• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 EPILEPSI DAN PENATA-

3.5 Rangkuman

Asam Valproat merupakan Obat Anti Epilepsi (OAE) yang berspektrum luas yang efektif dan relatif lebih aman dibandingkan Fenitoin pada pasien anak.

Asam Valproat memiliki indeks terapi sempit dengan profil farmakokinetik non linear, seperti pada Fenitoin.

Asam Valproat dapat mengalami penjenuhan ikatan obat – protein. Variasi metabolisme antar individu besar dan memiliki polimorfisme genetik, namun penelitian mengenai hal tersebut tidak sebanyak penelitian sejenis pada Fenitoin. Profil keamanan Asam Valproat pada pasien anak dengan Epilepsi harus didukung dengan keterlibatan orang tua dan pengasuh pasien anak pada pemberian obatnya. Hal ini memerlukan peran penting apoteker dalam berkolaborasi dengan dokter dan keluarga pasien, agar dapat mencapai hasil terapi dan meningkatkan kualitas hidup pasien anak dengan Epilepsi.

63

64

65

Bab 4

Obat AntiEpilepsi

dan Pelayanan

Farmasi Klinis

66

Setelah memahami penjelasan mengenai prinsip penatalaksanaan Epilepsi pada Bab 1 serta mengidentifikasi hambatan terapi Epilepsi menggunakan Fenitoin dan Valproat pada Bab 2 dan 3, maka pada Bab 4 ini akan diuraikan tentang prinsip pelayanan kefarmasian, khususnya farmasi klinis, dan tinjauan mengenai pelayanan kefarmasian di komunitas. Selaras dengan peraturan perundangan mengenai pekerjaan kefarmasian, terdapat dua kegiatan utama Apoteker di RS, puskesmas, klinik, maupun apotek. Dua kegiatan utama tersebut meliputi kegiatan :

1. Pengelolaan Obat, Alat Kesehatan Bahan Medis Habis Pakai

2. Pelayanan Farmasi Klinis

Pengelolaan Obat, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, meliputi : pemilihan, perencenaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi. Pelayanan Farmasi Klinis meliputi : pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat

67

penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan interaksi obat (PIO), konseling, visite, pemantauan terapi obat (PTO), monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat (EPO), dispensing sediaan steril, dan pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD).

Sebagian kegiatan Pelayanan Farmasi Klinis yang akan dibahas pada buku ini merupakan pemantauan terapi obat dan efek samping obat; oleh karena karakteristik khas dari Fenitoin dan Valproat berkaitan dengan efektivitas dan keamanannya. Idealnya Farmasis Klinis melakukan visite bersama dengan dokter setiap hari, dan menyesuaikan rencana pelayanan kefarmasiannya setiap terdapat perubahan kondisi klinis pasien. Gambaran efektivitas dan keamanan Obat Anti Epilepsi (OAE) pada individu Indonesia dapat berbeda dari profil umum di dunia.

4.1. PEDOMAN NASIONAL TATA LAKSANA EPILEPSI PADA ANAK (TAHUN 2017)

Pedoman penatalaksanaan Epilepsi pada anak telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/367/2017

68

Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran – Tata Laksana Epilepsi Pada Anak. Pedoman Nasional ini telah disusun berdasarkan bukti klinis terbaik dan terkini.

Penggolongan jenis Epilepsi masih mengacu pada Klasifikasi Epilepsi Berdasarkan Tipe Bangkitan (seizure) dari ILAE tahun 1981 dan Berdasarkan Etiologi dari ILAE tahun 1989.

