• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbaharui jarak dan hitung probabilitas berpindah seperti pada Persamaan (11.1)

Dalam dokumen Pengantar Optimasi dalam Rekayasa Transportasi (Halaman 172-177)

Tahap 6. Hitung t = t+1. Hentikan proses perhitungan jika kriteria berhenti telah terpenuhi, jika belum Kembali ke Tahap 2.

Bagian ini memberikan contoh dari aplikasi GSO dalam menyelesaikan permasalahan optimasi untuk mendesain fasilitas terminal kontainer (CT). Sistem operasi yang dikonsiderasikan dimulai dari barang di kapal hingga berakhir di lapangan kontainer (CY).

Sehingga desain yang dikonsiderasikan adalah jumlah unit truk (TTU), dan gantry crane (RTGC) yang dibutuhkan pada lapangan penumpukan, yang ilustrasinya dapat lihat Gambar 11.1.

Gambar 11.1 Proses di CT yang dikonsiderasikan (Zukhruf et al, 2020).

Untuk penanganan kapal dan peti kemasnya, CT dilayani oleh 3 dermaga dengan 3- unit quay crane (QC) di setiap dermaga yang dimungkinkan untuk dioperasikan secara bersamaan. Di sisi darat, CT dilengkapi masing-masing 45-unit dan 10-unit TTU dan RTGC.

Dari sisi permintaan, jenis kapal dan frekuensi yang dikunjungi setiap dermaga bervariasi mengikuti distribusi tertentu.

Sebelum membahas lebih dalam tentang masalah optimasi desain CT, penting untuk mempresentasikan kondisi awal dari kinerja CT. Pada kondisi dasar peti kemas membutuhkan rata-rata 33,63 jam untuk tiba dan menumpuk di lapangan peti kemas.

Permasalahan optimasi kemudian dapat dilihat dalam kerangka menentukan jumlah peralatan dan kombinasinya secara optimal (yaitu, TTU dan RTGC). Karena total waktu tempuh yang terjadi dipengaruhi oleh produktivitas peralatan, peningkatan jumlah peralatan diharapkan mengarah pada pengurangan waktu total. Namun, karena kenaikan TTU mungkin membawa peningkatan penundaan di jalan, menjadi penting untuk mencari jumlah TTU untuk mengurangi penundaan.

Teknik solusi berbasis swarm kemudian dipanggil untuk menentukan jumlah fasilitas yang optimal (yaitu, TTU dan RTGC). Karena fungsi tujuan mempertimbangkan rasio manfaat dan biaya, maka nilai waktu untuk setiap kontainer ditetapkan Rp 1,95 juta per TEUs per jam, biaya pembelian peralatan ditetapkan sebesar Rp 500 juta per unit, Rp 1.500 juta per unit, untuk TTU dan RTGC, masing-masing. Selanjutnya, diasumsikan bahwa permintaan bulanan selalu sama selama tahun operasi (yaitu, 5 tahun).

Berdasarkan hasil optimasi GSO, tindakan optimal untuk meningkatkan kinerja CT meliputi penambahan masing-masing 11 dan 5-unit TTU dan RTGC. Tindakan peningkatan ini secara langsung mengurangi total waktu perjalanan untuk tiba di CY, di mana dapat berkurang hingga 5%.

Kinerja algoritma swarm kemudian dievaluasi berdasarkan hasil optimasi dan waktu berjalannya. Hasil optimasi didefinisikan sebagai nilai fitness dari fungsi tujuan, yang dinilai dari 10 run berdasarkan nilai solusi maksimum, rata-rata, dan minimum. Untuk memastikan perbandingan yang sebanding, jumlah solusi yang mungkin ditetapkan sebesar 4500, yang secara praktis digunakan dalam penelitian optimasi sebelumnya (Yamada and Zukhruf, 2015)

Perbandingan kinerja GSO, PBPSO dan MPBPSO disajikan pada tabel di bawah ini, yang menyimpulkan bahwa GSO dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada algoritma berbasis swarm lainnya berdasarkan nilai terbaik dan rata-rata. Selain itu, hasil MPBPSO menawarkan hasil terbaik yang lebih baik daripada PBPSO. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 11.1, semua algoritma swarm masih menghadapi masalah stabilitas untuk mengatasi masalah optimasi, di mana mereka tidak memberikan hasil kualitas yang sama dalam 10 kali berjalan. Waktu komputasinya juga dibandingkan, dimana dinilai dengan PC dengan CPU Intel Core i5 2,2 GHz dan RAM 16,0 GB, GSO menjanjikan waktu komputasi tercepat, yang diikuti oleh MPBPSO. Berdasarkan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa GSO versi biner berpotensi untuk diterapkan untuk mengatasi masalah optimasi, meskipun masalah stabilitasnya perlu ditingkatkan.

