• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persahabatan Intelektual dengan Bahtiar Effendy

Dalam dokumen Dia Telah Pergi (Halaman 84-92)

Fachry Ali

M

ungkin itu terjadi pada 1979. Yaitu kunjungan saya, sebagai staf peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Sosial Ekonomi (LP3ES), ke Pesantren Pabelan. Dimotori M Dawam Rahardjo, LP3ES telah menjadi pioneer penelitian dunia pesantren di Indonesia. Dunia yang samar-samar terdengar ke panggung intelektual kota melalui karya antropolog Clifford Geertz pada 1960-an dengan frasa terkenalnya kiai as a cultural broker itu menjadi terkuak lebih lebar dengan rintisan penelitian LP3ES pada 1970-an itu.

Melalui suntingan dan pengantar M Dawam Rahardjo, LP3ES menerbitkan buku pertama dunia itu dengan

judul Pesantren dan Pembaharuan. Melalui karya terakhir inilah dunia pesantren yang sebelumnya secara sosial- budaya tersamar selama beberapa abad, tampil ke dalam struktur kognisi kaum intelektual kota. Dengan dibantu pemuatan tulisan-tulisannya di Jurnal Prisma (juga diterbitkan LP3ES), kehadiran Kiai Abdurrahman Wahid yang fenomenal itu ke atas panggung publik nasional terjadi setelah buku tersebut terbit. Kedatangan saya ke Pesantren Pabelan di bawah pimpinan Kiai Hamam Dja’far akhir 1970-an, dengan demikian, hanya “efek buntut” dari kinerja intelektual M. Dawam Rahardjo dan LP3ES.

Yang menemani saya selama di pesantren itu adalah Muchtar Abbas, seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang, juga terinspirasi gerakan M.

Dawam Rahardjo, mengabdikan diri di sana. Dialah yang memperkenalkan saya kepada seorang santri:

Bahtiar Effendy. Berbicara dengan ta’zim, berkopiah dan bersarung, Bahtiar Effendy mempesona saya. Sebab, Muchtar Abbas menyatakan bahwa santri yang tampak sangat tawadlu’ itu baru pulang dari Amerika Serikat.

“Di negeri itu,” ujar Muchtar, “Bahtiar belajar selama satu tahun.” Bahtiar adalah santri pertama yang terekrut ke dalam program American Field Service (AFS). Sebab, sebelumnya, mereka yang terekrut—seperti penyair Taufiq Ismail, M. Dawam Rahardjo, Tanri Abeng, Imam Prasodjo dan lain-lain—umumnya berasal dari “kaum muda terpelajar kota”.

Pesona inilah yang mendorong saya berkata kepadanya dengan kalimat yang masih saya ingat:

“Bahtiar, suatu hari kamu pasti tak akan puas tetap berada di pesantren ini. Kamu akan keluar mencari tempat yang

lebih lapang.” Seingat saya, Bahtiar tak memberi respons apapun atas agitasi saya ini. Hanya saja, ketika awal 1980-an ia hadir di Ciputat, saya berseru dengan spontan:

“Benar ‘kan yang saya katakan?!”

II

Intelektualisme Ciputat pada dasarnya adalah kreasi Nurcholish Madjid. Akan tetapi, ketika saya dan Komaruddin Hidayat dan kawan-kawan seangkatan menjadi mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di daerah terpencil itu, Nurcholish Madjid sudah sangat berjarak dengan kami dari segi intelektual dan senioritas.

Pada 1974, ketika saya mulai kuliah, Nurcholish Madjid telah menjadi dosen. Saya ingat, pada suatu siang memberikan anggukan hormat kepada seseorang yang tampaknya pulang mengajar. Dan anggukan saya dibalas dengan anggukan dan senyum manis orang tersebut sambil menyetir mobil VW ke luar dari kampus.

Pemberi senyum itulah Nurcholish Madjid. Maka, karena terlanjur dikenal sebagai “tempat intelektual”, sementara jarak kami dengan Nurcholih Madjid sangat jauh, saya mencetuskan frasa (tetapi sekaligus “program”) Ciputat Intellectual Community (komunitas intelektual Ciputat) kepada teman-teman. Maksudnya adalah menciptakan

“Nurcholish-nurcholish baru” dalam jumlah yang lebih banyak—karena tokoh aslinya pada dasarnya tak mempunyai “murid”.

Pelaksanaan “program” tersebut, di samping medistribusikan buku-buku untuk dibahas kawan- kawan, membangun pentas teater bersifat improvisasif, menerbitkan karya-karya sastra, adalah membimbing

sesama kawan dalam menulis dan mempertalikan mereka dengan center(s) of excellence Jakarta: LP3ES, Taman Ismail Marzuki (TIM), dan surat-surat kabar atau majalah.

