Kategori Manfaat
Sub Kategori
Kasus Pengobatan Efisiensi Skill
Kode - Segera
ditemukan kasus HIV dan IMS - Kasus baru
HIV dan IMS
- Pengobatan dapat dilakukan lebih dini
- Mendapatkan layanan
pengobatan pada WBP
- Program lebih efisien - Peserta
lebih banyak dalam satu waktu
- Skill petugas lebih meningkat
- Meningkatkan pengalaman
PEMBAHASAN
Setiap program yang telah dilaksanakan tentunya memiliki hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan- hambatan ini dapat terjadi karena salah satu komponen input yang lemah dan saling ketergantungan dengan sarana yang lain.
Hambatan dalam program ini meliputi sarana prasarana, sumber daya manusia yang terbatas dan waktu atau jadwal pelaksanaan program.
Hambatan dalam tenaga kesehatan atau sumber daya manusia dalam program ini adalah tidak adanya tenaga analis laborat pada poliklinik Lapas dan petugas tim IMS/VCT mobile juga memiliki tugas pokok dalam layanan di puskesmas, tidak terdapat petugas khusus mobile IMS/ VCT yang melayani di tempat atau di hotspot berisiko. Hal ini menyebabkan skrining IMS dengan VCT dilaksanakan hanya satu bulan sekali.
Tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan skrining IMS dengan
VCT merupakan tenaga kesehatan yang terlatih, layanan VCT diselenggarakan baik di Puskesmas, Rumah sakit maupun mobile dilakukan oleh tenaga yang terlatih (Cheng et al, 2016). Tenaga kesehatan yang terlatih sudah menjadi syarat dalam memberikan layanan atau melaksanakan tindakan sesuai dengan SOP.
Pada tenaga kesehatan terlatih yang bertugas didalam Lapas memberikan informed consent kepada setiap narapidana atau tahanan baru dengan menyetujui pemeriksaan tuberkulosis dan sifilis yang bersifat wajib, sedangkan tes HIV bersifat sukarela (Rosena et al, 2015). Pada LP Wanita Klas II A Kota Malang, dilaksanakan pemeriksaan namun terbatas oleh sarana prasarana dan jadwal pemeriksaan yang dilaksanakan satu bulan sekali.
Hambatan berikutnya adalah sarana prasarana yang dimiliki oleh poliklinik Lapas yang masih terbatas. Tidak ada sarana laboratorium sehingga Lapas harus
bekerja sama atau membuat MoU dengan Dinas Kesehatan Kota Malang untuk melaksanakan skrining pada WBP. Hal ini membuat para WBP maupun narapidana baru yang berisiko tidak bisa langsung melakukan pemeriksaan. Pada pemeriksaan IMS juga sifatnya berdasarkan gejala yang muncul pada hari mendekati jadwal skrining dapat mengikuti tes IMS.
Setiap kegiatan atau program skrining tentunya memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut, meskipun terdapat hambatan-hambatan dalam kegiatannya program skrining adalah suatu program yang baik untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya WBP.
Dari berbagai kalangan dan latar belakang WBP, resiko terjadinya IMS serta HIV sangatlah tinggi. Oleh sebab itu pelaksanaan skrining dilaksanakan untuk mencapai manfaat dari program ini diantaranya: meningkatkan derajat kesehatan WBP, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas, serta melaksanakan pengobatan lebih dini.
Sama halnya dalam teori berikut, program skrining IMS dengan VCT merupakan sarana layanan kesehatan dengan upaya untuk menanggulangi HIV/
AIDS dengan menemukan kasus lebih awal kemudian pemberian pengobatan dan dukungan dapat dilakukan untuk mencegah penularan serta meningkatkan kualitas hidup bagi ODHA (Tasa et al, 2016).
Pada IMS/ VCT mobile yang terdiri dari petugas kesehatan, konselor, teknisi laboratorium, tenaga administrasi dan pembantu umum. Dilakukan pra dan pasca konseling yang bertujuan untuk mengetahui kelompok risiko, prosedur ini telah dikembangkan oleh Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit. Dilakukan pendekatan dengan konseling yang berpusat pada penilaian individu yang berisiko (Rooyen et al, 2013).
