• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subyek Hukum Hak Asasi Manusia

Dalam dokumen Hukum Hak Asasi Manusia (Halaman 69-75)

INTERNASIONAL

C. Subyek Hukum Hak Asasi Manusia

Siapakah yang menjadi subjek hukum internasional? Suatu subjek hukum adalah sebuah entitas (seorang individu secara fisik, sekelompok orang, sebuah perusahaan atau organisasi) yang memiliki hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada prinsipnya, suatu subjek hukum internasional dapat menerapkan haknya atau mengajukan perkara ke hadapan pengadilan internasional, ia juga dapat mengikatkan dirinya dengan subyek hukum lainnya melalui perjanjian, dan subyek hukum lainnya dapat melakukan kontrol (dalam konteks dan tingkatan tertentu) terhadap bagaimana sebuah subyek hukum melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya. N egara m erupakan fokus utama hukum internasional. Organisasi internasional s eperti PBB dan juga individu dapat menjadi subjek hukum internasional.

Peraturan yang sama juga berlaku bagi hukum hak asasi manusia i nternasional, karena dasar dari hukum hak asasi manusia internasional adalah hukum i nternasional.

(1) Aktor Negara – Pemangku Kewajiban

Negara merupakan subyek utama hukum internasional dan dengan demikian juga merupakan subyek hukum hak asasi manusia. Definisi negara tidak berubah dan selalu diidentifikasi sama dalam berbagai produk hukum internasional serta mempunyai empat karakteristik yaitu (1) populasi tetap;

(2) wilayah yang tetap; (3) pemerintahan; (4) kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain.

Suatu negara yang menjadi anggota suatu komunitas internasional memperoleh apa yang disebut sebagai international personality. Subyek- subyek hukum tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama secara otomatis.

Hak dan kewajiban internasional melibatkan dan mensyaratkan adanya status sebagai international personality, tetapi mendapatkan status international personality tidak secara otomatis berarti mendapatkan hak dan kewajiban s ecara keseluruhan.

Dalam konteks hak asasi manusia, negara menjadi subyek hukum utama, karena negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, setidaknya untuk waga negaranya masing-masing. Ironisnya, sejarah mencatat pelanggaran hak asasi manusia biasanya justru dilakukan oleh negara, baik s ecara langsung melalui tindakan-tindakan yang termasuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga negaranya atau warga negara lain, maupun secara tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik baik di level n asional maupun internasional yang berdampak pada tidak dipenuhinya atau ditiadakannya hak asasi manusia warga negaranya atau warga negara lain.

Dalam pemahaman umum dalam hukum kebiasaan internasional, sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) jika (1) negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non- derogable rights; atau (2) negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru m elakukan melalui aparat-aparatnya tindak kejahatan internasional (international crimes) atau kejahatan serius (serious crimes) yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang;63 dan atau

63 Di Afrika Selatan, istilah gross violations of human rights dimasukkan dalam tataran konstitusional, untuk “menyetarakan” kejahatan apartheid yang terjadi di Afrika Selatan dengan kej ahatan inter nasional seperti kejahatan genocida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang; sedemikian rupa sehingga dengan meletakkan dan menyatakan elemen-elemen kejahatan genosida, kejah atan terhadap k emanusiaan, dan kejahatan perang sebagai gross violation of human rights dan bukan sebagai extra- ordinary crimes dalam konteks Afrika Selatan pada masa transisi, maka opsi amnesti yang dianggap krusial untuk mencapai rekonsiliasi menjadi dimungkinkan, dan prinsip obligatio erga omnes untuk mengadili para pelaku extra-ordinary crimes dapat dikesampingkan.

negara tersebut gagal atau tidak mau menuntut pertanggungjawaban dari para aparat negara pelaku tindak kejahatan tersebut.

Selain karena power-relations seperti dijelaskan di atas, negara juga merupakan international person yang menjadi pihak dari berbagai perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia, baik yang berupa kovenan, konvensi, statuta, atau bentuk perjanjian lainnya, beserta segala wewenang dan tanggung jawab yang melekat padanya sebagai Negara Pihak dari perjanjian tersebut.

