BAB I PENDAHULUAN
F. Metode Penelitian
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan ide yang disarankan oleh data.22
Dalam memberikan interpretasi data yang diperoleh, penulis disini menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode analisis deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dimaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.23
Metode ini digunakan untuk menggambarkan konsep sebagaimana adanya agar mendapatkan gambaran yang terkandung dalam konsep tersebut. Metode ini diterapkan pada BAB III yang berupa konsep-konsep pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin tentang kalalah.
b. Metode content analisis merupakan metode analisis ilmiah dimana hasilnya harus menyajikan generalisasi, proses analisisnya
21 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003), h. 45.
22 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian ..., h. 103.
23 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.18
dilakukansecara sistematis, mengarah pada pemberian sumbangan teoritiknya.24
Analisis ini bertumpu pada metode analisis deskriptif. Metode analisis ini diterapkan pada BAB IV
c. Metode Analisis Komparatif adalah metode analisis yang digunakan untuk memperoleh kesimpulan dengan menilai faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi yang diselidiki dan membandingkan dengan faktor-faktor lain.
Metode analisis ini juga diterapkan pada BAB IV guna mengetahui perbedaan antara pemikiran Syahrur dengan para ulama’ klasik.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari 5 bab, yakni: Sebagai media untuk memahami persoalan yang telah dikemukakan secara runut atau sistematis di atas, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang di dalamnya memuat Latar Belakang Masalah, Permasalahan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Telaah Pustaka terhadap penelitian terdahulu, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB II : Menjelaskan tentang kerangka teoritik mengenai kalalah dan istinbath hukum. Di dalamnya akan penulis perjelas persoalan
24 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991), Cet
III, hlm. 77.
tentang pengertian kalalah, landasan hukum, kalalah menurut para ulama’ klasik serta teori istinbath hukum yang berhubungan dengan kalalah.
BAB III : menjelaskan mengenai Pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin tentang kalalah. Dalam bab ini akan dibahas Biografi, perjalanan intelektual dan karya-karya Imam Syafi’i dan Hazairin.
Kemudian membahas pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin tentang kalalah dan metode istinbath hukum yang dipakai Imam Syafi’i dan Hazairin dalam kasus kalalah.
BAB IV : Analisis terhadap Pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin tentang kalalah. Dan di dalamnya akan penulis muat implikasi pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin terhadap Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.
BAB V : Penutup merupakan akhir dari pembahasan penelitian ini yang meliputi Kesimpulan, Saran-saran dan Penutup.
BAB II
KALALAH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM DAN PAYUNG HUKUM
A. Pengertian Kalalah
Kata “kalâlah” adalah bentuk masdar dari kata “kalla” yang secara etimologi berarti letih atau lemah. Kata kalâlah pada asalnya digunakan untuk menunjuk pada sesuatu yang melingkarinya serta tidak berujung ke atas dan ke bawah, seperti kata “iklil” yang berarti mahkota karena ia melingkari kepala.
Seseorang dapat disebut kalâlah manakala ia tidak mempunyai keturunan dan leluhur (anak dan ayah). Kerabat garis sisi disebut kalâlah karena berada di sekelilingnya, bukan di atas atau di bawah.1 Kemudian kata kalâlah digunakan untuk seseorang yang tidak mempunyai ayah dan anak.2
Penggunaan istilah kalâlah bisa untuk pewaris dan ahli waris. Ada pendapat beberapa ahli bahasa tentang pewaris yang kalâlah, yaitu: (1) Orang yang tidak mempunyai anak dan orang tua. (2) Orang yang tidak mempunyai keluarga dan kerabat. (3) Orang yang meninggal. (4) Orang yang tidak mempunyai anak, orang tua dan saudara.3
1 Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid XV, h. 142; Muhammad Rawwâs Qal’ah Jî dan Hâmid Shâdiq Qunaybî, Mu’jâm Lughah al-Fuqahâ’, (Bayrût : Dâr al-Nafs, 1998), h. 50; Muhammad Yûsuf Mûsâ, Al-Tirkah wa al-Mîrâts fî al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Kitâb al-
´Arabî, 1959), h. 201.
2 Al-Âlûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma’ânî, (T.tp: Dâr al-Fikr, t.th), h. 358
3 Ibn al-´Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1998), Jilid II, h. 448.
Ahli waris yang kalâlah adalah saudara seibu dan saudara seayah. Saudara seibu disebut dengan kalâlah ibu dan saudara seayah disebut dengan kalâlah ayah.