Dalam temuan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan program skrining IMS dengan VCT di LP Wanita Klas II A Kota Malang ini, stake holder dapat mening- katkan pelayanan program skrining melalui penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang di poliklinik lapas serta merekrut tenaga analis laboran di Lapas sehingga dapat menyelenggarakan skrining IMS dengan VCT secara mandiri.
REFERENSI
Cheng, et al (2016). Late Presentation of HIV Infection: Prevalence, Trends, and the Role of HIV Testing Strategies in Guangzhou, China, 2008–2013. BioMed Research International 2016:7 Article ID 1631878
Díez & Díaz (2011). Sexually transmitted infections: Epidemiology and control. Epidemiology Department on HIV and Risk Behaviors.
National Centre for Epidemiology.
Health Institute Carlos IIIRev Esp Sanid Penit; 13: 58-66.
Idrus M. (2008). Metode Penelitian Ilmu Sosial; Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga
Miles M, Huberman A. (2014). Analisis data Kualitatif; Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru.
Jakarta: UI-Press
Kebijakan Kesehatan Indonesia (2013).
Konteks Kebijakan AIDS:
Epidemiologi dan Perilaku Beresiko. [online]
Kementerian Kesehatan RI (2011).
Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. Jakarta:
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kementerian Kesehatan RI & Kementerian Hukum dan HAM RI (2012).
Pedoman Pelayanan Komprehensif HIV AIDS & IMS di Lapas, Rutan dan Bapas. Direktorat Pengendalian Penyakit &
Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI dan Direktorat Pemasyarakatan Kemenkumham RI.
Rosena DL, et al (2015). Opt-out HIV testing in prison: Informed and voluntary? AIDS Care; 27(5): 545–
554.
doi:10.1080/09540121.2014.98948 6.
Rooyen et al. 2013. Mobile VCT: Reaching men and young people in urban and rural South African pilot studies.
AIDS Behav; 17(9): . doi:10.1007/s10461-012-0368-x.
WHO, UNODC and UNAIDS. 2007.
Evidence For Action Technical Papers Interventions to Address HIV in Prisons Prevention of Sexual Transmission. Geneva
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN SUPIR TRUK TENTANG PENYAKIT IMS DAN HIV/AIDS
Heni Hirawati Pranoto
Fakultas ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo Email : [email protected]
ABSTRACT
Supir truk merupakan kelompok pria berperilaku seksual beresiko. Faktor pendorong yang cukup kuat mempengaruhi perilaku diantaranya adalah pengetahuan , sehingga dibutuhkan upaya pendidikan kesehatan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisa pengaruh pemberian leaflet dan diskusi terhadap pengetahuan supir truk dalam pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS.
Penelitian ini termasuk penelitian quasi eksperimen dengan rancangan pre- post test with control group design. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 60 supir truk yang diambil dengan metode purposive sampling. Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat secara deskriptif, analisa bivariat dengan uji t test dan analisa multivariat dengan ANOVA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pendidikan kesehatan melalui pemberian leaflet baik yang disertai diskusi maupun tanpa diskusi, keduanya meningkatkan secara signifikan pengetahuan. Tidak ada perbedaan yang signifikan peningkatan pengetahuan antara kelompok yang diberikan leaflet disertai diskusi dengan kelompok yang diberikan leaflet tanpa diskusi. Metode diskusi tidak terbukti efektif meningkatkan pengetahuan supir truk dalam pencegahan IMS dan HIV/AIDS, hal ini mungkin dikarenakan materi yang disampaikan merupakan materi yang sensitif.
Saran bagi Dinas Kesehatan dan KPAD, agar terus berupaya melaksanakan pendidikan kesehatan pada kelompok pria beresiko dengan menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik kelompok tersebut.
Kata Kunci: Leaflet, Diskusi, Pengetahuan
PENDAHULUAN
Peningkatan secara tajam jumlah penderita HIV/AIDS merupakan masalah yang harus segera ditangani. Supir truk merupakan kelompok yang memiliki perilaku seksual beresiko. Penelitian di Bali oleh Suamiartha menemukan bahwa 120 pengemudi truk trayek Denpasar-Surabaya sebagian besar (68%) sering mencari wanita tuna susila. 87% dari mereka mempunyai kebiasaan berganti-ganti pelacur, sedangkan sisanya mempunyai pelacur langganan (Sumiartha, 1995).