Karena saya, melalui bantuan senior Jayasty, telah berada di LP3ES dan telah mulai menulis di surat-surat kabar sejak semester tiga (pertengahan 1975), maka mau tak mau saya harus menjadi pioneer di dalam program tersebut. Inilah yang membuat saya memasukkan Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat dan almarhum Iqbal Abdurrauf Saimima untuk aktif di majalah Panji Masyrakat di bawah pimpinan Rusydi Hamka. Inilah yang mendorong saya mencantumkan nama Azyumardi Azra, M. Amin Nurdin dan lain-lain di dalam beberapa tulisan atau artikel saya di Harian Kompas. Dan ini pula yang mendorong saya membawa mereka masuk ke dalam lingkungan center(s) of excellence Jakarta, terutama LP3ES.

Di bawah bimbingan langsung M. Dawam Rahardjo, direktur LP3ES awal 1980-an itu, intelektualitas mereka makin terbangun.

Sejak itu, secara mandiri, mereka tampil mengajukan gagasan-gagasan tertulis di berbagai media massa.

Saya tidak tahu, apakah dewasa ini “Nurcholish Majid kolektif” telah lahir melalui proses pembuahan Ciputat Intellectual Community ini.

III

Dalam konteks inilah hubungan intelektual saya dengan Bahtiar Effendy terbangun. Pada mulanya, mempertimbangkan latar belakang santri Pabelan-nya, saya mengajak Bahtiar Effendy menulis bersama tentang

“aspek sosiologi kitab kuning”. Saya memberi ide dasar

dan menyerahkannya untuk menulis. Setelah jadi, saya memulasnya dengan memberikan perspektif “sosiologi”

atas eksistensi kitab kuning itu. Tulisan tersebut terbit di Harian Kompas pada 15 September 1982 dengan judul “Sosok Sosiologis, Ideologis dan Teologis Kitab Kuning”. Mungkin, jika boleh membuat klaim, tulisan itu adalah yang pertama membahas kitab kuning di dalam perspektif ilmu-ilmu sosial. Lalu, mungkin dua tahun kemudian, Bahtiar Effendy datang ke ruang kerja saya di LP3ES. Di tangannya ada sebuah naskah skripsi tentang pembaharuan pemikiran Islam. Kepada saya, Bahtiar berkata: “Bisakah naskah ini diterbitkan atas nama kita berdua?” Saya melihat-lihat naskah tersebut dan berkata:

“Bahtiar, sisinya bagus. Akan tetapi, jika ingin diterbitkan, bukan saja perlu penulisan ulang, melainkan perluasan.”

Usul ini diterima Bahtiar.

Lalu, saya membuat bagan baru berikut bab-bab dalam rencana buku itu. Bahtiar saya minta menulis beberapa bab (misalnya tentang masuknya Islam ke Indonesia, dan seterusnya). Saya mengkhususkan diri menulis perkembangan Islam dari perspektif politik- ekonomi Orde Baru dan kemunculan tokoh-tokoh muda baru—yang tak lagi berkaitan secara substansial dengan kaum terpelajar Islam di masa pra-Orde Baru. Lalu, dengan seksama, saya mengumpulkan pemikiran tokoh- tokoh baru yang berserakan itu dan merumuskannya dalam wujud deskriptif-analitik. Hasilnya adalah lahirnya buku dengan judul Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Pasca Orde Baru yang diterbitkan Mizan pada 1986.

Buku itu bukan saja meledak. Melainkan menjadi

rujukan studi Islam dan politik Indonesia masa Orde Baru. Saya ingat ahli politik Indonesia William Liddle, kelak menjadi guru Bahtiar di Ohio State University, berkata kepada saya: “Jangan khawatir. Setiap tulisan saya selalu mengutip buku Merambah-mu.” Dan, dalam pengantar terjemahan bahasa Indonesia untuk buku Indonesian Political Thinking, 1945-70, Herbert Feith, sang penyunting (bersama dengan Lance Castles), mengutip buku Merambah itu sambil mengatakan bahwa itulah satu-satunya karya rekonstruksi pemikiran di Indonesia setelah buku suntingannya itu. Akan tetapi, dengan terbitnya buku Merambah itu terjadi perpisahan saya dengan Bahtiar. Suatu hari, Bahtiar datang kepada saya dan menyatakan bahwa ia ditawari bea siswa oleh Asia Foundation untuk belajar ke Amerika Serikat. Kendatipun saya mendukung sepenuhnya, masa kepergian Bahtiar belum ditentukan. Bahkan, saya sempat memperkenalkan Bahtiar kepada William Liddle pada suatu malam. Liddle, bersama dengan Herbert Feith berada di Jakarta dan menginap di rumah Salim Said. Saya ingat gurauan Feith ketika kami bertiga bercakap-cakap: “Wah, American Connection ini ya?!” Feith, kita ketahui, walau lulusan Cornell University, Ithaca, New York akhir 1950-an, adalah dosen di Monash University, Melbourne, Australia.