Kata “kalalah” dalam al-Qur'an merupakan salah satu ayat paling banyak diperselisihkan oleh para pakar tafsir, sampai-sampai diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab r.a. berkata, “Tiga hal yang jika diperjelas keterangannya oleh Rasul, akan menjadi hal-hal yang lebih kusenangi dari kenikmatan duniawi: kalalah, riba dan kekhalifahan”.
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., disebutkan bahwa Umar berkhutbah di atas mimbar Rasulullah SAW. setelah membaca hamdalah dan memuji Allah, ia berkata:
اَهُمِرْ َتَ َلَزَن َرمَلخإ َّن إَو َلَزَن َمْوَي ,
َءاَي ْ شَأ ِة َسْ َخَ ْنِم َيـِهَو , ِة َطْنِحْلإ ْنِم :
ِ ْيِْع َّشلإَو , ,
ِرْمَّتلإَو ِبْيِبَّزلإَو ,
ِل َسَعْلإَو , َلْقَعْلإ َرَماَخ اَم ُرْمَخْلإَو .
ُتْدِدَو َءاَي ْ شَأ ُةَث َلََثَو . ُساَّنلإ اَ هيَُّأ ,
لمسو هيلع الله لىص ِالله ُلْو ُسَر َّنَأ اَ ْيِْف اَنْيَل إ َدِهَع َن َكَ ِ
, ُ َلَ َ َكَلْلإ ِبإَوْبَأ ْنِم ٌبإَوْبَأَو ,
َبِ رلإ
4
Artinya: “Sesungguhnya telah diturunkan ayat tentang pengharaman khamar (minuman keras) yang terbuat dari lima jenis; biji gandum, gandum, kurma, anggur dan madu. Khamar adalah sesuatu yang menghilangkan kesadaran akal. Dan ada tiga perkara, wahai hadirin sekalian, yang aku ingin sekali Rasulullah saw. mewasiatkan kepada kita yaitu mengenai warisan kakek, kalalah dan perkara-perkara yang masuk dalam kategori riba”.
Dalam riwayat lain juga dinyatakan bahwa Umar seringkali bertanya dengan sungguh-sungguh kepada Rasulullah saw. tentang masalah kalalah ini, sampai-sampai beliau mendorong dada Umar sambil bersabda: “Cukup sudah
4 Abi Al-Husain Muslim Bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburiy, Sahih Muslim, Juz 4, (Beirut Libanon, Dar Ihya’ At-turats Al-Arabi), 1991, h.2322.
bagimu ayat kalalah musim panas yang disebut pada akhir An-Nisa”. (Ayat ke- 12 disebut ayat kalalah musim dingin, dan ayat 176 musim panas). Perbedaan pendapat dimulai dari akar katanya, selanjutnya makna kata itu sendiri dan terakhir, maksud penggalan ayat itu.
Mayoritas pakar bahasa memahami kata kalalah dengan arti yang mati tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak; ada juga yang memahami dalam arti yang mati tanpa meninggalkan ayah saja, ada lagi yang berpendapat yang mati tanpa meninggalkan anak saja, dan masih banyak pendapat lain. Dan ada juga yang berpendapat bahwa kalalah menunjuk kepada ahli waris, selain kedua ibu bapak dan anak.
