Begitu pula bahasa Bali Kuno (BBK) dan Jawa Kuno (BJK) yang tumbuh dan berkembang di masa lalu dan kini diwariskan sebagai bahasa Bali Kepara (modern). Sebagai bagian dari sejarah bahasa Bali Kepara, bahasa Bali Kuna dan Jawa Kuna ikut andil dalam keberadaan bahasa daerah tersebut.
Bahasa Bali Kuno
Pada tingkat wangsa, masyarakat Bali terbagi menjadi marga Brahmana, Ksatria dan Wesia (tri dinasti) dan marga jaba atau sudra (dinasti chatur). Sedangkan dari segi warna (profesi), penggunaan bahasa Bali pada tingkatan yang berbeda juga mengalami perubahan, sehingga lebih melihat kedudukan masyarakat dalam fungsi sosial di masyarakat.
Bahasa Jawa Kuno
Berdasarkan dimensi sosial, bahasa Bali mengenal sistem Anggah-Ugguhing atau tata bahasa Bali yang erat kaitannya dengan sejarah perkembangan masyarakat Bali yang mengenal sistem wangsa (keturunan atau marga) menurut stratifikasi masyarakat adat Bali dan warna (profesi) dalam stratifikasi masyarakat Bali modern. . Setelah abad ke-15, muncul versi lain yang oleh orang Bali disebut bahasa Bali Pertengahan.
Bahasa Bali Tengahan
Namun, para penyair masih menggunakan bahasa Jawa Kuna dalam sastra hingga tahun 1496 Saka atau 1574 M (Zoetmulder, 1983). Seiring waktu, fungsi bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa resmi kerajaan semakin menguat, dan setelah pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Śaka), prasasti Bali Kuna tidak pernah diterbitkan lagi (Astra, 1997:96). .
Bahasa Bali Kepara
Pengaruh Bahasa Bali Kuno dan Bahasa Jawa Kuno pada Bahasa Bali Kepara Berdasarkan uraian di atas, bahasa Bali sepanjang perjalanannya mengalami perkembangan
Misalnya, kata syap (BBK) dan hayam (BJK) sama-sama masih digunakan dalam bahasa Bali Kepara menurut basis anggah-ungguhanging. 221 mengalami perubahan bunyi karena hilangnya beberapa fonem seperti karambo (BBK) menjadi kbo (BJK) dan adanya kata kbo dalam bahasa Bali Kepara.
Kesimpulan
Sistem perhitungan pasar (wijayakranta, wijayamanggala dan wijayapura) yang dikenal pada zaman Bali Kuno sudah tidak digunakan lagi. Kosakata yang menunjukkan arah utama yaitu utara, selatan, timur dan barat masih mempertahankan kosakata bahasa Bali kuno (Redig, et al.
Problem in Translating Collocation in President Barack Obama Speech
Muslim World”: New Beginning at Cairo, Egypt
- Introduction
- Theoretical Review 1 Definition of Translation
- Problem in Translation
- Equivalence above Word Level
- Definition of Collocation
- Kinds of Collocation
- Problems in Translation Collocation
- Method
- Findings and Discussion
- Patterns in Translating Collocation
- Problems in Translating Collocation
- Conclusions and Suggestions 1 Conclusions
For example, in source text "Around the world", the translator translated with "Di seantero dunia". Example (d) "a new beginning" the translator translated that "awal baru", the translated is like word for word.
Contribution of Classical Manuscripts Study to Linguistic Study
The use of akan on classical Malay letters
Naskah Melayu Berbentuk Surat
Sekatan huruf merujuk kepada huruf Melayu klasik yang merupakan salah satu khazanah manuskrip Melayu klasik. Alamat (alamat akan ditulis pada sampul surat atau di belakang surat. Secara khusus, surat diraja disertakan dalam sampul sutera kuning). Unsur-unsur skrip seperti yang dinyatakan di atas juga biasa ditemui dalam koleksi manuskrip tulisan Melayu abad ke-18 dan ke-19.
Kebutuhan untuk menyampaikan informasi terkait kebijakan, peraturan dan kesepakatan antar pemerintah mengharuskan setiap penguasa untuk menulis surat sesuai aturan adat. Tulisan ini tidak akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan tata cara penggunaan bahasa dalam huruf dan susunannya.
