• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA

4.2 Profil informan

1. Ahmad Sani Silaban (Lk, 33 Tahun)

Pak Ahmad Sani Silaban ini telah menikah dan bersuku Batak Toba yang mempunyai pendidikan terakhir yaitu SMA. Ia telah tinggal di Menteng sejak tahun 1992. Sebelum tinggal di Tebing Tinggi, Ia tinggal di Medan bersama dengan istri dan anak-anaknya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Tebing Tinggi dan mencoba usaha di Meteng. Sejak ia tinggal di Menteng, maka sejak itulah ia mencoba untuk membuka usaha sepatu. Jadi, sudah kurang lebih selama 15 tahun bapak ini membuka usaha sepatu.

Adapun dalam menjual sepatu ini, ia membuka usaha berupa kios yang sekaligus kios tersebut menjadi tempat tinggal keluarganya. Usaha kios jualan sepatu ini dapat kita jumpai tepatnya di dekat kantor lurah Menteng. Ia membuka usaha sepatunya setiap harinya dimulai pada pukul 11.00 WIB.

Ia mempunyai 3 orang anak, 1 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Anak pertamanya bernama Rudy, Rudy ini bersekolah di salah satu SMP negeri yang ada di Menteng ini. Anak no dua benama Lisa, Lisa ini bersekolah di SD negeri juga.

Sedangkan anak yang paling kecil masih berumur 4 tahun.

Dalam usahanya menjual sepatu ini, pak Silaban ini hanya mengerjakan seorang diri mulai dari pembuatan sepatu sampai dengan penjualannya. Pada waktu itu, ia pernah mempekerjakan orang yaitu pekerja laki-laki untuk membantunya dalam membuat sepatu. Namun dikarenakan para pekerja laki-laki tersebut suka tidak datang ke kios, sehingga pembuatan sepatu tersebut terbengkalai, maka bapak ini

memutuskan untuk tidak lagi mempekerjakan orang untuk membantunya membuat sepatu.

2. Sutiyoso (Lk, 40 Tahun)

Bagi Pak Sutiyoso, 40. Berbekal pengalaman sebagai pekerja di pabrik pembuatan sepatu di Medan, dia mulai membuka usaha sendiri dengan mengontrak sebuah rumah kecil di Pik Menteng. Selain membuka usaha di kiosnya, Sutiyoso pernah membuka usaha menambal sepatu (ngesol) di pingir jalan Menteng.

Ayah satu anak itu memulai usaha di Menteng 2002, tepatnya semenjak mempersunting Rumini, wanita idamannya, asal kota lemang. Pertama membuka usaha pembuatan sepatu di Jalan Bromo dengan modal sendiri Rp7 juta. Usahanya sempat maju dengan merekrut tiga tenaga kerja terampil yang merupakan temannya sewaktu bekerja di pabrik Medan.

Namun karena pemilik rumah tidak memperpanjang kontrak, dia berpindah usaha ke Jalan Menteng, yang saat ini menjadi tempat tinggalnya. Sekarang, pekerjanya tinggal satu orang Afrizen namanya. Menurut Pak Sutiyoso, pembuatan atau tempahan berbagai jenis sepatu memerlukan keterampilan khusus. “Untuk belajar paling cepat setengah tahun. Saya sempat lama bekerja makan gaji dari 1995 sampai 2001 bekerja di pabrik.”

Dia mengatakan, tidak ada tempat pemasaran khusus, hanya orang yang datang membeli dan memesan kepadanya. “Terkadang perorangan, terkadang kelompok dari instansi pemerintah atau swasta. Seperti sepatu petugas Satlantas, petugas pengamanan Pemko, Pelajar dan lain-lain,” katanya. Pendapatannya perhari

tak menentu, terkadang bisa Rp100 ribu–Rp300 ribu. “Harga per potong sama dengan di toko-toko bahkan bisa lebah murah,” ucapnya menjelaskan, satu sepatu dapat diselesaikan dalam waktu seminggu.

