HALAMAN PENGESAHAN
A. Latar Belakang
2. Urgensi (Keutamaan) Penelitian
5.1. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Berkelanjutan
Di dalam perancangan, pembentukan, pembangunan, dan pembaharuan hukum, pentingnya diingat sebagai salah satu cara pembentukan hukum haruslah taat aturan, taat asas dan memperhatikan kaedah-kaedah di masyarakat, nilai-nilai (velues) tradisional dalam masyarakat, memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat (living law) dan perkembangan hukum dalam masyarakat.
Seorang penggiat hukum, Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya “Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” dipahami dari definisi atau fungsi hukum yang dikembangkan. Hukum dalam pengertian yang luas tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaedah-kaedah itu dalam kenyataan11 Dengan lain perkataan suatu pendekatan yang normatif semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita hendak melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh.12 Menyimak pendapat tersebut memang benar hukum tidak semata-mata ada dalam Undang-Undang, tetapi ada dalam masyarakat dan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam suatu pembangunan dapat diharapkan pembangunan dengan tertib atau dengan cara-cara yang teratur, toleransi terhadap dinamika yang ada di dalam masyarakat.
Dalam bukunya Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, ada beberapa masalah pokok yang bertalian dengan arti dan fungsi hukum pada umumnya dan
11 Mochtar Kusumaatmadja I, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, h. 11.
12 Ibid, h.11.
13 khususnya dalam pembangunan nasional, menurut Mochtar Kusumaatmadja, masalah-masalah hukum yang pokok, dibatasi sebagai berikut :
(1) Arti dan fungsi hukum dalam masyarakat;
(2) Hukum sebagai kaedah sosial;
(3) Hukum dan kekuasaan;
(4) Hukum dan nilai-nilai sosial, hakikat pembangunan sebagai perubahan sikap dan sikap- sikap manusia;
(5) Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat.13
Dalam kaitannya dengan pembaharuan hukum, menurut Mochtar Kusumaatmadja kita tidak bisa berpikir hanya mempertahankan hukum dan ketertiban secara konservatif. Tapi dalam masyarakat yang sedang membangun, lebih-lebih hubungan yang meluas pemikiran-pemikiran konservatif tidak dapat dipertahankan lagi. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, menjelaskan masyarakat yang sedang membangun yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu.14 Mochtar Kusumaatmadja juga menekankan masalah-masalah dasar diatas tentu perlunya perkembangan hukum positif yang berlaku agar supaya dapat lebih baik memenuhi kebutuhan masyarakat akan kepastian disegala bidang.15
Dalam bukunya yang lain yaitu : Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan, pengembangan konsepsional daripada hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada ditempat kelahirannya sendiri.16 Menurut Mochtar Kusumaatmadja karena beberapa hal yaitu :17
13 Mochtar Kusumaatmadja II, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, h. 2.
14 Ibid, h.11.
15 Ibid, h.14.
16 Mochtar Kusumaatmadja III, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 9.
17 Ibid, h. 9-10.
14 (1) Lebih menonjolnya Perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensi juga ada memegang peranan, berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat dimana teori Pound itu ditujukan terutama pada peranan pembaharuan daripada keputusan-keputusan pengadilan, khususnya supreme court sebagai mahkamah tertinggi.
(2) Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak aplikasi mechanistis daripada konsepsi “law as a tool of social engineering”.
(3) Apabila dalam pengertian hukum termasuk pula hukum international maka kita di Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai alat pembaharuan, jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan hukum.
Menurut Romli Atmasasmita, pandangan Mochtar Kusumaatmadja, tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional, kemudian dikenal dengan Teori Hukum Pembangunan, diletakkan diatas premis yang merupakan inti ajaran atau prinsip sebagai berikut.
(1) Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara teratur.
Perubahan yang teratur menurut Mochtar, dapat dibantu oleh Perundang-undangan atau Keputusan Pengadilan atau kombinasi keduanya. Beliau menolak penolakan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata.
(2) Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan awal dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.
(3) Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui kepastian hukum dan juga hukum (sebagai kaedah sosial) harus dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat
(4) Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai- nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.
(5) Implementasi fungsi hukum tersebut diatas hanya dapat diwujudkan jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan, akan tetapi kekuasaan itu sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditentukan di dalam hukum itu.18
Dari prinsip yang merupakan inti ajaran Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja. Perubahan hukum yang teratur dalam masyarakat sesuai dengan sistim hukum Perundang-undangan dan Putusan-putusan Hakim / Pengadilan terutama Putusan Mahkamah Agung / atau yang sudah menjadi yurisprudensi tetap. Hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan ketertiban, oleh karena melalui Perundang-undangan atau hukum yang
18 Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progressif, Cet. Pertama, Genta Publishing, Jogyakarta, h. 65-66.