Kondisi demikian, menyebabkan supir truk beresiko tertular dan menularkan IMS dan HIV/AIDS. Hasil penelitian Mundiharno (1999) pada supir truk didapatkan 50%
menyatakan pernah menderita IMS ( Mundiharno, 1999). Penelitian Kusuma (2005) pada istri supir truk di Sumatera Barat didapatkan 78,6 % menderita IMS.
Pengetahuan dan sikap merupakan faktor pendorong yang cukup kuat yang mempengaruhi perilaku seseorang. Data STBP (2011) menunjukkan bahwa pengetahuan komprehensif tentang penyakit IMS dan HIV/AIDS pada kelompok pria beresiko tinggi masih rendah, demikian pula pada kelompok supir truk (Subuh, 2012). Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dapat dilakukan melalui penyuluhan kesehatan.
Leaflet merupakan salah satu bentuk media promosi kesehatan yang telah banyak digunakan dalam upaya penyuluhan tentang pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS pada supir truk. Selain murah, mudah dibawa dan tahan lama, leaflet mempermudah pemahaman tentang isi pesan ( Notoatmodjo, 2010). Dari hasil wawancara dengan supir truk, setidaknya
dalam satu tahun mereka menerima satu sampai empat leaflet tentang IMS dan HIV/AIDS. Sebagian supir truk mengatakan bahwa mereka tertarik akan informasi yang ada di dalam leaflet, namun kehadiran petugas yang singkat pada saat pemberian leaflet membuat supir truk enggan untuk bertanya. Diskusi merupakan metode yang efektif untuk menyampaikan pesan dengan sasaran kelompok kecil (Notoatmodjo, 2010). Diskusi memungkinkan semua anggota dapat berpartisipasi, bertanya dan berpendapat.
Pemberian leaflet yang disertai diskusi memungkinkan para supir truk dapat menanyakan hal-hal yang belum dipahami dan saling bertukar pendapat satu sama lain, sehingga mempermudah mereka memahami isi pesan tersebut. Dari hasil wawancara dengan 5 supir truk, 3 orang mengatakan bahwa mereka membutuhkan kehadiran petugas untuk berdiskusi tentang IMS dan HIV/AIDS, 1 orang mengatakan cukup dengan pemberian leaflet dan 1 orang berpendapat menyukai semua program.
Berdasarkan latar belakang di atas, memunculkan pertanyaan penelitian
―Bagaimana pengaruh pemberian leaflet dan diskusi terhadap pengetahuan supir truk tentang penyakit IMS dan HIV/AIDS ?‖
Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh pemberian leaflet dan diskusi terhadap pengetahuan supir truk tentang penyakit IMS dan HIV/AIDS.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Taylor, komunikasi adalah proses pertukaran informasi atau pemberian arti sesuatu (Yulifah, 2009). Sedangkan, Harold Lasswell memaparkan bahwa cara
yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : siapa mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dengan pengaruh bagaimana ( Mulyana, 2004)
Menurut Hatcher Infeksi Menular Seksual adalah berbagai infeksi yang dapat menular dari orang ke orang yang lain melalui kontak seksual. Menurut The Centers for Diseases Control (CDC) terdapat lebih dari 15 juta kasus IMS dilaporkan pertahun. Kelompok remaja atau dewasa muda (15-24 tahun) adalah kelompok umur yang paling memiliki risiko paling tinggi tertular IMS, 3 juta kasus baru tiap tahun berasal dari kelompok ini (Daili, 2001)
Hampir seluruh IMS dapat diobati.
