• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kajian Teori

4. Ta’widh

Bank atau BMT.

(b). Akad pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.

(c). Akad harus bebas dari riba.

(d). Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.

(e). Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya pembelian dilakukan secara hutang.

risiko-risiko tersebut.

Di dalam menghadapi risiko nasabah yang wanprestasi atau kelalaian nasabah yang dengan menunda-nunda pembayaran, salah satu bentuk perlindungan yang ditawarkan dalam Syariah Islam adalah adanya mekanisme ta’widh (pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar. Adapun pengertian ta’widh menurut fatwa DSN- MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh adalah menutup kerugian rill yang diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan bukan kerugian yang akan diperkirakan akan terjadi karena adanya peluang yang hilang.39

Kerugian rill (fixed cost) adalah kerugian yang yang sudah dialami pihak kreditur bukan yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al- furshah al-adha-i’ah) dan pengenaan biaya ta’widh tidak boleh dicantumkan diawal akad atau kontrak.

Konsep ta’widh yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional diharapkan menjadi salah satu cara untuk mencegah kerugian-kerugian yang dialami oleh Lembaga Keyangan Syariah selaku kreditur. Ini juga sebagai kompetitif terhadap Bank Konvensional yang menerapkan Bungan dengan mengambil konsep kehilangan kesempatan time value of money apabil nasabah tersebut terlambat melunasi kewajibannya.

Namun, hal ini berbeda dengan Lembaga Keuangan Syariah yang menawarkan prinsip bebas bunga dan riba. Namun perlu penjelasan lebih lanjut mengenai pengaplikasian Fatwa DSN-MUI No.43/DSN- MUI/VIII/2004 tentang ta’widh yang diharapkan mampu memberikan

39 Nadia Ananda Elsanti, “Penerapan ta’widh pada pemegang syariah card”, Jurnal Hukum, Vol.4 No.

2 (Desember, 2017), 148.

efek jera kepada nasabah karena menunda nunda pembayaran.

b. Landasan Hukum Ta’widh

Dalam melaksanakan Hukum Ta’widh ada beberapa landasan hukum atas berlakunya hukum Ta’widh tersebut, yaitu:

(1) Al-Qur’an

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.

Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya “ (QS.Al- Maidah [5]:1)

Dari surat al-Maidah ayat 1 sudah sangat jelas bahwa apabila seseorang melakukan suatu perjanjian atau kontrak maka seluruh pihak diharuskan memenuhi segala hak dan kewajibannya satu sama lain.

Sehingga setiap yang berhutang harus membayar hutangnya. Ganti rugi dalam hukum Islam lebih menitik beratkan tanggung jawab para pihak dalam melaksanakan suatu akad perikatan. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban sebagai mana dicantumkan pada perjanjian awal, maka sudah pasti akan menimbulkan kerugikan bagi pihak lain.

(2) Al-Hadist

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’laa dari Ma’mar dari Hammam bin Munabbih, saudaranya Wahb bin Munabbih bahwa dia mendengar Abu Hurairah radiallahu’anhu berkata: “Menunda pembayaran hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman (HR. Bukhari)

Dari al-Syarid, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

“Menunda pembayaran utang oleh orang yang mampu, akan berdampak pada kehormatan dan menyebabkan sanksi untuknya.”

(HR.Ibnu Majah)40 (3) Bank Indonesia

Mengenai hal diatas Bank Indonesia mengeluarkan aturan

40 Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, terj. dari Shahih Sunan Ibnu Majah oleh Ahmad Taufiq Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 413

mengenai mengenai pemberian biaya ganti rugi. Aturan mengenai pemberian biaya ganti rugi. Aturan tersebut tertuang dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Pasal 19 tentang Ketentuan Ganti Rugi.

Berikut adalah isi dari ketentuan tersebut41:

(a). Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta‟widh) hanya atas kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan mengakibatkan kerugian pada bank.

(b). Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/ al furshah al-dha- i‟ah).

