• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUASAAN TEKNOLOGI DAN INDUSTRIALISASI KONSTRUKSI

TANTANGAN KONSTRUKSI INDONESIA 2045

7.6 PENGUASAAN TEKNOLOGI DAN INDUSTRIALISASI KONSTRUKSI

Konstruksi tidak dapat dipisahkan dari teknologi. Sebagaimana dengan aktivitas manusia lainnya, setiap saat manusia memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup dengan membuat semua tugasnya menjadi lebih mudah. Teknologi secara umum diartikan sebagai penerapan ilmu dan pengetahuan untuk tujuan tertentu; yaitu untuk kemajuan dan kemakmuran umat manusia. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, masyarakat dan industri telah lebih berkembang sehingga teknologi juga mengalami perubahan yang pada akhirnya akan berdampak pada industri tersebut. Hal yang sama akan berlaku dengan konstruksi. Konstruksi sendiri perkembangannya merupakan buah dari evolusi teknologi. Teknologi konstruksi yang saat ini kita manfaatkan dapat dipastikan tidak akan memberikan manfaat yang lebih baik daripada teknologi yang tersedia di masa mendatang.

Menurut Construction Industry Institute, teknologi konstruksi didefinisikan sebagai kumpulan dari perkakas inovatif, permesinan, modifikasi, perangkat lunak, dan lainnya, yang dimanfaatkan selama tahap konstruksi yang memungkinkan pencapaian kemajuan di bidang konstruksi, termasuk peralatan-peralatan otomatis (CII, 2020). Dalam konteks yang lebih luas, teknologi konstruksi terbatas pada alat atau mesin, tetapi juga mencakup cara atau metode untuk melaksanakan atau menghasilkan sesuatu. Di banyak negara, meskipun sering kali masih dianggap jauh lebih lambat dibandingkan dengan industri berbasis keteknikan lainnya, perkembangan dan pemanfaatan teknologi di bidang konstruksi telah terjadi dan terbukti efektif untuk meningkatkan kinerja industri. Berbagai bentuk baru teknologi konstruksi dikembangkan, antara lain untuk meningkatkan produktivitas (Loosmore, 2014), untuk menekan biaya konstruksi, dan meningkatkan keselamatan serta keberlanjutan (Sepasgozar, et al., 2016). Oleh karena itu, untuk lebih mendukung pembangunan bangsa, industri konstruksi Indonesia dinilai perlu lebih banyak berinvestasi dalam pengembangan dan penerapan teknologi.

Berawal dari teknologi bangsa Eropa yang diperkenalkan bangsa Belanda, sejak awal negara ini merdeka lebih dari 75 tahun yang lalu, telah banyak perubahan teknologi konstruksi yang diadopsi dan dimanfaatkan oleh pelaku konstruksi di Indonesia. Sebagian besar teknologi tersebut adalah teknologi yang dikembangkan di negara-negara maju, seperti Jepang, Belanda, Austria, Uni Soviet, Korea Selatan, dan negara lainnya, yang diperkenalkan langsung ke bangsa Indonesia melalui bantuan keahlian dan peralatan/permesinan dalam berbagai proyek konstruksi melalui berbagai skema pinjaman luar negeri pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Pada masa itu, teknologi modern secara bertahap diterapkan dalam berbagai sektor konstruksi, mulai dari pembangunan gedung-gedung bertingkat hingga proyek-proyek

teknologi dan peralatan canggih yang digunakan dalam industri pertambangan dan energi. Sayangnya, kemajuan teknologi tersebut tetap terisolasi di dalam perusahaan-perusahaan besar (sebagian besar BUMN), yang sebagian besar tetap bergantung pada pasokan dan keahlian asing, dengan sedikit atau tanpa penguasaan dan pengembangan lokal.

Pada akhir 1990-an, industri konstruksi Indonesia memasuki area baru.