Namun ada beberapa IMS yang sudah resisten terhadap antibiotik generasi lama seperti gonore. Sedangkan IMS yang disebabkan oleh virus seperti herpes, AIDS, dan kutil kelamin tidak dapat disembuhkan ( Daili, 2001)
HIV singkatan dari Hunian Immunodeficiency Virus (Project Concern International, 1994). HIV adalah virus penyebab AIDS. Cara kerja HIV adalah dengan menyerang sistem kekebalan tubuh yang fungsinya melindungi tubuh dari serangan berbagai penyakit ( Tanjung, 2004)
AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS didefinisikan sebagai suatu kumpulan gejala penyakit yang disebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi HIV. Menurunnya sistem kekebalan tubuh ini biasanya lebih dari satu. Karena HIV selalu menyebabkan -AIDS atau AIDS
selalu diakibatkan oleh HIV maka penyebutannya selalu disatukan menjadi HIV/AIDS ( Tanjung, 2004)
Jam kerja supir truk cukup panjang dan berat. Mereka harus menempuh jarak ribuan kilometer dan memanfaatkan waktu istirahat di tempat-tempat parkir truk yang biasanya terdapat di sepanjang jalur yang dilalui. Waktu istirahat tersebut biasanya dimanfaatkan untuk makan, minum, istirahat dan sering pula menyewa PSK untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (Nurtriyasih, 2009)
Penelitian di Bali oleh Suamiartha menemukan bahwa 120 pengemudi truk trayek Denpasar-Surabaya sebagian besar (68%) sering mencari wanita tuna susila.
87% dari mereka mempunyai kebiasaan berganti-ganti pelacur, sedangkan sisanya mempunyai pelacur langganan (Suarmiartha, 1995). Di kalangan supir truk, memiliki banyak pasangan, istri simpanan menjadi hal yang biasa di antara mereka. Jika tidak pernah melakukan hubungan dengan WPS selama perjalanan akan diolok-olok oleh teman- temannya yang tengah beristirahat dan bahkan adapula supir ruk yang dikejar-kejar oleh WPS, sehingga akhirnya tergoda untuk melakukan hubungan seksual ( Mundiharno, 1999)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimen semu (quasi eksperiment) yang menggunakan rancangan pre-post test with control group design.
Rancangan ini berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan subyek secara sukarela. Penelitian diawali dengan pre test
pada subyek penelitian. Intervensi dilakukan selama 20-35 menit dan kemudian dilakukan pengukuran pengetahuan dan sikap. Pengukuran dilakukan kembali 1 minggu setelah perlakuan. Waktu pengukuran berdasarkan teori David Kolb yang bahwa sesuatu yang dipelajari oleh sesorang akan cenderung menurun secara logaritma dari waktu ke waktu ( Depkes RI, 2001)
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh supir truk yang pada saat penelitian berada di Kabupaten Semarang.
Sampel sejumlah 60 supir truk.
Analisis perbedaan pengetahuan dan sikap antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menggunakan unpaired t test. Analisis perbedaan pengetahuan antara kelompok intervensi 1, intervensi 2 dan kelompok kontrol menggunakan uji one way ANOVA. Selanjutnya,untuk mengetahui kelompok manakah yang terdapat perbedaan yang bermakna dilakukan dilakukan analisis Post Hoc.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengetahuan supir truk pada Pre Test Pengetahuan supir truk tentang IMS dan HIV/AIDS pada saat pre test pada kelompok intervensi 1 dan intervensi 2 sebagian besar cukup (90%). Pada kelompok intervensi 1 dan intervensi 2 hanya sebagian kecil (10%) yang memiliki pengetahuan baik, sedangkan pada kelompok kontrol 45% memiliki pengetahuan baik.
Namun jika dilihat dari rerata skor pengetahuan supir truk pada saat pre test terlihat bahwa rerata ketiga kelompok berkisar antara 20,90-20,95.
Hasil uji beda ketiga kelompok
menggunakan Kruskal Wallis test menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara ketiga kelompok tersebut (p=0,99) Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok memiliki pengetahuan awal yang sama. Kondisi tersebut dikarenakan dalam pemilihan sampel dan pembagian kelompok peneliti berupaya untuk mengkondisikan agar ketiga kelompok memiliki kesetaraan karakteristik dengan cara menetapkan kriteria inklusi dan eksklusi.
2. Pengetahuan pada saat post test 1 Hasil post test 1 menunjukkan terjadi perubahan pengetahuan pada kelompok intervensi 1 dan intervensi 2, dimana pada kelompok intervensi 1 sebagian besar (80%) memiliki pengetahuan yang baik dan kelompok intervensi 2 seluruh responden (100%) berpengetahuan baik. Pada kelompok kontrol hanya sebagian kecil (30%) yang memiliki pengetahuan baik.