Selain negara, organisasi internasional seperti PBB, NATO, Komisi Eropa, ASEAN, dan lainnya, dalam perkembangan kontemporer hukum internasional juga seringkali dianggap sebagai subyek hukum internasional dan hukum hak asasi manusia internasional, dan diletakkan sebagai aktor negara (state-actors). Hal ini terutama, selain karena alasan bahwa organisasi internasional beranggotakan negara-negara, adalah karena perkembangan d alam hukum hak asasi manusia internasional dengan bermunculannya b erbagai mekanisme hak asasi manusia baik di tingkat internasional maupun regional yang secara politis dan administratif berada di bawah atau dibentuk melalui organisasi internasional tersebut.

Bagi sebuah organisasi internasional, bukan hanya organisasi tersebut yang menjadi subyek hukum internasional, 1) tetapi para anggotanyapun juga menjadi sebyuk hukum internasional. Ini berarti bahwa secara teoritis suatu tindak pelanggaran internasional yang dilakukan oleh negara anggota suatu organisasi internasional dapat menimbulkan pertanggungjawaban bagi organisasi dan negara itu sendiri. Suatu organisasi internasional bertanggungjawab atas tindakan pelanggaran internasional yang dilakukan oleh negara anggota apabila organisasi tersebut menyetujui suatu keputusan yang mengikat negara anggota untuk melakukan tindakan semacam itu, atau organisasi tersebut memberi kewenangan pada negara anggota untuk melakukannya. Ada ketid akjelasan dalam beberapa hal, seperti pembagian tanggungjawab antara organisasi internasional dengan para negara a nggotanya.

Diperlukan analisis lebih lanjut yang mempertimbangkan isi, sifat, dan keadaan tindakan yang dilakukan oleh negara anggota, serta peraturan o rganisasi internasional.

(2) Aktor Non-Negara – Pemangku Kewajiban

Pada awalnya, hukum internasional merupakan hukum antar- negara.

Namun tidak boleh dilupakan, bagaimanapun juga masalah perlindungan hak asasi manusia bukan lagi merupakan objek dari kebijakan negara berdaulat. Oleh karena itu, masalah tersebut harus dipertimbangkan oleh negara dan lembaga internasional lainnya dalam batasan kewenangan lembaga internasional. Tetapi, bahkan kemunculan organisasi antar-negara dan beragam kesatuan yang menyerupai negara (seperti Vatikan, sovereign order, dll), dan gerakan pembebasan nasional telah mengubah “kemurnian”

karakter norma hukum internasional antar-negara. Adalah mungkin untuk

mendefinisikan seseorang atau suatu kesatuan di luar negara yang memiliki hak dan kewajiban yang timbul dari norma hukum internasional sebagai suatu subjek hukum internasional.

Dalam kasus ini, skala subjek hukum internasional menjadi lebih luas.

Sebagai contoh, hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional terbentuk bukan hanya oleh organisasi antar negara saja, tetapi juga oleh organ- organ mereka dan juga pejabat-pejabat yang bertanggungjawab, dan juga oleh sejumlah organisasi ekonomi internasional dan organisasi non- pemerintah.

Walaupun mereka tidak berperan serta secara langsung dalam pembentukan norma hukum internasional dan dalam menjamin p emenuhannya ( walaupun tentu saja mereka dapat berperan serta secara tidak langsung, baik dalam membentuk hukum internasional, seperti Komisi Hukum Internasional atau dalam menjamin penegakan prinsip dan norma hukum internasional, Amnesti Internasional sebagai contohnya), mereka juga tetap memiliki hak dan kewajiban yang secara langsung timbul dari norma hukum internasional walaupun dibatasi oleh ruang lingkup yang ada.

(a) Korporasi Multinasional (Multinational Corporations)

Perkembangan institusi internasional pasca Perang Dunia II sangat luar biasa pesatnya, terutama di bidang yang berkaitan dengan ekonomi.

Perkembangan ini mencakup pembentukan World Bank, IMF, GATT/WTO yang merupakan pengganti bagi kegagalan sewaktu mencoba mendirikan Organisasi Perdagangan Internasional, dan organisasi internasional lainnya serta ide seperti Marshall Plan. Periode yang ini juga mencakup pembentukan PBB dan sejumlah organisasi internasional lainnya dan pengembangan sejumlah perjanjian mengenai hak asasi manusia yang keseluruhannya merupakan suatu paradigma subyek hukum internasional. Di negara- negara asing, sebagian orang berpendapat bahwa perusahaan transnasional juga merupakan subyek hukum internasional, dan dasar utamanya adalah ketentuan dalam Code of Conduct for Transnational Corporations.

