• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ney (Seruling Buluh)

D. Simbolisme Atribut dan Gerakan dalam Tari Sema 1. Ajaran Sufi Jalaluddin Rumi

6) Ney (Seruling Buluh)

Merupakan alat musik tradisional yang terbuat dari kayu dan memiliki suara yang dapat menggetarkan jiwa seseorang yang mendengarkannya. Kedudukan ney yang selain menonjol karena digunakan oleh para pengiring tari sema, namun fakta dari ney adalah instrumen arketip (berpola dasar) dan pada kenyataannya, ney merupakan instrumen kuno dan paling tradisional sehingga lebih dimuliakan. Ney dengan kemerduannya yang khas dan lingkungan dimana ia sering dimainkan dengan tujuan membangkitkan dimensi transenden. Suara ney sering dilengkapi dengan pantulan (echo) alami atau buatan yang membawa pikiran ke alam yang luas, kemudian memberikan instrumen yang mudah pecah di dimensi kosmik, dan selanjutnya melambangkan kondisi manusia yang terombang-ambing diantara martabat rendah dan tinggi.76 b. Gerakan dalam Tari Sema

Tari sema merupakan tarian cinta, tarian yang dapat membawa seorang darwis menuju puncak (ekstase) kecintaannya terhadap Tuhan. Rumi mengajak manusia ke kehidupan cinta, himbauan yang terbuka. Secara luas dan terinci Rumi melukiskan sebuah keindahan cinta sebagai berikut:

“Sungguh, cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh,

76 Leonard Lewisohn, Warisan Sufi abad Pertengahan 1150-1500, terj. Ade Alimah dkk, (Depok: Pustaka Sufi, 2003), 484.

penjara menjadi telaga, derita beralih nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat.”

“Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurleburkan batu karang, membangkitkan yang ,mati dan meniupkan kehidupan kepadanya, serta membuat budak menjadi pemimpin.”

“cinta adalah sayap yang sanggup menerbangkan manusia yang membawa beban berat ke angkasa raya, an dari kedalaman mengangkatnya ke ketinggian, dari bumi ke bintang Thuraiiya.”

“bila cinta ini berjalan di atas gununng yang tegar, maka gunungpun bergoyang-goyang dan berlenggang dengan riang.”

Puisi diatas sama maksudnya dengan ayat Allah dalam surat al-A‟raf ayat 143 sebagai berikut:





















































































Artinya: “dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat- Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan Diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."77

Dalam ayat diatas dapat dipahami bahwa yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah.

Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.

Rumi benyak membuat puisi-puisi tentang cinta atau disebut dengan Ghazal pada saat melakukan tarian sema ini. Kata-kata yang terucap secara spontan karena kerinduan terhadap Tuhannya dan terhadap sahabat yang telah menjadi separuh nafasnya dalam mendalami ilmu. Syamsuddin tabriz merupakan guru spiritual Rumi yang sangat ia kagumi.

Gerakan awal dalam tari sema menurut Iqbal, yaitu dimulai dengan posisi badan tegak lurus dengan kedua tangan menyilang

77 Tim Disbintalad, al-Qur‟an Terjamahan Indonesia, (Jakarta Pusat: PT. Sari Agung, 2004), 307.

dan ditempelkan ke dada dengan posisi tangan mencengkeram bahu. Kaki berjajar dengan jempol kaki kanan diatas jempol kaki kiri. Mulailah darwis membungkukkan badan tanda pasrah, bangkit dari sikap ruku‟ melambangkan rasa suka cita darwis karena penyatuan dirinya dengan Tuhan. Seperti tiada rasa sakit dan penderitaan yang sebanding dengan perpisahan terhadap Tuhannya, tidak ada kesenangan dan ekstase yang setara dengan persatuan terhadap Tuhan.