B. Dasar Hukum Kalalah 1. Al-Qur’an
Qs. An-Nisa: 12
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri- isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)5. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.6
An-Nisa’: 176
5 Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
6 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung: CV Diponegoro), 2010, h.78- 79
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)7. Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.8
2. Hadis
ينْب يلِ حظْفَّللاَو َّنََّ ثحمْلا حنْب حدَّمَحمَُو ُّييمَّدَقحمْلا ٍرْكَب يبَِأ حنْب حدَّمَحمُ اَنَ ثَّدَح َّنََّ ثحمْلا
يبَِأ ينْب ييلِاَس ْنَع حةَداَتَ ق اَنَ ثَّدَح ٌماَشيه اَنَ ثَّدَح ٍدييعَس حنْب َيََْيَ اَنَ ثَّدَح َلِاَق َرَكَذَف ٍةَعححجُ َمْوَ ي َبَطَخ يباَّطَْلْا َنْب َرَمحع َّنَأ َةَحْلَط يبَِأ ينْب َناَدْعَم ْنَع يدْعَْلْا َلَع حهَّللا ىَّلَص يهَّللا َّيبَِن اًئْيَش ييدْعَ ب حعَدَأ َلِ ينِّيإ َلاَق َّحثُ ٍرْكَب اَبَأ َرَكَذَو َمَّلَسَو يهْي
يفِ َمَّلَسَو يهْيَلَع حهَّللا ىَّلَص يهَّللا َلوحسَر حتْعَجاَر اَم يةَل َلََكْلا ْنيم ييدْنيع َّمَهَأ
7 Kalalah Ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak
8 Departemen Agama RI, al-Qur’an ..., h.106
ٍءْيَش يفِ يلِ َظَلْغَأ اَمَو يةَل َلََكْلا يفِ حهحتْعَجاَر اَم ٍءْيَش َّتََّح يهييف يلِ َظَلْغَأ اَم
ير يخآ يفِ يتَِّلا يفْيَّصلا حةَيآ َكييفْكَت َلَِأ حرَمحع اَي َلاَقَو ييرْدَص يفِ يهيعَبْصيإيب َنَعَط َنآْرحقْلا حأَرْقَ ي ْنَم اَيبِ ييضْقَ ي ٍةَّييضَقيب اَهييف يضْقَأ ْشيعَأ ْنيإ ينِّيإَو يءاَسينلا يةَروحس حأَرْقَ ي َلِ ْنَمَو َةَّيَلحع حنْبا حلييعَْسْيإ اَنَ ثَّدَح َةَبْيَش يبَِأ حنْب يرْكَب وحبَأ اَنَ ثَّدَح و َنآْرحقْلا
َمييهاَرْ بيإ حنْب حقَحْسيإَو ٍبْرَح حنْب حرْ يَهحز اَنَ ثَّدَح و ح َةَبوحرَع يبَِأ ينْب يدييعَس ْنَع يك َةَبْعحش ْنَع ٍراَّوَس ينْب َةَباَبَش ْنَع ٍعيفاَر حنْباَو حهَوَْنَ يداَنْسيْلْا اَذَيبِ َةَداَتَ ق ْنَع اَحهُ َلَ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Bakar Al Muqaddami dan Muhammad bin Mutsanna dan ini adalah lafadz Ibnu Mutsanna, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Hisyam telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Salim bin Abu Al Ja'd dari Ma'dan bin Abu Thalhah bahwa Umar bin Khatthab berkhutbah pada hari Jum'at, kemudian dia menyanjung Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakar, lalu dia berkata, "Sesungguhnya saya tidak akan meninggalkan sesuatu yang menurutku lebih penting daripada kalalah. Saya tidak pernah mengulang-ulang konsultasi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang sesuatu yang melebihi konsultasiku kepadanya tentang kalalah, beliau juga tidak pernah bersikap keras terhadap suatu hal melebihi sikap kerasnya kepadaku dalam masalah kalalah, sampai- sampai beliau menekankan jari-jarinya ke dadaku sambil bersabda:
"Wahai Umar, belum cukupkah bagimu ayat shaif yang terdapat pada akhir dari surat An Nisaa'? Seandainya saya masih hidup, maka saya akan menetapkan masalah kalalah dengan suatu ketetapan yang diputuskan oleh orang yang membaca Al Qur'an dan orang yang tidak membaca Al Qur'an." Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ulayyah dari Sa'id bin Abu 'Arubah. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim dan Ibnu Rafi' dari
Syababah bin Sawwar dari Syu'bah keduanya dari Qatadah dengan isnad ini, seperti hadits tersebut”.9
C. Konsep Kewarisan Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin 1. Konsep Hukum Waris menurut Imam Syafi'i
Konsep kewarisan menurut Imam Syafi'i sama dengan ulama Sunni, yang pembagiannya sebagai berikut:
Jika dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan kepada:10
a. Dzu Al-Fara'id
Dzu al-fara'id adalah ahli waris yang mendapatkan bagian waris yang telah ditentukan dan dalam keadaan ditentukan pula secara pasti oleh al-Qur'an, al-Sunnah, dan Ijma‘. Adapun bagiannya dalam al-Qur'an adalah: ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3.1111 Kata "al-fara'id" adalah fail dari
"farada" yang bermakna kewajiban, kemudian dikonotasikan pada faridatan surat al-Nisa' ayat 11. Menurut al-Qur'an surat al-Nisa' ayat 11, 12, dan 176 adalah ahli waris yang mendapat saham tertentu berjumlah (9) sembilan orang, sedangkan yang lainnya menurut jumhur ulama' merupakan tambahan dari hasil ijtihad, seperti kata "walad" berkonotasi
9 HR. Muslim No. 3032
10 Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 68
11 Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 68-69.
