• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Sirkulasi

Perencanaan sirkulasi meliputi perancangan sistem transportasi dan prasarana pendukung dalam taman nasional. Sistem hendaknya dirancang dengan suatu kesan perpaduan perjalanan darat, sungai dan udara untuk memberikan keleluasaan yang maksimum dalam penentuan rute dan pemilihan transportasi bagi pengunjung. Sistem transportasi hendaknya menuntun pengunjung menuju tempat-tempat atraksi, namun tetap menjaga mereka jauh dari zona inti dan daerah sensitif lainnya. Perencanaan sirkulasi hendaknya dikoordinasikan secara seksama dengan perencanaan pariwisata guna memastikan bahwa dukungan yang diberikan dalam rangka mengantisipasi perkembangan pawisata. Jika semua jenis jalan pada akhirnya mencapai batas-batas taman ansional, perencanaan sirkulasi perlu dievaluasi ulang agar memperhatikan titik-titik akses tambahan.

Dalam kasus Kayan Mentarang, sistem transportasi hendaknya dirancang di sekitar jalur perjalanan sungai, jalan setapak dan jalur udara yang telah ada. Jalan setapak yang ada hendaknya dievaluasi guna menentukan kondisinya dan pemanfaatannya untuk menunjang pengelolaan taman nasional atau pengembangan pariwisata. Prioritas untuk pembangunan dan perbaikan jalan setapak serta landasan terbang dimuat dalam Bab Prasarana Pendukung Wisata dan Pendidikan. Jalan setapak baru yang lain pada akhirnya mungkin harus dibangun untuk menyediakan pengelolaan, penelitian atau akses pengunjung ke bagian taman nasional yang terpencil. Sebagaimana halnya dengan prasarana, penyelenggara wisata bisa mengajukan ijin untuk membangun jalan setapak atau landasan terbang yang mendukung kegiatan pariwisata yang diusulkan.

Penggunaan sepeda motor di jalan-jalan setapak sebagaimana dipraktekkan di beberapa bagian taman nasional saat ini akan diatur kembali. Dimasa mendatang, jalan sepeda motor di wilayah-wilayah tersebut perlu dipertimbangkan agar dapat dilalui kendaraan

roda empat melalui jalan lintas Kalimantan atau jalan permanen lainnya yang dapat mencapai batas taman nasional. Petunjuk untuk pembangunan jalan akan dikembangkan jika pembangunan jalan diperlukan atau diinginkan. Rute jalan setapak hendaknya dikembangkan dan dievaluasi berdasarkan proses penyelidikan seksama yang dimulai dengan mempelajari tentang peta-peta dan data GIS disertai pengamatan lapangan untuk mengevaluasi jalur yang diusulkan. Kriteria evaluasi meliputi:

• Keindahan pemandangan jalur dan keberadaan atraksi fisik, budaya dan biologi;

• Tingkat kesulitan fisik melalui jalan setapak;

• Keberadaan wilayah yang curam atau tidak stabil yang tidak dapat dihindari;

• Kebutuhan akan jembatan anak sungai, sungai atau lahan basah;

• Kepentingan untuk melintasi daerah-daerah sensitif secara biologi seperti tempat- tempat bersarangnya burung langka; dan

• Keberadaan lokasi perkemahan yang memadai jika jalan setapak cukup panjang sehingga perlu menginap satu atau beberapa malam sepanjang perjalanan.

Berikut ini pedoman umum untuk merencanakan dan membangun jalan setapak baru serta harus diterapkan untuk memperbaiki atau merehabilitasi jalan setapak yang ada:

• Jalan setapak hendaknya mengikuti kontur dari pada langsung mendaki atau menuruni lembah;

• Galian - galian dan timbunan harus dihindari dalam pembangunan jalan setapak, jika diperlukan, galian dan timbunan kerikil tersebut hendaknya distabilkan dengan vegetasi atau dalam keadaan ekstrim dengan dinding batu;

• Jalan setapak yang menanjak hendaknya dibuat seminimum mungkin guna menghindari erosi permukaan jalan setapak, pengalihannya agar melalui kelerengan yang rendah.

