• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pemanfaatan Wakaf Dalam Menciptakan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

6. Peran Pemanfaatan Wakaf Dalam Menciptakan

Bagi masyarakat muslim, wakaf mempunyai nilai ajaran yang sangat tinggi dan mulia dalam pengembangan keagamaan dan kemasyarakatan, selain zakat, infaq dan sedekah. Setidaknya ada dua landasan paradigma yang terkandung dalam ajaran wakaf itu sendiri, yaitu paradigma ideologis dan paradigma sosial-ekonomis. Pertama, paradigma ideologis, bahwa wakaf yang diajarkan oleh Islam mempunyai sandaran ideologi yang amat kental sebagai kelanjutan ajaran tauhid. Yaitu, segala sesuatu yang berpuncak pada keyakinan terhadap keesaan Tuhan harus dibarengi dengan kesadaran akan perwujudan keadilan sosial. Islam mengajarkan kepada umatnya agar meletakkan persoalan harta (kekayaan dunia) dalam tinjauan yang relatif, yaitu harta (kekayaan dunia) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga harus mempunyai kandungan nilai-nilai

sosial (humanistik). Prinsip pemilikan harta dalam Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang (QS : 9 :103).

landasan paradigma sosial-ekonomis. Setelah memiliki landasan ideologis yang bersumber pada kalimat tauhid (la ilaaha illallah), wakaf mempunyai kontribusi solutif terhadap persoalan-persoalan ekonomi kemasyarakatan. Kalau dalam tataran ideologis wakaf berbicara tentang bagaimana nilai-nilai yang seharusnya diwujudkan oleh dan untuk umat Islam, sedangkan pada wilayah paradigma sosial-ekonomis, wakaf menjadi jawaban konkrit dalam realitas problematika kehidupan (sosial-ekononis) masyarakat. Penjabaran paradigma yang kedua ini bisa dicontohkan, bahwa penguasaan harta (kekayaan) oleh seseorang (lembaga) secara monopolistik akan bisa melahirkan eksploitasi oleh kelompok minoritas (kaya) terhadap mayoritas (miskin). Eksploitasi sosial-ekonomis ini pada gilirannya nanti akan menimbulkan dis-harmoni sosial sebagai virus (penyakit) masyarakat yang berisiko sangat tinggi. Harta tidaklah hanya dimiliki dan dikuasai sendiri, melainkan juga harus dinikmati bersama. Ini tidak berarti bahwa Islam itu melarang orang untuk menjadi kaya, melainkan suatu peringatan kepada umat manusia bahwa Islam mengajarkan fungsi sosial harta (kekayaan dunia). Dengan itulah kemudian diciptakan lembaga wakaf, disamping lembaga-lembaga lainnya.

Di Indonesia, sejak Islam datang ke wilayah nusantara, wakaf telah menjadi bagian dari praktek keberagamaan umat Islam. Institusi perwakafan di Indonesia berasal dari hukum Islam itu sendiri yang telah dikenal bersamaan dengan kehadiran agama Islam di Indonesia. Menurut kesimpulan seminar tentang masuknya Islam di Indonesia yang

diselenggarakan di Medan tahun 1963, Islam telah masuk di Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ke tujuh Masehi. Daerah pertama yang di datangi adalah pesisir Sumatera, dengan terbentuknya masyarakat Islam pertama di Peureulak (Aceh Timur) dan kerajaan Islam pertama di Pasai (Aceh Utara). Hukum Islam diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda (Direktorat Pemberdayaan Wakaf:2013)

Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum adanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang: Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.

Paham masyarakat Indonesia tersebut terlihat sangat lugu karena tingginya sikap jujur dan saling percaya antara satu dengan yang lain di masa-masa awal. Walaupun pada akhirnya nanti bisa menimbulkan persengketaan-persengketaan karena tiadanya bukti-bukti yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah diwakafkan.

