• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Asas-Asas Hukum Pidana Menciptakan Keadilan Dalam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Peranan Asas-Asas Hukum Pidana Menciptakan Keadilan Dalam

Keadilan merupakan salah satu pokok pembicaraan yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan penegakan hukum di Indonesia. Keadilan juga merupakan salah satu tujuan dari hukum yang sejak dahulu menjadi perdebatan, karena dianggap merupakan rumusan yang relatif, begitupula dalam pemenuhannya. Kini, keadilan juga menjadi tuntutan yang besar dalam kehidupan hukum di Indonesia. Adanya fakta proses peradilan yang menunjukkan ketidakadilan, oknum-oknum penegak hukum yang tidak professional, tidak berintegritas, dan tidak mengatasnamakan moral dalam

61Barda Nawawi Arief II, loc.cit.

32

pelaksanaan tugasnya, dan segala hal yang mencerminkan carut marutnya wajah peradilan kita, yang belum mampu memberikan keadilan, tentu perlu dikaji.

Indonesia menganut prinsip negara hukum yang dinamis atau welfare state (negara kesejahteraan), karena negara wajib menjamin kesejahteraan sosial atau kesejahteraan masyarakat.

Mengacu pada prinsip ini maka, dengan sendirinya tugas pemerintahan begitu luas. Pemerintahan wajib memberikan perlindungan kepada masyarakat, yang salah satunya di bidang hukum.62 Indonesia sebagai negara hukum pada prinsipnya harus memberikan perlindungan hukum (iustitia protectiva) bagi rakyatnya serta berkewajiban terhadap pemenuhan keadilan. Perlindungan hukum ini dapat berbentuk jaminan atas penyelenggaraan proses hukum yang adil (due process of law) serta penyelenggaraan peradilan yang dapat memenuhi rasa keadilan terutama bagi terutama bagi kalangan atau kelompok orang miskin sebagai kalangan marginal. Pemerintah harus melindungi kelompok yang lemah ini sebagai bentuk pelaksanaan tugas negara modern.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, keadilan merupakan salah satu tujuan hukum selain kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya dalam pelaksanaannya hukum sebaiknya mampu memenuhi dan mengakomodasaikan ketiga tujuan tersebut. Dalam hal ini, hukum juga harus bisa mengakomodasikan ketiga nilai dasar tersebut, agar nantinya hukum efektif di masyarakat.

Ahmad Rifai menyatakan bahwa, tujuan hukum sebenarnya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch sebagai 3 (tiga) nilai dasar dari hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Selanjutnya, Gustav Radbruch juga mengajarkan penggunaan asas prioritas dari ketiga asas tersebut. Prioritas pertama akan selalu jatuh pada keadilan, lalu kemanfaatan, dan yang terakhir adaah kepastian hukum.63 Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa, jika dihadapkan pada sebuah kasus yang harus memilih yang mana yang diutamakan, maka keadilan yang harus diutamakan, walaupun idealnya hukum harus memenuhi ketiga hal tersebut.

Darji Darmodiharjo dan Shidartha menyebutkan bahwa, tujuan hukum memang bukan hanya keadilan, tetapi juga kemanfaatan dan kepastian hukum. Idealnya memang harus mengakomodasikan ketiganya, Putusan hakim misalnya sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat bahwa, diantara ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat bahwa, keadilan adalah tujuan hukum satu-satunya. Bisman Siregar (hakim di Indonesia) menyatakan bahwa, “Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?.64 Pernyataan ini menunjukkan pentingnya sebuah keadilan dalam penegakan hukum.

62SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, h. 52.

63Ahmad Rifai, op.cit, h. 132.

64Darji Darmodiharjo dan Sidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), cetakan kelima, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 156.

33

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum merupakan nilai-nilai dasar hukum yang penting di dalam membangun hukum di Indonesia. Dalam pembentukan sebuah Peraturan Perundang- undangan selain memuat nilai-nilai moral juga harus mencerminkan 3 nilai dasar tersebut, begitu pula dalam penegakan hukumnya. Hukum harus mengakomodasikan ketiga hal tersebut secara proposional, serasi, seimbang, dan selaras. Namun dalam prakteknya, penerapan atau penegakan hukum di Indonesia masih sangat sulit untuk mengkombinasikan ketiga nilai-nilai dasar dari hukum tersebut. Dalam prakteknya, keadilan kerap dikesampingkan demi mewujudkan kepastian hukum.

