• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

5. Prinsip Kesantunan Berbahasa

Menurut Yudiana (2013:6), kesantunan (politeness), kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Jika dikaitkan dengan bahasa maka kesantunan dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dengan mitra tutur (Slamet dan Suwarto,

2012:41). Prinsip kesantunan menurut Leech dalam Oktaviana (2012) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itu, penutur maupun pendengar menggunakan strategi dalam mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar.

Setiap kali berbicara dengan orang lain, seseorang harus membuat keputusan-keputusan menyangkut apa yang ingin dikatakannya dan bagaimana menyatakannya. Hal ini tidak hanya menyangkut tipe kalimat atau ujaran apa dan bagaimana, tetapi juga menyangkut variasi atau tingkat bahasa sehingga kode yang digunakan berkaitan tidak saja dengan apa yang dikatakan, tetapi juga motif sosial tertentu yang ingin menghormati lawan bicara atau ingin mengidentifikasikan sebagai anggota golongan tertentu.

Secara umum, santun merupakan sesuatu yang lazim serta dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan makna absolut sebuah bentuk bahasa, karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, situasi variabel sangat penting dalam kesantunan.

Kegiatan berbicara atau percakapan selalu berhubungan dengan peserta percakapan, yakni diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, kegiatan berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah tekstual, namun juga berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Sebagai retorika interpersonal pragmatik, maka kegiatan berbicara membutuhkan prinsip yang

mampu menjaga alur percakapan agar tetap harmonis. Prinsip yang dimaksud yaitu prinsip kesantunan (Hendrik: 2013).

Kesantunan merupakan sebuah fenomena dalam kajian pragmatik.

Oktaviana (2012) menegaskan dalam tulisannya bahwa ada empat ancangan kesantunan dari para ahli yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu:

a. Kesantunan dilihat dari pandangan kaidah sosial tokohnya;

b. Kesantunan dilihat dari pandangan kontak percakapan tokohnya;

c. Kesantunan dilihat dari pandangan maksim percakapan tokohnya;

d. Kesantunan dilihat dari pandangan penjagaan muka tokohnya.

Dalam model kesantunan, Leech dalam Hendrik (2013) mengatakan bahwa setiap maksim interpersonal dapat dimanfaatkan untuk menentukan sebuah tuturan. Selanjutnya, Leech menguraikan lima kesantunan, yaitu : a. Cost-benefit scales atau skala kerugian dan keuntungan, menunjukkann

pada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu.

b. Optionaliity scale atau skala pilihan, menunjukkan banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada mitra tutur.

c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjukkan kepada peringkat langsung atau tidaknya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung, akan dianggap tidak santunlah tuturan itu.

d. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan.

Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun.

e. Social distance scale menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan.

Leech (dalam Hendrik, 2013) membahas teori kesantunan dengan menitikberatkan atas dasar nosi, (1) biaya/cost dan keuntungan/benefit, (2) kesetujuan/agreement, (3) pujian/approbation, (4) simpati/symphaty. Leech (1993) sendiri mendefinisikan prinsip kesantunan yaitu dengan cara meminimalkan ungkapan yang kita yakini tidak santun.

a. Maksim kebijaksanaan, yaitu kurangi kerugian orang lain dan tambah keuntungan orang lain. Gagasan utama dalam prinsip ini adalah para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim ini akan dapat dikatakan sebagai orang yang santun. Maksim kebijaksanaan disebut juga sebagai maksim kearifan.

Contoh:

A : “Silahkan diminum tehnya. Hanya seadanya, Nak”

B : “Tidak Bu, ini sudah lebih dari cukup”

b. Maksim penerimaan (kedermawanan), yaitu kurangi keuntungan diri sendiri, tambahi pengorbanan diri sendiri. Para peserta tutur dalam maksim ini diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya

sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Chaer mengggunakan istilah maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan Leech.

Contoh:

A : “Nanti saya cucikan baju kotormu”

B : “Tidak usah Bu. Nanti sepulang sekolah saya cuci”

c. Maksim kemurahan hati (penghargaan), kurangi cacian pada orang lain dan tambahi pujian kepada orang lain. Maksim penghargaan ini diutarakan dengan kalimat ekspresif. Kalimat ekspresif yang dimaksud seperti mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, memuji, dan mengungkapkan bela sungkawa. Maksim ini menuntur peserta tutur memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.

Contoh:

A : “Saya dapat nilai A untuk mata pelajaran Bahasa Inggris”

B : “Iya, sudah pasti itu.Bahasa Inggrismu memang bagus”

d. Maksim simpati, yaitu kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain, perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. Leech mengatakan di dalam maksim ini diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak

sopan santun di dalam masyarakat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak untuk turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.

Contoh:

A : “Awal, nenekku meninggal”

B : “Innalillahwainnailaihirojiun. Aku turut berduka”

e. Maksim kecocokan (pemufakatan), yaitu kurangi ketidaksesuaian dengan orang lain. Ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Istilah maksim pemufakatan juga disebut dengan istilah maksim kecocokan.

Contoh:

A : “Nanti malam kita makan bersama ya”

B : “Boleh. Saya tunggu di Bu’ Comot”

f. Maksim kerendahan hati (kesederhanaan), yaitu kurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri. Peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya indonesia, kesederhanaan banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain, maksim kesederhanaan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap

peserta petuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

Contoh:

A : “Nanti kamu yang pimpin doa yah”

B : “Iya Bu. Tapi suara saya kurang bagusBu”

Senada dengan prinsip yang dikemukakan oleh Leech di atas, Wijana (1996:55) juga mengatakan bahwa prinsip kesopanan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijakan (tact maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), maxim kesimpatian (sympathy maxim).

Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka orang tersebut akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan cara pelaku tutur mematuhi prinsip sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat pemakai bahasa itu. Kegiatan berbicara atau percakapan selalu berhubungan dengan peserta percakapan, yakni diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, kegiatan berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah tekstual, namun juga berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal.

Dokumen terkait