15 mengatur proses perubahan tersebut, sehingga akan dapat terjamin kepastian hukum dalam masyarakat. Dalam pembangunan hukum haruslah hukum yang baik, artinya hukum yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dalam menjalankan hukum haruslah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan selalu mempertahankan tata tertib masyarakat.
Menurut Romli Atmasasmita, perbedaan pandangan antara Mochtar dengan Pound dalam pemahaman mengenai konsep hukum dan fungsi hukum. Uraian Pound mengenai konsep hukum dan fungsi hukum dikemukakan dalam lingkup proses peradilan di Amerika Serikat yang ketika itu (awal abad ke-20) tampak mempertimbangkan faktor-faktor non hukum kedalam pertimbangan hakim dalam situasi masyarakat yang telah maju. 19 Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan konsep hukum dan fungsi serta peranan hukum dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia yang tengah mengalami masa transisi dari sistem pemerintahan yang bersifat tertutup kepada sistem pemerintahan yang bersifat terbuka kepada masuknya modal asing. 20 Sekalipun berbeda, Mochtar Kusumaatmadja tetap mengakui perubahan masyarakat dapat dicapai melalui Perundang-undangan atau Putusan Pengadilan atau kedua-duanya, sedangkan Pound sama sekali tidak menaruh perhatian pada Undang-undang sebagai unsur penting dalam perubahan masyarakat.21
Pandangan Pound tentang hukum sebagai social engineering (pembaruan masyarakat) dilandaskan pendekatan instrumentalisme hukum yang mengemukakan pandangan organik dengan ide sebagai berikut:
1. Hukum memuat dalam dirinya sumber doktrinal dalam bentuk nilai-nilai dan asas-asas yang memberikan isi dan bentuk pada perkembangan hukum
2. Hukum merupakan momentum perubahan secara alamiah selalu dalam keadaan berkembang (bersifat dinamis tidak statis)
19 Ibid, h. 69.
20 Ibid.
21 Ibid.
16 3. Perkembangan hukum merupakan perubahan yang teratur dalam suatu sistem hukum
untuk menghadapi tuntutan manusia melalui penasehat hukum dan hakim
4. Tugas hakim adalah memelihara dan menjaga agar proses perkembangan hukum teratur dan bekerja secara bebas.22
Sedangkan inti dari pemikiran Teori Hukum Integratif adalah merupakan perpaduan antara Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif dalam konteks Indonesia yang terinspirasi oleh konsep hukum menurut Hart. Teori Integratif memberi pencerahan mengenai relevansi dan arti penting hukum dalam kehidupan manusia Indonesia dan mencerminkan bahwa hukum sebagai sistem yang mengatur kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kultur dan karakter masyarakatnya serta letak geografis lingkungannya serta pandangan hidup masyarakat.23 Keyakinan Teori Integratif adalah fungsi dan peranan hukum sebagai sarana pemersatu dan memperkuat solidaritas masyarakat dan birokrasi dalam menghadapi perkembangan dan dinamika kehidupan baik dalam lingkup NKRI maupun dalam lingkup perkembangan international.24
Disiplin hukum menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka ialah sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.25 Dalam arti preskriptif, juga disiplin hukum dalam arti analytis atau ilmu hukum dalam arti kenyataan (sejarah hukum, perbandingan hukum, antropologi hukum, sosiologi hukum, psychologi hukum, politik hukum). Ilmu-ilmu hukum dalam arti kenyataan akan mengukur apakah hukum tersebut sudah efektif diterapkan di masyarakat. Disamping itu apakah keberlakuan hukum tersebut sudah sesuai dengan landasan filosophis, yuridis dan sosiologis, sehingga tujuan hukum yang diharapkan dapat terwujud di masyarakat yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Menurut Gustav Radbruch yang dikutip oleh Bernard L Tanya, dkk, hukum memiliki 3 aspek yaitu : keadilan, finalitas dan kepastian.
