BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
A. Konsep Keluarga Sakinah Berdasarkan Kisah Nabi Ibrahim
2) Pesan untuk Keluarga Sakinah
a) Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Wahbah al- Zuhaili dalam kitab tafsirnya, mengatakan bahwa ayat di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa untuk mendapatkan keturunan yang shalih, hendaknya kita berdo‟a, memohon atas nama Keagungan Allah agar diri kita, anak-anak kita serta keturunan kita seterusnya
9 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-„Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj Jilid 12, Cet. I, h.114
10 Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawi Jilid 11, terj. Zainal Arifin, Ahmad Perdana, Ardiansyah, Cet. I, h. 388
mendapatkan sorang anak yang menyenangkan, yakni anak yang shalih yang senantiasa taat kepada Allah SWT.11
Hal ini juga dikemukakan oleh KH. Ahsin Sakho Muhammad dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis, menurut pendapat beliau, dalam rangka melahirkan generasi yang shalih, terlebih dahulu kita merencanakan sebuah program mengenai jumlah anak dalam sebuah keluarga. Di samping berusaha agar bisa mendapatkannya, hendaknya selalu diringi dengan do‟a kepada Allah agar diberikan seorang anak yang shalih. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim tidak hanya berdo‟a untuk anak istrinya secara pribadi, akan tetapi untuk semua anak cucunya kelak. Sehingga kelak anak cucunya dapat melanjutkan dakwah yang telah Nabi Ibrahim lakukan demi terwujudnya sebuah negeri di mana masyaraktnya selalu menyeru kepada jalan Allah.12
b. QS. Ibrâhîm [14]: 37
Ketika Nabi Ibrahim merasa bahagia atas kelahiran putranya tersebut, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membawa putranya beserta istrinya, Hajar menuju sebuah
11 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-„Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj Jilid 12, Cet. I, h.116
12 Wawancara dengan Dr. Kh. Ahsin Sakho Muhammad, MA, Ciputat, 01 Agustus 2016
tempat. Hal ini dikisahkan dalam Al-Qur`an pada surah Ibrâhîm [14] ayat 37:
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah- buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur”. (QS. Ibrâhîm [14]: 37)
1) Penafsiran Ayat:
Berkaitan dengan ayat tersebut, Wahbah al-Zuhaili menafsirkan bahwa Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menempatkan anak dan istrinya di sebuah lembah yang tidak memiliki tanaman, yaitu lembah Makkah di dekat ka‟bah, tempat di mana segala tindakan yang dapat menodai dan menghina kehormatan dan kesuciannya diharamkan. Tujuan lain dari hal tersebut adalah agar anak dan istrinya menegakkan
shalat. Hal ini terlihat dalam do‟a Nabi Ibrahim yang memohon kepada Allah agar sebagian keturunannya menegakkan shalat dan menjadikan hati sebagian manusia agar senantiasa rindu dan cinta kepada tempat itu. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa‟id ibnu Jubair dan yang lainnya, seandainya Nabi Ibrahim berdo‟a af idatan nâsi (hati manusia), bukan af idatan min an- nâsi (hati sebagian manusia), niscaya bangsa Persia, Romawi, Yahudi, Nasrani dan manusia semuanya akan selalu berbondong-bondong pergi ke Baitul Haram. Akan tetapi Nabi Ibrahim berucap min an-nâsi sehingga hanya dikhususkan untuk kaum muslimin.13
Adapun menurut Ibnu Katsir yang dikutip dari bukunya yang berjudul “Qashash al-Anbiya`” mengatakan bahwa peristiwa tersebut berawal dari kecemburuan Sarah kepada Hajar yang telah melahirkan Ismail, Sarah meminta kepada Nabi Ibrahim untuk membawa Hajar dan putranya pergi sehingga tidak terlihat lagi olehnya. Hingga pada akhirnya Allah pun menyuruh Nabi Ibrahim membawa istri dan
13 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-„Aqîdah wa al-
Syarî‟ah wa al-Manhaj Jilid 7,(Libanon: Dar al-Fikr al-Mu‟ashir, 1991) Cet. I, h. 263
putranya ke sebuah tempat yang telah Allah tetapkan, yaitu di daerah Makkah.14
Selain itu, dalam ayat yang sama, Nabi Ibrahim juga berdo‟a agar Allah memberikan keturunan yang ditinggalkannya di lembah itu rezeki berupa bermacam- macam buah-buahan yang ada di segenap belahan bumi, agar bisa membantu mereka dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT serta menjadikan mereka agar bersyukur.