Kajian Bahasa dalam Naskah Surat Melayu: Pemakaian Kata akan dalam Surat- surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19
- Sekilas mengenai Kata akan
- J.J de Hollander (1984)
- Mees (1969)
- Kridalaksana (2005)
- Alwi (1992)
- Analisis Pemakaian Kata akan dalam Surat-surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19 Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan pemakaian kata akan dalam bahasa Melayu dan
- Pemakaian Kata akan sebagai Preposisi
- Pemakaian Kata akan sebagai Adverbia
- Pemakaian Kata akan dalam Bahasa Indonesia
Kata itu juga akan muncul dengan tapi dan sekarang (misal: Tapi tidak aman menghadapinya saat hutan semakin lebat dan juga terlihat mengerikan). Dalam data, kata-kata akan digunakan untuk menemani kata benda (misalnya: harga) atau kalimat nominal (misalnya: sesuatu seperti itu) dan untuk membentuk kalimat eksosentris (misalnya: harga akan dan akan seperti itu). Pada data di atas, predikat kalimat (4) dan (5) yaitu selamat datang dan sapa yang termasuk kategori verba tidak langsung diikuti objeknya yaitu dia (pada kategori pronomina) dan rule (pada kategori pronomina). kategori kata benda), tetapi dibatasi oleh kata akan.
246 Pada data di atas, kata wasiat juga digunakan sebagai penanda obyek langsung (rahim, kenikmatan Sri Paduk Maharaja Nederland dan tangku cukai). Namun, berlawanan dengan penggunaan kata will pada kalimat (6) pada data di atas, subjek kalimat tidak berdiri langsung setelah predikat (to have, to tell dan to enter), melainkan dimediasi oleh adverb ( secara penuh, kepada teman dan perusahaan kita).
Penutup
Sedangkan kata will memiliki preposisi yang menunjukkan ciri (1) menonjolkan benda atau orang sebagai subjek, (2) menyatakan hubungan antara predikat dengan objek langsung, (3) menyatakan hubungan antara predikat dan tidak langsung. benda, (4) sebagai penanda niat, dan (5) sebagai penghubung ilmu yang saat ini belum banyak digunakan. Seperti dalam bahasa Melayu Klasik, kata akan dapat muncul sebagai preposisi, terutama sebagai penanda objek. Sedangkan kata will memiliki preposisi yang menunjukkan ciri (1) menonjolkan benda atau orang sebagai subjek, (2) menyatakan hubungan antara predikat dengan objek langsung, (3) menyatakan hubungan antara predikat dan tidak langsung. benda, (4) sebagai penanda niat, dan (5) sebagai penghubung ilmu yang saat ini belum banyak digunakan.
Misalnya, kata akan di dalam kata arrange bisa berubah menjadi akhiran –kan dan menggabungkan kata kerja di depannya menjadi deliver. Saat ini dalam bahasa Indonesia, kata-kata akan lebih sering muncul sebagai kata keterangan, yaitu kata-kata yang berperan sebagai penanda masa depan.
Pola Antroponimi Marga Purba Simalungun
Pendahuluan
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sibarani dalam buku Anthropolinguistics bahwa initial marga atau marga adalah nama yang diambil dari nama pribadi leluhur dan memiliki arti tertentu. Nama marga yang dimiliki seseorang akan terus diwariskan kepada keturunannya dan akan menjadi identitas yang digunakan seumur hidup. Pernyataan tersebut menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan penelitian terhadap suku Simalungun dengan melihat hubungan nama marga dan nama tempat, asal usul leluhur seseorang dan kepercayaan setempat.
Sumber data berupa 23 nama keluarga yang digunakan oleh masyarakat Simalungun yang tinggal di Kabupaten Simalungun, sedangkan datanya adalah kata atau gabungan kata yang membentuk nama keluarga. Dalam studi literatur, penulis mengumpulkan informasi yang lebih rinci tentang pembentukan kata dan arti dari masing-masing nama keluarga tersebut.
Pembahasan
Sebutan ini terkait dengan teori bahwa marga atau nama belakang pada mulanya merupakan nama yang berasal dari nama pribadi seorang leluhur (Sibarani). Selain itu, kondisi budaya dan bahasa suatu kelompok masyarakat juga dapat dijelaskan dengan marga ( Sibarani, 2004). Adanya kecenderungan nama marga dikaitkan dengan nama hewan, tumbuhan, pekerjaan, bahkan kepercayaan lokal merupakan pola antroponimik marga etnis Simalungun yang merupakan cerminan identitas masyarakatnya.
