• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saran

Dalam dokumen PROGRAM PASCASARJANA (Halaman 52-134)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Saran dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Diharapkan pengkajian yang terkait penggunaan pemarkah –nya

yang bersifat anaforis dan kataforis dapat dilakukan peneliti yang

lain pada novel yang lain sehingga memperkaya refrensi

pembelajaran khususnya terkait pemarkah –nya yang bersifat anaforis dan kataforis.

2. Penelitian terkait pemarkah –nya yang lain dapat dilakukan peneliti dalam novel yang sama yaitu novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck untuk lebih mengenal lagi bagaimana gaya penulisan pengarangnya.

3. Hasil penelitian ini bisa dijadikan salah satu refrensi pembelajaran

Bahasa Indonesia khususnya pada penggunaan pemarkah –nya

anaforis dan kataforis.

Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Sutra Kabupaten Pesisir Selatan.

Semarang : IKIP Semarang Press.

Barsia, Ida. 2008. Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Bandung: Remaja Karya.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Referensi Merupakan Hubungan Antara Kata dan Benda. Jakarta : Pustaka Bahasa.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2004. Referensi Personal Merupakan Pronomina yang Dipakai untuk Mengacu pada Orang. Jakarta : Pustaka Bahasa.

Elizabeth. 2009. Analisis Kontarif Pemarkah Lokatif “di” dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : J. B. Wolters. Groningen.

Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan.1976. Unsur Kohesi Gramatikal dan Leksikal.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan. 2011. Referensi Personal, Referensi Demonstrasi, Referensi Komparatif. Jakarta : PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan. 2011. Referensi Personal, Referensi Demonstrasi, Referensi Komparatif. Jakarta : PT.

Gramedia Pustaka Utama. (hal 15)

Hankamer dan Sag. 1984. Sesuatu yang Diacu oleh Deikisis Disebut Anteseden Deikhsis Endoforil Sintatilis. Magelang: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Hasman.2011. Pengarang Tidak Terlepas dari Pengguna Gaya Bahasa/Majas. Disertasi IKIP Bandung.

Kridalaksana, Harimukti. 1994. Referensi Demonstratif. Jakarta : PT. Gramedia.

Lyons. 2011. Deiksis Adalah Bentuk Bahasa yang Berfungsi Sebagai

Petunjuk Hal di luar Bahasa. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan

Pustaka.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Balai Pustaka

Ramlan. 2013. Sebuah Pekerjaan Bagi Pendengar (Pembaca) Terlibat Dalam Tindak Tutur. Yogyakarta: Pustaka Bahasa.

Semi, M. Atar. 2012. Karya Sastra Adalah Fenomena Sosial. Bandung:

Angkasa.

Simanjuntak, Dumaria. 2008. Kohesi Sebagai Penyelaras Wacana Kajian terhadap Kumpulan Cerita Pendek Harian Kompas. Magelang:

Indonesia Tera.

Sudaryat, Yayat. 2011. Makna Dalam Wacana. Bandung: CV. Rama Widya.

Sumarlam. 2003. Demonstratif Waktu (Temporal) dan Pranomina Tempat (Lokasional). Yogyakarta: Sinar Harapan.

Sumarlam. 2003. Pengacauan Endoforal dan Pengacauan Eksofora.

Yogyakarta: Sinar Harapan.

Sumarlam. 2003. Referensi Berdasarkan Tempat acuannya dan Tipe Satuan Lingualnya. Yogyakarta: Sinar Harapan.

Wita, Novi. 2012. Pemarkah Kohesi Gramatikal dalam Kumpulan Cerpen

Bintang Kecil di Langit Kilam, Karya Jamal T. Bandung : Yayasan

Indonesia.

RIWAYAT HIDUP

Gusni. Anak dari pasangan Bapak H. Hasse Mappa dan Ibu Hj. Hasnindah ini lahir pada hari Selasa tanggal 11 Juni 1986 di Desa Menge Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo. Dia merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1994, dia memulai menempuh

pendidikannya di MIA 49 Tosora (1994 – 1999). Dia lulus MIA tahun 1999,

kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Majauleng (1999-

2002). Tahun 2002, dia melanjutkan pendidikan di SMA Paria (2005 –

2009). Lulus SMA pada tahun 2009, Dia melanjutkan pendidikannya pada

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP)

Puangrimaggalatung Sengkang, dan lulus pada tahun 2013. Akhir tahun

2013, Dia melanjutkan Pendidikannya kejenjang strata dua (magister),

dengan memilih Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah

Makassar. Dia memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd) dengan

menulis tesis yang berjudul “Penggunaan Pemarkah Anaforis Dan

Kataforis Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”.