Pada Tata Laksana Umum disebutkan bahwa keluarga yang memiliki anak dengan Epilepsi berhak mendapatkan informasi yang jelas dan akurat.Pemberian informasi menurut Kepmenkes RI ini terutama dilaksanakan oleh dokter, namun beririsan dengan berbagai tenaga kesehatan lainnya, sebagai satu kesatuan tim pelayanan kesehatan yang utuh. Pemberian informasi yang obyektif kepada keluarga pasien anak serta kesempatan untuk bertanya dan mendiskusikan penyakit dan penatalaksanaan Epilepsi sangat penting agar tercapai kesepahaman dengan tim kesehatan, sehingga hasil akhir terapi Epilepsi dapat tercapai dan meningkatkan kualitas hidup pasien anak dengan

69

Epilepsi. Informasi umum pada Kepmenkes RI tersebut yang berkaitan dengan informasi obat meliputi :

a. Pilihan obat b. Efikasi

c. Lupa minum obat d. Efek samping e. Kepatuhan f. Interaksi obat

Faktor akseptabilitas OAE sangat menentukan kepatuhan berobat. Selain itu, ketersediaan obat secara konsisten dan kontinu juga menjamin keberhasilan terapi (bukti peringkat 3, derajat rekomendasi C). Manfaat pemberian OAE setelah first unprovoked seizures tampaknya hanya mengurangi kejang dalam waktu singkat, tetapi tidak mempengaruhi angka kekambuhan jangka panjang (peringkat bukti 1, derajat rekomendasi A). Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia, dan semua jenis kejang, beberapa uji klinik acak menunjukkan bahwa karbamazepin, asam

70

valproat, klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif sebagai OAE, namun penelitian tersebut tidak dapat membuktikan perbedaan yang bermakna antara obat-obat tersebut dalam hal efikasi obat-obat tersebut (peringkat bukti klinis 1, derajat rekomendasi A).

Selain efikasi, efek samping OAE pun harus dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum memilih OAE.

Berdasarkan Kepmenkes tersebut, dinyatakkan bahwa OAE tertentu juga dapat menyebabkan eksaserbasi kejang pada beberapa sindrom epilepsi (Tabel 4.1) (peringkat bukti 3, derajat rekomendasi C). Kejadian efek samping Valproat pada pasien anak relatif lebih tinggi dibandingkan kejadian tersebut pada dewasa, namun tetap lebih aman dibandingkan OAE lainnya.

Pedoman Nasional berupa Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus pada Anak telah ditetapkan pada tahun 2016 oleh Unit Kerja Koordinasi Neurologi – Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pasien dengan Status Epileptikus harus segera dirujuk ke RS;

namun apabila orang tua atau pengasuh pasien anak telah mendapatkan resep Diazepam supositoria/ enema, dapat segera diberikan sebelum pasien anak dibawa ke RS.

71

Tabel 4.1 Obat antiepilepsi yang dapat memperburuk sindrom epilepsi atau tipe kejang tertentu Obat antiepilepsi Sindrom epilepsi/tipe

kejang Karbamazepin, vigabatrin,

tiagabin, fenitoin

childhood absence epilepsy,

juvenile absence epilepsy, juvenile myoclonic

epilepsy

Vigabatrin absans dan status absans Klonazepam status epileptikus tonik

umum pada

sindrom Lennox-Gastaut

Lamotrigin sindrom Dravet

juvenile myoclonic epilepsy

Pemberiannya maksimum 2 kali dalam waktu 0 – 10 menit pertama kejang, kemudian pasien anak harus segera dirujuk ke RS. Apoteker berperan dalam penghitungan penyesuaian dosis dan edukasi cara penggunaan supositoria Algoritme Penatalaksanaan Status Epileptikus tercantum pada Gambar 4.1.