Diberlakukannya UU No. 2 tentang Jasa Konstruksi pada 1999 telah mendorong pengalihan secara bertahap pertumbuhan sektor konstruksi nasional dari dominasi proyek-proyek infrastruktur Pemerintah ke proyek-proyek yang dibiayai oleh pihak swasta. Pergeseran tersebut diharapkan dapat mempercepat perkembangan industri konstruksi, termasuk kemajuan teknologinya. Namun, setelah hampir dua puluh tahun, adopsi dan perkembangan teknologi konstruksi di Indonesia dinilai masih rendah. Penelitian dan pengembangan teknologi dapat dikatakan hampir tidak ada. Praktis perusahaan-perusahaan konstruksi nasional cenderung untuk fokus pada bagaimana secepatnya menyelesaikan proyek dan mendapatkan laba. Daripada secara bertahap berinvestasi dalam mengembangkan kemampuan teknologinya sendiri, perusahaan- perusahaan konstruksi lebih tertarik untuk secara langsung mendapatkan dan memanfaatkan teknologi yang telah tersedia-umumnya impor dari luar negeri- untuk segera memenuhi kebutuhan proyek mereka. Hal ini menyebabkan mereka menjadi lebih rentan terhadap ketergantungan pada teknologi impor.

Upaya pemerintah untuk meringankan beban tantangan teknologi tampaknya juga sama lambatnya. Bukan hanya anggaran untuk litbang yang jauh di bawah memadai, fokus pengembangan teknologi juga lemah dan sering berubah.

Lebih buruk lagi, adopsi hasil litbang konstruksi di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyak juga masih sangat terbatas (Panggabean, 2017). Penyebaran produk-produk litbang sebagian besar masih terbatas pada kegiatan eksperimental berskala kecil dalam proyek konstruksi dukungan pemerintah, dan hampir tidak pernah diangkat ke ukuran industri skala massal. Hal serupa juga terjadi lingkungan perguruan tinggi. Kondisi seperti itu tentu tidak bisa lagi ditoleransi. Dalam era persaingan global, industri konstruksi harus memperkuat kemampuan teknologinya sendiri dengan cara mendorong pengembangan dan adopsi teknologi tepat guna yang paling sesuai dengan kebutuhannya serta menggunakan sebanyak mungkin sumber daya dan bakat lokal.

Upaya pengembangan dan penerapan teknologi harus dilakukan dari dalam, khususnya oleh para kontraktor dengan bantuan kerja sama mitra lokal lainnya. Suatu penelitian yang dilakukan oleh B. Kusuma (2020) menunjukan bahwa baik kontraktor berkualifikasi besar maupun menengah pada dasarnya

20 Tahun LPJK: Konstruksi Indonesia 2001-2020

mengakui pentingnya teknologi sebagai bagian dari strategi bisnis mereka.

Kontraktor besar beranggapan bahwa teknologi akan memberikan dampak signifikan terhadap produktivitas dan kualitas kerja, sedangkan kontraktor menengah merasa teknologi akan berdampak yang berarti terhadap aspek keselamatan kerja konstruksi. Mengenai sejauh mana kontraktor Indonesia mengeksploitasi teknologi; kontraktor besar mengakui bahwa mereka yakin hal ini akan menguntungkan dan mereka mampu memanfaatkan dan meningkatkan teknologinya. Hal ini secara terbatas telah terbukti dengan mulai adanya perhatian terhadap penelitian dan pengembangan teknologi pada beberapa badan usaha jasa konstruksi besar, terutama pada perusahaan-perusahaan milik negara–BUMN. Sementara itu, alasan klasik yang dikemukakan oleh kontraktor menengah adalah keterbatasan dana dan tidak adanya jaminan terhadap investasi teknologi akan membuahkan return yang lebih baik.