Allah memperkenankan do‟a yang Nabi Ibrahim panjatkan sebagaimana dalam firman-Nya:
…
“…dan Apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”(QS. Al- Qashash [28]: 57)
14 Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi: Sejarah Lengkap Perjalanan Hidup para Nabi, Sejak Adam AS Hingga Isa AS terj. Saefullah MS, Cet, I, h.198
Potongan ayat
yang terdapat dalamkisah Nabi Ibrahim ini mengandung sebuah isyarat bahwa mencari manfaat dunia dapat dipergunakan sebagai pendukung dalam menunaikan ibadah dan menegakkan ketaatan.
Dalam kitab tafsir al-Munir Wahbah al-Zuhaili dijelaskan, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab shahihnya:15
15 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-„Aqîdah wa al- Syarî‟ah wa al-Manhaj Jilid 7, Cet. I, h. 267
“Abdullah bin Muhammad menyampaikan kepada kami dari Abdurrazzaq yang mengabarkan dari Ma‟mar, dari Ayyub as- Sakhtiyani dari Katsir bin Katsir bin al-Muthalib bin Abu Wada‟ah (satu sama lain saling menambahkan), dari Sa‟id bin Jubair bahwa Ibnu Abbas berkata, „permulaan wanita memakai ikat pinggang adalah ibu Ismail (Hajar). Dia memakai ikat pinggang itu untuk menutupi tanda-tanda kehamilannya di hadapan Sarah. Kemudian Ibrahim membawa Hajar dan Ismail anaknya yang masih menyusu dan menempatkan keduanya di sisi Baitullah dekat pohon besar, di atas zamzam, di sebelah atas masjid. Saat itu Makkah belum ada seorangpun dan juga tidak ada air. Lalu dia meninggalkan Ismail dan ibunya di sana. Dia meletakkan satu kantong kurma dan kantong berisi air, lalu dia pergi.
Ibunda Ismail pun mengikuti Ibrahim dan mengatakan, „wahai Ibrahim, engkau mau ke mana? (kenapa) engkau meninggalkan kami di lembah sunyi dan tandus ini,‟ dia
mengatakannya berkali-kali tetapi Ibrahim tidak menoleh sedikitpun kepadanya. Dia bertanya, „apakah Allah memerintahkanmu?‟ Ibrahim berkata, „ya‟. Dia berkata,
„kalau begitu, dia tidak akan menyia-nyiakan kami.‟ Lalu dia kembali. Ibrahim terus berjalan hingga sampai di sebuah bukit, di tempat yang tidak terlihat oleh orang-orang. Ibrahim berdo‟a seraya mengangkat kedua tangnannya, „Ya Rabb, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati,; sampai, „mereka bersyukur (QS. Ibrâhîm [14]: 37).
Kemudian ibunda Ismail mulai menyusui Ismail dan meminum air hingga ketika air di dalam kantong airnya habis, dia dan anaknya kehausan. Dia melihat anaknya menggeliat (kehausan). Dia pun pergi karena tidak tega melihatnya. Dia mendapati bukit terdekat dengan tempatnya yaitu bukit Shafa, maka dia (pergi ke sana) lalu berdiri menghadap ke lembah untuk melihat apakah ada orang, namun dia tidak melihat seorangpun. Kemudian dia turun dari Shafa hingga ketika sampai di lembah, dia mengangkat ujung pakaiannya kemudian berlari sebagaimana larinya orang yang sedang ditimpa kesulitan (mencari pertolongan) hingga melewati lembah. Kemudian dia tiba di Marwa dan berdiri di atasnya untuk melihat apakah ada orang, namun dia tidak melihat seorangpun. Dia melakukannya sebanyak tujuh kali.
Ibnu Abbas mengatakan, “Nabi Muhammad SAW bersabda,
„itulah (awal mula) sa‟i antara keduanya yang dikerjakan orang-orang (saat ini).‟
Ketika hampir tiba di Marwa, ibunda Ismail mendengar suara, lalu berkata, „diamlah‟, maksudnya dia menyuruh dirinya diam. Kemudian dia menajamkan pendengarannya dan mendengarnya lagi, diapun berkata, „Engkau telah memperdengarkan (suaramu), apakah engkau memiliki sesuatu
yang dapat menolong kami?‟ ternyata ada malaikat berada di tempat Zamzam yang mencari (air) dengan tumitnya atau dengan sayapnya sampai keluar air, lantas ibunda Ismail segera mengumpulkannya dan melakukan (sesuatu) dengan tangannya seperti ini. Dia menciduk air dan memasukkan ke kantong air. Air itu memancar setelah diciduk.‟
Ibnu Abbas berkata, “Nabi SAW bersabda, „semoga Allah merahmati ibunda Ismail, seandainya dia membiarkan Zamzam atau tidak menciduk airnya, niscaya Zamzam akan menjadi sumber mata air yang mengalir.‟
“Kemudian ibunda Ismail minum lalu menyusui anaknya, malaikat berkata kepadanya, „jangan khawatir, kalian tidak akan celaka, karena di sini Baitullah akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Allah tidak akan menyia-nyiakan kekasih- Nya.‟ Baitullah terletak di tempat yang tinggi seperti bukit, ketika datang aliran air, ia akan mengalir di sebelah kanan dan kirinya.
