• Tidak ada hasil yang ditemukan

The use of akan on classical Malay letters

4. Penutup

248 pokok, (2) menyatakan pertalian antara predikat dengan objek langsung, (3) menyatakan pertalian antara predikat dengan objek tak langsung, (4) sebagai penanda maksud, serta (5) sebagai penghubung pada pengetahuan, tidak banyak lagi digunakan pada saat ini. Dalam bahasa Indonesia, kata akan, yang digunakan sebagai penanda objek langsung, biasanya berubah menjadi afiks –kan. Misalnya, pemakaian kata akan yang terdapat dalam data, yaitu ... kita menghatur akan aturan yang seperti dimaksudkan Sahabat Saudara kita Sri Paduka Tuan Besar itu. (Palembang, AN.40) dapat berubah menjadi sufiks –kan dan bergabung dengan verba di depannya, menjadi menghaturkan.

Selain sebagai adverbia, dalam bahasa Indonesia, kata akan juga dapat sebagai preposisi.

Alwi dkk. (2003) dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia memberikan contoh pemakaian kata akan, yaitu takut akan kegelapan. Sementara itu, Kridalaksana (2005) memberikan contoh pemakaian kata akan, yaitu Mengingat akan berbagai kebutuhan, ia harus hemat. Kedua contoh tersebut memperlihatkan bahwa, seperti juga dalam bahasa Melayu Klasik, kata akan dapat muncul sebagai preposisi, khususnya sebagai penanda objek, dalam hal ini kata akan mengawali objek kegelapan dan berbagai kebutuhan. Sementara itu, kata akan sebagai preposisi yang memperlihatkan ciri (1) menonjolkan hal atau persona sebagai pokok, (2) menyatakan pertalian antara predikat dengan objek langsung, (3) menyatakan pertalian antara predikat dengan objek tak langsung, (4) sebagai penanda maksud, serta (5) sebagai penghubung pada pengetahuan, tidak banyak lagi digunakan pada saat ini. Dalam bahasa Indonesia, kata akan, yang digunakan sebagai penanda objek langsung, biasanya berubah menjadi afiks –kan. Misalnya, kata akan dalam data ... kita menghatur akan aturan yang seperti dimaksudkan Sahabat Saudara kita Sri Paduka Tuan Besar itu. (Palembang, AN.40) dapat berubah menjadi sufiks –kan dan bergabung dengan verba di depannya, menjadi menghaturkan.

249 juga digunakan sebagai penanda maksud. Kata akan memperlihatkan ‘maksud’, dalam hal ini tujuan pembicara melakukan tindakan. Berkaitan dengan itu, kata akan dapat digantikan dengan kata untuk. Pemakaian kata akan juga dapat digunakan sebagai penghubung pada pengetahuan. Dalam hal ini, sebagai preposisi, kata akan menghubungkan antara informasi yang terdapat pada klausa utama dengan informasi (pengetahuan) yang mengikuti kata akan.

Dalam beberapa situasi kata akan dapat digantikan dengan kata tentang.

Selain sebagai preposisi, dalam bahasa Melayu yang digunakan di dalam naskah surat, kata akan juga digunakan sebagai kata keterangan atau adverbia. Dalam data yang digunakan, kata akan muncul sebagai adverbia yang mendampingi verba dan berfungsi sebagai predikat.

Verba yang didampingi kata akan tersebut dapat berupa verba dasar, verba berafiks meN-, meN-kan, ber-, dan di-. Kata akan yang termasuk dalam adverbia di atas bermakna juga berfungsi sebagai penanda futur. Dalam hal ini, kata akan menyatakan bahwa suatu tindakan belum dan dapat terjadi pada masa mendatang. Selain itu, kata akan pada yang terdapat di dalam data juga mengandung modalitas ‘keakanan’.