Tabel 11.1 Perbandingan kinerja GSO dan PSO.

GSO MPBPSO PBPSO

Best 1.01 1.00 0.94

Average 0.90 0.85 0.84

Worst 0.73 0.71 0.74

Computation Time (sec) 8,372 14,264 17,345

ermasalahan optimasi pada intinya adalah seni memilih keputusan dari begitu banyak kemungkinan keputusan. Sehingga permasalahan ini terkadang dianggap sebagai seni untuk “menebak (guessing)”. Untuk memperoleh hasil yang paling optimal (i.e., global optimal), pada dasarnya kita dapat menguji semua kemungkinan yang ada. Dimana keputusan yang memberikan nilai maksimal atau minimal merupakan solusi optimal.

Sebagai contoh, anggaplah kita menghadapi permasalahan optimasi terkait pemilihan rute untuk meminimalkan waktu tempuh. Untuk mencapai lokasi tujuan, pengemudi harus melewati dua buah simpang, dimana terdapat pilihan 3 buah simpang dengan waktu tempuh antar simpang dapat dilihat pada Tabel 12.1 sebagai berikut:

Tabel 12.1 Waktu tempuh antar simpang (menit).

Simpang A B C LA LT

A - 1 2 2 2

B 1 - 3 3 1

C 2 3 - 1 3

LA 2 3 1 - -

LT 2 1 3 - -

LA: Lokasi Asal; LT: Lokasi Tujuan

Dengan menganggap bahwa pengemudi harus bergerak dari LA menuju LT dengan melewati dua buah simpang, maka pengemudi dapat menebak rute yang dipilih, sebagai contoh:

LA-B-C-LT dengan waktu tempuh 9 menit (3+3+3).

Untuk medapatkan waktu tempuh yang paling minimal, pengemudi pada dasarnya tinggal mengevaluasi semua pilihan yang mungkin yang dapat diresumekan sebagai berikut:

Tabel 12.2 Enumerasi pilihan rute.

No Urutan Waktu 1 LA-A-B-LT 4 2 LA-A-C-LT 7 3 LA-C-B-LT 5 4 LA-B-A-LT 6 5 LA-C-A-LT 5 6 LA-B-C-LT 9

P

Tabel 12.2 memberikan ilustrasi terkait evaluasi waktu tempuh untuk seluruh keputusan pilihan rute yang mungkin. Dapat terlihat bahwa rute yang melewati urutan simpang A dan B memberikan waktu tempuh terrendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa solusi tersebut merupakan solusi paling optimal, karena seluruh kemungkinan yang ada telah dievaluasi. Proses ini dapat disebut sebagai metode enumerasi sempurna. Metode ini mendasarkan kepada proses evaluasi seluruh kemungkinan keputusan yang ada, meskipun metode ini hanya cocok untuk jumlah keputusan berjumlah kecil. Jika jumlah pilihan besar, maka metode ini sangat sulit untuk diterapkan (lihat kompleksitas masalah pada bab 1 di buku ini).

Masalah lain yang umumnya diselesaikan dengan metode eksak adalah masalah pencarian rute terpendek. Terdapat berbagai metode untuk mencari rute terpendek ini, meskipun salah satu metode yang cukup banyak digunakan di dalam dunia transportasi adalah metode Djikstra. Metode ini diambil dari inventornya yaitu Edsger W. Dijkstra yang merupakan seorang cendikiawan ilmu komputer dari Belanda. Untuk menjalankan metode Djikstra terdapat 4 tahapan utama yaitu:

Dalam dokumen Pengantar Optimasi dalam Rekayasa Transportasi (Halaman 172-177)