Sinopsis Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Karya Hamka

Umur 9 bulan, Zainuddin telah ditinggalkan Daeng Habibah, ibunya.

Kemudian menyusul ayahnya yang bernama Pendekar Sutan. Zainuddin tinggal bersama bujangnya, Mak Base, Kira-kira 30 tahun yang lalu, ayahnya punya perkara dengan Datuk Mantari Labih mamaknya, soal warisan. Dalam suatu pertengkaran Datuk Mantari terbunuh. Pendekar Sutan kemudian dibuang ke Cilacap selama 15 tahun. Setelah selesai masa hukumannya, ia dikirim ke Bugis untuk menumpas pemberontakan yang melawan Belanda. Di sanalah Pendekar Sutan bertemu dengan Daeng Habibah. Untuk mencari keluarga ayahnya, Zainuddin pergi ke desa Batipuh di Padang. Di Padang ia tinggal di rumah saudara ayahnya, Made Jamilah.

Sebagai seorang pemuda yang datang dari Makasar, ia merasa asing di Padang. Apalagi tanggapan saudara-saudaranya demikian.

Demikian pula ketika ia dapat berkenalan dengan Hayati karena meminjamkan payungnya pada gadis itu. Hubungan antara Zainuddin dan Hayati makin hari tersiar ke seluruh dusun dan Zainuddin tetap dianggap orang asing bagi keluarga Hayati maupun orang-orang di Batipuh.

Untuk menjaga nama baik kedua orang muda dan keluarga mereka

masing-masing, Zainuddin disuruh meninggalkan Batipuh oleh mamak

Hayati. Dengan berat hati Zainuddin meninggalkan Batipuh menuju

Padang Panjang. Di tengah jalan Hayati menemuinya dan mengatakan bahwa cintanya hanya untuk Zainuddin.

Zainuddin menerima kabar bahwa Hayati akan pergi ke Padang Panjang untuk melihat pacuan kuda atas undangan sahabat Hayati yang bemama Khadijah. Zainuddin hanya dapat bertemu pandang di tempat itu karena bersama orang banyak ia terusir dari pagar tribun. Pertemuan yang sekejap itu membuat Hayati mendapat ejekan dari Khadijah.

Khadijah sendiri sebenamya bermaksud menjodohkan Hayati dengan Aziz, kakak Khadijah sendiri. Karena merasa cukup mempunyai kekayaan warisan dari orang tuanya setelah Mak Base meninggal,

Zainuddin mengirim surat lamaran pada Hayati. Temyata surat Zainuddin bersamaan dengan lamaran Aziz. Setelah diminta untuk memilih, Hayati memutuskan memilih Aziz sebagai calon suaminya.

Zainuddin kemudian sakit selama dua bulan karena Hayati menolaknya.

Atas bantuan dan nasehat Muluk, anak induk semangnya, Zainuddin dapat merubah pikirannya. Bersama Muluk, Zainuddin pergi ke Jakarta.

Dengan nama samaran “Z”, Zainuddin kemudian berhasil menjadi pengarang yang amat disukai pembacanya. la mendirikan perkumpulan tonil “Andalas”, dan kehidupannya telah berubah menjadi orang terpandang karena pekerjaannya. Zainuddin melanjutkan usahanya di Surabaya dengan mendirikan penerbitan buku-buku.

Karena pekeriaan Aziz dipindahkan ke Surabaya, Hayati pun

mengikuti suaminya. Suatu kali, Hayati mendapat sebuah undangan dari

perkumpulan sandiwara yang dipimpin dan disutradarai oleh Tuan Shabir atau “Z”. Karena ajakan Hayati Aziz bersedia menonton pertunjukkan itu.

Di akhir pertunjukan baru mereka ketahui bahwa Tuan Shabir atau “Z”

adalah Zainuddin.