22 Ibid, h.71
23 Ibid, h. 97-98.
24 Ibid, h. 98.
25 Sarjono Soekanto, Purnadi Purbacaraka, 1979, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, h. 9.
17 Aspek keadilan menunjuk pada kesamaan hak di depan hukum, aspek pinalitas menunjuk pada tujuan keadilan yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia, menentukan isi kaedah hukum, aspek kepastian menunjuk pada jaminan hukum benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Keadilan dan finalitas adalah kerangka ideal dari hukum, kepastian hukum merupakan kerangka operasional dari hukum.26 Sehingga menurut JJH Bruggink alih bahasa B. Arief Sidharta, filsafat hukum meta teori dari teori hukum, dan meta-meta teori dari dogmatika hukum.27
Sedangkan menurut Jeremy Bentham yang dikutip oleh Bernad L Tanya, dkk, mengemukakan hukum itu menyokong kebahagiaan, apa yang cocok digunakan, atau cocok untuk kepentingan individu adalah apa yang cendrung untuk memperbanyak kebahagiaan, demikian juga apa yang cocok untuk kepentingan masyarakat adalah apa yang cendrung menambah keterangan individu-individu yang merupakan anggota masyarakat itu. Inilah yang mesti menjadi titik tolak dalam menata hidup manusia, termasuk hukum.28 Lebih jauh menurut J.
Bentham ialah hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia.29 Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya berbeda dengan Aristoteles lebih menekankan keadilan, keadilan tersebut harus mencerminkan persamarataan (keadilan komutatif) dan keadilan kesebandingan (keadilan distributif). Dalam pembicaraan tentang tujuan hukum tidak hanya pembicaraan kebahagiaan semata menurut Bentham, tidak hanya keadilan menurut Aristoteles tetapi juga kepastian hukum menurut Van Kant. Dapat dikatakan ketiga tujuan hukum itu disebut sebagai suatu sistem yang saling menentukan untuk mencapai suatu tujuan dalam hal ini tujuan hukum.
26 Bernad L. Tanya, dkk, 2010, TEORI HUKUM, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruangan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 130.
27 J.J.H Bruggink, alih Bahasa B. Arief Sidharta, 2011, Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 172.
28 Bernard L. Tanya, dkk, Op. Cit., h. 90.
29 Bernard L. Tanya, dkk, Op. Cit., h. 90.
18 Indonesia sebagai negara berkembang, khususnya Bali yang terus mengembangkan daya tarik wisata, banyak melakukan pembangunan. Sehingga mengimplementasikan pembangunan yang berwawasan lingkungan merupakan tanggung jawab pemerintah yang mengurus Negara Republik Indonesia, dan seluruh warga masyarakat wajib turut serta melestarikan lingkungan hidup termasuk ekosistemnya.
Pembangunan yang berwawasan lingkungan, menurut I Made Arya Utama, pada tingkat program aksi yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan antara lain berupa penyelesaian dokumen Agenda 21 Indonesia pada akhir tahun 1996 sebagai pejabaran lebih lanjut Agenda 21 global hasil pertemuan internasional Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi Rio de Janeiro 3-14 Juni 1992.30 Dokumen itu berisi rekomendasi-rekomendasi untuk pembangunan berkelanjutan di Indonesia sampai tahun 2010 pada masing-masing sektor pembangunan, termasuk juga tentang pelayanan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.31 Seterusnya menurut I Made Arya Utama, agenda 21 Indonesia memberikan inspirasi bagi proses perencanaan pada semua tingkatan (nasional maupun daerah) yang dilakukan melalui tindakan pemerintah, sektor swasta maupun melalui lembaga non pemerintah.32
30 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perijinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Cet. I, Bandung, h. 27.
31 Ibid.
32 Ibid.
19 5.2.Landasan Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Pengaturan Rencana Detail Tata Ruang
Kawasan Warisan Budaya Dunia Jatiluwih
Teori gelding merupakan teori dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengajarkan bahwa ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar peraturan perundang- undangan mempunyai landasan berlaku yang baik, yaitu landasan berlaku secara yuridis (yuridische gelding) artinya, suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya dan berdasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi; landasan berlaku secara sosiologis (sociologische gelding) berarti bahwa peraturan perundang-undangan harus mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, termasuk pula kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat; dan landasan berlaku secara filosofis (filosofische gelding) bermakna bahwa peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sistem nilai dari masyarakat bersangkutan33.