Pemakaian kata akan dalam bahasa Melayu Klasik yang terdapat di dalam surat abad ke- 18 dan ke-19 tersebut juga dapat dibandingkan dengan pemakaian kata akan dalam bahasa Indonesia. Seperti juga dalam bahasa Melayu Klasik, kata akan dapat muncul sebagai preposisi, khususnya sebagai penanda objek. Sementara itu, kata akan sebagai preposisi yang memperlihatkan ciri (1) menonjolkan hal atau persona sebagai pokok, (2) menyatakan pertalian antara predikat dengan objek langsung, (3) menyatakan pertalian antara predikat dengan objek tak langsung, (4) sebagai penanda maksud, serta (5) sebagai penghubung pada pengetahuan, tidak banyak lagi digunakan pada saat ini. Dalam bahasa Indonesia, kata akan, yang digunakan sebagai penanda objek langsung, biasanya berubah menjadi afiks –kan. Misalnya, kata akan dalam kata menghatur akan dapat berubah menjadi sufiks –kan dan bergabung dengan verba di depannya, menjadi menghaturkan. Saat ini, dalam bahasa Indonesia, kata akan lebih sering muncul sebagai adverbia, yaitu yang berfungsi sebagai penanda futur.

Kajian di atas merupakan salah satu kajian yang memanfaatkan naskah surat Melayu klasik sebagai data penelitian. Data-data bahasa yang terdapat dalam naskah surat-surat klasik merupakan lahan subur bagi linguis dalam mengkaji berbagai aspek bahasa. Lahan subur ini akan menjadi tidak bermanfaat apabila linguis tidak mencoba produktif untuk mengambil data kajian bahasa sebagai data penelitian. Dengan menoleh ke belakang, kajian bahasa terhadap naskah surat Melayu klasik dapat dimanfaatkan untuk memantapkan kajian kebahasaan pada masa kini dan masa depan.

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan. (1992). Modalitas dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Alwi, Hasan, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Aninditha, Gadis Bianca. (2014). “Hang Tuah: Metafora Penokohan dalam Hikayat Hang Tuah”.

Skripsi Sarjana pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Baried, Siti Baroroh, dkk. (1994). Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPFF Seksi Filologi.

250 de Hollander, J.J. (1984). Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.

Fatmasari, Rindias Helenamartha. (2010). “Nomina Berafiks pe-, per-, pe-an, dan per-an dalam

Naskan Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Muhammad Hanafiyyah, dan Hikayat Raja Pasai”. Skripsi Sarjana pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Gallop, Annabel Teh.(1994). The Legacy of Malay Letter. London: British Library.

Ikram, Achadiati. (1997). Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ikram, Achadiati. (1997). Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kramadibrata, Dewaki. (2015). “Hikayat Khalifah Abubakar, Umar, Usman, dan Ali sampai Peperangan Hasan dan Husain di Karbala: Edisi Teks dan Kajian Latar Belakang Agama

dan Budaya”. Disertasi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Kridalaksana, Harimurti. (1991). “Pengantar tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia,” dalam Harimurti Kridalaksana (ed.), Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius.

Kridalaksana, Harimurti. (2005). Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama.

Mees, C.A. (1969). Tatabahasa dan Tatakalimat. Kuala Lumpur, Singapura: University of Malaya Press.

Purnamasari, Ghea Rianti. (2015). ”Perilaku Sufiks –kan pada Bahasa Melayu Klasik dalam Naskah Hikayat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi”. Skripsi Sarjana pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Rovita, Dien. (2007). ”Kontruksi Frase Nomina Milik dalam Naskah Hikayat Sri Rama, Hikayat Muhammad Hanafiyyah, dan Sejarah Melayu”. Tesis pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Sedyawati, Edi dkk., ed. (2004). Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Soebadio, Haryati. (1975). “Penelitian Naskah Lama Indonesia”. Jakarta: Buletin Yaperna No.

7 (11 Juni).

Sumber Data

Mu’jizah. (2009). Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) École française d’Extrême-Orient, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

251

Dokumen terkait