Perjalanan hidup dan pengamalaman bekerja, membentuknya menjadi orang yang mandiri dan berdikari, tidak tergantung dan membebani orang lain. Pria kelahiran Buntu Raja Kabupaten Dairi tahun 1973 ini semula bernama Mangatur Fredy. Namun kemudian berganti nama setelah memeluk agama Islam, tepatnya tahun 1999 semasa bekerja di pabrik pembuatan sepatu di Medan.

Sutiyoso, merupakan salah satu pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang membutuhkan bantuan dan pembinaan dari Pemko Medan. Sampai saat ini dia tidak pernah mendapatkan bantuan modal usaha itu. “Mungkin kalau ada modal saya akan menambah steling usaha dan membuka usaha yang lebih besar,” katanya berharap.

3. Ibu Sri (Pr,44 Tahun)

Bu Sri adalah seorang pengrajin sepatu,dan beliau berusia 44 tahun. Dia lahir tahun 1967, beliau memulai dan menekuni usaha tersebut sejak menikah dan pindah ke Medan dengan suaminya yang sama-sama berasal dari suku Minang.

Ibu ini menetap di kawasan PIK tersebut sejak tahun 1996 (sejak kawasan industri kecil tersebut dibangun) dan meneruskan usahanya sampai sekarang. Saat ini dia tinggal dikawasan tersebut dengan pekerja yang sudah ia anggap sebagai anak, karena kedua anak perempuannya sudah menikah dan tinggal dengan keluarganya.

Ibu ini memberikan upah kepada pekerjanya setiap minggunya sesuai dengan jumlah sepatu yang diselesaikannya. Sistem pengupahan yang diberikan ibu ini dilakukan dengan menggunakan jumlah perkodinya. Untuk setiap satu kodi sepatu yang terselesaikan itu memperoleh upah Rp.60.000,-

4. Keluarga Suhardi(Lk,41 tahun)

Suhardi dalah bapak kepala rumah tangga yang bekerja sebagai pengrajin sepatu, suhardi bekerja sebagai pengrajin sepatu telah lama ditekuninya sebagai pengrajin sepatu pada tahun 1998 sampai sekarang. Suhardi lahir pada tahun 1970,suhardi memliki anak 3 orang yang diantaranya 2 anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Pada tahun 1998 suhardi sudah membuka usaha sendiri dan bekerja sebagai pengrajin sepatu yang berlokasi di PIK.

Pekerjaan sebagai pengrajin sepatu ditekuninya selama 2 tahun. Setelah itu suhardi berhenti dari pekerjaan sebagai pengrajin sepatu. Pada tahun 2001 suhardi merantau ke aceh bekerja sebagai buruh bangunan, kira-kira selama 3 bulan suhardi berhenti karena tidak tahan sebagai buruh bangunan, pada dasarnya suhardi biasanya bekerja ringan dengan hanya bermodalan keterampilan dan keuletan dalam bekerja.

Suhardi kembali ke Medan dan suhardi sempat mengangur selama 2 bulan.

Pada tahun 2002 sampai 2004,Suhardi sempat bekerja di Medan Area di perusahan sepatu sebagai tukang sepatu. Pada akhir tahun 2004 suhardi mengundurkan diri dari tempat kerjanya dan kembali ke asalnya yang berada di Menteng. Pada tahun tersebutlah Suhardi berpikir untuk membuka usahanya yang sudah ditekuninya beberapa tahun yang lalu. Suhardi membuka usahanya dengan

menyewa sebuah kios yang tidak begitu besar,dengan modal yang sudah ia miliki pada waktu ia bekerja di perusahan sepatu. ia juga meminjam modal ke lembaga keuangan untu membeli alat-alat untuk membuat sepatu dan bahan baku. Penghasilan suhardi pada setiap minggunya sebanyak 96 pasang, dengan harga Rp.250.000,-.