72

Gambar 4.1 Algoritme Penatalaksanaan Status Epileptikus pada Anak (IDAI, 2016)

73

4.2. Hambatan dan Solusi dalam Pelayanan Kefarmasian Klinis Obat Anti Epilepsi

Hambatan utama pengobatan Epilepsi adalah berkaitan dengan sifat penyakit Epilepsi yang kronis, serta kriteria untuk menyatakan sembuh dan tidak memerlukan terapi obat lagi apabila telah 10 tahun bebas kejang, dengan 5 tahun terakhir telah dinyatakan dapat berhenti minum obat oleh dokter. Anak yang menderita Epilepsi tentu tidak dapat memahami mengapa dirinya harus sakit dan meminum obat selama bertahun-tahun, dan setelah bebas kejang pun harus tetap meminum obatnya, serta mengalami efek samping obat. Keluarga pasien anak Epilepsi pun dituntut untuk sabar dan telaten merawat anak tersebut.

Stigma negatif masyarakat terhadap pasien Epilepsi makin memperburuk kondisi ini, sehingga masalah utama pada terapi Epilepsi adalah rendahnya kesepahaman (concordance) dan ketaatan (adherence) terhadap penatalaksanaan Epilepsi. Komunikasi aktif antara pasien, orang tua, dan tenaga kesehatan diperlukan agar tercapai kesepahaman mengenai penyakit dan pengobatannya. Apabila orang tua pasien

74

atau pengasuh anak telah memiliki kesamaan pandang dengan tenaga kesehatan – bahwa peningkatan kualitas hidup anak adalah menjadi tujuan utama pengobatan, maka orang tua dan pengasuhnya akan lebih mudah mentaati aturan pakai obat dan saran dari tenaga kesehatan.

4.3. Pelayanan Farmasi Klinis pada Pasien Epilepsi

Potensi ketidaktepatan dosis obat yang seharusnya diberikan, akan berisiko toksisitas mengingat Fenitoin dan Valproat memiliki indeks terapi sempit dengan profil farmakokinetika non linear. Solusi bagi masalah ini yang utama adalah merancang terapi obat secara individual bagi pasien anak maupun pasien dewasa. Apabila diperlukan penyesuaian dosis Valproat, prinsipnya adalah sama dengan pada Fenitoin.

Seacara umum, penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan tiga strategi, yaitu menyesuaikan :

1. dosis obat,

75

2. selang waktu (interval) pemberian obat,

3. kombinasi dari penyesuaian dosis dengan penyesuaian selang waktu pemberian obat.

Penurunan dosis OAE dilakukan secara bertahap (tapering off) untuk mencegah timbulnya status epileptikus. Kecepatan penurunan dosis dipengaruhi oleh jenis OAE. Fenitoin dan Asam Valproat dapat diturunkan dosisnya dalam beberapa hari, sampai kemudian dihentikan penggunaannya. Penghentian mendadak golongan barbiturat merupakan penyebab tersering timbulnya status epileptikus.

Apabila pasien mendapatkan monoterapi, maka OAE diturunkan dosisnya dalam 4 – 6 minggu. Jika digunakan dua jenis OAE, penurunan dosis obat pertama dilakukan selama 4 – 6 minggu, lalu penurunan dosis dihentikan selama beberapa bulan, kemudian obat kedua diturunkan dosisnya dengan cara yang sama.

76

4.4. Pelayanan Farmasi Klinis untuk Meningkatkan Kepatuhan Obat

Telah dilakukan penelitian eksperimental untuk mengukur pengaruh pemberian edukasi lisan dan tertulis menggunakan media informasi selebaran (leaflet) terhadap kepatuhan pemberian obat Epilepsi tunggal, yaitu Valproat oleh orang tua atau pengasuh kepada anak usia 6 – 12 tahun dengan Epilepsi di salah satu rumah sakit di Denpasar. Orang tua dan pengasuh dengan tingkat kepatuhan pemberian obat kepada pasien anak yang rendah dan sedang mendapatkan edukasi dalam kunjungan ke rumah.

Obat Epilepsi yang diresepkan oleh dokter Spesialis Anak adalah monoterapi Asam Valproat atau Natrium Valproat. Edukasi lisan dan tertulis diberikan seminggu sekali selama 8 minggu; pengukuran tingkat kepatuhan dengan metode pill counts dan self report dilaksanakan setiap minggu selama 8 minggu.