(c). Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada akad ijarah dan akad yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna‟, serta murabahah, yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai.

(d). Ganti rugi dalam akad mudharabah dan musyarakah, hanya boleh dikenakan bank sebagai shahibul maal apabila bagian keuntungan bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib.

(e). Klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam

41 “Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005”,

https://www.bi.go.id/id/peraturan/perbankan/Documents/5381fcc4facf429e9 330ee355087bdc7pbi74605.pdf, diakses pada tanggal 31 Maret 2022

akad dan dipahami oleh nasabah.

(f). Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah.

(4) DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia).

DSN-MUI sebagai lembaga yang mengawasi Bank Syariah di Indonesia mempunyai aturan-aturan terkait dengan ta’widh atau ganti rugi. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tenang ganti rugi (ta’widh). Fatwa tersebut memberikan ketentuan atau aturan bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang menerapkan ganti rugi agar dalam menjalankan kegiatan operasionalnya sesuai dengan prinsip hukum Islam. Berikut adalah ketentuan yang ada dalam Fatwa tersebut:42

(a). Ganti rugi (ta‟widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.

(b). Kerugian yang dapat dikenakan ta‟widh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.

(c). Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.

(d). Besarnya ganti rugi (ta‟widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dala transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diprkirakan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah adhdhai‟ah)

42 DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tenang ganti rugi (ta’widh).

(e). Ganti rugi (ta‟widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang-piutang (dayn), seperti salam, istisna‟

serta murabahah dan ijarah.

(f). Dalam akad mudharabah dan musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.

Kedua, ketentuan khususnya, meliputi

(a). Ketentuan ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.

(b). Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.

(c). Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.

(d). Pihak yang cedera janji bertanggungjawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

Ta’widh diberikan kepada nasabah sebagai upaya bank syariah dalam mereflesikan kerugian yang dideritanya. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian dalam bentuk materill selaku objek akad itu sendiri.

c. Perbedaan ta’widh dengan ta’zir

Ta’zir adalah sanksi yang dikenakan kepada nasabah yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja.

Berdasarkan ketentuan umum Fatwa Dewan Syariah Nasional

No.17/DSN-MUI/X/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah yang Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran disebutkan bahwa:43

1) Pengenaan sanksi ini dikenakan oleh Lembaga keuangan Syariah kepada nasabah yang mampu membayar namun dengan sengaja menunda-nunda pembayaran

2) Sanksi ini tidak boleh dikenakan kepada nasabah yang tidak/belum mampu membayar yang disebabkan force majeur.

3) Bagi nasabah yang tidak memiliki kemauan dan itikad baik untuk membayar utangnya dan/atau nasabah mampu yang menunda- nunda pembayaran boleh dikenakan sanksi.

4) Sanksi dibuat bertujuan untuk meningkatkan disiplin nasabah dalam memenuhi kewajibannya

5) Sanksi yang dikenakan dapat berupa denda dalam sejumlah uang berdasarkan kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.

6) Dana yang berasal dari denda ditujukan sebagai dana sosial.

Dapat diartikan denda yang dapat diberikan kepada nasabah bisa berupa uang yang ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akan ditandatangani, sedangkan hasil dari denda tersebut digunakan untuk dana sosial.44

ta’zir merupakan denda yang dibebankan kepada nasabah yang masuk dalam koliktabilitas golongan II hingga golongan V yang bertujuan untuk mendisiplinkan nasabah. Karena bersifat mendisiplinkan, maka besarannya harus disepakati kedua belah pihak, yaitu antara Bank Syariah dengan nasabah yang bersangkutan, kemudian dituangkan dalam akad. Namun, pendapatan yang diperoleh

43 Fatwa DSN-MUI NO: 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-Nunda Pembayaran

44 Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional,h.65

dari dana ta’zir disebut dengan pendapatan non-halal. Artinya, dana ta’zir tidak boleh diakui sebagai pendapatan Bank Syariah. Akan tetapi, Bank Syariah harus menyalurkan dana ta’zir untuk dana sosial.45

Sedangkan ta’widh merupakan kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan dengan ketentuan kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi potensial loss karena adanya peluang yang hilang opportunity loss.46

B. Kerangka Teori 1. Teori Tujuan Hukum

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori tujuan hukum.

Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori tujuan hukum.

Gustav Radbruch, menuturkan bahwa ada tiga tujuan hukum, yaitu kemanfaatan, kepastian dan keadilan. Dalam melaksanakan ketiga tujuan hukum ini harus menggunakan azas prioritas.47

Bila dihubungkan dengan tujuan hukum untuk melindungi kepentingan seseorang, hukum memiliki tujuan dan target yang hendak dicapai. Adapun tujuan dasar hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertip, dan seimbang dalam kehidupan dalam masyarakat. Dapat dicapainya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat diharapkan kepentingan individu akan terlindungi. Dalam mencapainya tujuan itu hukum bertugas untuk membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan

45 Hamli Syaifullah “Ta’widh dan Ta’zir Perspektif Mufassir Klasik dan Implementasinya di Bank Syariah”, : Journal of Islamic Banking and Finance, Vol.V No. 1 (2021). Hlm 31-32

46 Kamil dan Fauzan, “Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syaria”, Jakarta : Kencana, 2007, Hlm. 832

47 Sonny Pungus, Teori Tujuan Hukum, http://sonny-tobelo.com/2010/10/teori-tujuan-hukum-gustav- radbruch-dan.html, diakses pada tanggal 16 Januari 2017

mengatur memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.48 Soedjono Dirdjosisworo berpendapat bahwa dalam pergaulan hidup manusia, kepentingan-kepentingan manusia bias senantiasa bertentangan satu dengan yang lain, maka tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan- kepentingan itu.49

Teori tujuan hukum dalam penelitian ini juga berhubungan dengan kepastian hukum. Kepastian hukum artinya adanya setiap individu mengetahui kepastian hukumnya mengenai seberapa hak dan kewajibannya. Kepastian hukum mengandung dua pengertian yaitu pertama berupa aturan yang bersifat umum membuat seseorang mengetahui perbuatan apa yang boleh dan dilarang untuk dilakukan dan kedua adanya keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena terkait adanya aturan hukum yang bersifat umum itu seseorang dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan oleh negara terhadap individu.

Teori yang sudah dijelaskan diatas, akan digunakan untuk menganalis bagaimana penerapan biaya ganti rugi dan biaya perkara pada Putusan Nomor 2/Pdt.GS.2022/PA.Bsk yang diselesaikan oleh pengadilan Agama Batusangkar.

2. Teori Maqasyid Syariah

Secara etimologi, maqâshid syarî‟ah merupakan istilah gabungan dari dua kata: almaqâshid dan al-syarî‟ah. Maqâshid adalah bentuk plural dari maqshud, qashd, maqshd atau qushûd yang merupakan derivasi dari kata kerja qashada yaqshudu, dengan beragam makna seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan.50 Syarî‟ah, secara etimologi bermakna jalan menuju mata air, jalan menuju mata air ini dapat pula dikatakan sebagai

48 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty 2003), hlm. 77

49 Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1983), hlm. 11

50 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Aqalliyât dan Evolusi Maqāṣid al- Syarīah Dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 178-179.

jalan kearah sumber pokok kehidupan. Syarî‟ah secara terminologi adalah al- nushûsh al- muqaddasah (teks-teks suci) dari al-Qur‟an dan al-Sunnah yang mutawâtir yang sama sekali belum dicampuri oleh pemikiran manusia. Muatan syarî‟ah dalam arti ini mencakup aqidah, amaliyyah, dan khuluqiyyah.51 Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syari‟ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatn manusia di dunia dan di akhirat”.