Menurut suhardi penghasilan tersebut masih kurang karena untuk membeli bahan baku saja tidak cukup dikarenakan harga bahan baku semakin meningkat.

5. Tomy (Lk,37 Tahun)

Tomy seorang pengrajin sepatu yang telah melakukan usahanya selama 12 tahun, bapak ini membangun usahanya dengan modal sendiri yaitu dari uang tabungannya, ia memutuskan melakukan usaha tersebut atas dasar keinginannya sendiri. Ia juga memliki kios yang mungkin untuk melakukan usahanya.

Selama melakukan usahanya, bapak ini memngakui banyak hambatan,seperti banyaknya persaingan antara pengrajin sepatu yang ada disekitar ini. Ia hanya mendapatkan keuntungan Rp.300.000 per bulan. Ia hanya dibantu oleh istinya.

6. Keluarga Ibu Ningsih (Pr,38 Tahun)

Ibu Ningsih seorang pengrajin sepatu. Ibu ini melakukan usaha sebagai pengrajin sepatu semenjak suaminya sudah meninggal sejak tahun 2001. Ibu ini memiliki 3 orang anak, 2 orang anak laki-laki. 1 orang anak perempuan. Sejak saat suaminya meninggal ibu ini meneruskan usaha yang didirikan suaminya, sehingga bisa dikatakan bahwa keluarga ibu ini pas-pasan. Usaha ibu ini dibantu oleh abang

kandungnya sendiri dan beberapa pekerja yang pernah bekerja sama suaminya.

Selama melakukan usaha ini, ibu Ningsih mengakui banyak hambatan dan masalah.

Namun ibu ini berusaha untuk mengatasi hal tersebut. Ibu ini kebanyakan membuat sepatu wanita seperti sepatu bekerja dan sepatu untuk sekolah atau kuliahan. Ibu ini memperoleh keuntungan Rp.350.000 per bulan.

7. Keluarga Bapak Supri (Lk,40 Tahun)

Bapak Supri ini seorang pengrajin sepatu. Bapak ini menekuni profesinya sebagai pengrajin sepatu baru dilakukan selama 2,5 tahun. Sebelum sebagai pengrajin sepatu bapak ini berprofesi sebagai buruh bangunan. Menurut bapak ini buruh bangunan dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya sangat kurang karena upah sebagai buruh bangunan tergantung jika ia dipanggil mandornya untuk bekerja.

Bapak ini memliki 2 orang anak. Menurut bapak ini sebagai pengrajin sepatu bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, walaupun keuntungan yang di dapatkan bapak ini tidak terlalu besar.

Dalam profesinya sebagai pengrajin sepatu ia menggunakan modalnya sendiri, ia bekerja dibantu oleh istrinya. Dalam melakukan usahanya bapak ini berbagi tugas dengan istrinya sehingga dapat meminilisir pengeluaran. Bapak ini mengerjakan sepatu selama 1 minggu sebanyak 72 pasang, maka keuntungan yang dikerjakan selama seminggu Rp.150.000

4.2.2. Pembeli 1. Lili (Pr,29 Tahun)

Lili seorang wanita penggemar sepatu. Ia bekerja di salah satu pegawai swasta yang ada di Medan. Lili ini selalu membeli sepatu luar,bagi ia sepatu luar modelnya lebih bagus dan mengikuti trend. Menurut Lili harga sepatu luar terjangkau.

2. Tina (Pr,20 Tahun)

Tina seorang mahasiswa. Dia kuliah di salah satu Universitas Swasta yag berada di Medan. Tina ini tinggal di daerah Menteng VII. Dia pernah membeli sepatu buatan lokal yang ada di PIK. Menurut Tina model sepatu yang berada di PIK ini kurang menarik sehingga ia tidak mau membeli sepatu buatan lokal. Kemudian Tina beralih membeli sepatu buatan luar, menurut dia sepatu buatan luar bentuknya unik-unik dan hargnya murah.