Pengukuran pill counts dilakukan oleh peneliti pada saat kunjungan ke rumah orang tua atau pengasuh dan memberikan obat kepada pasien anak, sedangkan self

77

report merupakan laporan tertulis yang diisi oleh orang tua atau pengasuh setiap kali habis memberikan obat kepada pasien anak. Pada penelitian ini tidak terdapat kelompok kontrol, karena informasi dan edukasi mengenai pemberian obat sangat penting, sehingga tidak etis apabila tidak diberikan kepada orang tua atau pengasuh pasien anak.

Hasil penelitian ini adalah terdapat kesesuaian antara hasil pill count dan self report, namun pada minggu pertama dan kedua terdapat beberapa orang tua atau pengsuh yang kesulitan memberikan dosis obat minum dalam bentuk sediaan cair secara tepat volumenya. Terdapat peningkatan kepatuhan pemberian obat Epilepsi oleh pengasuh, secara bermakna sampai akhir penelitian, dengan tingkat kepatuhan tertinggi dicapai pada minggu ketiga. Hal tersebut merupakan salah satu solusi bagi pasien anak dengan Epilepsi dan keluarganya. Edukasi lisan berpotensi segera dilupakan, sedangkan edukasi tertulis dapat dijadikan alat bantu untuk mengingatkan kembali informasi penting yang harus ditaati dalam memberikan obat kepada pasien anak.

78

Kesulitan yang dihadapi oleh orang tua dan pengasuh anak dalam memberikan obat adalah pasien anak menolak meminum obat Epilepsi. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya ketidakpatuhan pemberian obat yaitu antara lain, anak seringkali memuntahkan dosis obat yang diberikan tanpa sepengetahuan pengasuh; anak tidak suka dengan rasa obat yang diberikan oleh pengasuh; dan anak bosan meminum obat tersebut secara terus menerus dalam jangka waktu panjang.

Pasien anak yang tidak patuh meminum obat Epilepsi pada penelitian ini, ternyata tidak mengalami gangguan kejang atau serangan akut. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh karena masih terdapat kadar Valproat yang tersisa di dalam tubuh pasien anak, mengingat obat tersebut telah diberikan secara berulang selama beberapa waktu.

Tingkat pendidikan orang tua atau pengasuh yang terbanyak adalah lulus SMA. Seluruhnya telah mendapatkan informasi mengenai pemberian obat Asam / Natrium Valproat dari dokter, namun baru kali ini mendapatkan pendampingan saat memberikan obat di rumah. Penelitian ini membuktikan pentingnya kolaborasi antara apoteker dan dokter dalam memastikan pemberian obat Epilepsi pada pasien anak yang secara umum masih bergantung kepada orang tua atau

79

pengasuhnya dalam mengkonsumsi obat dalam jangka panjang.

Masalah terkait penggunaan obat epilepsi pada pasien dewasa mirip dengan masalah pada pasien anak.

Pada saat mengalami serangan epilepsi, pasien dewasa pun tergantung kepada bantuan orang lain untuk memberikan obat yang tepat pada saat yang tepat, dan dengan dosis/ takaran obat yang tepat. Risiko terjadi serangan epilepsi dapat dikurangi, dengan cara memberikan pengetahuan tentang manfaat penggunaan obat secara teratur dan sesuai anjuran dokter untuk mencegah serangan epilepsi, menumbuhkan kasadaran terhadap kualitas kesehatan pasien anak/ dewasa penderita epilepsi, serta menjaga kepatuhan terhadap pengobatan, waktu kontrol ke dokter, dan menghindari kondisi pemicu serangan ulang epilepsi. Hal ini sebaiknya ditunjang dengan pembuatan dokumentasi seluruh proses perawatan pasien epilepsi, yang harus dibawa setiap kali berobat.