Bagian kelerengan yang curam atau berat hendaknya memiliki tanggul air atau dalam keadaan ekstrim menggunakan permukaan batuan. Bagian yang sangat curam mungkin memerlukan tangga atau undakan yang terbuat dari kayu;

• Jalan setapak hendaknya dibangun paling kurang seratus meter dari anak sungai, sungai atau mata air;

• Anak sungai dan sungai mungkin dilintasi dengan penyebrangan atau jembatan, tergantung kedalaman air dan tingkat penggunaan jalan setapak. Jembatan bisa berbentuk bangunan batang sederhana, tapi hendaknya dibangun di atas batas air bah tertinggi;

• Jika lahan basah tidak dapat dihindari pada jalur jalan setapak, maka perlu dibangun papan-papan penyangga untuk menyeberanginya;

Petunjuk berikut ini hendaknya digunakan untuk membangun dermaga, galangan perahu atau fasilitas-fasilitas air lainnya:

• Bangunan hendaknya mengambang, dari pada ditancapkan hingga ke dasar sungai.

Ujung-ujung penopang hendaknya kokoh dan kuat dan cukup tinggi untuk menahan banjir sungai yang besar;

Fasilitas tersebut tidak boleh dibangun di dekat daerah pembiakan ikan atau lokasi perairan sensitif lainnya.

Setiap jalan setapak yang menuju ke taman nasional dan setiap dermaga atau landasan terbang yang berada di dalamnya harus memiliki rambu-rambu untuk menginformasikan pengguna lokal dan pengunjung bahwa mereka berada di dalam kawasan taman nasional.

Rambu-rambu tersebut hendaknya memuat peraturan dan ketentuan taman nasional yang penting, dan juga bisa memuat peta sungai dan jalan setapak serta keterangan mengenai atraksi wisata di wilayah tersebut. Seluruh tanda rambu-rambu hendaknya ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Papan tanda rambu-rambu hendaknya: 1). Dibangun dengan bahan baku yang tahan cuaca, 2). Berisikan pesan yang konsisten, dan 3). Mempertahankan rancangan motif Dayak.

Rencana sirkulasi mestinya juga berisi petunjuk-petunjuk berkemah bagi para pengunjung, khususnya di daerah-daerah mana saja perkemahan diijinkan, serta aturan-aturan yang dirancang untuk membatasi dampak-dampak yang berkaitan dengan perkemahan terhadap lingkungan. Aturan-aturan tersebut hendaknya menyangkut limbah manusia dan pembuangan kotoran sampah, penebangan pohon untuk kayu bakar, selter, jarak lokasi perkemahan dari jalan setapak, sumber air, dan daerah yang sering dimanfaatkan oleh satwa liar seperti misalnya tempat ngasin. Juga perlu ada aturan-aturan yang menyangkut pembangunan perkemahan semi permanen bagi wisatawan dan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Ajang Kahang, 1998. Tana Ulen: Sistem pengelolaan dan penguasaan hutan dalam tradisi Dayak Kenyah. Unpublished report. WWF-Kayan Mentarang.

Appanah, S., 1985. General flowering in the climax rainforests of Southeast Asia. Journal of Tropical Ecology 1: 225-240.

Arnold, G. 1959. Longhouse and Jungle. London: Chatto and Windus.

Awit Suwito. 1992. Keanekaragaman parasit mamalia kecil di kawasan konservasi Kayan Mentarang, Kalimantan Timur. Paper presented at the Second International Conference of the Borneo Research Council, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.

Balen, B. van. 1995. The birds of the Kayan Mentarang proposed national park, Kalimantan, Indonesia. Distributional Records and conservation. Report for Project Kayan Mentarang. WWF Indonesia Programme, Jakarta.

Bappeda Tk II Bulungan. 1993. Rencana Umum Tata Ruang Daerah Kabupaten Dati II Bulungan Tahun 1992/1993 – 2002/2003. Pemerintah Kabupaten Daerah Tinkat II Bulungan.

Bemmel, A.C. van. 1949. AA note on Lutrogale perpspicillata. Treubia 20: 375-377.