3. Wati (Pr,38 Tahun)

Wati adalah seorang ibu yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Ibu ini memiliki 2 anak. Walaupun ibu ini seorang ibu rumah tangga, ibu ini sering membeli sepatu karena ibu ini memiliki hobi koleksi sepatu. Mulai dari sepatu buatan lokal sampai sepatu buatan luar. Menurut ibu ini kualitas sepatu lokal bagus dan tahan lama ketimbang buatan luar. Ibu ini tidak mengutamakan model melainkan kualitas.

Menurut ibu ini harga sepatu buatan lokal tidak terlalu mahal.

4. Indah (Pr,32 Tahun)

Indah adalah seorang ibu yang berprofesi sebagai pegawai Bank. Ibu ini masih memiliki 1 orang anak. Ia mengaku hampir tiap bulan membeli sepatu. Sepatu yang di beli ibu ini sepatu buatan luar. Karena menurut ibu ini memakai sepatu buatan luar membuat ibu ini semakin percaya diri terhadap penampilannya. Menurut ibu ini kualitas sepatu buatan luar bagus, dan bentuknya juga unik-unik.

4.3 Temuan Data

4.3.1. Latar Belakang Pendirian Pusat Industri kecil (PIK)

Ide pertama pendirian Pusat Industri kecil (PIK) ini atas prakarsa dari Ir.Himanuddin Nasution sebagai kepala Kandep Perindustrian kota Medan pada tahun 1991-1992 dalam rangka ingin menjadikan PIK sebagai cibaduyutnya Medan.

Kemudian hal ini dibicarakan dengan pengurus KOPINKRA sepatu kota Medan yang dipimpin oleh Ir.Budi D.Sinulingga yang mewakili Pemda tingkat II Medan,sekaligus sebagai ketua Bappeda kota Medan.

Ide tersebut kemudian diangkat oleh Bappeda Kota Madya Medan untuk dijadikan proyek diatas sebidang tanah milik pemerintah yang dikuasai oleh Pemda tingkay II Medan. Pada awalnya ide tersebut disambut baik oleh para pengrajin sepatu dengan kemampuan rata-rata yang mereka miliki untuk menyewa rumah sebagai tempat tinngal sekaligus untuk berusaha disekitar daerah kelurahan Sukaramai dan kelurahan kota Matsum sebesar Rp.600.000,-/tahun, dengan daftar anggota sekitar 60 orang pengrajin sepatu.

Setelah biaya untuk pembangunan rumah toko dengan dua tingkat, berlantai semen, serta beratap genteng diperkirakan banyak dari pengusaha ini yang mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Pada akhirnya pembangunan PIK ini tidak lagi dikhususkan hanya untuk para pengrajin sepatu saja, akan tetapi juga oleh pengrajin yang lainnya dengan permohonan yang diajukan melalui lurah/camat se kota Medan dengan menetapkan syarat-syarat tertentu.

Pada tahun 1995, kawasan PIK telah dibangun diatas tanah seluas 17.745 m2 sebagai komplek perumahan PIK yang terdiri dari bangunan berbentuk rumah toko (ruko) permanen tingkat dua sejumlah 98 unit, yang berlokasi di kelurahan Medan Tenggara (Menteng) kecamatan Medan Denai. PIK ini akhirnya dibangun di atas tanah milik Pemda Tingkat II kota madya Medan, dimana para pengrajin yang berlokasi disana diberikan hak pengolahan atas bangunan tersebut dan kemudian statusnya meningkat menjadi Hak Guna Bangunan (HGB).

Para pengrajin sebagai penghuni diberi kelonggaran untuk mencicil kredit setiap bulan dengan jangka waktu diberikan sekitar 5,10,15,sampai 20 tahun.

Pembangunan PIK ini terlaksana dengan adanya kerja sama antara Pemda Tingkat II Medan, PT.Bank Tabungan Negara (BTN), dan PT.Rezeki Berkah Utama.