Banyak sekali terjadi kasus-kasus yang menunjukkan sebuah penegakan hukum yang sangat kaku, legalitik formal dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Hal ini merupakan permasalahan yang akan terus berlanjut jika masih berkembang paradigma bahwa kepastian hukum lebih penting dari keadilan.

Kasus pencurian kayu yang dilakukan oleh seorang kakek yang bernama Harso Taruno (67 tahun) di Gunungkidul Yogyakarta dan pencurian kayu oleh nenek Artija di Jember. Kasus pencurian tiga buah kakao yang dilakukan oleh nenek Minah di Jawa Tengah, kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan oleh Aal di Palu, kasus pencurian dua buah semangka oleh Basar Suyanto dan Kholil di Kediri, Kasus pencurian dua buah kapas yang dilakukan oleh Rusnoto; 14 tahun, Juwono; 16 tahun, Sri Suratmi; 25 tahun, dan Minase; 39 tahun di Jawa Timur, Pencurian Enam Piring oleh nenek Rasminah di Serang, kasus pencurian bunga oleh Foni Nubatonis (16 tahun) di Nusa Tenggara Timur, dan Pencurian merica oleh seorang kakek berusia 66 tahun di Dusun Sengkang Desa Talle, Kecamatan Sinjai, merupakan beberapa kasus yang menunjukkan penegakan hukum yang tidak mencerminkan keadilan.

Kasus-kasus tersebut juga menunjukkan, keadilan dikesampingkan demi mewujudkan kepastian hukum atau keadilan dikorbankan untuk kepastian hukum. Penyelesaian kasus- kasus yang menjadi sorotan publik tersebut menunjukkan bahwa, hukum terlalu legalistik formal, kaku, tidak logis dan tidak mencerminkan keadilan, khususnya bagi masyarakat kelas bawah (masyarakat miskin). Proses hukum tersebut menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat dan menunjukkan minimnya akses keadilan bagi orang atau kelompok orang miskin ini.

Penegakan hukum dalam kasus-kasus yang tidak mencerminkan keadilan, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya juga kian memperparah sikap pesimisme, sikap skeptis masyarakat, dan menimbulkan kekecewaan terhadap penegakan hukum di Indonesia yang tidak mampu memberikan keadilan bagi masyarakat kelas bawah (orang/kelompok orang miskin). Dalam penegakan hukum, seharusnya kelompok inilah yang harus diprioritaskan mendapatkan perlindungan karena kedudukannya yang dalam hal ini sangat rentan diperlakukan secara tidak adil dan penuh diskriminasi. Penerapan atau penegakan hukum yang tidak mencerminkan keadilan dalam kasus-kasus yang telah diuraikan sebelumnya merupakan salah satu bentuk gagalnya pemenuhan keadilan di Indonesia.

34

Penegakan hukum di Indonesia masih seperti sebelah pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Fenonema dalam fakta-fakta atau dass sollen inilah yang secara sosiologis menunjukkan belum terciptanya keadilan bagi masyarakat miskin. Rasa keadilan belum sepenuhnya tersentuh dikalangan masyarakat miskin.

Secara konsepsi, hal ini terkait dengan hukum positif yang ada di Indonesia, yang merupakan produk hukum peninggalan Belanda (KUHP). Jika dikaji, KUHP memuat rumusan-rumusan pasal yang mengandung asas-asas tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi bangsa kita, sehingga berdampak pada penegakan hukum yang kaku atau tidak fleksibel. Begitupula KUHAP sebagai pedoman hukum acara pidana di Indonesia, yang perlu dilakukan pembaharuan hukum untuk mengarah pada hukum yang komprehensif, responsif, dan progres agar mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Dikaji dari aspek yuridisnya, telah tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum yang di dalamnya semua penggunaan kekuasaan harus selalu ada landasan hukumnya dan berada dalam kerangka batas-batas yang ditetapkan oleh hukum.65 Sifat negara hukum ini hanya dapat ditunjukkan jika alat-alat perlengkapannya bertindak menurut peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga pemerintahan yang berwenang dan sesuai dengan asas legalitas.66 Dengan demikian, dalam suatu negara hukum setiap kegiatan peradilan dan juga penegakan hukum wajib tunduk pada aturan-aturan hukum yang berlaku (ius constitutum) dan menjungjung tinggi asas legalitas.