80 4.5. Rangkuman

Pelayanan Farmasi Klinis pada pasien epilepsi harus disesuaikan dengan karakteristik khas masing- masing individu. Pasien epilepsi anak maupun dewasa memerlukan bantuan orang lain disekelilingnya, pada saat terkena serangan epilepsi, oleh karena itu penting untuk menjaga kepatuhan terhadap pengobatan, waktu control ke dokter, dan menghindari kondisi yang dapat memicu serangan ulang. Upaya lain adalah dengan pembuatan dokumentasi yang lengkap dan terinci bagi setiap pasien epilepsi.

81

DAFTAR PUSTAKA

1. Ben-Menachem, E., Bourgeois, B., Cnaan, A., Chadwick, D., Guerreiro, C., Kalviainen R., Mattson, R., Perucca, E., Tomson, T., 2006. International League Against Epilepsy ILAE Treatment Guideline : Evidence-based Analysis of Antiepileptic Drug Efficacy and Effectiveness as Initial Monotherapy for Epileptic Seizures and Syndromes, Epilepsia,

47(7):1094-1120. Diakses dari

http://www.ilae.org/101111/j.1528-1167/pdf, pada tanggal 22 April 2018.

2. Febriansiswanti, N.M.D., (Suwarba, I.G.N.M., Purnamayanti, A.), 2018. Pengaruh Pemberian Edukasi kepada Pengasuh Terhadap Tingkat Kepatuhan Pemberian Obat Anti Epilepsi Pada Anak dengan Epilepsi. Surabaya : Universitas Surabaya.

Tesis. Repository.

3. Fischer, R.S., Avecedo, C., Arzimanouglou, A., Bogacz, A., Cross, H., Elger, C.E., Elger J.r, J., Forsgren, L., French, J.A., Glynn, M., Hesdorffer, D.C., Lee, B.I., Mathern, G.W., Mosche, S.L., Perucca, E., Scheffer, I.E., Tomson, T., Watanabe, M., Wiebe, S., 2014.A Practical Clinical Definition of Epilepsy, Epilepsia 55(4):475-482. Diakses dari

82

http://www.ilae.org/10.111.epi.12250/pdf, pada tangga; 22 April 2018.

4. Fischer, R.S., Saul, M., 2017. The 2017 ILAE Classification of Seizures. Stanford Epilepsy Center.

Epilepsia, 58(4):1-9. Diakses dari http://www.ilae.org/ClassificationSeizures/ILAE201 7/Public.pptx.pada tanggal 22 April 2018.

5. Falco-Water, J.J., Bleck, T., 2016. Treatment of Establish Status Epilepticus. J. Clin. Med., 5, 49:1-8.

Diakses dari http://www.mdpi.com/journal/jcm, pada tanggal 22 April 2018.

6. Glauzer, T., Ben-Menachem, E., Bourgeois, B., Cnaan, A., Guerreiro, C., Kalviainen, R., Mattson, R., French, J.A., Perucca, E., Tomson, T., 2013.

Updated ILAE Evidence Review of Antiepileptic Drug Efficacy and Effectiveness as Initial Monotherapy for Epileptic Seizures and Syndromes, Epilepsia, **(*):1-13. Diakses dari http://www.ilae.org/101111/j.1528-1167/pdf, pada tanggal 21 April 2018.