Blajan Konradus, 1999. “Jaringan Pemasaran Gaharu, Pengelolaan Hutan, dan Dampak Sosiologis, Ekonomis, dan Ekologisnya di Kawasan Sungai Bahau.” In, Eghenter, C., and B. Sellato, eds., 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: The Ford Foundation and WWF:

181-200.

Blouch, R. 1994.Densities and distributions of Primates in the Lanjak-Entimau Wildlife Sanctuary and recommendations for management. Consultants report, Project PD 106/90, Rev (1)F, ITTO Unit, Sarawak Forest Department.

Blower, Wirawan and Watling. 1981. Survey of Flora and Fauna in the Cagar Alam Kayan Mentarang. Report for WWF-Indonesia Programme, Jakarta. 24 pp.

Borrini-Feyerabend, G. 1999. Collaborative Management of Protected Areas. In

“Partnerships for Protection – New Strategies for Planning and Management for Protected Areas. Edited by Sue Stolton and Nigel Dudley. WWF International and International Union for Conservation of Nature, Earthscan Publications, United Kingdom

Brookfield, H., L. Potter, Y. Byron. 1995. In Place of the Forest: Environmental and Socio-economic Transformation in Borneo and the Eastern Malay Peninsula. United Nations University Press, Tokyo. 310 pp.

Chan, L., Kavanagh, M., Cranbrook, Earl of, Langub, J. and Wells, D.R. 1985. Proposals for a conservation strategy for Sarawak. WWF Malaysia/State Planning Unit of Sarawak, Kuching.

CIFOR. 1998. Field Assessment Malinau and Genwood Concessions. Report of a Review Team to CIFOR’s Bulungan Research Forest Project, Bogor, Indonesia.

CIFOR. 1999. Research Challenges Common Ideas on Agricultural Progress and Forest Loss. CIFOR News, April/May Number 22.

Cochrane, Janet. 1999. Development and Management of Eco-Tourism in Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan. Report prepared for the WWF Indonesia Kayan Mentarang National Park Project, Samarinda, East Kalimantan, Indonesia.

Clay, J.W. Generating Income and Conserving Resources: 20 Lessons from the Field.

WWF Publications, Baltimore, Maryland.

Colfer, Carol, 1993. Shifting Cultivators of Indonesia: Marauders or Managers of the Forest? Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Conklin, H. C. 1957. Hanunoo agriculture: A report on an integral system of shifting cultivation in the Philippines. FAO Forestry Development Papers No 12. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Davis, D.D. 1958. AMammals of the Kelabit Plateau, northern Sarawak.@ Fieldiana:

Zoology 39: 119 - 147.

Dove, M., 1988. Sistem Perladangan di Indonesia: Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dove, M., and D. Kammen, 1997. The Epistemology of Sustainable Resource Use:

Managing Forest Products, Swiddens, and High-Yielding Variety Crops. Human Organization, vol 56, n 1 (Spring): 91-101.

Dove, M. and T. Nugroho, 1994. Review of “Culture and Conservation” 1991-1994: A Sub-project Funded by the Ford Foundation, World Wide Fund for Nature, Kayan Mentarang Nature Reserve Project in Kalimantan, Indonesia. Report. WWF Indonesia.

Eghenter, C., 1999. “Sejarah dan Pola Perpindahan di Kalangan Orang Kayan dan Kenyah dari Apo Kayan.” In Eghenter, C., and B. Sellato, eds., 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: The Ford Foundation and WWF: 357-375.

Eghenter, C., 1999. Migrants’ Practical Reasonings: The Social, Political, and Environmental Determinants of Long-Distance Migrations among the Kayan and Kenyah of the Interior of Borneo. SOJOURN Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 14, No 1: 1-33.

Eghenter, C., In press. Mapping peoples’ forests: The role of community mapping in planning community-based management of conservation areas. A review of three projects of WWF Indonesia. PeFoR Discussion Paper n 2. Washington DC:

Biodiversity Support Program and WWF-US.