Keberadaan perwakafan tanah waktu itu dapat diteliti berdasarkan bukti-bukti catatan di Kantor Urusan Agama (KUA) di kabupaten dan kecamatan, bukti

arkeologi, Candra Sengkala, piagam perwakafan dan cerita sejarah tertulis maupun lisan. (Djatnika : 1977)

Selain tradisi lisan dan tingginya kepercayaan kepada penerima amanah dalam melakukan wakaf, umat Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafi’iyyah sebagaimana mereka mengikuti madzhabnya, seperti tentang: ikrar wakaf, harta yang boleh diwakafkan, kedudukan harta setelah diwakafkan, harta wakaf ditujukan kepada siapa dan boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.

Dalam term umat Islam, wakaf merupakan ibadah (pengab- dian) kepada Allah swt., yang bermotif rasa cinta kasih kepada sesama manusia, membantu kepentingan orang lain dan kepentingan umum. Dengan mewakafkan sebagian harta ben-danya akan tercipta rasa solidaritas seseorang. Jalinan kebersamaan dalam kehidupan ini bisa diciptakan dengan mewakafkan harta yang mempunyai nilai spiritualisme sangat tinggi dan kualitas pahala yang tiada henti.

Fakta sejarah menunjukkan, walaupun agak sulit menentukan jumlah angka secara tepat, banyaknya praktik wakaf, khususnya wakaf tanah sejalan dengan penyebaran dakwah Islam dan pendidikan Islam. Wakaf sangat dibutuhkan sebagai sarana dakwah dan pendidikan Islam tersebut, seperti untuk kepentingan ibadah mahdhoh (murni) seperti masjid, musholla, langgar dan lain-lain, dan untuk ibadah ammah (umum) yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti di bidang pendidikan : madrasah, sekolah, majelis ta’lim dan lain-lain, di bidang ekonomi : pasar, tranportasi laut untuk dagang dan lain-lain, di bidang politik : sekretariat partai politik Islam dan lain- lain.

Zakat dan wakaf merupakan nilai instrumental sistem ekonomi Islam.

Kedua instrumen ini merupakan sarana yang sangat erat hubungannya dengan kepemilikan. Disamping itu, kepemilikan selain menjadi dasar sistem ekonomi Islam, ia juga menyangkut hubungan manusia dengan benda atau harta kekayaan yang dimilikinya, yaitu mulai dari bagaimana cara memperolehnya, fungsi hak kepemilikan, dan cara memanfaatkannya. Wakaf merupakan sarana utama dalam pendistribusian asset atau kekayaan umat dan bersifat publik. Melalui wakaf diharapkan sumber-sumber ekonomi tidak hanya terkonsentrasi pada orang-orang kaya saja, tapi juga memungkinkan terdistribusi kepada sebagian kalangan yang sangat membutuhkannya.

Dalam Islam wakaf merupakan doktrin agama, sedangkan dalam perekonomian, perwakafan merupakan sarana yang signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan. Dengan demikian, kehidupan ekonomi dalam Islam merupakan bagian penting dari ibadah.

Perkembangan wakaf sebenarnya membentuk karakter khusus yang menjadikan hukum Islam berbeda dengan hukum lainnya sejak zaman kenabian Muhammad Saw. di Madinah. Hukum Islam ini telah berhasil menciptakan lembaga perekonomian dengan muatan nilai yang sangat unik dan pelestarian yang berkesinambungan serta mendorong pemberlakuan hukum yang tidak ada bandingannya di kalangan umat-umat yang lain.

Realita ini didorong oleh adanya sebagian penguasa dan orang-orang kaya yang mewakafkan hartanya untuk disalurkan kepada jalan kebaikan, sebagai upaya untuk melindungi harta tersebut dari kemungkinan perlakuan buruk yang dilakukan oleh penguasa yang datang setelahnya. (Zahrah, 2016)

Paradigma pengelolaan wakaf secara mandiri, produktif dan tepat guna dalam membangun sebuah peradaban masyarakat yang sejahtera sesungguhnya telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika memerintahkan Umar bin Khattab agar mewakafkan sebidang tanahnya di Khaibar. Perintah Nabi tersebut sangat singkat, yakni: “Tahanlah (wakafkan) pokoknya (tanahnya) dan sedekahkan hasilnya”. (Al-Nawawi, 2016)

Dokumen terkait