Kemudian kaki kanan ditarik ke belakang lalu berputar melawan arah jarum jam, dengan tumit kaki kiri dijadikan tumpuan dan kaki kanan sebagai pemutarnya.78 Posisi jempol kaki kanan menginjak jempol kaki kiri diibaratkan bahwa jempol kaki kiri adalah nafsu, nafsu keduniawian yang terkadang menyesatkan manusia, maka diinjak oleh jempol kaki kanan yang melambangkan sifat spiritual. Kemudian kaki kanan ditarik kebelakang dan mulai berputar perlahan, Setelah itu para darwis berputar secara perlahan, posisi tangan yang mencengkeram bahu diturunkan sampai ke bawah pusar dan perlahan diangkat ke atas dan merentang berbentuk horizontal.79 Proses awal tangan mencengkeram bahu kemudian diturunkan sampai ke bawah pusar dengan simbol love, melambangkan sifat keduniawian, kemudian diangkat sampai ke dada melambangkan pengangkatan sifat keduniawian kepada sifat spiritual. Perlahan kedua tangan mulai naik ke atas berbentuk horizontal laksana mawar merekah tanda suka cita seorang darwis yang mulai mencercap kenikmatan Tuhan melalui tangan kanan yang menengadah ke atas,

78 Iqbal M. Ambara, Rumi Sang Sufi Humanis, (Yogyakarta: Lukita, 2010), 87.

79 Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Kencana Group, 2011), 338.

melambangkan rahmat yang diperolehnya kemudian ditebarkan keseluruh alam dengan tangan kiri yang menghadap ke bawah.

Kebahagiaan tersebut semakin tinggi hingga seorang darwis mengalami ekstase atau puncak kecintaan terhadap Tuhannya, sehingga tanpa ada persiapan sebelumnya, seseorang dapat menciptakan puisi-puisi indah tentang cinta, tentang keindahan dari segala keindahan.

Semakin lama gerakan memutar semakin cepat, selaras dengan ketukan irama yang mengiringinya. Mata-mata mereka nampak sayu, sebagian terpejam. Kepala semakin condong ke pundak kanan dengan melihat tangan kiri. Rok-rok putih yang mereka kenakan semakin mengembang sempurna layaknya payung yang terbuka. Para darwis semakin larut dalam putarannya, sehingga suasana menjadi sakral dan magis.80

Dalam tari sema, putaran tubuh mengibaratkan elektron yang berthawaf mengelilingi intinya yang menuju Maha Kuasa.

Harmonisasi perputaran di alam raya mulai dari sel terkecil hingga sistem solar, dimaknai dengan keberadaan sang pencipta. Karena itulah Rumi menyebut tari sema sebagai simbolisme kosmos, sebuah misteri yang sedang menari dengan menciptakan puisi sebagai berikut:

Setiap atom menari di darat dan udara Sadarilah baik-baik, seperti kita Ia berputar tanpa henti disana

Setiap atom, entah sedih atau bahagia Putaran matahari adalah ekstase

80 Iqbal M. Ambara, Rumi Sang Sufi Humanis, (Yogyakarta: Lukita, 2010), 87.

Yang tak terperikan darinya81

Putaran tubuh ibarat alam raya, seperti planet-planet yang berputar. Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka keatas, lalu ditebarkan keseluruh makhluk yang ada di bumi melalui tangan kiri. Ini menggambarkan cara penyatuan dan penyerahan kepada Tuhan.82

Gerakan tari sema dalam konteks psikologi spiritual Rumi memiliki makna yang amat dalam. Topi seperti batu nisan yang berarti ego yang identik dengan kematian ruhani, persatuan dengan dunia rendah berarti keterpisahan dengan Tuhan. Kedua tangan mencengkeram bahu tanda derita dan kepedihan hati berasal dari ilusi kedirian dan jarak yang memisahkan diri dari diri yang sejati. Ketakutan yang menghantui membuat darwis merasa kecil dan pasrah kepada Tuhan. Badan membungkuk berarti mengingat kemurkaan-Nya menuju rahmat-Nya yang merupakan sumber dari segala sesuatu. Darwis harus melepaskan diri dari ego dan berlutut dihadapan hati, karena derita dan kepedihan hati hanyalah pengiring dari hidupnya ego. Kemudian yang akan tampak dalam hati para darwis adalah suka cita yang tersebunyi dihati mereka yang digambarkan dengan berdiri tegak kembali setelah membungkuk pasrah.83

Dokumen terkait