7. Harden, C.L., Meador, K.J., Pennell, P.B., Hauser, A., Gronseth, G.S., French, J.A., Wiebe, S., Thurman, D., Koppel, B.S., Kaplan, P.W., Robinson, J.N., Hopp, J., Ting, T.Y., Gidal, B., Hovinga, C.A., Wilner, A.N., Vazquez, B., Holmes,

83

L., Krumholz, A., Finnell, A., Hirtz, D., Le Guen, C., 2009. Management issues for women with epilepsy—Focus on pregnancy (an evidence-based review): II. Teratogenesis and perinatal outcomes, Epilepsia, 50(5):1237–1246. Diakses dari http://www.ilae.org/10.1111/j.1528/1167.2009.02129 .x

8. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus.Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

9. International League Against Epilepsy, 2014. The 2014 Definition of Epilepsy : A Perspective for Patients and Caregivers. Epilepsia, 55(4): . Diakses dari http://www.ilae.org/

10. Modi, A.C., Rausch, J.R., Glauser, T.A., 2011.Patterns of Non Adherence to Antiepileptic Drug Therapy In Children with Newly Diagnosed Epilepsy. JAMA, 305(16):1669-1676. Diakses dari http://www.neurology.org/content/pdf, pada tanggal 26 Desember 2016.

11. Parfati, N., (Sjamsiah, S., Fasich, Sjahrir, M.I.), 1989. Analisis Farmakokinetika : Ikatan Fenitoin – Protein Plasma. Surabaya : Universitas Airlangga.

Tesis. Repository.

84

12. Scheffer, I.E., Berkovic, S., Capovilla, G., Conolly, M.B., French, J., Guilloto, L., Hirsch, E., Jain, S., Mathern, GW., Mosche, S.L., Nordli, D.R., Perucca, E., Tomson, T., Wiebe, S., Zhang, Y-H., Zuberi, S.M., 2017. International League Against Epilepsy Classification of the Epilepsies : Position Paper of the ILAE Comission on the Classification and Terminology. Epilepsia, 58 (4), 1-10. Diakses dari http://www.ilae.org/Scheffer/pptx. pada tanggal 22 April 2018.

13. Sidiq, B., Herini, E.S., Wibowo, T., 2013. Prognostic factors of epilepsy in patients with neonatal seizures history. Pediatrica Indonesiana, 54(4):218-222.

Diakses dari http://www.pediatricaindonesiana.org/

285/589/1/SM/pdf, pada tanggal 9 April 2018.

14. Smith, D.M., McGinnis, E.L., Walleigh, D.J., Abend, D.S., 2016. Management of Status Epilepticus in Children. J. Clin. Med, 5, 47. Diakses dari http://www. mdpi.com/jcm/05/00047/v2, pada tanggal 21 April 2018.

15. Sjahrir, M.I., 2010. Drug Treatment in Epilepsy.

Materi Ajar Program Studi Magister Ilmu Farmasi, Minat Farmasi Klinis. Tidak dipublikasi.

85

16. Sjahrir, M.I., 2010. Pathophysiology of Epilepsy.

Materi Ajar Program Studi Magister Ilmu Farmasi, Minat Farmasi Klinis. Tidak dipublikasi.

17. Suwarba, I.G.N.M., 2014. Comprehensif Management of Neonatology : Emergency, Cardiology, and Neurology Aspect In Daily Practices. PKP-XVII IKA, p.131-147

18. Suwarba, I.G.N.M., 2011. Insiden dan Karakteristik Klinik Epilepsi pada Anak. Sari Pediatri, 13(2):123- 128

19. Trinka, E., Cock, H., Hesdorfer, D., Rosetti, A.O.,Scheffer, I.E., Shinnar, S., Shorwon, S., Lowenstein, D.H., 2015. A definition and classification of status epilepticus – Report of the ILAE Task Force on Classification of Status Epilepticus. Epilepsia, 56(10):1515–1523. Diakses dari http://www.ilae.org/Trinka_et_al/2015/Epilepsia pada tanggal 21 April 2018.

20. van Dijkman, S., Alvarez-Jimenez, R., Danhof, M., Pasqua, O.D., 2016. Pharmacotherapy in pediatric epilepsy: from trial and error to rational drug and dose selection – a long way to go, Expert Opinion on Drug Metabolism & Toxicology, 12:10:1143-1156.

Diakses dari http://www.tandfonline.com/loi/iemt20

Dokumen terkait