BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
B. Saran
Setelah melihat hasil penelitian ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari skripsi ini dan masih perlu di tindak lanjuti baik oleh penulis sendiri maupun para penulis setelahnya.
Penulis menyarangkan kepada pembaca, para generasi muda, mahasiswa dan pelajar lebih meningkatkan kepedulianya terhadap karya sastra. Selain itu penulis juga menyarankan kepada generasi muda, terutama pelajar dan mahasiswa agar selalu memberikan perhatian terhadap nilai siri’ yang dijunjung tinggi masyarakat Bugis Makassar yang kian lama kian memudar. Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck nilai-nilai siri’ tersebut berkaitan dengan kehidupan sehari hari, mengingat generasi muda saat ini mengalami kemorosotan budaya. Untuk itu, diperlukan pengkajian yang kompleks bukan dari satu sudut pandang saja.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Tajul. 2008. Metode Penelitian. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Ariyani. 2014. Representasi Nilai Siri’ Pada Sosok Zainuddin Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis Framing Novel). Universitas Hasanuddin. Makassar: Ilmu Komunikasi.
Bandrun. 1983. Pengantar Ilmu Sastra. Surabaya: Usaha Nasional.
Departemen pendidikan dan kebudidayaan .2005.Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Hamid, Dkk. 2014.Siri’. Makassar: Arus Timur.
Hamid, Abu, dkk. 2007. Siri’ Dan Pesse Harga Diri Manusia Bugis Makassar Mandar Toraja. Makassar; Pustaka Refleksi.
Hermanto, Winarno. 2012. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hamka. 2009. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Bulan Bintang.
Ibrahim. 2015. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Jusman. 2015. Nilai Budaya Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka. Universitas muhammadiyah. Makassar: Bahasa dan Sastra Idonesia.
Mattulada. 1975. Latoa Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Jakarta: Program Doktor Ilmu Antriopologi Universitas Indonesia.
Rahim, Paelori. 2013. Seluk beluk bahasa dan sastra Indonesia. Surakarta: Romiz Aisy.
Rimang. 2011. Kajian Sastra. Yokyakarta: Aura Pustaka.
Siantang. 2007. Budaya Siri’ Sebagai Aspek Kehidupan Profesional Perempuan Bugis Yang Berprofesi Pelayan Rumah Tangga Di Kelurahan Tidung Makassar. Universitas Negeri Makassar. Pkk.
http://Bugismakassartrip.com/Sirinapaccedalamnilaidanfilsafahhiduporangbugismak assar.html.2016/05/26/NilaidanfilsafahHiduporangBugisMakassar/
http://Diapandora.wordpress.com/2016/06/26/Analisis cara pengarang mendeskripsikan tokoh pada novel 5 cm/
http://warnatio094.blogspot.co.id/2016/06/13tokoh-dan-penokohan-telaah- prosa.html/
http://phianzsotoy.blogspot.co.id/2016/07/28/pendekatan-struktural-dalam- penelitian.html/
Korpus Data
1. Siri’ Sebagai Harga Diri
No Data Halaman
1 Mamak jangan panjang waswas. Pepatah orang Mengkasar sudah cukup: ‘anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang,meskipun bagaimana besar gelombang.
Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang.
19
2 Tapi Zainuddin tidak hendak kembali sebelum maksudnya berhasil, dia hendak memperdalam penyelidikannya dari hal ilmu dunia dan akhirat, supaya kelak dia menjadi seorang yang
berguna.
66
3 Hai Guru Muda! Mana pertahanan kehormatan yang ada pada tiaptiap laki-laki? Tidakkah ada itu pada Guru? Ingatkah Guru Bahwa ayah Guru terbuang dan mati di negeri orang, hanya semata-mata lantaran mempertahankan kehormatan diri?
Tidakkah dua aliran darah yang panas ada dalam diri Guru, darah Minangkabau dari jihat ayah, darah Mengkasar dari jihat ibu?
148
4 “Sukankah Encik saya tolong?”
“apakah gerangan pertolangan tuan itu?”
“Berangkat Encik lebih dahulu pulang ke batipuh , marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar akan pulang , pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga.”
“Terimakasih”! jawab Hayati.
“Dan tuan sendiri bagaimana?” jawab hayati pula, sedang temanya seorang lagi menekur-nekur saja kemalu-maluan.
“Itu tdk usah Encik susahkan, orang laki-laki semuanya gampang baginya, pukul 7 atau pukul 8 malam pun saya sanggup pulang, kalau hujan ini tak teduh juga, brangkatlah dahulu”.