Dari definisi diatas, bahwa tujuan syari’ah menurut Al Syatibi adalah kemaslahatan bagi umat manusia. Ia mengemukakan bahwa tidak ada hukum Allah SWT yang tidak memiliki tujuan karena hukum yang tidak memiliki tujuan yang sama saja dengan menetapkan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal tersebut, disebut juga sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan rezeki, pemenuhan manusia dan apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam definisi yang mutlak.

Jadi, dapat simpulkan menurut teori maqasyid syariah yang dikemukakan oleh Imam Al-Syatibi bahwa Allah menciptakan hukum demi kemaslahatan umat manusia agar individu itu sendiri mengetahui mana yang menjadi hak dan mana yang menjadi kewajibannya.

C. Review Studi Terdahulu

Sebelum ditulisnya penelitian ini, peneliti sudah membaca beberapa penelitian yang berkaitan dengan masalah yang saat ini akan diteliti. Tentang ta’widh (ganti rugi) yang bertujuan untuk menganalisis mekanisme penetapan biaya ta’widh.

Berikut merupakan beberapa karya ilmiah yang dapat peneliti rangkum:

1. Dalam skripsi berjudul “Analisis Ta’widh (Ganti Rugi) Bagi Nasabah Wanprestasi pada Pembiayaan Murabahah dalam Perspektif Ekonomi Islam”

51 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqāṣid al-Syarī‟ah Menurut al-Shatibi, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 61

karya Nining Herawati52. Bank Syariah Mandiri dalam melakukan penerapan ganti rugi antara lain: perhitungan berasal dari 100% biaya rill yang diderita bank dalam rangka penagihan dihitung berdasarkan biaya tetap dan biaya variable rill yang dikeluarkan oleh bank, pemberlakuan ganti rugi dapat dibebankan atas nasabah yang tidak melakukan pembayaran angsuran pembiayaan tepat waktu. Penerapan ganti rugi yang dilakukan Bank Mandiri Syariah Teluk Betung Bandar Lampung scara umum sesuai dengan Ekonomi Islam. Hal ini terlihat dari landasan hukum Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 tentang riba dan Q.S. AN Nissa tentang keadilan dan kemaslahatan Ganti rugi berbeda dengan riba. Riba tidak membedakan antara debitur yang mampu dan tidak mampu, sedangkan Islam membagi antara keduanya.

2. Dalam jurnal berjudul “Ta’widh (Ganti Rugi) Bagi Nasabah Wanprestasi Pada KPR Platinum IB Perspektif Fafwa DSN-MUI NO.129/DSN-MUI/VII/2019 Di Bank BTN KCPS Karawaci” karya Abdul Rachman.53 Implementasi ta’widh (ganti rugi) bagi nasabah wanprestasi pada KPR iB sudah sesuai dengan Fatwa DSN-MUI No.129/DSN-MUI/VII/2019 tentang Biaya Rill sebagai Ta’widh Bagi Wanprestasi. Namun, terdapat beberapa catatan dalam praktik penerapan ta’widh yang dilakukan oleh Bank BTN KCPS Karawaci.

Catatan pertama dalam ketentuan umum point pertama yaitu biaya ta;’widh tidak dibebankan kepada nasabah karena biaya tersebut sudah termasuk dalam harga agunan atau rumah yang akan dilelang. Catatan kedua terdapat dalam ketentuan biaya riil point pertama yaitu biaya riil yang dikenakan oleh bank kepada nasabah merupakan biaya riil yang sudah dikeluarkan oleh bank ketika

52 Nining Herawati,” Analisis Ta’widh (Ganti Rugi) Bagi Nasabah Wanprestasi pada Pembiayaan Murabahah dalam Perspektif Ekonomi Islam”, Lampung, 2018. Hlm 104-105

53 Abdul Rachman, “Ta’widh (Ganti Rugi) Bagi Nasabah Wanprestasi pada KPR Platinum iB Perspektif Fafwa DSN-MUI NO.129/DSN-MUI/VII/2019 Di Bank BTN KCPS Karawaci ”, Jurnal Syariah, Vol.VIII No. 2 (Oktober, 2020), 66.