Segala tindakan aparat penegak hukum harus berdasarkan pada hukum serta Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya juga harus bertindak sesuai dengan hukum atau Peraturan Perundang- undangan yang berlaku, namun dalam pelaksanaannya, kadang kala dapat terhambat karena hal ini, dan juga dapat terhambat di dalam mengambil suatu keputusan atau dalam melakukan tindakan yang tidak diatur oleh Peraturan Perundang-undangan.

Patut disadari bahwa, tidak ada Peraturan Perundang-undangan yang mampu mencakup segala hal, oleh sebab itu, muncullah kewenangan diskresi yang dimiliki penegak hukum.

Pada dasarnya setiap aparat penegak hukum memang harus menjunjung tinggi asas legalitas, namun dalam kondisi dan situasi tertentu, kewenangan diskresi ini sangat diperlukan.

Diskresi ini juga dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang telah diuraikan sebelumnya

65Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 76.

66Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, cetakan pertama, Paradigma, Yogyakarta, h. 92.

35

(tindak pidana ringan yang dilakukan oleh orang/kelompok orang miskin), karena jika penegak hukum kita berfikir progresif dengan mengutamakan keadilan maka seharusnya kasus-kasus tersebut tidak sampai di tingkat pemeriksaan di pengadilan. Diskresi perlu diterapkan untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas penyelesaian kasus dalam konteks pencapaian hukum yang responsif. Sebagai bentuk konkrit, diskresi yang dapat dilakukan adalah menerapkan alternatif penyelesaian perkara pidana dengan musyawarah mufakat dengan pendekatan asas kekeluargaan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi,

Dalam konteks bidang sistem peradilan pidana, moral dan etika menjadi sesuatu yang sangat penting sebagai pedoman aspek perilaku para penegak hukum dalam melaksanakan segala ketentuan dari hukum procedural yang berlaku.67 Dengan demikian, secara moral dan etika seharusnya tidak terjadi penegakan hukum yang sedemikian kaku dan tidak mencerminkan keadilan. Kasus-kasus yang mencerminkan penegakan hukum yang kaku dan legalistik formal ini, terkesan terlalu berlebihan jika sampai pada proses pengadilan, karena kerugian yang ditimbulkan tidak besar jika dibandingkan kerugian mental secara psikis yang harus dialami terlebih kasus-kasus ini melibatkan seorang anak dan melibatkan orang yang sudah lanjut usia, yang harusnya mendapatkan perlindungan khusus.

Secara kriminologi, hal ini juga terkait dengan labelling yang sangat merugikan masa depan seorang anak. Kasus-kasus ini kian mendapat sorotan publik karena penerapan dan penegakan hukum yang dinilai kurang tepat. Kasus-kasus ini tentu akan terus terjadi jika penegak hukum kita tidak bisa berfikir secara progres demi keadilan masyarakat. Keadilan berdasarkan pancasila nampaknya tidak lagi menjadi perhatian bagi penegak hukum kita dalam kasus-kasus tersebut. Kasus-kasus ringan yang diadili sampai kengadilan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, yang pada umumnya adalah kasus pencurian ringan (tindak pidana ringan) yang dilakukan oleh pelaku yang sudah lanjut usia dan dilakukan oleh seorang anak seharusnya mendapat perlakuan khusus, dengan pertimbangan-pertimbangan moral untuk memberikan keadilan tidak hanya bagi si pelaku tapi juga bagi masyarakat luas. Hal ini bukan saja untuk kepentingan keadilan saja tapi juga bermanfaat bagi peradilan di Indonesia untuk mewujudkan trilogi peradilan demi mencapai proses peradilan yang efektif dan efisien.

Jika dikaji, dapat dikatakan bahwa penerapan serta penegakan hukum dalam kasus ini kurang tepat. Ada cara lainnya yang dapat digunakan untuk menegakkan hukum dalam kasus ini, yakni dengan alternatif penyelesaian perkara pidana.

Dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan, seharusnya kasus ini tidak sampai diproses dipengadilan. Seharusnya di kepolisian, ditingkat penyelidikan atau penyidikanlah

67Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cetakan kedua, Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, h. 4.

36

seorang polisi menggunakan kewenangan diskresi ini dengan pengesampingan perkara melalui proses mediasi atau perdamaian. Dalam kasus-kasus ini, pelaku berstatus sebagai orang yang sudah lanjut usia dan anak. Bukan berarti mereka tidak boleh ditindak secara hukum jika melakukan tindak pidana, namun dalam kasus ini seharusnya ada kebijakan lain yang bisa diambil oleh kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang terdepan dalam menangani kasus ini. Seharusnya banyak hal yang harus dipertimbangkan.