“Demikianlah keadaan ibunda Ismail dan anaknya. Lalu datanglah sekelompok orang dari Jurhum atau keluarga Jurhum. Mereka datang dari Kada` kemudian singgah di bagian bawah daerah Makkah. Mereka melihat burung-burung berputar-putar lantas mereka berkata, „sesungguhnya burung itu terbang mengitari air. Kita pernah melewati lembah ini tetapi tidak ada air.‟ Mereka mengirim seorang atau dua orang utusan dan mereka melihat air. Utusan kembali lalu mengabarkan mereka tentang keberadaan air lantas mereka pun pergi mendatanginya. Saat itu ibunda Ismail sedang berada di tempat air. Mereka berkata, „apakah engkau mengizinkan kami untuk tinggal di tempatmu.‟ Dia berkata,
„ya, tetapi kalian tidak berhak menguasai air.‟ Mereka berkata, „ya‟.”
Ibnu Abbas berkata, “Nabi berkata, „ketika itu, ibunda Ismail senang karena tidak kesepian lagi.;” (HR. Bukhari)16
2) Pesan untuk Keluarga Sakinah:
a) Menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat ini mengajarkan kita untuk memohon nikmat keamanan kepada Allah SWT.
Do‟a yang Nabi Ibrahim panjatkan pada ayat ini diawali dengan permohonan nikmat aman hal ini menunjukkan bahwa memohon untuk sebuah keamanan merupakan bentuk nikmat dan kebaikan yang paling agung, tidak ada satupun dari kemashlahatan agama dan dunia yang bisa terwujud melainkan harus dengan terpenuhinya syarat aman.17
b) Ayat di atas mengandung pesan terkait pembinaan sebuah keluarga bahwa dalam kehidupan saat ini, tidak boleh seseorang meninggalkan keluarganya di hamparan tanah yang kosong dan sepi serta memasrahkannya begitu saja kepada Tuhan yang Maha Perkasa. Apa yang Nabi Ibrahim lakukan, semuanya semata-mata karena perintah dari Allah
16 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits Shahih al-Bukhari 1,terj. Masyhar, Muhammad Suhadi, Cet. I. h.
788
17 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-„Aqîdah wa al- Syarî‟ah wa al-Manhaj Jilid 7, Cet. I, h. 266
SWT. Selain itu, Nabi Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya bertujuan untuk penegakkan shalat.18
c) Menurut M. Quraish Shihab yang dikutip dari kitab tafsirnya, “al-Mishbâh, ayat di atas dapat dijadikan dasar perlunya berhijrah ke suatu tempat yang aman bagi kelangsungan pendidikan agama untuk anak dan pemeliharaan akidahnya. Sementara itu, para ulama mengharamkan keluarga muslim untuk hidup menetap di tengah masyarakat non-muslim bila keberadaan mereka di sana dapat mengakibatkan kekaburan ajaran agama atau kedurhakaan kepada Allah SWT, baik untuk dirinya maupun sanak keluarganya.19
d) Pelajaran lain dari kisah Nabi Ibrahim di atas adalah terkait rezeki dalam sebuah keluarga. Kesungguhan ibunda Ismail ketika mencari air dari lembah yang satu ke lembah yang lainnya menunjukkan bahwa usaha yang sungguh-sungguh akan melahirkan hasil yang sangat baik. Dalam hal mencari rezeki, selain berdo‟a, manusia juga dianjurkan untuk selalu berusaha. Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha
18 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-„Aqîdah wa al- Syarî‟ah wa al-Manhaj Jilid 7, Cet. I, h. 268
19 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Volume 6, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 390
hamba-Nya. Rezeki suami istri memang pasti adanya, namun dibutuhkan usaha untuk memperolehnya.20
c. QS. Ibrâhîm [14]: 38-41
Pada ayat berikutnya, Al-Qur`an kembali menceritakan do‟a Nabi Ibrahim:
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang Kami sembunyikan dan apa yang Kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.” (QS. Ibrahîm [14]: 38)
1) Penafsiran Ayat:
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan berkaitan dengan ayat tersebut bahwa Nabi Ibrahim berkata kepada Tuhannya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui niat dan maksudku dalam do‟a yang aku panjatkan, yaitu untuk menggapai ridha-Mu dan tulus ikhlas hanya untuk-Mu. Engkau lebih tahu tentang keadaan dan kemashlahatan bagi kami.