(Musa bin ‘Imran, al-Bayan fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, Juz IX., h. 33)
pada cucu, "abun" dan "ummun" kepada kakek dan nenek. Perinciannya sebagai berikut:
1) Surat al-Nisa' ayat 11, adalah ahli waris itu adalah anak perempuan, ayah, dan ibu.
2) Surat al-Nisa' ayat 12, ahli waris itu adalah suami, istri, saudara laki- laki seibu dan saudara perempuan seibu.
3) Surah al-Nisa' ayat 176, ahli waris itu adalah saudara perempuan sekandung dan seayah.12
Dzu al-fara'id secara keseluruhan terdiri dari sepuluh ahli waris, yang digolongkan dalam ashab al-nasabiyah (kelompok orang yang berdasarkan nasab), yaitu; ibu, nenek, anak perempuan, bintu al-ibni (cucu perempuan dari anak laki-laki), saudara perempuan (kandung dan seayah), walad al-umm (saudara laki-laki dan perempuan seibu), ayah bersama anak laki-laki atau ibnu al-ibni (cucu laki-laki dari anak laki- laki), kakek sahih (ayahnya ayah) dan ashab al-furud al-sababiyah (kelompok orang yang menjadi ahli waris sebab perkawinan), yaitu;
suami dan istri.13 b. Ashabah
12 Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, h.104
13 Musa bin ‘Imran al-‘Imrani, al-Bayan fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, Juz IX., h. 33
Ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak kerena menguatkan dan melindungi atau kelompok yang kuat, sebagaimana kata ‘usbatun dalam surat Yusuf ayat 14. Menurut istilah fuqoha' mengartikan ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian dalam al-Qur'an dan al-Sunnah dengan tegas. Kalangan ulama fara'id lebih masyhur dengan mengartikan orang yang menguasai harta waris kerena ia menjadi ahli waris tunggal. ‘Ashabah mewarisi harta secara
‘usubah (menghabiskan sisa bagian) tanpa ditentukan secara pasti bagiannya, tergantung pada sisa setelah dibagikan kepada dzu al- Fara’id.14
Menurut Musa bin ‘Imran al-‘Imrani, ‘Ashabah dalam madzhab Syafi'i berdasarkan surat al-Nisa' ayat 33, yaitu
…
Artinya: “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, …”. (QS. An-Nisa [4]: 33)
Dalam ayat tersebut, "wa likulli ja'alna mawaliya mimma taraka al- walidani wa al-aqrabuna", yang mana al-'aqrabuna diartikan ahli
‘ashabah.15
14 M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al- Sunnah, alih bahasa M. Basalamah, h. 60-61.
15 Musa bin ‘Imran al-‘Imrani, al-Bayan fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, Juz IX, h.63.
Pengertian lain 'ahli ‘ashabah adalah mereka yang tali hubungan kerabatnya dengan yang meninggal tidak bersambung dengan jenis perempuan, baik itu bersambungan langsung tanpa kerabat sela ataupun disambungkan dengan kerabat seorang, dua orang, dan seterusnya.16
‘Ashabah menjadi tiga bagian:
Pertama, ‘Ashabah bi al-Nafsi, yaitu semua orang laki-laki yang pertalian nasabnya kepada pewaris tidak terselingi oleh perempuan.
Bagian mereka ditentukan oleh kedekatannya kepada pewaris, tanpa memerlukan orang lain agar dapat mewarisi secara ‘ushbah. Mereka adalah:
1) Far’un waris muzakkar, yaitu anak turun dari garis laki-laki sampai ke bawah,
2) Ayah, kakek dan seterusnya ke atas,
3) Para saudara laki-laki pewaris sebagai keluarga dekat baik seayah dan sekandung termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki.
Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk sebab mereka termasuk 'ashab al-furud,
4) Arah paman, mencangkup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya
16 Achmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindah dan Hak Milik atas Harta Tinggalan, h.91-92.
Kedua, ‘Ashabah bi al-ghairi; mereka adalah ahli waris zu al faraid perempuan yang tergandeng dengan laki-laki yang menjadi mu‘assib-nya.