Karena diproses hingga ke pengadilan dan divonis bersalah, banyak dampak negatif yang harus diterima oleh terdakwa. Vonis bersalah itu akan mempengaruhi psikologis terdakwa, terutama seorang anak. Dampak yang akan dirasakan dalam waktu yang lama, bahkan seumur hidup. Stigma sebagai pencuri akan terus melekat pada dirinya. Seharusnya masalah ini tidak sampai ke pengadilan. Stigma sebagai pelaku pencurian ini tentu akan menciderai psikologis sepanjang hidupnya. Ini tentu mengganggu kondisi kejiwaan dan perkembangan masa depan seorang anak, jika pelakunya adalah seorang anak.

Kasus-kasus ini perlu dikaji untuk memperoleh solusi yang tepat dalam menghadapi kasus yang serupa. Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa, secara konsepsi, hal ini terkait dengan hukum positif yang ada di Indonesia, yang merupakan produk hukum peninggalan Belanda (KUHP). Jika dikaji, KUHP memuat rumusan-rumusan pasal dan asas- asas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi bangsa kita, sehingga berdampak pada penegakan hukum yang kaku atau tidak fleksibel. Begitupula KUHAP sebagai pedoman hukum acara pidana di Indonesia, yang perlu dilakukan pembaharuan hukum untuk mengarah pada hukum yang komprehensif, responsif, dan progres agar mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian, seharusnya diberlakukan Primary Rules (Aturan Hukum Primer) dan Secondary Rules (Aturan Hukum Sekunder) yang sesuai dengan idiologi bangsa kita. Jika dikaji dalam pembaharuan hukum KUHP di Indonesia, telah ada upaya pembaharuan dalam hal ini dengan memasukkan rumusan-rumusan konsep dan asas-asas yang berdasarkan nilai-nilai keadilan pancasila.

KUHP Indonesia menganut asas legalitas berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Di dalam hukum pidana dikenal adanya asas afault (Asas ketiadaaan sama sekali sifat melawan hukum) yang berarti bahwa, walaupun perbuatannya memenuhi undang-undang tapi pada hakikatnya tidak ada unsur melawan hukumnya sama sekali itu tidak melawan hukum. Jika tidak ada sifat melawan hukumnya maka tidak dipidana. Selain itu, terdapat asas ketiadaaan kesalahan sama sekali yang tidak dikenakan pidana.

Dalam konsep KUHP, seharusnya ada Asas keseimbangan dalam KUHP, yang tidak melihat hanya dari satu sisi dan menimbang tidak hanya dari satu sisi. Seharusnya penegak

37

hukum menimbang seluruhnya, tidak hanya menimbang perbuatannya tapi juga menimbang orangnya. Tidak hanya menimbang unsur tindak pidananya secara formal tapi juga dilihat secara materiil. Tidak hanya menilai atau menimbang hanya jika perbuatannya telah memenuhi rumusan undang-undang, tetapi harus juga dilihat apakah delik atau bukan (asas melawan hukum materiil). Dalam konsep KUHP, Asas melawan hukum materiil dalam Pasal 11 memberikan pengertian Tindak Pidana “tiada suatu perbuatan dikatakan tindak pidana kecuali ditentukan oleh Undang-Undang”. Karena tidak dirumuskan mengenai tindak pidana ini, maka terjadilah kekakuan dalam penegakan hukum di Indonesia. Perlu dirumuskan asas yang mampu memenuhi keadilan masyarakat, dalam konteks pembaharuan hukum pidana dikenal adanya asas legalitas materiil yang juga menghormati hukum adat.

Dalam kasus-kasus ini juga harus diterapkan Teori insignificant dan Asas iralevent principle, yang berarti bahwa, “Suatu perbuatan walaupun perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan Undang-undang tetapi perbuatannya tersebut sebenarnya perbuatannya terlalu sepele, maka itu bukan delik, maka tidak perlu dibawa kepengadilan”. Lalu dikenal juga Asas the minimus, yang berarti bahwa, “jika perkara tersebut terlalu kecil tidak perlu dibawa kehakim/pengadilan. Pengadilan/hakim hanya mengurusi perkara-perkara besar. Perkara kecil seharusnya diselesaikan sendiri. Lewat perdamaian, dll. Contoh: mencuri karena lapar.