20 Wawancara dengan Dr. Kh. Ahsin Sakho Muhammad, MA, Ciputat, 01 Agustus 2016
Tidak ada satupun yang ada di langit dan bumi yang tersembunyi dari-Mu. Karena itu sebenarnya kami tidak perlu memohon, akan tetapi kami harus tetap berdo‟a memohon untuk mengekspresikan penghambaan kami kepada-Mu.”21
Dalam tafsir al-Sya‟rawi dijelaskan, bahwa berkaitan dengan ayat ini Nabi Ibrahim merasakan kekhawatiran dan kegelisahannya setelah meninggalkan anak dan istrinya di padang pasir yang gersang tersebut. Kata
apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami tampakkan menunjukkan kecintaannya yang mendalam pada Hajar dan Ismail. Seakan-akan naluri cinta membuatnya mengucapkan kata itu, terutama saat dia mengucapkan selamat tinggal kepada Hajar dan Ismail.22
Selanjutnya Nabi Ibrahim kembali berdo‟a sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya:
21 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-„ Aqîdah wa al- Syarî‟ah wa al-Manhaj jilid 7, Cet. I, h. 264
22 Muhammad Mutawalli al-Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawi Jilid 7, terj.
Zainal Arifin, Ahmad Perdana, Abdurrahman, Cet. I, h. 356
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa.” (QS. Ibrâhîm [14]: 39)
Berkaitan dengan ayat tersebut, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam kitab tafsirnya yaitu Tafsir al-Munîr bahwa di dalam ayat itu Nabi Ibrahim memanjatkan puji syukur kepada Allah atas karunia anak yang Allah berikan kepadanya.
Allah mengaruniai Nabi Ibrahim dua orang putra yaitu Ismail dan Ishaq. Menurut Wahbah al-Zuhaili, di sini, Ismail didahulukan tiga belas tahun lebih tua dari Ishaq. Di usia Nabi ibrahim yang telah lanjut usia, ia dikaruniai seorang putra. Hal ini tentu merupakan nikmat yang sangat besar.
Ayat ini diakhiri dengan kalimat
sesungguhnya Tuhanku Maha Mendengar do‟a dan perkataanku, Maha memperkenankan do‟a orang yang berdo‟a kepada-Nya, Maha Mengetahui maksud, baik dinyatakan secara eksplisit dan terus terang maupun tidak.
Sebagai bentuk dari rasa syukur Nabi Ibrahim kepada Allah, Nabi Ibrahim kembali berdo‟a untuk keturunannya kelak sebagaimana yang tertuang dalam ayat berikut ini:
“Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan Kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS. Ibrâhîm [14]: 40-41)
Dalam ayat tersebut Nabi Ibrahim berdo‟a, “wahai Tuhanku, jadikanlah aku orang yang senantiasa menunaikan shalat dalam bentuk yang sesempurna mungkin. Serta jadikanlah sebagian dari keturunanku sebagai orang-orang yang senantiasa menegakkan shalat. Wahai Tuhan kami, terima dan perkenankanlah do‟a hamba”.
Adapun do‟a yang dipanjatkan Nabi Ibrahim pada ayat selanjutnya adalah do‟a memohon ampun kepada Allah atas dirinya, orang tuanya dan dosa-dosa kaum muslimin semua.
Do‟a yang Nabi Ibrahim panjatkan untuk dirinya sendiri di sini, tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim pernah berbuat dosa. Akan tetapi itu hanyalah sebagai bentuk
pendekatan diri kepada Allah SWT serta sikap senantiasa mengandalkan karunia, kemurahan dan rahmat-Nya.
Menurut Hasan (w. 110 H) sebagaimana yang dikutip Wahbah dalam kitab tafsirnya menuturkan mengenai do‟a Nabi Ibrahim untuk kedua orang tuanya bahwa sesungguhnya ibu Nabi Ibrahim termasuk perempuan yang beriman. Adapun permohonan ampun untuk ayahnya adalah karena suatu janji yang telah ia ikrarkan kepada ayahnya, ketika jelas bagi Ibrahim bahwa ayahnya adalah musuh Allah, Ibrahimpun berlepas diri dari ayahnya. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun.”
