Dalam pengumpulan data terdapat dua tahapan, yaitu : 1. Tahap Persiapan Pengumpulan data
Pertama peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarakan dimensi kebermaknaan hidup seorang masyarakat yang ada di Kabupaten Sidenreng Rappang sesuai berdasarkan dengan permasalahan yang
50W. Gulo, Metodologi Penelitian,( Jakarta: PT. Gramedia 2004), h. 193
harus dihadapi oleh subjek. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang melalui wawancara. Pedoman wawancara penelitian yang telah disusun, ditunjukkan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancara penelitian.
Setelah mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan mempersiapkan untuk melakukan wawancara, tahap persiapan selanjutnya adalah penelitian terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi penelitian dalam lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang dilakukan pada saat penelitian melakukan observasi dalam proses penelitian.
Peneliti selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Untuk itu sebelum wawancara dilaksanakan peneliti bertanya kepada subjek tentang kesiapannya untuk diwawancarai. Setelah subjek bersedia untuk diwawancarai, peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.
2. Tahap Pelaksanaan
Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan tempat untuk melaksanakan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat. Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan wawancara dalam bentuk tertulis dan tulisan.
3. Tahap Akhir
Setelah data kami kumpulkan, selanjutnya peneliti melakukan analisis data dan interpretasi data sesuai dengan langkah-langkah penelitian yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir pembahasan bab ini, melalui tahap identifikasi data, reduksi data, analisis data, verifikasi data dan proses pengujian keabsahan data. Setelah itu, peneliti membuat kesimpulan yang dilakukan, peneliti memberikan saran untuk penelitian selanjutnya.
G. Teknik Analisa Data
Imformasi data yang telah dikumpulkan dapat diolah dengan tekhnik analisis deskriptif atau interpreataive. Hal ini sesuai dengan teori Miles dan Huerman sebagaimana yang dikutip oleh Sugiono bahwa” Proses pengolahan data melalui beberapa tahap, yaitu: reduksi data, penyajian data ( data display ), dan verifikasi atau penarikan kesimpulan data.51
Berdasarkan uraian di atas maka langkah awal dalam analisa data adalah;
Mengorganisasikan data yaitu, mengatur memprediksikan, mengelompokkan, memberikan kode dan mengkategorikan semua data yang telah terkumpul. Jadi analisis data dalam penelitian ini dilakukan lapangan, selama di lapangan, dan setelah di lapangan melakukan observasi dan wawancara bagi masrakat.
Untuk menguji kredibilitas data maka penulis melakukannya dengan mengecek secara berulang-ulang, mencocokkan dan membandingkan data dari berbagai sumber, baik dari hasil observasi maupun hasil wawancara.
51Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: alfabeta, 1993, Cet. II), h. 33-44
1. Reduksi ( pengulangan ) data yaitu, pemusatan perhatian pada data yang sudah dikumpulkan kemudian dirangkum penyederhanaan, pengabsahan dan transfortasi data awal yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Mereduksi data awal bisa berarti merangkum, memilih masalah yang pokok memfokuskan pada hal-hal yang penting, melaui tema dan polanya.52 Pemusatan perhatian dimaksudkan untuk, menyederhanakan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan.
Kegiatan ini dilakukan secara berkesinambungan sejak awal kegiatan hingga akhir pengumpulan data. penyajian data, penyusunan informasi yang kompleks ke dalam bentuk sintesis sehingga menjadi lebih baik selektif dan sederhana, serta dapat dipahami maknanya, serta memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan .53
2. Penarikan kesimpulan oleh penulis adalah upaya untuk mengartikan data yang ditampilkan dengan melibatkan pemahaman penulis.54
Pada tahapan ini penulis membuat kesimpulan dan saran-saran akhir dari penelitian. Dengan demikian, dalam analisis dan Pengolahan data yang dilakukan penulis adalah berawal dari obervasi, interview (wawancara), dokumentasi, mengorganisasikan data , mereduksi data dan terakhir penarikan kesimpulan dan saran-saran.
52Sugiono, memhami Penelitian, Cet. IV, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 29.