Rerata skor pengetahuan tertinggi terdapat pada kelompok intervensi 2 (24,85). Hasil uji beda ketiga kelompok menggunakan uji one way ANOVA yang dilanjutkan dengan analisis post hoc menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan pengetahuan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p=0,000), namun tidak ada perbedaan pengetahuan antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,64).
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian leaflet dan diskusi meningkatkan pengetahuan supir truk tentang IMS dan HIV/AIDS.
Peningkatan pengetahuan segera
setelah intervensi dikarenakan dalam pemberian leaflet dan diskusi terjadi transfer pengetahuan. Leaflet sebagai media promosi kesehatan memberikan informasi tentang IMS dan HIV/AIDS melalui tulisan yang cukup besar, menarik, mudah dipahami dan dapat dibaca ulang. Supir truk yang sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan dasar dapat memahami isi leaflet pesan yang disampaikan dikemas secara sederhana dan bahasa yang sesuai dengan karakteristik supir truk.
3. Pengetahuan pada saat post test 2.
Hasil pengukuran pengetahuan 1 minggu setelah intervensi menunjukkan terjadi penurunan pengetahuan pada beberapa supir truk. Meskipun demikian, sebagian besar (65%) supir truk pada kelompok intervensi 1 memiliki pengetahuan baik, demikian pula pada kelompok intervensi 2 (75%). Pada kelompok kontrol, hanya sebagian kecil (30%) yang memiliki pengetahuan baik. Rerata skor pengetahuan tertinggi terdapat pada kelompok intervensi 2 (24). Hasil uji beda ketiga kelompok menggunakan uji one way ANOVA dilanjutkan dengan analisis post hoc menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p=0,032 dan p=0,000), namun tidak ada perbedaan signifikan rerata skor pengetahuan antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2.(p=0,116)
Penurunan penegtahuan dikarenakan seseorang cenderung lupa terhadap informasi yang pernah
diperoleh. Hal ini diperparah dengan kondisi pekerjaan supir truk, dimana dalam kesehariannya informasi tentang HIV/AIDS bukanlah informasi yang dianggap penting dalam memperlancar pekerjaannya. Banyak pekerjaan dan informasi yang lebih menarik bagi para supir truk, seperti kondisi lalu lintas, harga jasa angkutan, kondisi barang bawaan dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwanto bahwa seseorang cenderung lupa tergantung pada sesuatu yang diamati, situasi dan proses pengamatan berlangsung dan waktu ( Purwanto, 2004)
Pada kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2, rerata skor pengetahuan masih tinggi yaitu 22,8 dan 24. Hal ini menunjukkan informasi tentang IMS dan HIV/AIDS yang diberikan 1 minggu sebelumnya sebagian besar masih tetap diingat oleh para supir truk. Meskipun secara alamiah terjadi penurunan pengetahuan, namun pada supir truk terjadi retensi pengetahuan yang baik. Hal ini membuktikan bahwa leaflet dan diskusi efektif meningkatkan retensi pengetahuan.
KESIMPULAN
1. Pemberian leaflet tanpa diskusi dan pemberian leaflet disertai diskusi, keduanya meningkatkan secara signifikan pengetahuan supir truk tentang IMS dan HIV/AIDS segera setelah intervensi yaitu sebesar 2,85 dan 3,90.
2. Pemberian leaflet tanpa diskusi dan pemberian leaflet disertai diskusi, keduanya meningkatkan secara
signifikan sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS segera setelah intervensi yaitu sebesar 8,45 dan 8,05.
3. Pemberian leaflet tanpa diskusi dan pemberian leaflet disertai diskusi, keduanya meningkatkan secara signifikan pengetahuan supir truk tentang IMS dan HIV/AIDS 1 minggu setelah intervensi yaitu sebesar 1,85 dan 3,05.
REFERENSI
Daili, S.F. Penyakit Menular Seksual. Balai Penerbit FK Universitas Indonesia.
Jakarta. 2001.
Depkes RI. Modul Pelatihan Metode dan Teknologi Diklat(METEK). Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Depkes. Jakarta. 2001
Kusuma, A. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dan Kebersihan Perseorangan dengan Infeksi Saluran Reproduksi pada Istri Supir. Universitas Indonesia. 2005.
Mulyana, D. Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar. Penerbit PT Rosdakarya. Bandung. 2004.