Eghenter, C. In press. Planning for community-based management of conservation areas:

Indigenous forest management and conservation of biodiversity in the Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan, Indonesia. Proceedings of the Conference,

“Displacement, Forced Settlement and Conservation,” Refugee Studies Programme, University of Oxford, 9-11 September 1999. London: Berghahn Publishers.

Eghenter, C., and B. Sellato, eds., 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: The Ford Foundation and WWF.

Eghenter, C. and B. Sellato, editors. 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam; Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. WWF Indonesia Programme, Jakarta, Indonesia.

Engstrom, M.D. 1993. The development of biodiversity survey methods in zoology.

Report to the Department of Mammalogy, Royal Ontaria Museum and the Museum Zoologicum Bogoriense, Bogor, Indonesia.

Everett, A.H. 1893. AA nominal list of the mammals inhabiting the Bornean group of islands. Proceedings of the Zoological Society of London 1893: 492-496.

Foead, Nazir. 1996. People and Animal in Swidden Cultivation of East Kalimantan: A Study of the Effects of Swidden Cultivation on Large Mammals and Hunting Practices.

MS Dissertation, University of Kent at Canterbury, Durrell Institute of Conservation and Ecology.

Foead, Nazir. 1997. Ecology of the Upper Bahau Grasslands in East Kalimantan: A Traditional Ecosystem Management for Pest Control? In, People and Plants of Kayan Mentarang, edited by K.W. Sorenson and B. Morris. World Wide for Nature Indonesia Programme.

Gray, Andrew & M. Colchester. 1998. Foreward, in AFrom Principles to Practice:

Indigenous Peoples and Biodiversity Conservation in Latin America.@ Proceedings of the Pucallpa Conference, Pucallapa, Peru, 17-20 March 1997. International Work Group for Indigenous Affairs Document No. 87, Copenhagen.

Gollin, L.X. 1997. Taban Kenyah: a preliminary look at the healing plants and paradigms of the Kenyah Dayak people of Kayan Mentarang in PPKM.

Grubh, R.B., 1994. Draft management plan for birds for the development of the Lanjak Entimau Wildlife Sanctuary. Consultants report, Project PD 106/90, Rev (1)F, ITTO Unit, Sarawak Forest Department.

Gyldenstope, N. 1920. On a collection of mammals made in Eastern and Central Borneo by Mr. Carl Lumholts. K. Svenska VetensAkad. Handl. 60(6): 1-62.

Hall, R. & Blundell, D. (eds.), 1996. Tectonic evolution of Southeast Asia. Geological Society Special Publication No. 106, pp. 153-184. London

Hamiltom, W. 1979. Tectonics of the Indonesian Region. US Geological Survey Paper 1078. US Government Printing Office, Washington, D.C. 345 pp plus map.

Han, K.H. 1998. A species inventory of small mammals for the development of Lanjak- Entimau Wildlife Sanctuary as a totally protected area, Phase II, and recommendations for management. Technical report submitted to the ITTO Unit, Sarawak Forest Department, Kuching, Sarawak. 83 pp.

Harris, L.D. 1984. The Fragmented Forest: Island Biogeography Theory and the Preservation of Biotic Diversity. University of Chicago Press, Chicago.

Haryono. 1992. Perikanan dan aspek budidayamasyarakat Dayak di sekitar kawasan konservasi Kayan Mentarang. Paper presented at the Second International Conference of the Borneo Research Councill, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.

Hedges, S. & E. Meijaard. 1999. Reconnaissance Survey for Banteng (Bos javanicus) and Banteng Survey Methods Training Project, Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan, Indonesia. Report to the WWF Indonesia KMNP Project, Samarinda, East Kalimantan.

Hose, C. 1893. A descriptive account of the mammals of Borneo. London

Inger, R.F, and F.L. Tan,, 1996. Checklist of the the frogs of Borneo. Raffles Bulletin of Zoology, 44(2) : 551-574.

Inger, R.F. and R.B. Stuebing, 1992. The montane amphibian fauna of northwestern Borneo. Malayan Nature Journal, 46: 41-51;

Inger, R.F. and R.B.Stuebing, 1992. The montane amphibian fauna of northwestern Borneo.