Hubungan mereka tetap baik, juga hubungan Zainuddin dengan Aziz. Perkembangan selanjutnya Aziz dipecat dari tempatnya bekerja karena hutang yang menumpuk dan harus meninggalkan rumah sewanya karena sudah tiga bulan tidak membayar, bahkan barang-barangnya disita untuk melunasi hutang. Selama Aziz di Surabaya, ia telah menunjukkan sifat-sifatnya yang tidak baik. la sering keluar malam bersama perempuan jalang, berjudi, mabuk-mabukan, serta tak lagi menaruh cinta pada Hayati.

Akibatnya, setelah mereka tidak berumah lagi. Mereka terpaksa menumpang di rumah Zainuddin.

Setelah sebulan tinggal serumah, Aziz pergi ke Banyuwangi meninggalkan isterinya bersama Zainuddin. Sepeninggal Aziz, Zainuddin sendiri pun jarang pulang, kecuali untuk tidur. Suatu ketika Muluk memberitahu pada Hayati bahwa Zainuddin masih mencintainya. Di dalam kamar kerja Zainuddin terdapat gambar Hayati sebagai bukti bahwa Zainuddin masih mencintainya.

Beberapa hari kemudian diperoleh kabar bahwa Aziz telah

menceraikan Hayati. Aziz meminta supaya Hayati hidup bersama

Zainuddin. Dan kemudian datang pula berita dari sebuah surat kabar

bahwa Aziz telah bunuh diri meminum obat tidur di sebuah hotel di

Banyuwangi.

Hayati meminta kesediaan Zainuddin untuk menerimanya sebagai apa saja, asalkan ia dapat bersama-sama serumah dengan Zainuddin.

Permintaan itu tidak diterima baik oleh Zainuddin, ia bahkan amat marah dan tersinggung karena lamarannya dulu pemah ditolak Hayati, dan sekarang Hayati ingin menjadi isterinya. la tidak dapat menerima periakuan Hayati.

Dengan kapal Van Der Wijck, Hayati pulang atas biaya Zainuddin.

Namun Zainuddin kemudian berpikir lagi bahwa ia sebenamya tidak dapat hidup bahagia tanpa Hayati. Oleh sebab itulah setelah keberangkatan Hayati ia berniat menyusul Hayati untuk dijadikan isterinya. Zainuddin kemudian menyusul naik kereta api malam ke Jakarta.

Harapan Zainuddin temyata tak tercapai. Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hayati tenggelam di perairan dekat Tuban. Hayati tak dapat diselamatkan. Karena luka-luka di kepala dan di kakinya akhimya ia meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Surabaya.

Sepeninggal Hayati, kehidupan Zainuddin menjadi sunyi dan

kesehatannya tidak terjaga. Akhimya pengarang terkenal itu meninggal

dunia. Ia dimakamkan di sisi makam Hayati.

Lampiran

Tabel 1. Korpus Data Penggunaan Pemarkah –nya Pada NOVEL Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

NO DATA HALAMAN

1

Matahari telah hampir masuk ke dalam peraduannya (data 1).

Dengan amat pelahan, menurutkan perintah dari alam gaib, ia berangsur turun, turun ke dasar lautan yang tidak kelihatan ranah tanah tepinya (data 2). Cahaya merah telah mulai terbentang di ufuk Barat, dan bayangannya (data 3) tampak mengindahkan wajah lautan yang tenang tak berombak.

1

2 Konon kabarnya (data 4), kalau ada orang yang akan mati hanyut atau mati terbunuh, kedengaranlah pekik dan ribut-ribut tengah malam di dalam kapal yang telah rusak itu !

1, 2

3 Di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Mengkasar, yang salah satu jendelanya (data 5) menghadap ke laut. Di sanalah seorang anak muda yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang dirinya (data 6) menghadapkan mukanya (data 7) ke laut.

Meskipun matanya (data 8) terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan keindahan alam di lautan Mengkasar, rupanya pikirannya (data 9) telah melayang jauh sekali, ke balik yang tak nampak di mata, dari lautan dunia pindah ke lautan khayal.

2

4 Ia teringat pesan ayahnya (data 10) tatkala beliau akan menutup mata, ia teringat itu, meskipun dia masih lupa-lupa ingat. Ayahnya (data 11) berpesan bahwa negerinya (data 12) yang asli bukanlah Mengkasar, tetapi jauh di seberang lautan, yang lebih indah lagi dari negeri yang didiaminya (data 13) sekarang. Di sanalah pendam pekuburan nenek moyangnya (data 14); di sanalah sasap jeraminya (data 15).