Peraturan perundang-undangan diharapkan dapat memenuhi ketiga macam landasan, baik landasan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Jika peraturan perundang-undangan tersebut hanya bertumpu pada satu landasan saja, maka peraturan perundang-undangan tersebut kurang sempurna (tidak sempurna). Melihat pemenuhan ketiga landasan yang disyaratkan gelding theorie tersebut, dapat dibayangkan bahwa keberadaan suatu peraturan perundang-undangan agar dapat memenuhi fungsinya sebagai pengayom masyarakat akan sulit tercapai. Apalagi bila disadari, biasanya seseorang hanya melihat suatu peraturan perundang-undangan dari satu segi saja34.
Bruggink juga mengemukakan pendapatnya tentang keberlakuan (gelding) hukum yang sering juga disamakan dengan keabsahan (geldigheid, validitas), yaitu terdiri dari keberlakuan
33 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co., 1992), hlm. 13-17.
34 Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Press, 1980), hlm.13.
20 empiris, normatif dan evaluatif.35 Menurutnya, kaidah hukum berlaku secara empiris atau juga disebut keberlakuan faktual, apabila masyarakat yang dikenai kaidah hukum tersebut mematuhinya. Untuk mengetahui keberlakuan faktual ini, dapat dilakukan dengan sarana penelitian empiris tentang prilaku masyarakat. Apabila hasil penelitian menunjukan bahwa para warga, secara umum berperilaku sesuai dengan kaidah hukum, berarti terdapat keberlakuan faktual kaidah hukum tersebut. Dengan kata lain, kaidah hukum tersebut efektif. Berbeda halnya dengan keberlakuan normatif, terjadi jika kaidah hukum itu merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum demikian terdiri atas suatu keseluruhan hierarkhi kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah-kaidah hukum umum. Kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi. Karena perhatian dalam keberlakuan normatif hanya diberikan pada tempat kaidah hukum itu di dalam sistem hukum, maka keberlakuan ini juga disebut keberlakuan formal. Disebutkan, teori “Reine Rechtslehre”
dari Hans Kelsen dapat dipakai sebagai contoh untuk menjelaskan keberlakuan normatif suatu kaidah hukum. Dalam pandangan Kelsen, kenyataan bahwa hukum, moral dan politik saling terjalin secara erat. Oleh karena itu, orang harus mendekati hukum pada struktur formalnya.
Kaidah hukum baru memiliki keberlakuannya apabila kaidah itu berlandaskan pada suatu kaidah hukum yang lebih tinggi. Dengan demikian, suatu sistem hukum dapat digambarkan sebagai suatu penataan hierarkhis kaidah-kaidah hukum, yang berakhir pada apa yang dinamakan grundnorm, yaitu merupakan kaidah dasar yang tidak dilandaskan pada kaidah yang lebih tinggi, dan berada di luar sistem hukum, sehingga keberlakuannya harus diandaikan. Selanjutnya kaidah hukum dikatakan mempunyai keberlakuan evaluatif apabila kaidah hukum tersebut
35 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls, Cetakan Kelima, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 149-152.
21 berdasarkan isinya (sehingga disebut juga keberlakuan materiil) dipandang bernilai atau penting.
Karena dipandang bernilai dan penting maka masyarakat menerima dan merasa berkewajiban untuk mematuhi kaidah hukum untuk perilaku sosialnya.
Jimly Asshiddiqie mengembangkan landasan pembentukan peraturan perundang- undangan menjadi 5 (lima) landasan, yaitu berupa landasan yang bersifat filosofis, sosiologis, yuridis, politis, dan administratif.36 Dari kelima landasan tersebut, empat landasan pertama (filosofis, sosiologis, politis, yuridis) bersifat mutlak, artinya, harus selalu ada dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan landasan terakhir (landasan administratif) dapat bersifat fakultatif atau tidak mutlak harus selalu ada, karena dicantumkan tidaknya landasan administratif tersebut tergantung kepada kebutuhan. Malahan, kadang-kadang landasan filosofis juga tidak dibutuhkan secara mutlak, seperti Undang-Undang tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi yang dapat dibentuk tanpa landasan yang bersifat filosofis, hanya memerlukan landasan yuridis dan sosiologis saja, sebab pembentukan Pengadilan Tinggi hanya bersifat administratif.
Jimly Asshiddiqie,37 secara ”filosofis,” pembentukan peraturan perundang-undangan berlandaskan pada norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Dengan demikian maka peraturan perundang-undangan merupakan cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Cita-cita filosofis yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan hendaklah mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat bangsa yang bersangkutan, sehingga dalam alam keindonesiaan, Pancasila sebagai falsafah negara harus tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang dibentuk. Terhadap landasan ”sosiologis” dijelaskan, bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan harus mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran
36 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 117.