27
5 Angan-angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari. Sebab dinegri Mengkasar sendiri saya
dipandang orang Padang, bukan asli Bugis atau Mengkasar.
Sebab itu disana saya rasa senantiasa dalam kesepian.
37
6 Bokongkku sendiri tidak mengakui saya anak pisangnya, sebab rupaya ayahkku tak mempunyai saudara yang karib. Mereka bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan oleh budi bahasa, tetapi oleh uang; sekali lagi Hayati, oleh uang!
38
7 Ayahku telah mati, dan ibuku demikian pula.bakoku tidak mengakui aku keluarganya. Di Mengkasar hanya tinggal seorang ibu angkat. Dalam pergaulan, saya disisihkan orang, saya tak hendak membunuh diri, karena masih ada pergantungan iman dengan Yang Maha kuasa dan Gaib, bahwa di balik kesukaran ada menunggu kemudahan. Didalam khayalku dan didalam kegelapagulitaan malam, tersimbahlah awan, carilah cerahlah langit dan kelihatanlah satu bintang satu bintang , bintang dari pengharapan untuk menunjukkan jalan. Bintang itu…ialah: kau Hayati!
38
8 Tidak berapa jauh jaraknya Batipuh dengan kota Padang Panjang, kota yang dingin di kaki Gunung Singgalang itu. Tetapi bagi Zainuddin, dusun itu telah jauh, sebab tak dapat bertemu dengan Hayati lagi. Apalagi budi pekertinya terlalu tinggi, kalau budinya rendah, sejam atau dua jam, tentu dia telah dapat menemui Hayati.
67
9 Zainuddin yang selama ini biasa sabar menerima cobaan, walaupun bagaimana besarnya, sekali ini tak dapat lagi, ibarat bergantang sudah amat penuh, ia berkata dalam hatinya, “Tidak!
Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa!
199
10 Begitulah keadaan Zainuddin yang hidup laksana layang-layang yang tak dapat angin, tak tentu turun naiknya, selalu gundah gulana disebabkan pukulan cinta.
95
11 Berputar laksana perpusaran buaian di pasar keramaian layaknya otak Zainuddin memikirkan nasibnya, napasnya sesak, matanya menjadi gelap. Dia teringat...teringat satu perbuatan yang berbahaya sekali membunuh diri.
103
2. Siri’ Sebagai Keteguhan Hati
No Data Halaman
1 “Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai,” perkataan ini berhujam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu, anak seorang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam pekuburan, bersasak berjerami di dalam negeri Batipuh itu.
Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati, jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tidak akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat.
56
2 Sungguh, jika sekiranya pada masa ini kau bertemu olehku di tengah jalan, dengan tidak mempedulikan kata-kata orang, saya akan menyimpuh di hadapanmu, sebagaimana menyimpuh seorang inang pengasuh di hadapan rajanya. Dan kalau tidak peduli lagi, karena kebencian telah memenuhi hatimu kepadaku, akan saya iringkan engkau sampai ke mana pun, supaya agak sekali kau toleh juga saya ke belakang.
132
3 Malangnya nasibku. Telah rurut bunga hayatku sebelum dia mekar. Tua telah berangsur mendatangiku, padahal umurku masih muda. Seorang diri aku menyeberangi hidup ini sekarang ayahku telah mati, ibuku dan ibu angkatku pun demikian.
Seluruh alam membenciku, hatta daun kayu di dekat rumah, angin pagi yang biasa membawa udara nyaman, tidur yang biasanya mengembalikan kekuatan manusia, semuanya meninggalkan daku. Tiba-tiba kau, yang hanya satu tempatku bergantung, telah hilang pula dariku! Ke mana saya mesti pergi lagi, tunjukkanlah, walaupun ke pintu kubur kau tunjukkan, saya pun akan pergi.
132
4 Guru telah jatuh sehina selemah ini seakan-akan ditusukkannya sebilah keris yang tajam ke ujung jantung Guru, sehingga kalau bukan kasian Allah, binasa Guru dibuatnya.
147
5 Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati dua bulan lamaku, memperlihatkan kepadaku bahwa tangan kau telah berinai, bahwa kau telah kepunyaan orang lain.
197
6 “Telah langsung pernikahan orang itu” Mendengar perkataan itu lemah sendi Zainuddin, lampu dinding yang terpegang
ditanganya hampir terlepas. Dia masuk kembali kedalam kekamarnya, duduk menghadapi meja kecilnya, sambil
melepaskan air mata yang tak tertahan, dua patah perkataan yang dapat melepaskan segala perasaan hati, keluarlah dari
mulutnya,..”Ah, nasib!”