Hal-hal tersebut sering diabaikan karena penegakan hukum di Indonesia masih ada yang mengarah pada legalitas formal.

Seharusnya digali kembali mengingat, budaya Indonesia terdapat budaya permaafan.

Harus digali dan diimplementasikan dalam sistem hukum kita. Bahkan di Belanda yang mewarisi KUHP Indonesia telah ada asas permaafan. Pasal 9 KUHP Belanda (Pasal permaafan hakim; hakim boleh memaafkan walaupun perbuatannya memenuhi rumusan Undang-Undang). Bahkan ada pedoman, walaupun suatu delik diancam dengan penjara tapi bisa dijatuhi denda saja.

Seharusnya hukum yang harus kita bentuk adalah model fleksibel, tidak kaku dengan sistem hukum yang terbuka.Keadilan jika hanya berdasarkan UU akan terlalu kaku, benar secara hukum tapi tidak benar secara dengan moral, tidak benar secara agama, tidak benar secara hukum yang hidup dalam masyarakat. Seharusnya hukum itu harus memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sehingga harus digali juga keadilan berlandaskan yuridis kultural bukan hanya saja yuridis formal yang tidak menyentuh nilai-nilai keadilan. Perlu diingat bahwa, sekecil apapun pidana yang dijatuhkan tapi jika dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan tentu itu tidak tepat, sebaliknya seberat apapun hukuman yang dijatuhkan tapi sesuai dengan rasa keadilan akan diterima oleh masyarakat.

38

Menurut Teori Etis yang dipelopori oleh Aristoteles, tujuan dari hukum adalah untuk mewujudkan keadilan. Ada teori yang mengajarkan bahwa hukum semata-mata menghendaki keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut disebut teori-teori yang ethis karena menurut teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.68 Aristoteles defined in Nicomachean Ethics as giving one what is due to him, giving one what is his own.69 Selain pemikiran dari Aristoteles, dalam hal ini dianggap perlu diuraikan pemikiran dari John Rawls.

Menurut John Rawls perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan.70 John Rawls juga mengemukakan bahwa :

Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan sosial, seperti pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hak-hak asasi, ternyata belum dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan, kelas sosial, dan sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi itu. Rawls mengatakan, hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang belum sehat.71

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, faktor kelas sosial juga dapat mempengaruhi dan menghalangi distribusi pemenuhan hak-hak asasi manusia.

Menurut John Rawls, jika bidang utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, problem utama keadilan adalah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip- prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil. Prinsip-prinsip keadilan sosial tersebut harus mendistribusikan prospek barang-barang pokok. Menurut John Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan, selanjutnya, jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus mengerjakan dua hal :

1. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi- institusi dan praktik-praktik institusional.

68L.J. van Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, cetakan ketigapuluhtiga, PT Pradnya Paramita, Jakarta, h. 12.

69Hari Cand, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur (Malasya), International Law Book Services, h.

257.

70Darji Darmodiharjo dan Sidartha, op.cit, h. 161.

71Darji Darmodiharjo dan Sidartha, op.cit, h. 162.

39

2. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu.72

Prinsip-prinsip inilah yang sangat terkait dengan pemenuhan kadilan dalam kasus-kasus yang pelakunya adalah orang/kelompok orang miskin sebagai kelompok minoritas/marginal.

Menurut John Rawls, terdapat dua prinsip keadilan (two principles of justice). John Rawls menguraikan bahwa :

The first statement of the two principles reads as follows.

First : each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for other.

Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be everyone’s advantage, and (b) attached to positions and offices open to all.73

Berdasarkan pendapat ini dapat diketahui bahwa, ada dua prinsip keadilan yang dikemukan oleh John Rawls. Prinsip pertama ditentukan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang.

Prinsip kedua ditentukan bahwa, ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan bagi semua orang, dan (b) semua posisi jabatan terbuka bagi semua orang.

Prinsip-prinsip keadilan dari John Rawls :

1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty).

Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat.

2. Prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity) dirumuskan dalam prinsip ketidaksamaan yang menyatakan bahwa, situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas).74

Prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity) dalam pelaksanaannya, menunjukkan bahwa sesuai dengan prinsip ini, untuk mencapai keadilan maka perlu dibentuk

72Darji Darmodiharjo dan Sidartha, op.cit, h. 162-163.

73John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard University Press, Cambridge Massachusetts, h. 60.

74Darji Darmodiharjo dan Sidartha, op.cit, h. 165.

Dokumen terkait