37 Jimly Asshiddiqie, Perihal..., ibid, hlm. 117-119.
22 hukum masyarakat. Karenanya, konsideran peraturan perundang-undangan harus dirumuskan dengan baik pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris agar sesuatu gagasan normatif yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan benar-benar didasrkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Kemudian landasan ”politis”, maksudnya bahwa dalam konsideran peraturan perundang-undangan harus tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan peraturan perundang- undangan. Peraturan perundang-undangan merupakan media menuangkan kebijakan operasional, namun kebijakan tersebut harus bersumber dari ide-ide, cita-cita, dan kebijakan-kebijakan politik yang terkandung dalam konstitusi, baik yang tertulis dalam UUD 1945 ataupun yang hidup dalam konvensi ketatanegaraan dan kenyataan hidup bernegara.
Karena peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sesuai dengan cita hukum, maka peraturan perundang-undangan Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan dasar untuk mencapai masyarakat adil dan makmur sesuai dengan cita-cita negara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain, Pancasila sebagai dasar negara harus menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan atas kaitan antara cita hukum tersebut dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, maka pembentukan Peraturan Daerah (sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan) yang baik harus memberikan akses seluas-luasnya kepada rakyat di daerah untuk berartisipasi, selain itu dengan selalu mengindahkan kearifan lokal.
Implementasi dari teori keberlakuan hukum ini, telah menjadi bagian dari salah satu asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang diatur dalam Pasal 5 huruf d Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yaitu asas dapat dilaksanakan.
Lebih lanjut beberapa asas lainnya yang diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan wajib mendasarkan pada :
a. Kejelasan tujuan
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat c. Kesesuaian antara jenis,hirarkhi dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
23 f. Kejelasan rumusan
g. Keterbukaan
Disamping asas-asas tersebut dalam Pasal 5, asas lainnya yang juga harus terkandung pada peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah :
a. Pengayoman b. Kemanusiaan c. Kebangsaan d. Kekeluargaan e. Kenusantaraan f. Bhineka Tunggal Ika g. Keadilan
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan i. Ketertiban dan Kepastian hukum dan/:
j. Keseimbangan,Keserasian dan keselarasan
Untuk mewujudkan materi muatan peraturan perundangan di atas diperlukan dasar untuk menjadi pijakan tentang dibentuknya sebuah peraturan perundangan. Asas-asas peraturan perundangan di atas memberikan pemahaman bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang- undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
24 a Landasan Filosofis Pengaturan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Warisan
Budaya Dunia Jatiluwih
Adapun tujuan dari the founding fathers dalam membentuk negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Upaya penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kawasan Warisan Budaya Dunia Jatiluwih Tahun 2016 – 2036 merupakan wujud dari melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Dengan demikian untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasar setiap orang dalam rangka melindungi dan mensejahterakan kehidupan masyarakat, pemerintah daerah wajib mengelola kawasan dengan berpedoman pada Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kawasan Warisan Budaya Dunia Jatiluwih Tahun 2016 – 2036.
Selanjutnya, penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kawasan Warisan Budaya Dunia Jatiluwih Tahun 2016 – 2036 bertumpu pada prinsip-prinsip hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya, yakni lingkungan spiritual (parhyangan), lingkungan sosial (pawongan), dan lingkungan fisik (palemahan). Pola-pola interaksi yang ideal antara manusia dengan lingkungannya tercermin dalam konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan), yakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan parhyangan, pawongan, dan palemahan. Konsep Tri Hita Karana merupakan kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai universal yang mengajarkan kepada umat manusia untuk senantiasa menjaga hubungan yang harmonis dengan lingkungan dalam berbagai dimensi ruang dan waktu.
Hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungannya diyakini akan membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia lahir dan bathin. Sebaliknya, hubungan yang tidak harmonis diyakini akan dapat mengancam kesejahteraan hidup manusia.
Aspek parhyangan menyangkut hubungan manusia dengan lingkungan spiritual yang sekaligus merupakan refleksi dari hakikat manusia sebagai mahluk homo religius, yakni mahluk yang memiliki keyakinan akan adanya kekuasaan adikodrati atau super natural. Sebagai salah satu upaya untuk mencapai kesejahteraan hidup, manusia senantiasa berusaha untuk menjaga interaksi yang harmonis dengan lingkungan spiritual. Aktualisasi dari aspek parhyangan terkait