Malayan Nat.46: 41-51;

Inger, Robert F. and Robert B. Stuebing, 1996. Two new species of frogs from southeastern Sarawak. Raffles Bulletin of Ecology, 44(2) : 543-549

Inger, R.F., 1966. The systematics and zoogeography of the Amphibia of Borneo. Fieldiana:

Zoologi, 52: 1-402.

Inger, Robert F. and Robert B. Stuebing (1997). Frogs of Borneo. Natural History Publications, Kota Kinabalu, Sabah 205 pp.

IUCN. 1999. IUCN Red List of Threatened Animals Database. Web Site: http://

www.wcmc.org.uk.

Iwatsuki, K., M. Kato, M. Okamoto, K. Ueda, and D. Darnaedi. 1983. Botanical Expedition to East Kalimantan during 15th June and 15th September 1981. In:

Taxonomical and Evolutionary Studies on the Biota in Humid Tropical Malaysia with Reference to Diversity of Species. Edited by T. Hidaka.

Jager, K.H., 1938. Memorie van Overgave. (Resident, Afdeeling Bulungan and Berau).

Jarvie, J. 1999. Threatened Plants of Kayan Mentarang National Park. A Report to the WWF Indonesia Kayan Mentarang National Park Project. Samarinda, East Kalimantan.

Jentink, F.A. 1897. AZoological results of the Dutch Scientific Expedition to Central Borneo. II. Mammals.@ Notes of the Leiden Museum 19: 26 - 66.

Jentink, F.A. 1898. AZoological results of the Dutch scientific expedition to Central Borneo.

XX: Mammals.@ Notes of the Leiden Museum 20: 113-125.

Jepson, P., F. Momberg and H. van Noord. 1998. Trade in the Hill Myna Gracula religiosa from the Mahakam Lakes Region, East Kalimantan. WWF Indonesia Technical Memorandum 4.

Jessup, T.C., 1981.Why do Apo Kayan Shifting Cultivators Move? Borneo Research Bulletin 13(1): 16-32.

Jessup, T.C., and Peluso, N.L., 1986. “Minor Forest Products as Common Property Resources in East Kalimantan, Indonesia.” Proceedings of the Conference on Common Property Resource Management. Washington: National Academy Press:

505-524.

Jessup, T. and H. Soedjito. 1992. East Kalimantan: Kenyah (and Penan) Dayak Forest Medicines. Project Progress Report. World Wide Fund for Nature Indonesia Programme. Jakarta.

Kartawinata, K. and P. Vayda. 1984. AForest conversion in East Kalimantan, Indonesia.@

in Ecology in Practice: 1. Ecosystem management, eds., F. di Castri et al. Paris:

Tycooly, Dublin and UNESCO.

King, V.T., 1987. The people of Borneo. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Kottelat, M., T. Whitten, Kartikasari, S. N. and Wirjoatmodjo. 1996. The freshwater fishes of western Indonesia and Sulawesi. Periplus, Singapore, in collaboration with the Environmental Management Development in Indonesia (EMDI) Project. 219 pp.

Kottelat, M & T. Whitten. 1996. Freshwater Biodiversity in Asia, with Special Reference to Fish. World Bank Technical Paper No. 343. The World Bank, Washington, D.C.

Kremen, C., A.M. Merenlender and D.D. Murphy. 1994. Ecological Monitoring: A Vital Need for Integrated Conservation and Development Programs in the Tropics.

Conservation Biology. Volume 8, No. 2, Pages 388-397.

KPSL-UNLAM. 1989. Longitudinal variation of the ecological condition of the Kala’an River in Pleihari-Martapura forest reserve. Report to the Biodiversity Support Program.

KPSL-UNLAM, Banjarbaru.

Kusneti, M.M. 1997. Timber species used for houses and rice storage buildings by Dayak people in the village of Long Alongo. In PPKM. Pp151-164.

Lawrence, D., Leighton, M., and D. Peart, 1995. Availability and Extraction of Forest Products in Managed and Primary Forest around a Dayak Village in West Kalimantan, Indonesia. Conservation Biology, vol 9(1): 76-88.