Setelah pembangunan selesai, maka kawasan PIK ini diresmikan oleh Kepala BAPIK pusat atas nama Menteri Perindustrian dan Perdagangan, kepala Dinas Perindustrian tingkat II Provinsi Sumatera Utara, serta beberapa Kepala BUMN selaku Bapak angkat seperti Pertamina UPPDN I Sumut,Perumtel wilayah I, PTP.Nusantara III, PT.Socfindo, dan lian- lain.

4.3.2. Tujuan Pendirian Pusat Industri Kecil (PIK)

Pemerintah pada masa Walikota Bactiar Dja’far ini memutuskan untuk membangunan kawasan PIK sebagai sentra industry dengan tujuan :

1. Untuk menjadikannya sebagai cibaduyutnya Kota Medan

2. Untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan para pengrajin industri kecil

3. Dengan adanya suatu sentra industri kecil diharapkan akan dapat meningkatkan pertumbuhan industri-industri kecil yang tadinya tersebar di beberapa lokasi/kelurahan.

4. Dengan menyatukan beberapa pengrajin dalam satu lokasi akan memudahkan pemerintah atau instansi terkait untuk melakukan pembinaan, sehingga akan menghasilkan produk unggulan yang dapat berkompetisi menembus pasaran internasional untuk mewujudkan industri yang tangguh.

Untuk mewujudkan tujuan pemerintah dalam pendirian PIK tersebut maka pihak Departemen Perindustrian dan Perdagangan sebagai pihak yang bertanggung jawab melakukan beberapa pembinaan berupa :

1. Dengan mengadakan penyuluhan dan pembinaan kepada warga untuk dapat mengembangkan usahanya, serta memberikan pembinaan teknis minimal satu kali dalam satu seminggu.

2. Memberikan pelatihan-pelatihan, seperti diklat pembuatan sepatu, diklat untuk memberikan motivasi berusaha dengan nama Achievement Motivation Training (AMT) selama 8 hari dengan tenaga pelatih dari Kanwil Perindustrian dan Perdaganagn Sumut dengan dana yang disediakan oleh Pemko, dan Diklat Warung Informasi yang seluas-luasnya pada pengrajin.

3. Mengadakan pameran dan promosi untuk menembus pasar, baik itu dengan mengikuti pameran atau promosi untuk menembus pasar, baik itu dengan mengikuti pameran langsung yang mengikutsertakan beberapa pengrajin industri kecil diantaranya berasal dari kawasan PIK Menteng misalnya dengan mengikuti Pekan Raya Jakarta dan sebagainya, amupun dengan melakukan terobosan pemasaran langsung dengan sistem pendekatan Perindustrian Kota Medan

Pada awal pendirian Pusat Industri Kecil ini,kawasan sentra industri ini menampung sekitar 98 pengrajin. Dari keseluruhan jumlah pengrajin tersebut terdiri dari 48 pengrajin sepatu dan sekitar 50 pengrajin lainnya yang terdiri dari pengusaha konveksi, sulaman, dan bordei. Disamping itu juga tersedia 1 unit bangunan yang berfungsi sebagai ruang pameran, dan 1 unit bangunan untuk kantor perwakilan cabang Bank Tabungan Negara (BTN). Dari data yang diperoleh pada tahun 2003 (dalam Sinambela;2003) hanya ada sekitar 35 pengusaha yang benar – benar berprofesi sebagai perajin. Karena PIK ini telah mengalami peralihan fungsi, kawasan ini tidak lagi hanya dihuni oleh pengrajin sepatu,konveksi,sulaman atau bordir saja,

akan tetapi juga terdiri dari beberapa profesi seperti pegawai perkebunan, pegawai negeri, pengusaha kelontong dan kedai kopi. Disamping itu 1 unit gedung yang dari awal memang sudah disediakan sebagai swalayan produk-produk dari PIK untuk memudahkan para pengunjung agar dapat melihat dan memesan contoh produk yang diinginkan ternyata kurang difungsikan, bahkan terkesan kurang terawat.