Jauh ... kata ayahnya (data 16), jauh benar negeri itu, jauh di balik lautan yang lebar, subur dan nyaman tanamannya (data 17).

Ayahnya (data 18) berkata, jika Mengkasar ada Gunung Lompo Batang dan Bawa Kara Eng, di kampungnya (data 19) pun ada dua gunung yang bertuah pula; ialah gunung Merapi dan Singgalang. Di gunung Merapi ada talang perindu, di Singgalang ada naga hitam di dalam telaga di puncaknya (data 20). Jika disebut orang keindahan Bantimurung di Maros, di negerinya (data 21) ada pula air mancur yang lebih tinggi. Masih terasa-rasa di pikirannya (data 22) keindahan lagu "Serantih" yang kerap kali dilagukan ayahnya (data 23) tengah malam. Ia tak tahu benar apakah isi lagu itu, tetapi rayuannya (data 24) sangat melekat dalam hatinya (data 25). Ada pantun-pantun ayahnya (data 26) yang telah hapal olehnya (data 27) lantaran dinyanyikan dengan nyanyi Serantih yang merdu itu

2, 3

5 Dia dinamai ayahnya (data 28) Zainuddin. Sejak kecilnya (data 29) telah dirundung oleh kemalangan'... Untuk mengetahui siapa dia, kita harus kembali kepada suatu kejadian di suatu negeri kecil dalam wilayah Batipuh X Koto (Padang Panjang) kira-kira 30 tahun yang lalu.

4

6 Seorang anak muda bergelar Pandekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah Pandekar Sutan kepala waris yang tunggal dari harta peninggalan ibunya (data 30), karena dia tak

4, 5

bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya (data 31) seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan, yang akan menjagai harta benda, sawah yang berjenjang, bandar buatan, lumbung berpereng, rumah nan gadang. Setelah meninggal dunia ibunya (data 32), maka yang akan mengurus harta benda hanya tinggal ia berdua dengan mamaknya (data 33), Datuk Mantari Labih. Mamaknya (data 34) itu, usahkan menukuk dan menambah, hanya pandai menghabiskan saja. Harta benda, beberapa tumpak sawah, dan sebuah gong pusaka telah tergadai ke tangan orang lain. Kalau Pandekar Sutan mencoba hendak menjual atau menggadai pula, selalu dapat bantahan, selalu tidak semupakat dengan mamaknya (data 35) itu. Sampai dia berkata: "Daripada engkau menghabiskan harta itu, lebih baik engkau hilang dari negeri, saya lebih suka."

Darah muda masih mengalir dalam badannya (data 36). Dia hendak kawin, hendak berumah tangga, hendak melawan lagak kawan-kawan sesama gedang. Tetapi selalu dapat halangan dari mamaknya (data 37), sebab segala penghasilan sawah dan ladang diangkutnya (data 38) ke rumah anaknya (data 39).

Beberapa kali dia mencoba meminta supaya dia diizinkan menggadai, bukan saja mamaknya yang menghalangi, bahkan pihak kemenakan-kemenakan yang jauh, terutama pihak yang perempuan sangat menghalangi, sebab harta itu sudah mesti jatuh ke tanggn mereka, menurut hukum adat: "Nan sehasta, nan sejengkal, dan setampok, sebuah jari."

7 Pandekar Sutan bersikeras hendak menggadaikan setumpak sawah, untuk belanjanya (data 40) beristeri, karena sudah besar dan dewasa belum juga dipanjat "ijab kabul" Mamaknya (data 41) meradang dan berkata: "Kalau akan berbini mesti lebih dahulu menghabiskan harta tua, tentu habis segenap sawah di Minangkabau ini. Inilah anak muda yang tidak ada malu, selalu hendak menggadai, hendak mengagun

5

8 "Apa? ... Engkau katakan saya zalim?" kata Datuk Mantari Labih sambil melompat ke muka, dan menyentak kerisnya, tiba sekali di hadapan Pandekar Sutan. Malang akan timbul, sebelum dia sempat mempermainkan keris, pisau belati Pandekar Sutan telah lebih dahulu tertancap di lambung kirinya (data 42), mengenai jantungnya (data 43).