141
7 .... Terasa malu yang sebesar-besarnya, terasa perasaan yang mesti tersimpan dalam hati tiap-tiap manusia, bahwa dia tidak mau dihinakan. Minangkabau negeri beradat, seakan-akan di sana saja adat yang ada di dunia ini, di negeri lain tidak....
114
8 Siapakah di antara kita yang kejam, hai perempuan muda? Saya kirimkan berpucuk-pucuk surat, meratap, menghinakan diri, memohon dikasihani, sehingga saya yang bagaimanapun hina dipandang orang, wajib juga menjaga kehormatan diri. Tiba-tiba kau balas dengan balasan yang tak tersudu di itik, tak termakan di ayam. Kau katakan bahwa kau miskin, saya pun miskin, hidup tidak akan beruntung kalau tidak dengan uang. Sebab itulah kau pilih hidup yang lebih senang, mentereng, cukup uang berenang di dalam emas, bersayap uang kertas.
197
9 “Tidak Hayati, kau akan sembuh, kita akan kembali ke Surabaya menyampaikan cita-cita kita, akan hidup beruntung, berdua, tidak …hayati...tidak”….Hidupku haya buat kau seorang Hayati.
216
BIOGRAFI PENGARANG
HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir di Molek, meninjau, Sumatra barat, Indonesia pada tanggal 17 februari 1908.
Ayah beliau bernama Syeh Abdul Amrullah (Haji Rasul).
Ketika Hamka berumur sepuluh tahun ayahnya membangun Thawalib Sumatra di Padang Panjang. Di sana Hamka belajar tentang ilmu agama dan bahasa Arab. Di samping belajar ilmu agama pada ayahnya , Hamka juga belajar pada beberapa ahli islam yangterkenal seperti: Syeh Ibrahim Musa, Syeh Ahmad Rasyid, Sutan Mansyur dan Ki Bagus Hadikusumo.
Pada tahun 1927 Hamka menjadi guru agama di Perkebunan Tinggi Medan dan Padang Panjang tahun 1929. Tahun 1957-1958 Hamka sebagai dosen di
Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang Hamka tertarik pada beberapa ilmu pengetahuan seperti: sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Pada tahun 1928 Hamka menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang.
Tahun 1929 beliau membangun “pusat latihan pendakwah Muhammadiyah” dua tahun kemudian menjadi ketua Muhammadiyah di Sumatra Barat dan pada 26juli 1957 beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia.
Hamka sudah menulis beberapa buku seperti: Tafsir Al-Azhar (5 jilid) dan novel seperti: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, di bawah Lindungan Ka’bah, merantau ke Deli, di dalam lembah kehidupan dan sebagainya. Hamka memperoleh Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Ashar (1958), doctor Causa dari Universitas Kebangsaan Malasyia (1974) dan pada 24 juli 1981 Hamka meninggal dunia.
SINOPSIS
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka
Novel ini menceritakan tentang kisah cinta yang tidak sampai karena terhalang oleh adat yang sangat kuat. Zainuddin adalah seorang pemuda dari perkawinan campuran Minangkabau dam Makassar, ayahnya Zainuddin yang berketurunan Minangkabau mengalami masa pembuangan ke Makassar dan kawin dengan ibu Zainuddin yang berketurunan asli Makassar, mempunyai seorang kekasih asal Batipu bernama Hayati, namun hubungan mereka harus berakhir karena adat, karena berdasarkan sebuah rapat, ibu Zainuddin tidak dianggap sebagai manusia penuh.
Akhirnya Hayati menikah dengan seorang pemuda bangsawan asli Minangkabau bernama Azis. Mendengarkan pernikahan itu Zainuddin jatuh sakit, akan tetapi berkat dorongan semangat dari muluk sahabatnya yang paling setia, kondisi Zainuddin berangsur-ansur baik dan pada akhirnya Zainuddin menjadi
seorang pengarang yang sangat terkenal dan tinggal di Surabaya. Di Surabaya inilah Zainuddin bertemu dengan Hayati yang diantar oleh suaminya sendiri Azis, untuk dititipkan kepadanya, kemudian Azis mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Ketika Azis dan Hayati jatuh miskin, mereka bertemu di rumah Zainuddin.
Mereka dijamu dengan baik oleh Zainuddin meskipun Hayati telah membuatnya jatuh sakit karena stress.