Mereka terdiri dari :
1) Anak perempuan sahihah (kandung) sendirian atau berbilang apabila ada anak laki-laki sahih,
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki, satu atau lebih apabila ada cucu laki-laki satu atau lebih,
3) Saudara perempuan sahihah satu atau lebih apabila ada saudara laki- lakinya yang sahih, atau anak laki-laki pamannya, juga kakek dalam situasi tertentu, dan
4) Saudara perempuan seayah satu atau lebih bila bersamaan saudara laki-laki sebapak, atau kakek dalam situasi tertentu.
Ketiga; ‘Ashabah ma‘al al-gair; mereka adalah seorang saudara perempuan sahihah atau lebih dan saudara perempuan sebapak, mereka mewarisi bersama sebab adanya anak perempuan atau cucu perempuan dari garis laki-laki. Kedua saudara perempuan tersebut mengambil sisa bagian setelah anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki mengambil bagiannya berdasarkan zu al-fara'id.17
Berbeda dengan zu al-fara'id, ‘Ashabah bagiannya tidak ditentukan semula. Mereka mendapat waris dalam tiga keadaan sebagai berikut:
17 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah. Jilid XIV , h. 283
1) Bila tidak ada zu al-fara'id dan yang ada hanyalah ‘Ashabah maka harta peninggalan si mayyit semuanya jatuh kepada ‘Ashabah.
2) Bila ada zu al-fara'id dan juga ada ‘Ashabah, maka sisa kecil dari harta peninggalan jatuh kepada ‘Ashabah.
3) Bila ada zu al-fara'id dan juga ada ‘Ashabah, sedangkan harta
peninggalan si mayyit semuanya habis di bagikan kepada zu al-fara'id, maka ‘Ashabah tidak mendapat bagian lagi.18
Dengan demikian ‘ashabah adalah sisa kecil dari harta peninggalan si mayyit dan ini berdasarkan pada sabda Nabi saw. yaitu dari Ibnu Abbas menurut riwayat Bukhari sebagaimana dalam bab dua, oleh Imam Syafi'i sendiri, istilah 'aula rajulin zakarin' tidak terbatas kepada lelaki saja tetapi juga meliputi perempuan, demikian juga pengertian ‘Ashabah tidak terbatas kepada laki-laki saja tetapi termasuk perempuan.19
Al-Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, dalam bahasa Arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'.
Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanyarahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafaz
18 Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 110.
19 Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 111.
rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupu ndalam istilah syariat Islam.20
Al-Arham memiliki arti luas yang diambil dari lafad 'arham dalam surat al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6. 21 Secara umum zu al-Arham mencangkup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, baik mereka golongan 'ashab al-furud, ‘Ashabah, maupun golongan yang lain. Tetapi ulama sunni termasuk imam Syafi‘i mengkhususkan kepada para ahli waris selain 'ashab al-Furud dan
‘Ashabah baik laki-laki maupun perempuan dan baik seorang maupun berbilang, selain suami dan istri.22
Dalam menyelesaikan pembagian warisan kepada zu al-Arham, para imam mujtahid berbeda pendapat, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat. Dalam hal ini ada dua golongan, sementara Zaid bin Tsabit r.a., Ibnu Abbas r.a., imam Malik, dan imam Syafi'i termasuk golongan yang berpendapat bahwa zu al- Arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashab al-furud atau
‘Ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada bait al-mal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam
20 M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al- Sunnah, h. 144
21 Husain bin ‘ali al-Baihaqi, Ma'rifah al-Sunan wa al-asar 'an Imam Muhammad bin Idris al- Syafi‘i, Jilid V, h. 78-79. Al-Syafi'i, Ahkam al-Qur'an, 108.
22 Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 351.
pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada zu al-Arham.23
Mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, terbagi menjadi tiga kelompok pendapat di kalangan fuqaha', yaitu:
Menurut 'ahl al-Rahmi, ’ahl al-Qarabah, dan ’ahl al-Tanzil. Iman Syafi'i termasuk salah satu golongan 'ahl al-Tanzil, dan pengikut lainnya adalah mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki. Golongan ini disebut ’ahl al-Tanzil dikarenakanmereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli warisnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari
‘ashab al-Furud juga para ‘Ashabah-nya, dan dengan mengembalikan kepada pokoknya itu lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris dan jauh lebih utama bahkan lebih berhak.24
Zu al-Arham terbagi empat kelompok:
1) Keturunan dari si mayyit selain dari zu al-fara'id dan’Ashabah, yaitu:
anak-anak dari anak perempuan dan keturunan mereka, anak-anak dari anak perempuan dari anak laki-laki,
23 M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al- Sunnah, h. 145-146
24 M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al- Sunnah, h. 151-152