Dengan adanya teknologi internet dan semakin mudahnya akses ke informasi global, eksplorasi terhadap potensi penerapan berbagai teknologi maju di Indonesia menjadi lebih terbuka. Pelaku konstruksi di Indonesia tidak lagi harus bergantung pada teknologi impor yang dikemas dalam paket bantuan teknis dan pembiayaan proyek-proyek infrastruktur dan konstruksi, tetapi dapat memilih dan/atau mengajukan teknologi alternatif yang lebih sesuai dengan pekerjaan dan bisnisnya. Internet juga memberikan kesempatan bagi para calon pengguna teknologi konstruksi untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik sebelum benar-benar memilih dan menerapkan teknologi impor sehingga tidak sepenuhnya lagi bergantung pada pihak pemasok teknologi.

Di tataran global, berbagai ulasan dan pendapat mengenai teknologi konstruksi di masa depan dan dampaknya pada industri konstruksi telah banyak dilakukan, antara lain oleh Blanco et al (2017), WEF–Boston Consulting Group (2018), Deloitte (2019), dan Construction Business Owner (2020). Semua itu memprediksi bahwa konstruksi akan lebih didominasi oleh teknologi maju, seperti digitalisasi konstruksi, automasi, dan industrialisasi komponen konstruksi.

Sebagaimana telah disinggung dalam Bab 5, paling tidak ada tiga hal penting yang telah dan akan tetap berperan dalam penerapan teknologi konstruksi di masa mandatang, yaitu mekanisasi, teknologi informasi, dan teknologi proses produksi. Dalam dua puluh lima tahun ke depan, kemampuan teknologi dan kapasitas produksi industri manufaktur dalam negeri, khususnya yang terkait dengan peralatan dan mekanisasi konstruksi, sudah lebih siap memenuhi kebutuhan peralatan konstruksi. Seiring dengan itu kemampuan inovasi dan modifikasi dalam perakitan peralatan dan teknologi impor agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal juga akan lebih baik. Hal ini akan dicapai dengan adanya kegiatan litbang dan rancang bangun yang lebih intens di pabrik-pabrik produsen alat berat konstruksi dalam negeri.

trucks, dsb.), mesin pancang maupun perkakas bantu sederhana mulai banyak diproduksi di dalam negeri. Kemampuan rancang bangun peralatan-peralatan khusus seperti perakitan launching girder untuk pemasangan balok jembatan, atau mesin bor ringan untuk micro-tunneling (trenchless technology) juga sudah dapat diproduksi secara terbatas di dalam negeri. Pembangunan fasilitas infrastruktur bawah tanah tanpa menggangu bangunan dan kondisi permukaan tanah akan menjadi salah satu kecenderungan di kota-kota besar. Pemasangan jaringan pipa air bersih, jaringan pembuangan air kotor (sewerage) dan sanitasi serta jaringan bawah tanah lainnya (gas, kabel serat optik) akan sangat terbantu dengan adanya teknologi tanpa penggalian (trenchless technology) sehingga lebih ramah pengguna dan ramah lingkungan.

Dengan meningkatnya mekanisasi pada kegiatan-kegiatan konstruksi, pola produksi konstruksi juga akan berubah. Meskipun proses produksi in-situ yang sifatnya unik masih tetap terjadi di sebagian besar proyek-proyek konstruksi, proses pembangunan dengan skema produksi pra-pabrikasi akan menjadi hal yang umum. Selain prapabrikasi elemen-elemen struktur (beton pracetak, komponen metal atau material lain), komponen-komponen separuh jadi atau modular lengkap (modular construction–Prefabricated Prefinished Volumetric Construction-PVCC) akan menjadi alternatif konstruksi yang kompetitif. Bagi sektor pembangunan perumahan atau real estat, produksi modul-modul hunian prapabrikasi, lengkap dengan fasilitas interior dan utilitasnya, akan menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan tempat tinggal masal seperti apartmen atau juga untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal darurat.