5

9 Beberapa orang mendekati Pandekar Sutan, tetapi mana yang mendekati, mana yang rebah.Sebab gelar Pandekar itu didapatnya (data 44) dengan "keputusan", bukan sembarang gelar saja.

6

10 Ketika Landraad bersidang di Padang Panjang, Pandekar Sutan mengaku terus terang atas kesalahannya (data 45), dia dibuang 15 tahun

6

11 Pandekar Sutan hanya seorang yang bertabiat lemah lembut, lunak hati. Kalau bukan karena lunaknya (data 46) tidaklah akan selama itu dia menahan hati menghadapi kekerasan mamaknya (data 47). Tetapi, tangan yang terdorong bermula, dan pergaulan di dalam penjara yang bersabung nyawa, yang keselamatan diri bergantung kepada keberanian, memaksa dia melawan bunyi hati kecilnya (data 48), dia menjadi seorang yang gagah berani, disegani oleh orang-orang rantai yang lain. Di samping itu, dia seorang yang setia kepada kawan, pendiam, pemenung. Diam

7

dan menungnya (data 49) pun menambah ketakutan orang-orang yang telah kenal kepadanya (data 50). (Hamka. 2014: 6, 7) 12 .Dia telah menyaksikan sendiri kejatuhan Bone, dia menyaksikan

sendiri seketika kerajaan Goa takluk dan menyaksikan pula kapal Zeven Provincien menembakkan meriamnya (data 51) di pelabuhan Pare-Pare.

7

13 Kebetulan di dalam penjara dia telah dapat bergaul dengan seorang asal Madura, yang telah lebih 40 tahun di dalam penjara, bernama Kismo, buangan seumur hidup. Rambutnya (data 52) telah putih, tetapi meskipun demikian lama dia dalam penjara dan telah banyak negeri yang didatanginya (data 53), belum pernah dia melupakan jalan kesucian, rupanya dia banyak menaruh ilmu bathin. Kepadanya (data 54) Pandekar Sutan banyak berguru.

Setelah dipotong 3 tahun, habislah hukuman dijalankannya (data 55) seketika dia berada di Mengkasar. Kalau dia mau tentu dia akan dikirim ke Minangkabau, tanah tumpah darahnya (data 56).

Tetapi dia lebih suka tinggal di Mengkasar. Meskipun hatinya amat ingin dan telah teragak hendak pulang, ditahannya (data 57), dilulurnya (data 58) air matanya (data 59), biarlah negeri Padang "dihitamkan" buat selama-lamanya.

7

14 Tidak, dia tidak hendak pulang, meskipun hatinya (data 60) meratap teragak pulang. Bukan sedikit hari 12 tahun, entahlah gedang pohon kelapa yang ditanamkan di muka halaman ibu, entah telah bersisit keris. Dia mesti hilang, mesti larat karena kehilangannya (data 61) seorang, belum sebagai kepecahan telur ayam sebuah bagi orang di kampung. Sebab itu tinggallah dia di Mengkasar beberapa tahun lamanya, bermacam-macam usaha telah dicarinya (data 62), untuk mencukupkan bekal hidup sesuap pagi sesuap petang. Dia tinggal menumpang di rumah Seorang Tua, keturunan bangsa Melayu yang mula-mula membawa agama Islam ke Mengkasar kira-kira 400 tahun yang lalu. Budi pekerti Pandekar Sutan amat menarik hatinya (data 63), kelakuannya (data 64), keberaniannya (data 65), dan kadang-kadang pandai berdukun, semuanya menimbulkan sukanya. Sehingga akhirnya dia diambil menjadi menantu, dikawinkan dengan anaknya (data 66) yang masih perawan, Daeng Habibah.