Pergerakan dan kondisi kehidupan sosial masyarakat dari tahun ke tahun dapat mempengaruhi penggunaan nama keluarga. Dengan demikian, nama marga merupakan pencerminan identitas dan keaslian budaya suku Simalungun yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Prehistoric Hand Stencil Language
Cecep Eka Permana
- Metode
- Diskusi dan Pembahasan 1 Gambar Tangan Prasejarah
- Ritual Mabedda bola
- Membaca Gambar Tangan
Berdasarkan aspek bentuk tanda tangan yang ditemukan diketahui (1) telapak tangan saja (sebagian besar), (2) telapak tangan ke pergelangan tangan, dan (3) telapak tangan ke lengan (paling sedikit ). Seperti disebutkan di atas, upaya membaca tanda tangan di gua prasejarah dilakukan dengan menggunakan analogi etnoarkeologi. Gambaran tanda-tanda seperti di atas pada umumnya sama dengan yang terdapat pada gua-gua prasejarah lainnya di Sulawesi Selatan saat ini.
Pemilik/pembuat tanda tangan di dalam goa kebanyakan adalah orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Melalui kajian etno-arkeologi, khususnya, bahasa yang digunakan pada tanda tangan pada dinding gua prasejarah di Sulawesi Selatan dapat terbaca.
Symbolic Power of Patriachal Discourse in Children Literature
Critical Discourse Analysis of Folklore, Fairytale, Islam Story, and Fable
Method
For example there is a relationship between a child in the family with his/her parents when the child wants to leave home, they must obtain permission for his/her parents. For example, a man must respect a woman, so men are considered to have high moral and appreciative decency (the man does not commit abusive or immoral actions towards women). Data analysis will be carried out from data sets collected in the field, for example: data on the role of leaders in the religious, economic, political, socio-cultural field, etc.
Finding and Discussion
- Image of Man and Women Relation in The Children’s Literary Works
- Symbolic Construction Authorization on Patriarchal Discourse in Children's Literature
The work outside the home in the context of the story of Sangkuriang and Cinderella was the hunt, cockfights and affairs that established the kingdom. In any case, the snail's sexuality is not clearly shown in the story of the rabbit and the snail. Thus, some things in literary works were part of the collective unconscious derived from human experience.
In the story of the Hare, the interpretation of the hare as a male was part of this archetype. The story went that two mothers fought over a baby in the king's Harun realm.
Conclusion
In the discourse of this story, the mechanism of symbolic violence against women, euphemizing figures, was implemented. In the form of symbolic violence in euphemization, the empress may be an unconscious determinant of character, the good daughter was obedient to the king, in this case the father or some husband. Unconsciously, he constructed the character of girls who will continue to believe in an element of power outside of themselves, even though in reality they even live tortured lives.
Secondly, the inferiority of women, derived from the domestication of women, appears in the stories. The fact that the definition of the characters in the character that had come about through mechanisms of symbolic violence in euphemization and sensoryness so that it became something that was considered normal and even a role model.
Presupposition in Wayang Golek
- Presupposition
- Methodology
- Research Technique
- Data Analysis Technique
- Data Source
- Result and Discussion
- Factive Presupposition
- Non-Factive Presupposition
- Lexical Presupposition
- Structural Presupposition
- Counter-Factual Presupposition
- Conclusion
The factive presupposition is expressed in the saying Siga urang Kamerun "He looks like a Cameroon". The non-factual presupposition is found in Abdi's statement teh nibi kadedewek hayang ka putri raja. The verb mimpi 'dream' in pronunciation is a true causative from a presupposition in the non-factor category.
The structural presupposition is found in the statement Saha nu kuat teu ngarenghap lima menit, eta nu pang heulana abus ka Batara Guru 'He who can hold his breath for five minutes, is the first to come to Batara Guru'. The presupposition in the statement presupposes that a fact Narasoma does not succeed in the race of Dewi Kunti.
Placement Testing in Computer-Assisted Language Testing: Validating Elicited Imitation as a Measure of
Language Proficiency
- Literature Review
- Design of the Study
- Elicited Imitation
- Video Interview
- Participants
- Scoring rubric
- Analysis and results 1 Analysis Video
- Inter-rater reliability video analysis
- Elicited Imitation analysis
- Discussion
- Conclusion
Carr (2011) states that the placement test is used to determine the appropriate level of students. The study design is based on correlational studies to investigate construct-related EI validity as a placement test. One possible interpretation for this relationship is that test takers obtained better results imitating words regardless of sentence order.
The length of the sentences in some cases forced the test taker to remember words in order to repeat the sentence. In addition, when EI is used for internship purposes, it is possible that there is a serious discrepancy between the results of the placement test and the actual proficiency of participants.