4.3. Hambatan Dalam Pengembangan Usaha dan Strategi Mengatasinya

Setiap kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing individu memiliki segala resiko ataupun masalah berkaitan dengan kegiatannya tersebut. Proses kewirausahaan berkisar pada penggabungan sumber-sumber daya yang ada, proses tersebut melibatkan resiko yang tinggi, ketika suatu usaha tersebut berkembang maka seorang pengusaha akan berhadapan dengan masalah yang berhubungan kegiatan usahanya tersebut (Long,1997:174)

Keberlangsungan usaha adalah suatu keadaan atau kondisi usaha, dimana didalamnya terdapat cara-cara untuk mempertahankan, mengembangkan dan melindungi sumber daya serta kebutuhan yang ada di dalam suatu usaha (industri) untuk mencapai maksud yaitu mencari untung.

Pada saat ini kondisi kawasan sentra industri tersebut sudah mengalami kemerosotan dibandingkan ketika awal pendiriannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi menurunnya/kemerosotan kondisi Pusat Industri Kecil (PIK) ini, yaitu:

1. Persaingan (Competition)

Persaingan dapat diartikan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok-kelompok manusia bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik secara perorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa menggunakan kekerasan atau ancaman. Tidak dapat dipungkiri apabila setiap usaha yang dilakukan setiap orang, apalagi usaha tersebut tidak hanya dilakukan oleh satu orang saja, namun ada beberapa orang maka para pelaku usaha memiliki persaingan dengan pelaku usaha lain. Begitu pula yang terjadi pada industri kecil sepatu di PIK Menteng ini.

Persaingan sering kali muncul diantara para pengrajin pada saat mencari dan membeli bahan baku, kelangkaan bahan baku menjadi alasan yang mendasar terjadinya persaingan, kondisi seperti ini mengakibatkan masing-masing pengrajin khawatir akan tidak tersedianya bahan baku bagi proses produksi mereka. Hal yang menimbulkan adanya perbedaan harga bahan baku, jika ada yang berani bayar mahal maka dialah yang memperoleh bahan baku lebih cepat, hal ini menimbulkan ketidakstabilan harga bahan baku sehingga cenderung melonjak naik. Berikut hasil wawancara dengan salah seorang pengrajin :

“… harga bahan baku sepatu kami beli bervariasi, ada yang murah dan ada yang mahal,, kadang-kadang pemasok bahan baku ini sesuka hatinya menjual bahan baku kepada kami,, makanya kami kesal dan bingung mau jual dengan harga berapa sepatu kami ini”(wawancara dengan Informan Ahmad Sani,2011)

Biasanya persaingan ini tidak sengaja dan tidak ditujukan kepada perorangan atau golongan. Biasanya ada tujuan yang ingin dicapai seperti dalam pembuatan barang, orang ingin mencapai kualitas tinggi dan harga rendah. Dengan sendirinya diantar dua pengrajin yang tujuannya sama terjadi persaingan karena adanya pihak ketiga yaitu pembeli yang memilih tempat/pengrajin yang lebih memenuhi syarat untuk mencapai tujuan. Berikut hasil wawancaranya :

“diantara kami sesama pengrajin timbul persaingan antara lain masalah harga jual..sering dijumpai harga yang berbeda dan tempat lokasi berjualan selalu mencari tempat yang strategis supaya para pembeli lebih mudah datang untuk membeli”. (Wawancara dengan Informan Sutiyoso,2011)

Berikut hasil wawancara terhadap pengrajin sepatu :

“Kendala usaha pengrajin sepatu mutu atau kualitas model juga harus diperhatikan dari pada kita mengalami bangkrut ya mau gak mau, kita harus membuat model selera pembeli”

(Wawancara dengan Informan Sri,2011)

Selain persaingan lokasi penjualan sepatu juga terdapat persaingan desain produk. Dimana dalam persaingan desain produk berpengaruh terhadap pengrajin sepatu, dengan alasan apabila produk tidak menarik bagi konsumen maka pengrajin sepatu bisa mengalami kerugian. Untuk itu pengrajin sepatu membuat desain produk yang selalu berubah, hanya meniru produk lain yang sudah dipasaran dan juga mengikuti orderan dari pembeli.