Ketidakpastian kepergiannya itu membuat saya optimis bisa pergi bersamanya ke Bandung. Pada waktu itu, saya dan Bahtiar diundang mendiskusikan buku Merambah itu di IAIN Bandung. Dalam realitasnya, Bahtiar datang ke ruang kerja saya yang sedang kosong.

Di dinding tempat menempelkan pesan, Bahtiar menulis:

“Mas, mohon maaf, saya tak bisa ikut ke Bandung. Besok

saya berangkat ke Amerika.” Pesan Bahtiar pada 1986 itu masih tertempel di situ hingga 1989—ketika saya harus meninggalkan salah satu center(s) of excellence Jakarta itu.

Mungkin, lebih dari satu dasawarsa saya tak pernah lagi bertemu lagi dengan Bahtiar. Sebab, sementara ia meneruskan studi politik di Ohio State University di bawah Liddle, saya sedang berada di Monash University di bawah bimbingan sejarawan M. C. Ricklefs. Pertemuan baru terjadi pada 1994 atau 1995 ketika saya dan Bahtiar sama- sama telah kembali ke Jakarta. Atas dukungan pengusaha nasional Aburizal Bakrie, saya mendirikan Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lspeu Indonesia) pada 1996. Bahtiar, saya ajak serta di dalamnya sebagai wakil direktur. Maka, melalui Lspeu Indonesia, saya dan Bahtiar melakukan serangkaian studi-studi ekonomi-politik Indonesia. Salah satu karya yang kami terbitkan adalah Central Bank and Politics pada 2001. Namun, pasca itu, Bahtiar lebih tertarik mengajar dan mendirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Islam Indonesia (UIN) di bawah Komaruddin Hidayat sebagai rektornya.

Kendatipun demikian, hubungan intelektual saya dengan Bahtiar tak terputus. Ketika Jusuf Kalla (dalam jabatannya sebagai Wakil Presiden Indonesia 2004-09) meminta saya merekonstruksikan aksi perdamaian Aceh (15 Agustus 2005), saya mengajaknya ikut serta. Maka, bersama dengan Suharso Monoarfa, saya dan Bahtiar Effendy melahirkan buku pada 2007 dengan judul Kalla dan Perdamaian Aceh. Kerja sama intelektual saya dengan Bahtiar yang terakhir adalah penulisan reflektif tentang 70 tahun M Dawam Rahardjo. Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Ulumul Qur’an itu saya tulis sendiri. Setelah siap,

karena harus berangkat ke Eropa pada 2012, saya serahkan kepada Bahtiar untuk memberikan koreksi atau tambahan.

Ketika naskah itu terbit pada 2012, tampaknya Bahtiar tak mengotak-atik tulisan tersebut. Tampaknya, ia merasa semua sudah lengkap dan langsung mengirimkannya kepada redaksi jurnal tersebut. Sejak itu, hubungan kami hanya saling memberikan kabar, sampai suatu hari saya mengirimkan tulisan yang dimuat di Kompas tentang

“Habibie dan Demokrasi Indonesia”. Dalam pesan, saya tulis: “Ini sengaja saya pertontonkan kepadamu, karena karya saya ini mengutip tulisan mu tentang sumbangan Habibie terhadap demokrasi Indonesia.”

Bahtiar membalasnya dengan tanda tersenyum melalui WA. Lalu, setelah pertemuan kami (Komaruddin Hidayat dan Suharso Monoarfa) dengan Wapres Jusuf Kalla (2014-2019) di rumah dinasnya membicarakan kepastian membangun Universitas Islam Internasional, saya tak pernah bertemu lagi dengan Bahtiar. Dua malam sebelum meninggal, saya mengunjunginya di ruang Intensive Cure Unite (ICU) Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Dan, malam ketika tokoh hebat ini menghembuskan nafas terakhir, saya datang, mendorong jenazahnya ke mobil ambulan dan mengantarkannya ke rumah Bahtiar di Depok dini hari.

Bahtiar pergi sebagai sarjana besar yang telah menunaikan tugas kesarjanaannya. •

Jakarta, 26 November 2019

5

Aktivis Intelektual

Dalam dokumen Dia Telah Pergi (Halaman 84-92)