.Leaman, D.J., Razali Yusuf, & H. Sangat-Roemantyo. 1991. Kenyah Dayak Forest Medicines. A Report for the World Wide Fund for Nature Indonesia Programme.

Jakarta.

Liman Lawai, 2000. Peranan lembaga masyarakat dalam pengelolaan taman nasional:

Analisa hasil inventarisasi partisipatif lembaga lokal di kawasan Kayan Mentarang.

Unpublished report. WWF Kayan Mentarang project

Limberg, G., Dolvina Damus, and Samuel S.T. Padan, 1995. Beberapa Analisis Alternatif Peningkatan Ekonomi Masyarakat Di Kawasan Konservasi Kayan Mentarang.

Unpublished manuscript, WWF.

Limberg, Godwin. 1999. Agroforestry development for Kayan Mentarang National Park.

Report written for the WWF Indonesia Kayan Mentarang National Park Project, Samarinda, East Kalimantan.

Linares, O.F. 1976. “Garden hunting” in the American Tropics. Human Ecology 4(4):

331-349.

Liu, J. 1992. ECOLECON: A spatially explicit mode for ecological economics of species conservation in complex forest landscapes. Ph.D Dissertation, University of Georgia, Athens.

Lonnberg, E. and E. Mjoberg. 1925a. AMammalia from Mount Murud and the Kelabit country.@ Annals of the Magazine of Natural History 9(16): 508-512.

Lonnberg, E and E. Mjoberg. 1925b. AMammalia from Mount Dulit and the Baram District.@ Annals of the Magazine of Natural History 9(16): 513 - 516.

Low, H. 1848. Sarawak: Its inhabitants and productions. London: R. Bentley.

Lukas Lahang, 2000. Analisa usaha perekonomian tradisional masyarakat Dayak di dalam dan di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang Project berdasarkan data Cifor dan WWF. Unpublished report. WWF Kayan Mentarang project.

Lukas Lahang and Bilung Njau, 1999. “Sejarah Perpindahan Suku Kenyah Bakung dan Leppo Ma’ut dan Perubahan Hak atas Tanah dan Hasil Hutan.” In Eghenter, C., and B. Sellato, eds., 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam. Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Jakarta: The Ford Foundation and WWF: 253-280.

Lyon, M.W. 1911. Mammals collected by Dr. W.L. Abbot on Borneo and some of the small, adjacent islands. Proceedings of the U.S. National Museum 40: 53 - 146.

Mackie, C, T.C. Jessup, A.P. Vayda and K. Kartawinata.1986. AShifting cultivation and patch dynamics in an upland forest in East Kalimantan, Indonesia.@ Pp. 465 - 518 in Proceedings, Regional Workshop on Impact of Man=s Activities on Tropical Upland Forest Ecosystems, eds., Y. Hadi et al. Faculty of Forestry, Universiti Peranian Malaysia, Serdang, Selangor, Malaysia.

McDonald, J.A. 1993. Floristic reconnaissance of Ujung Kulon Reserve, West Java and the Kayan Mentarang Reserve, East Kalimantan. Technical Report to the World Wide Fund for Nature Indonesia Programme.

McDonald, J. Andrew. 1995. Two new species from Borneo: Anisophllea ismailii (Rhizophoraceae) and Sonerila verticillata (Melastomataceae). Harvard Papers in Botany. No. 6. February 1995.

MacKinnon, J. and K Phillipps. 1993. A Field Guide to the Birds of Borneo, Sumatra, Java and Bali. Oxford University Press.

MacKinnon J. and K. MacKinnon. 1986. Review of the Protected Area System in the Indo-Malayan Realm. Cambridge and Gland, IUCN, CNPPA, UNEP>

MacKinnon, J.K. et al. Managing Protected Areas in the Tropics. 1986. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources/United Nations Environment Programme. Cambridge, United Kingdom.

Mackinnon K, G. Hatta, Hakimah Halim & Arthur Mangalik. 1996. The Ecology of Kalimantan. Periplus Editions.

MacKinnon, J. 1997. Protected Area Systems Review in the Indo-Malayan Realm.