(QS. al-Taubah [9]: 114)23
23 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-„Aqîdah wa al- Syarî‟ah wa al-Manhaj jilid 7, Cet. I, h. 266-267
Berkaitan dengan do‟a yang Nabi Ibrahim panjatkan untuk kedua orang tuanya, M. Quraish Shihab mengatakan dalam kitab tafsirrnya bahwa menurut pendapat Thabâthabâ‟i (w. 1981 M), do‟a ini merupakan do‟a terakhir Nabi Ibrahim yang terekam dalam Al-Qur`an. Jika demikian, do‟a beliau kepada orang tuanya menunjukkan bahwa orang tuanya meninggal dalam keadaan muslim, bukan musyrik. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Âzar bukanlah ayahnya.
Namun, ulama lain berpendapat bahwa permohonan pengampunan kepada kedua orang tuanya ini terjadi sebelum adanya larangan mendo‟akan orang tua yang musyrik.24
2) Pesan untuk Keluarga Sakinah:
a) Do‟a-do‟a yang Nabi Ibrahim panjatkan kepada Tuhannya sebagaimana telah dijelaskan di atas, menjelaskan pensyari‟atan berdo‟a untuk diri sendiri, keturunan dan negeri tempat tinggal. Bahkan seharusnya setiap orang hendaknya berdo‟a untuk diri sendiri, kedua orang tua dan keturunannya.25
24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Volume 6, h.391
25 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-„Aqîdah wa al- Syarî‟ah wa al-Manhaj jilid 7, Cet. I, h. 266
b) Do‟a yang Nabi Ibrahim panjatkan untuk anak dan istrinya tersebut merupakan salah satu bentuk perhatian yang sangat besar dari seorang suami kepada anak dan istrinya yang ditinggalkan demi untuk melaksanakan apa yang Allah perintahkan kepadanya.26
d. QS. Al-Shâffât [37]: 102-113
Selanjutnya, ketika Ismail memasuki usia remaja, Allah kembali menguji kehidupan keluarga ini dengan sebuah mimpi yang datang kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail.
26 Wawancara dengan Dr. Kh. Ahsin Sakho Muhammad, MA, Ciputat, 01 Agustus 2016
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar."“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia:
"Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar- benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang
Kemudian, (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".
Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia Termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri Dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang Nabi yang Termasuk orang- orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. dan diantara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.” (QS. ash-Shâffât [37]: 102-113)
1) Penafsiran Ayat:
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa ketika Ismail telah tumbuh dewasa dan dapat pergi bersama ayahnya untuk berusaha melakukan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan hidupnya, (menurut al-Farra (w. 882 M) saat itu Ismail berusia 13 tahun), maka Nabi Ibrahim berkata kepada anaknya Ismail bahwa ia bermimpi untuk menyembelihnya. Kejadian ini terjadi setelah Nabi Ibrahim mendapat kabar akan lahir seorang Nabi yang shaleh yaitu Ishaq yang merupakan keturunan darinya. Nabi Ibrahim meminta pendapat Ismail mengenai mimpinya. Mimpinya ia ceritakan kepada anaknya, dia tahu bahwa ini adalah perintah dari Allah dan merupakan cobaan yang Allah berikan kepadanya.
Kemudian Ismail menjawab dengan perkataan tunduk patuh atas apa yang diperintahkan Allah kepada ayahnya.
Ismail berkata: “wahai ayahku, lakukanlah apa yang Allah
perintahkan kepadamu, aku akan bersabar menerima keputusan dari Tuhanku. Ismail benar-benar menepati apa yang telah ia janjikan, dan melaksanakan dengan baik kepatuhan dalam menunaikan apa yang telah diperintahkan kepadanya. Allah memuji kebenaran Ismail dalam menepati janjinya dalam sebuah ayat di dalam Al-Qur`an:
“Dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan Dia adalah seorang Rasul dan Nabi”. (QS. Maryam [19]: 54)
Ketika kedua orang tersebut telah berserah diri dengan tunduk dan patuh atas apa yang Allah perintahkan kepada mereka, Nabi Ibrahim kemudian menelungkupkan wajah anaknya menghadap tanah. Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa Ismail berkata kepada ayahnya, “janganlah engkau menyembelihku sedang engkau dalam keadaan melihat wajahku. Boleh jadi engkau merasa kasihan kepadaku sehingga