8

15 "Terangkanlah, mak, terangkanlah kembali riwayat lama itu, sangat inginku hendak mendengarnya (data 67)," ujar Zainuddin kepada Mak Base, orang tua yang telah bertahun-tahun mengasuhnya (data 68) itu. Meskipun sudah berulang-ulang dia menceriterakan hal yang lama-lama itu kepada Zainuddin, dia belum juga puas. Tetapi kepuasannya (data 69) kelihatan bilamana dia duduk menghadapi tempat sirihnya (data 70), bercengkerama dengan Zainuddin menerangkan hal-ikhwal yang telah lama terjadi. Menerangkan ceritera itulah rupanya kesukaan hatinya. "Ketika itu engkau masih amat kecil," katanya (data 71) memulai hikayatnya (data 72), "engkau masih merangkak-rangkak di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu memasukkan obat ke dalam mulutnya (data 73). Nafasnya sesak turun naik, dan hatinya rupanya sangat duka cita akan meninggalkan dunia yang fana ini. Ayahmu menangkupkan kepalanya (data 74) ke bantal dekat tempat tidur ibumu

9

15 Tiba-tiba ibumu menggamitkan tangannya (data 75) kepadaku, aku pun mendekat. Kepalaku diraihnya (data 76) dan dibisikkannya (data 77) ke telingaku - sebab suaranya (data 78)

9

telah lama hilang berkata: "Mana Udin, Base!" Digamitnya pula ayahmu, ayahmu yang matanya (data 79) telah balut itu pun mendekat pula. Dia berbisik ke telinga ayahmu: "Jaga Zainuddin, Daeng."

16 "Dua titik air mata yang panas mengalir di pipi ibumu, engkau ditengoknya juga tenang-tenang. Setelah air matanya (data 80) diseka ayahmu, maka dia mengisyaratkan tangannya (data 81) menyuruh membawa engkau agar jauh dari padanya (data 82), agar tenang hatinya (data 83) menghadapi sekaratil maut. Tidak berapa saat kemudian, ibumu pun hilanglah, kembali ke alam baqa, menemui Tuhannya (data 84), setelah berbulan-bulan berjuang menghadapi maut, karena enggan meninggalkan dunia sebab engkau masih kecil."

10

17 Bingung sangat ayahmu sepeninggal ibumu. Sekarang kudrat Allah merampas ibumu dari tangannya (data 85). Hampir dia jadi gila memikirkan nasib yang menimpa dirinya (data 86). Kerap kali dia termenung seorang, kerap dia pergi berziarah di waktu matahari hendak turun ke kuburan ibumu di Kampung Jera. Yang lebih menyedihkan hatiku lagi, ialah bilamana air matanya (data 87) titik dan engkau sedang dalam pangkuannya (data 88) dia mengeluh: 'Ah, Udin! Sekecil ini engkau sudah menanggung!.

Karena mamakmu ini sudah bertahun-tahun tinggal menjadi orang gajiannya (data 89), tetapi kemudian telah dipandangnya (data 90) saudara kandung, telah berat hati mamak hendak meninggalkan rumah ini.

11

18 Dia keluar dari penjara, nenekmu Daeng Manippi menyambutnya (data 91), dan dikawinkan dengan ibumu. Ibumulah yang telah melunakkan kekerasan ayahmu, ibumulah yang telah mengajarnya (data 92) menghadapkan muka ke qiblat, meminta ampun kepada Tuhan atas segenap kesalahan dan dosanya (data 93).

12

19 Dia adalah bangsawan turunan tinggi, turunan Datuk ri Pandang dan Datuk ri Tirro, yang mula-mula menanam dasar keislaman di Jumpandang ini. Dan dia pun bangsawan budi, walaupun ibumu tak pernah bersekolah. Perkawinannya (data 94) dengan ayahmu tidak disetujui oleh segenap keluarga, sehingga nenekmu Daeng Manippi dibenci orang, dan perkawinan ini memutuskan pertalian keluarga. Mamak masih tetap tinggal dalam rumah ini mengasuhmu, dan ayahmu berjalan ke mana-mana, kadang- kadang menjadi guru pencak Padang yang masyhur itu, kadang- kadang berdukun, dan paling akhir dia suka sekali mengajarkan ilmu agama. Pakaiannya berobah benar dari semasa dia keluar dari bui. Dia tak pernah memakai destar lagi, melainkan memakai kupiah Padang yang amat disukainya (data 95), bersarung, berpakaian cara "orang siak" di Padang katanya (data 96).