Tentu saja keberadaan revolusi industri 4.0 juga akan memengaruhi industri konstruksi di Indonesia. Pada 2045, penggunaan teknologi pesawat tanpa awak (drone) dan LiDar diyakini sudah menjadi standar praktik pada beberapa proyek konstruksi tertentu. Pengendalian proyek-proyek konstruksi akan menjadi lebih terintegrasi, akurat, dan tepat waktu dengan memanfaatkan teknologi digital seperti IoT, BIM, VR/AR, dan lainnya. Kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan proyek konstruksi akan lebih terakomodasi secara real-time di berbagai tahap-mulai dari perencanaan, perancangan, dan konstruksi, serta bahkan sampai pada tahap pengelolaan fasilitas dan demolisi- dapat difasilitasi secara lebih efektif dan akurat dengan teknologi BIM. Inisiatif pemerintah untuk mewajibkan penggunaan teknologi BIM pada proyek-proyek dengan nilai tertentu merupakan suatu langkah strategis menuju pemanfaatan teknologi BIM sebagai platform konstruksi di Indonesia.

20 Tahun LPJK: Konstruksi Indonesia 2001-2020

Gambar 7.6 Berbagai Teknologi Konstruksi di Masa Depan

Penggunaan sensor juga akan menjadi bagian yang umum dalam kegiatan konstruksi, untuk menangkap data lapangan, mengirimkannya ke pusat pemprosesan dan penganalisisan, serta selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan dan umpan balik. Sensor dapat dipasang pada elemen bangunan (RFID) untuk melacak keberadaannya, dipasang pada pekerja (wearable devices – smart hardhat) untuk memantau kondisi pekerja dan hasil kerja ataupun dipasang pada peralatan-peralatan konstruksi untuk memantau kondisi pekerja, kinerja, dan produktivitasnya.

Tentu saja semua teknologi konstruksi tersebut tidak dapat dimiliki dan dimanfaatkan secara efektif pada waktunya jika tidak dibarengi dengan upaya dan strategi penguasaan teknologi. Untuk memulai penguasaan teknologi konstruksi, Soemardi, Kusuma dan Abduh (2019) mengusulkan dilakukannya penilaian terhadap kemampuan pengelolaan teknologi berdasarkan model Technology Management Capability Assessment pada setiap perusahaan konstruksi. Penilaian kemampuan pengelolaan teknologi digunakan untuk menetapkan strategi bagaiman secara efektif perolehan, pemanfaatan secara penuh, dan pengembangan teknologi. Model ini pada dasarnya terdiri dari tiga tahap berurutan: 1) tahap eksplorasi dan akuisisi teknologi, 2) tahap penguasaan dan eksploitasi teknologi, serta 3) tahap pengembangan teknologi, yang dibangun di atas empat komponen utama: strategi teknologi perusahaan, ilmu pengetahuan, inovasi, dan penerapan teknologi dalam proyek-proyek konstruksi. Tahap akuisisi teknologi terkait dengan bagaimana perusahaan

teknologi berpengaruh terhadap pencapaian sasaran perusahaan.

Gambar 7.7 Model Penilaian Kemampuan Pengelolaan Teknologi Konstruksi (sumber: Soemardi, Kusuma dan Abduh, 2019)

Melalui model ini, perusahan-perusahaan konstruksi dapat dengan lebih baik memahami teknologi dan dampaknya terhadap bisnis mereka. Hal ini akan membantu mereka dalam mengidentifikasi peluang untuk peningkatan dan mengembangan strategi untuk menciptakan keunggulan kompetitif berdasarkan pemanfaatan teknologi yang tepat. Bagi perusahaan konstruksi, model penilaian kemampuan pengelolaan teknologi mencerminkan hubungan dinamis antara lingkungan usaha dengan kinerja teknologi. Lingkungan usaha adalah kondisi eksternal tempat perusahaan konstruksi harus mampu merespons dengan benar agar mampu persaing. Kondisi ektsrenal ini antara lain adalah kebutuhan pasar, kompetisi, kondisi ekonomi dan bisnis, atmosfer regulasi, serta ketentuan-ketentuan sosial dan lingkungan yang berlaku pada industri konstruksi.

7.7 KEAMANAN, KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA,

Dokumen terkait