melakukan eksekusi pelelangan agunan bukan berdasarkan biaya penagihan yang sudah dilakukan oleh bank. Catatan ketiga terdapat dalam ketentuan biaya riil point kedua yaitu Bank BTN KCPS Karawaci menggunakan jasa pihak ketiga yaitu jasa Balai Lelang Swasta (BLS) ketika bank sudah melakukan eksekusi pelelangan agunan atau rumah dan biaya tersebut termasuk dalam kategori biaya riil yang harus dibayar oleh nasabah. Catatan keempat terdapat dalam ketentuan biaya riil point ketiga yaitu biaya komunikasi, biaya perjalanan serta biaya lembur dan kerja ekstra tidak termasuk dalam kategori biaya riil. Adapun biaya-biaya yang termasuk dalam kategori biaya rill di Bank BTN KCPS Karawaci yaitu terdiri dari biaya appraisal, biaya iklan, biaya SKPT, biaya jasa BLS sebesar 3%, biaya pajak penghasilan sebesar 2,5%, dan biaya administrasi KPKNL sebesar 2,5%.

3. Dalam jurnal berjudul “Implementasi Ta’widh Pada Pembiayaan KPR Studi Kasus di BTN Syariah Cabang Jombang” karya Imam Azizudin dan Saeful Bahri54. Pertama, praktik denda di BTN Syariah. cabang Jombang dilakukan berdasarkan Fatwa DSN No. 43/SN-MUI/VIII/2004, denda tersebut dilaksanakan apabila pada tanggal yang sudah ditentukan dan disepakati nasabah tidak dapat membayar hutangnya maka nasabah tersebut akan dikenakan ta’widh sebesar tiap-tiap Rp. 100.000,- dari tunggakan angsuran ditetapkan denda (ta’widh) sebesar Rp. 67,- dikalikan berapa jumlah hari tunggakan tersebut. Kedua, Praktik denda pada Pembiayaan KPR BTN iB di BTN Syariah cabang Jombang sebagian besar sudah sesuai dengan aturan Fatwa DSN No. 43/DSNMUI/VIII/2004 hanya saja pada ketentuan khusus ayat 3 dijelaskan “Besarnya ganti rugi tidak boleh dicantumkan dalam akad.”

sedangkan di BTN Syariah cabang Jombang jumlah nominal denda ditentukan

54 Imam Azizudin, Saeful Bahri, “Implementasi Ta’widh pada Pembiayaan KPR Studi Kasus di BTN Syariah Cabang Jombang ”, Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam, Vol.6 No. 1 (Juni, 2021), 32-33.

dan dicantumkan dalam surat perjanjian hal ini karena untuk mempermudah pelaksanaan bisnis pembayaran dan ta'widh menggunakan sistem yang secara otomatis akan mendebet rekening.

4. Dalam skripsi berjudul “Analisis Ta’widh (Ganti Rugi) Bagi Nasabah Pembiayaan Bermasalah Akad Wakalah Pada Pembiayaan Murabahah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah (Studi Kasus BRI Syariah KCP Pringsewu)” karya Ella Oktia Arianti55. Penerapan Ta’widh di BRI Syariah KCP Pringsewu pada akad wakalah pada pembiayaan Murabahah yaitu apabila nasabah tidak mampu untuk membayar angsuran pada pembiayaan yang diambil maka bank akan memberikan kemudahan atau keringanan kepada nasabah yaitu dengan cara diberikan Restrukturisasi (perpanjangan waktu), namun apabila nasabah pada saat diberikan restrukturisasi tetap tidak membayar maka bank akan bertindak yaitu dengan memberikan ta‟widh (ganti rugi), sesuai kerugian yang rill, seperti kerugian pengeluaran transportasi,telepon,Atk dan lain sebagainya, kemudian dana yang di peroleh dari ta‟widh tersebut masuk kedalam pendapatan bank untuk mengganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan oleh bank. Namun, Penerapan ganti rugi yang dilakukan di BRI Syariah KCP.