Perlu dicatat bahwa perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia terkait erat dengan kebijakan di bidang ekonomi dan politik, k hususnya dalam suatu negara. Dewasa ini, seringkali kebijakan tersebut tidak sepenuhnya dibuat oleh negara, melainkan dibuat bersama atau atas instruksi lembaga dana internasional dan kepentingan investasi perusahaan multinasional, terutama di negara-negara berkembang. Atas dasar inilah, muncul anggapan bahwa kebijakan ekonomi politik yang melanggar atau meniadakan penegakan hak asasi manusia tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga tanggung jawab kekuatan ekonomi politik semacam lembaga dana internasional dan khususnya perusahaan multinasional.

Selain itu, dalam konteks relasi kekuasaan, beberapa perusahaan multinasional dianggap mempunyai “kekuasaan” yang melebihi negara, sehingga mempunyai potensi sebagai pelanggar hak asasi manusia secara

langsung (karena seringkali mereka juga mempunyai kekuatan keamanan setara kekuatan militer), maupun secara tidak langsung melalui kebijakan suatu negara yang mengupayakan kepentingan investasi dari perusahaan multinasional tersebut.

(b) Kelompok Bersenjata

Selain lembaga dana internasional dan perusahaan multinasional, perkembangan hukum humaniter juga memberikan sumbangan pada meluasnya subyek hukum hak asasi manusia internasional. Maraknya konflik baik internasional maupun domestik yang tidak hanya melibatkan aktor negara juga meletakkan aktor-aktor non-negara yang terlibat k onflik bersenjata sebagai subyek dalam hukum hak asasi manusia internasional mengingat potensi mereka sebagai pelindung sekaligus sebagai pelanggar hak asasi manusia.

Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa, misalnya, memberikan pengakuan pada entitas-entitas non-negara ini. Meskipun dinyatakan bahwa pengakuan perlindungan hanya diberikan pada organisasi atau individu yang bertindak atas nama negara atau entitas lain yang diakui sebagai subyek hukum internasional, dalam konteks konflik bersenjata antara suatu negara dengan gerakan pembebasan, kelompok perlawanan yang bersenjata dapat dikategorikan sebagai entitas yang setara dengan negara dan oleh karenanya dianggap sebagai subyek dalam hukum hak asasi manusia internasional karena mereka juga berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.

Gerakan perlawanan atau pembebasan yang bersenjata seperti Tamil Elam, MNLF, atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dianggap sebagai subyek hukum. Pengakuan ini dipertegas dengan dilibatkannya mereka sebagai kelompok secara langsung dalam upaya-upaya dialog perdamaian dengan negara berdaulat yang mereka “gugat”. Dan kenyataan ini oleh banyak ahli hukum internasional berarti secara implisit, kelompok-kelompok bersenjata ini diakui sebagai international personality. Dalam perkembangan lebih lanjut bahkan ada wacana yang lebih ekstrim di mana kelompok-kelompok teroris yang diakui keberadaannya secara internasional juga dianggap memiliki international personality dan oleh karenanya merupakan subyek hukum internasional dan hukum hak asasi manusia internasional.

(c) Individu

Selain itu, mekanisme penegakan hukum hak asasi internasional juga meletakkan individu sebagai subyek hukum, tidak hanya sebagai pemilik hak tapi juga pemikul tanggung jawab, melalui sebuah konsep yang disebut sebagai individual criminal responsibility, serta konsep command responsibility. Kedua konsep ini pertama kali diperkenalkan pada Pangadilan Internasional di Nuremberg dan Tokyo yang mengadili para penjahat Perang Dunia Kedua. Selanjutnya Statuta ICTY (International Criminal Tribunal for former Yugoslavia) memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan

konsep individual criminal responsibility dan command responsibility yang menegaskan mereka yang dianggap bertanggung jawab pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukan tapi juga yang memerintahkan melakukan tindak kejahatan.64 ICTY (International Criminal Tribunal for former Yugoslavia) pula yang memperkenalkan praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan pidana.

