d .

orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakter adalah watak atau sifat warga negara yang tercermin dalam kata good and smart.

Dalam grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010) sebagaimana dikutip dari Budimansyah (2010:23–24) dikatakan bahwa karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa, dan karsa, serta olah raga yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga dan olah rasa dan karsa. Oleh hati berkenaan dengan perasaan, sikap dan keyakinan/keimanan yang menghasilkan karakter jujur dan bertanggung jawab. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif menghasilkan pribadi cerdas. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas menghasilkan sikap bersih, sehat, dan menarik. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kamauan dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, citra, dan penciptaan kebaruan menghasilkan kepeduilan dan kreativitas. Dengan demikian terdapat enam karakter utama dari seorang individu yakni, jujur, bertanggung jawab, cerdas, bersih, sehat, peduli, dan kreatif. Berikut ini adalah skema keterkaitan antar keenam karakter tersebut:

82 83

oleh

E t i k a K e w a r g a n e g a r a a n

Gambar 1. Grand Design Pendidikan Karakter 2010 (Sumber: Budimansyah, 2010:24)

Sementara itu menurut Lickona sebagaimana dikutip Zubaedi (2011:2), karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan di bawah ini menunjukkan keterkaitan antar tiga aspek dari karakter.

Gambar: Keterkaitan antara Komponen Moral Menurut Lickona (Sumber: Zubaedi, 2011:2)

dengan pendapat di atas, menurut Kementerian Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat (2010:3–4) karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa.

Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan.

Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai- nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.

Dalam pendidikan karakter Lickona (1992, dalam Bestari dan Syaifullah, 2010:156) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebijakan:

1. Moral knowing, terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu: (a) moral awereness, (b) knowing moral values, (c) persperctive taking, (d) moral reasoning, (e) decision making dan (f) self-knowledge.

2. Moral Feeling. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yakni: (a) conscience, (b) self-esteem, (c) empathy, (d) loving the good, (e) self-control dan (f) humanity.

3. Moral action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek alin dari karakter yaitu: (a) kompetensi (competence), (b) keinginan (will) dan (c) kebiasaan (habit).

Sementara itu menurut Suyanto (2009), terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggung jawab; (3) kejujuran/amanah, diplomatis; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerja sama; (6) percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; (9) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Masih menurut Suyanto (2009), kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus

85 E t i k a K e w a r g a n e g a r a a n

Sejalan Pendidikan Kurikulum

86 D r. Apel es Le xi Lont o, M . Si . & The odo r us Pa ng al i l a , S . Fi l s. , M . P d .

ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan istilah yang menaungi secara dan mencintai kebajikan menjadi “mesin” yang bisa membuat

orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.