Asian Bureau for Conservation Ltd. Canterbury. UK

Marsh, C.W. 1995. Danum Valley Conservation Area, Sabah Malaysia, Management Plan.

Medway, Lord. 1977. Mammals of Borneo. Mammals of Borneo. Field keys and annotated checklist. Monographs of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, No. 7. Kuala Lumpur, M.B.R.A.S.

Meffe, G.K. and C.R. Carroll. 1994. Principles of Conservation Biology. Sinauer Associates, Inc. Sunderland, Massachusetss

Meijaard, E., 1995. On the horns of a dilemma: Is long-term conservation of the Sumatran rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis) in Kalimantan, Indonesia still feasible? Technical report submitted to the International MOF Tropenbos Kalimantan Project, Balikpapan, KalTim, Indonesia. 11 pp.

Miller, G.S. 1915-18. Expedition to Borneo and Celebes. Smithsonian Miscellaneous Collections 65(6): 20-25; 66(3):41-44; 66(17);29-35; 70(2); 35-40.

Momberg F., R. Puri & T. Jessup. 1997. Extractivism and Extractive Reserves in the Kayan Mentarang Nature Reserve: Is Gaharu a Sustainably Managed Resource?. In:

People and Plants of Kayan Mentarang. Edited by Sorenssen, K.W. and B. Morris.

UNESCO and WWF.

Momberg, F., P. Jepson and H.v. Noord. 1998. Kalimantan Biodiversity Assessment.

WWF Indonesia Project for Integrated Park Management and Bioregional Planning, Final Report.

Myers, N. 1988. Threatened biotas: “Hot spots” in tropical forests. The Environmentalist 8:187-208.

Myers, N. 1990. The biodiversity challenge: Expanded hot-spots analysis. The Environmentalist 10(4):243-256.

Nowell, K. and Peter Jackson, edited by. 1996. Wild Cats: Status Survey and Conservation Action Plan. IUCN/SSC Cat Specialist Group. IUCN, Gland, Switzerland.

O’Brien, Timothy. 1997. Bulungan Biodiversity Survey. Report prepared for Wildlife Conservation Society - Indonesian Program and Center for International Forestry Research.

Oldemann, L.R., I. Las, and Muladi. 1980. The Agroclimatic Maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, Bali, and West and East Nusa Tenggara. Contribution to the Central Agricultural Institute, Bogor No. 60.

Padoch, C., and A.P. Vayda, 1983. “Patterns of resource use and human settlement in tropical forests.” In F.B. Golley, ed., Tropical Rain Forest Ecosystems. Structure and Function, pp. 301-313. Amsterdam: Elsevier

Payne, J, C.M. Francis & K. Phillipps. 1985. A Field Guide to the Mammals of Borneo.

The Sabah Society and World Wide Fund for Nature, Malaysia, Kota Kinabalu, 332 pp.

Pfeffer, P. 1959a. ABiolgie et migrations du sanglier de Borneo (Sus barbatus Muller 1869. Mammalia 23: 277-303.

Pfeffer, P. 1959b. AUn curieux cas d=association entre Perdrix roulroul et sanglier de Borneo. L. Oiseau et La Revue Francaise D’ Ornithologie. 29(3): XX

Pfeffer, P. 1960a. Oiseaux de l’Est de Borneo. L’Oiseau et La Revue Francaise D’Ornithologie 30(2): 154-168.

Pfeffer, P. 1960b. Etude d’une collection d’oiseaux de Borneo. L’Oiseau et La Revue Francaise D’Ornithologie 30(3-4): 191-218.

Pfeffer, P. 1961. Etude d’une collection d’oiseaux de Borneo: suite et fin. L’Oiseau et La Revue Francaise D’ Ornithologie 31(1): 9-29.

Pfeffer, P. 1963. Bivouacs A Borneo. Paris: Flammarion.

Piazinni, G. 1965. Children of the lilith. Translated by P. Green. London.

Plessen, Baron Viktor von. 1936a. Bei den kopfjajer von Borneo. Ein Reisentagebuch.

Berlin: Schutzenverlag.

Dokumen terkait