(3) Aktor Non-Negara – Pemangku Hak

Selain subyek hukum hak asasi manusia sebagai pemilik wewenang dan tanggung jawab, pemilik hak juga dianggap sebagai subyek dalam hukum hak asasi manusia internasional. Yang termasuk pemilik hak di sini tentu saja adalah individu, dan kelompok-kelompok individu, khususnya yang dikategorikan sebagai kelompok rentan pelanggaran hak asasi manusia.

(a) Individu

Dalam perkembangan wacana mengenai subyek hukum internasional dewasa ini, terdapat kecenderungan untuk bergeser dari hukum internasional yang berorientasi pada negara. Negara-negara telah mulai menciptakan norma-norma yang lebih ditujukan bagi kesatuan dan individu lainnya untuk mengatur pola hubungannya: legal person, termasuk perusahaan pada umumnya, organisasi non-pemerintah internasional, individu- individu yang bertanggungjawab dalam suatu organisasi internasional dan i ndividu itu sendiri. Dan walaupun norma-norma yang bertujuan untuk menegaskan kedudukan hukum dari individu dan legal person, tidak diterapkan secara langsung pada mereka melainkan merupakan sebuah transkripsi yang membutuhkan i mplementasi melalui norma hukum domestik, individu mulai memiliki hubungan langsung dengan hukum internasional.

Level hukum hak asasi manusia internasional sekarang ini dapat dianggap sebagai periode transisi yang mengarah pada suatu ketertiban hukum dunia baru di mana individu akan mengambil peranan yang lebih penting sebagai subjek hak-hak, tanggungjawab dan tugas internasional. Laporan Special Rapporteur di sesi ke empat puluh dari Sub Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Minoritas yang menunjukkan bahwa dari sisi teoritis dan khususnya dari sisi praktis, individu merupakan pemikul hak dan tanggungjawab internasional, bahwa dia memiliki kapasitas prosedural terbatas yang diatur langsung oleh hukum internasional, dan bahwa i ndividu harus dianggap setidaknya sejajar dengan negara sebagai subjek hukum internasional kontemporer.65

Beberapa perjanjian hak asasi manusia memberi kesempatan kepada individu untuk mengajukan pengaduan secara langsung ke hadapan badan- badan internasional,66 beberapa perjanjian lain, seperti Konvensi Genosida

64 Lihat Pasal 2, 3, 4, dan 5 dari Satuta International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY)

65 (E/CN.4/Sub.2/1989/40 of 18 July 1989)

66 Misalnya Protokol Opsional Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, dan Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia.

dan Konvensi tentang Penghapusan dan Hukuman Terhadap Kejahatan Apartheid, menetapkan tanggung jawab individu terhadap para pejabat negara untuk pelaksanaan hak asasi manusia yang dilindungi oleh konvensi-konvensi tersebut, sekaligus menetapkan prosedur di mana tanggung jawab ini dapat diberlakukan secara langsung oleh negara-negara pihak terhadap individu- individu tersebut.

(b) Kelompok Lain

Selain individu, generasi ketiga hak asasi manusia juga memperkenalkan apa yang disebut sebagai hak kelompok, yang pada awalnya hanya bersifat afirmatif terhadap pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya, namun pada perkembangannya juga meliputi hak sipil dan politik karena kedua “jenis” hak tersebut memang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Yang dimaksud sebagai kelompok di sini memang bersifat progresif, mengikuti perkembangan wacana hukum hak asasi manusia internasional. Tetapi setidaknya ada tiga kelompok utama yang diakui sebagai subyek hukum hak asasi manusia internasional, yaitu indigenous people, refugees, dan minorities.

Berbagai perjanjian internasional hak asasi manusia, serta keputusan- keputusan penting pengadilan, juga adanya mekanisme khusus dalam PBB baik yang berupa komite, special rapporteur, working groups, maupun independent experts menguatkan keberadaan tiga kelompok ini sebagai subyek dalam hukum hak asasi manusia internasional.

D. Sumber-Sumber dan Sifat Dasar Hak Asasi Manusia

Dalam dokumen Hukum Hak Asasi Manusia (Halaman 69-75)