2. Kurangnya Modal.

Masalah permodalan merupakan suatu masalah utama yang dihadapi pengrajin. Pada umumnya pengrajin terbentur dalam masalah modal yang akan digunakan dalam mengembangkan usaha, meskipun banyak pengrajin yang mempunyai kemampuan untuk mengelola usahanya tetapi tidak mempunyai modal yang cukup sehingga pengrajin ini dapat mengembangkan usahanya lebih maju.

Jelaslah modal merupakan faktor yang utama menentukan arah perkembangan usaha yang dijalankan. Berikut hasil wawancaranya dengan salah satu pengrajin :

“sangat jelas sekali. Tanpa modal nggak mungkin bisa mengembangkan usaha sepatu ini. Mau beli bahan baku saja harus pake modal,,apa lagi harga bahan baku sekarang mahal,,mau gak mau harus meminjam uang buat dapatin modal.” (Wawancara dengan Informan Suhardi, 2011)

Modal yang cukup sehingga pengrajin ini dapat mengembangkan usahanya lebih maju. Jelaslah modal merupakan faktor yang utama untuk menentukan arah perkembangan usaha yang dijalankan. seperti diketahui modal sangat penting dalam perkembangan usaha karena modal mempunyai 2 fungsi yaitu :

1. Menopang kegiatan produksi dan penjualan dengan jalan menjembatani antara saat pengeluaran untuk pembelian bahan serta jasa yang diperlukan dengan penjualan

2. Menutup pengeluaran yang bersifat tetap dan pengeluaran yang tidak ada hubunganya secara langsung dengan produksi dan penjualan. Jadi jelaslah modal sangat diperlukan dalam pengembangan usaha dan tanpa

modal, usaha yang dijalankan tidak dapat beroperasi dengan baik (Pitoyo,1993)

Permodalan merupakan suatu aspek terpenting dalam menentukan suatu keberlangsungan usaha, tanpa modal dalam hal ini modal uang suatu usaha tidak dapat berjalan atau tidak dapat dibangun atau dirintis kembali. Pengrajin sepatu yang dilihat dari banyaknya pekerja terhadap pengrajin tersebut dalam memenuhi kebutuhan akan modal untuk usaha ada yang berasal dari modal sendiri dan ada yang merupakan modal pinjaman.

Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Untuk menjalankan usaha pada awalnya tidak membutuhkan modal usaha yang besar, tetapi kebutuhan akan modal (baik untuk modal investasi maupun modal kerja) semakin meningkat seiring dengan perkembangan usaha. Keluhan yang selalu dihadapi pengrajin sepatu ini adalah kuranganya modal, naiknya harga bahan baku, kesulitan mendapatkan bahan baku yang berkualitas karena terkendala dana maka sering kali tidak bisa untuk memenuhi permintaan dan akhirnya banyak pengrajin tersebut yang tidak mampu bertahan dan mengalami kebangkrutan. Berikut wawancara dengan salah satu pengrajin sepatu :

“sekarang ini susah kali mendapatkan modal karena kurangnya perhatian dari pemerintah mau pinjem ke bank repot ngurus surat-surat administrasinya,,Selain modal uang mendapatkan bahan baku saja sekarang ini susah,, yang harganya melonjak naiklah,, harus ke berbagai lokasi untuk mendapatkan bahan baku. (Wawancara dengan Informan Tomy,2011)

Dokumen terkait