Pringsewu belum sesuai dengan ekonomi islam, yang terdapat pada Q.S. Al- Baqarah ayat 275 dan Q.S.An-Nisaa tentang keadilan dan kemaslahatan ganti rugi. Namun pada Fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta‟widh) hampir semuanya sesuai dengan ketentuan fatwa DSN- MUI namun ada yang beberapa poin yang belum sesuai dengan pelaksanaan ta‟widh yang ada di BRI Syariah yaitu poin yang berada diketentuan khusus No.3, dikatakan bahwa “besaran ganti rugi ini tidak boleh dimasukan kedalam akad” namun di BRI Syariah KCP. Pringsewu ganti rugi sudah dimasukan di

55 Ella Oktia Arianti,” Analisis Ta’widh (Ganti Rugi) Bagi Nasabah Pembiayaan Bermasalah Akad Wakalah Pada Pembiayaan Murabahah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah (Studi Kasus BRI Syariah KCP Pringsewu)”, Lampung, 2021. Hlm 71

awal akad restrukturisasi,dan jumlah besaranya pun sudah duhitung berdasarkan plafon pinjama pembiayaan.

5. Dalam jurnal berjudul “Penerapan Ta’widh Pada Pembiayaan Kpr Btn Ibditinjau Dari Fatwa Dsn No. 43/Dsn-Mui/Viii/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta’widh)(Studi Kasus Di Bank Tabungan Negara Kcps Jombang)” karya Saeful Bahri, Kholis Firmansyah dan Arrivatu Ni’mati Rahmatika56. Praktik denda di Bank Tabungan Negara KCPS Jombang dilakukan berdasarkan Fatwa DSN No. 43/SN-MUI/VIII/2004, denda tersebut dilaksanakan apabila pada tanggal yang sudah ditentukan dan disepakati nasabah tidak dapat membayar hutangnya maka nasabah tersebut akan dikenakan ta’widh sebesar setiap kelipatan tunggakan Rp. 100.000,- akan dikenakan denda (ta’widh) Rp. 67,- x jumlah hari tunggakan. Praktik denda pada Pembiayaan KPR BTN iB di Bank Tabungan Negara KCPS Jombang sebagian besar sudah sesuai dengan aturan Fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 hanya saja pada ketentuan khusus ayat 3 dijelaskan “Besarnya ganti rugi tidak boleh dicantumkan dalam akad.”

sedangkan di Bank Tabungan Negara KCPS Jombang jumlah nominal denda ditentukan dan dicantumkan dalam surat perjanjian hal ini karena untuk mempermudah pelaksanaan bisnis pembayaran dan ta'widh menggunakan sistem yang secara otomatis akan mendebet rekening.

6. Dalam skripsi berjudul “Penetapan Biaya Ganti Rugi (Ta’widh) Pada Sengketa Ekonomi Syariah (Studi Putusan Nomor 10/PDT.G/2019/PA.KDS)” karya Adrian Irsyad Alfajri57. Pertama, Pertimbangan majelis hakim dalam menentukan biaya ganti rugi (ta’widh) yang dikenakan tergugat atas adanya

56 Saeful Bahri, Kholis FIrmansyah, Arrivatu Ni’mati Rahmatika, “Penerapan Ta’widh Pada Pembiayaan Kpr Btn Ibditinjau Dari Fatwa Dsn No. 43/Dsn-Mui/Viii/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta’widh)(Studi Kasus Di Bank Tabungan Negara Kcps Jombang)”, Journal of Educatio and Management Studies, Vol.1 No. 2 (Desember, 2018), 40-41.

57 Adrian Irsyad Alfajri, “Penetapan Biaya Ganti Rugi (Ta’widh) Pada Sengketa Ekonomi Syariah (Studi Putusan Nomor 10/PDT.G/2019/PA.KDS)”, Jakarta, 2021. Hlm 55-56

Dokumen terkait