Mundiharno. Perilaku Seksual Beresiko Tertular PMS dan HIV/AIDS ;
Kasus Sopir Truk Antar Propinsi.
Tesis. Universitas Gajah Mada.
1999.
Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Depok.
2010.
Nurtriyasih, T. Perilaku Pemakaian Kondom Pengemudi Truk dalam Upaya Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Batang Tahun 2009.
Tesis. Universitas Diponegoro Semarang. 2009.
Purwanto, M. Psikologi Pendidikan.
Penerbit PT Remaja Rosdakarya.
Bandung. 2004.
Suarmiartha, E. Perilaku Seksual Terhadap Penularan AIDS Pengemudi Truk Denpasar Surabaya. Jaringan Epidemiologi Nasional. 1995.
Subuh, HM. Surveilens Terpadu Biologis dan Perilaku 2011. Pengendalian Penyakit Menular. Jakarta. 2012.
Tanjung, A. Tanya Jawab Seputar Seksualitas Remaja ; Panduan untuk Tutor dan Penceramah.
PKBI. Jakarta.2004
Yulifah, R. Komunikasi dan Konseling dalam Kebidanan. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2009.
PERBEDAAN MINAT KUNJUNGAN ULANG ANTENATAL CARE PADA PASIEN BPJS DAN NON BPJS DI POLIKANDUNGAN RSUD UNGARAN
Nur Faizah Ulfah1), Cahyaningrum2), Adil Zulkarnaen3) Program Studi D IV BidanPendidik, STIKes Ngudi waluyo
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo Email : [email protected]
Abstrack
Minat Konsumen memakai jasa dari pemberi jasa yang sama sangat dipengaruhi oleh pengalaman kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan sebelumnya. Jika jasa yang dialami memenuhi dan melebihi harapan, maka kualitas pelayanan akan dikatan baik dan memuaskan sehingga mereka berminat menggunakan jasa itu kembali. Sedangkan faktor yang memengaruhi kunjungan seseorang yaitu mutu produk, kualitas pelayanan, biaya, harga, SDM,tempat dan proses.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan minat kunjungan ulang antenatal care pada pasien BPJS dan Non BPJS di polikandungan RSUD Ungaran. Rancangan penelitian ini adalah analitik komparasi. Pengambilan sampelnya menggunakan total sampling. Populasinya adalah seluruh ibu hamil yang melakukan antenatal care dipolikandungan RSUD Ungaran.
Sampel adalah ibu hamil trimester III yang melakukan kunjungan antenatal care pada tahun 2015. Analisis data menggunakan analisis univariat dengan distribusi frekuensi dan analisis bivariate dengan Man Whitney U Test. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan antara minat kunjungan ulang antenatal care pada pasien BPJS dan Non BPJS (mandiri) dengan hasil nilai signifikan (Pvalue) sebesar 0,000 dimana nilai kurang dari α <0,05.
Keywords: minat kunjungan ulang,antenatal care, BPJS, mandiri
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan ini mendorong manusia untuk senantiasa menjaga kesehatan. Kebutuhan ini juga menjadikan manusia merasa perlu mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Organisasi penyedia
layanankesehatansepertirumahsakit,
puskesmas, balai pengobatan dan dokter merupakan wujud penyediaan sumber daya dibidang kesehatan.. (Kemenkes RI dalam Muninjaya 2011).
Berdasarkan Deklarasi tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk (Universal Health Coverage). Dalam sidang ke 58 tahun 2005 di Jenewa, World Health Assembly (WHA) menggaris bawahi perlunya pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan.WHA ke 58 mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health Coverage diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. ( Kemenkes, 2011).
Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan.
Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H ayat 3 dan pasal 34 ayat 2, dan diatur dalam UU No. 23 tahun 1992 yang kemudian digant dengan UU 36 tahun 2009 tentangKesehatan. Dalam UU 36 tahun
2009 ditegaskanbahwasetiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setia porang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggungjawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. (Tunggal, 2014).
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jamina sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayaniantara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali. (Suparti, 2015).
Undang-Undang No. 24 tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiriatas BPJS Kesehatandan BPJS Ketenaga kerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselengarakan oleh BPJS kesehatan yang akan di impelementasikan pada 1 januari 2014. Secara opersional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam peraturan pemerintah dan