12

20 Benar apa yang dikatakannya (data 97), bahwa hidupnya hanya dengan hati yang separo saja. Pernah juga dia menerima surat dari Padang, dari keluarganya (data 98) menyuruh pulang saja ke kampung. Karena dia seorang beradab, gelar pusaka Datuk Mantari Labih tidak ada yang akan memakai. Di Minangkabau orang merasa malu kalau dia belum beristeri orang kampungnya (data 99) sendiri. Berbini di rantau orang artinya hilang. Demi, setelah terdengar oleh mereka bahwa ibumu telah mati, bertubi- tubi pula datang surat menyuruh pulang. Kepada mamak kerap kali diterangkannya (data 100), bahwa hatinya rasa diiris dengan

13

sembilu teragak pulang, seakan-akan kelihatan olehnya (data 101) pelabuhan Teluk Bayur, Gunung Merapi yang hijau kelihatan dari laut. Tetapi hatinya (data 102) tidak sampai hendak meninggalkan pusara ibumu, pusara gurunya (data 103), katanya (data 104). Dia tidak pula mau hendak membawamu ke Padang, karena hati keluarga belum dapat diketahui, entah suka menerima anak pisang orang Mengkasar, entah tidak. Karena kabarnya adat di sana berlain sangat dengan adat di Mengkasar ini. Kerap kali dia menengadahkan matanya (data 105) ke langit sambil membuaikan engkau di waktu engkau kecil. Dibuaikannya (data 106) dengan lagu "Buai Anak" cara Serantih, yang meskipun mamak tak pandai bahasa Padang, bulu roma mamak sendiri berdiri mendengarnya (data 107). "Hanya dua untuk mengobat- obat hati, Base," katanya (data 108) kepada mamak. "Pertama membaca Al-Quran tengah malam, kedua membuaikan si Udin dengan nyanyian negeri sendiri, negeri Padang yang kucinta 21 Amat indah negeri Padang, Base, pelabuhannya (data 109) terliku

bikinan Tuhan sendiri, di tengah-tengah tampak pulau Pandan, hijau dilamun alun, yaitu di balik Pulau Angsa Dua.

14

22 Rupanya kudrat Ilahi tidak mengizinkan ayahmu menunggumu sampai besar. Karena di waktu engkau sedang cepat bermain, di waktu sedang enak mengecap nikmat kecintaan ayah dan kecintaan ibu, terkumpul ke dirimu dari ayahmu seorang, ayahmu meninggal dunia. Meninggalnya (data 110) seakan-akan terbang ke langit saja, dengan tidak tersangka-sangka. Pada suatu malam, petang Kamis malam Jum'at, sedang dia duduk di atas tikar sembahyangnya (data 111), bertekun sebagai kebiasaannya (data 112), meminta taubat dari segenap dosa, dia meninggal.

Ketika itu engkau telah pandai menangis dan bersedih, engkau meratap memanggil-manggil dia. Rupanya beberapa bulan sebelum mati sudah ada juga gerak dalam hatinya (data 113) bahwa dia takkan lama hidup lagi. Sehingga dia pemah berkata:

"Kalau saya mati pula, bagaimana Zainuddin, Base?", "Saya yang akan mengasuhnya (data 114), Daeng," jawabku.

14

23 Pada suatu hari, mamak dipanggil dan diserahkannya (data 115) serencengan anak kunci seraya berkata: "Mulai sekarang engkaulah yang berkuasa di sini, Base. Kunci ini engkau yang memegang. Kunci putih ini, ialah kunci almari. Sebuah peti kecil ada dalam almari itu. Peti itu tak boleh engkau buka, kecuali kalau saya mati." Petaruhnya (data 116) itu mamak pegang baik-baik dan teguh.

15

24 Setelah itu Base pergi ke dalam, maksudnya (data 117) ialah hendak membuka peti itu. Tapi bukanya (data 118) tidak sembarang buka rupanya. Dia seorang perempuan tua yang penuh takhyul, sebelum dibuka dibakarnya (data 119) dahulu kemenyan, bercampur dengan setanggi Mengkasar. Setelah dibukanya (data 120), dikembangkannya (data 121) beberapa helai wang kertas di muka Zainuddin. Zainuddin heran, karena wang itu tidak seribu lagi, tetapi sudah hampir dua ribu rupiah

15

25 "Balasnya (data 122) hanya satu, bacakan surat Yasin tiap-tiap malam Jum'at kalau mamak meninggal dunia pula." Zainuddin mendekat kepada orang tua itu, diciumnya (data 123)

"Perempuan yang bahagia, moga-moga Allah melindungimu!"

katanya (data 124).

16

Dalam dokumen PROGRAM PASCASARJANA (Halaman 52-134)

Dokumen terkait