53Iman Suprayogo & Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001 ). h.134
54Harun Rasyid, Metode penelitian Kualitatif Bidang Ilmu Sosial Agama, ( pontianak:
STAIN Pontianak, 2000 ), h. 36
BAB. IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kearifan lokal tentang mahar dan dui’ menre’ di Kabupaten Sidenreng Rappang
Mahar secara bahasa artinya maskawin, secara istilah, mahar merupakan pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami kepada calon istri agar menimbulkan rasa cinta kasih terhadap calon suaminya atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik berupa barang atau jasa sebagai tanda kasih sayang.55 Mahar menurut bahasa Indonesia disebut juga dengan maskawin. Maskawin atau mahar adalah pemberian seorang suami kepada isterinya baik sebelum, maupun sesudah, akad nikah berlangsungya sebagai pemberian wajib.56 Mahar dalam bahasa arab juga disebut shadaq sebagai kesungguhan sang suami mengungkapkan rasa cinta kasih sayang yang ia persembahkan dalam pernikahan.57
Masing-masing ulama berbeda pendapat mengenai masalah mahar dalam perkawinan menurut Islam. Sebagaian mereka berpendapat, bahwa mahar itu diberikan sesuai dengan kesepakatan di antara keluarga calon pengantin pada saat melakukan pelamaran. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyan Ats- Tsauri , Syafi‟i, Ahmad dan Ishak. Sedangkan menurut ulama Imam Malik
55H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet.
Pertama), h. 84.
56Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2017, Cet. Kedua), h. 47
57Musthafa Dib al-Bugha, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 (Yogyakarta: Darul Uswah, 2008), h.664
mengatakan “Mahar itu tidak boleh kurang dari seperempat dinar.” Kemudian dari Aisyah Radhiyallahu Anha, beliau berkata “Bahwa Nabi memberi mahar kepada istri-istrinya sebesar dua belas setengah „uqiyah‟ (HR. Muslim).58
Mahar adalah kewajiban yang wajib dibayar suami terhadap istrinya karena akad atau bercampur secara benar. Mahar memiliki nama yang banyak, yaitu shadaq, mahar, nihlah, faridhah, hiba, ajr, dan aqd alaiq.59
Mahar secara sosial, ekonomi dan ideologis, difungsikan untuk beragam tujuan ketika isteri mengisinkan atau memberikannya, Abu Zahrah menjelaskan bahwa selain menjadi tanda etis-moral keseriusan dan ketulusan ikatan pernikahan, mahar berfungsi sebagai bantuan material suami kepada isterinya demi persiapan dalam berumah tangga.60 Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Bab Mahar telah dijelaskan apa itu mahar. Pasal 30 dikatakan bahwa
“Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”.
Pada pasal 31 “Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam”. Pasal 34 terdapat dua ayat: (1) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan; (2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak
58Abi Hasan Muslim Ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairy an-Naisabury, Sahih Muslim. Cetakan Ibnu Jauzi Qahirah, no hadis 1426, h. 327
59Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah (Solo: Era Intermedia, 2005), h. 212.
60Noryamin Aini, “Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia,” AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah 17, No.1 (29 Juli 2014), h. 16.
menyebabkan batalnya pernikahan. Demikian pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi keapsahan pernikahan.
Terkadang terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan seperti yang disebutkan pada pasal 37, penyelesaian diajukan ke Pengadilan Agama.61
Dui’ menre’ berasal dari dua kata. Doi’ dalam bahasa Bugisnya berarti uang dan menre’ berarti naik. Nama kedua kata ini mempunyai arti tersendiri Dui’
dalam bahasa Bugis biasanya diidentikkan dengan harta yang berharga, jadi uang dalam kata tersebut adalah benda yang dapat diuangkan jadi adakalanya sepetak tanah dan ada kalanya sepetak sawah, kebun atau bahkan hewan peliharaan seperti sapi atau kuda, sedangkan menre’ adalah naik, naik dalam bahasa Bugis bisa juga berarti tuppu atau menre’.
Tetapi dipakai kata menre’. sebab kata menre’ bisa dikategorikan sebagai kata kiasan, sedang tuppu dalam bahasa Bugis berarti sarih. Menre’ dalam pengertian disini adalah pihak laki-laki dengan membawa segenap harta benda berniat untuk meminang perempuan yang dicintainya, uang naik ini biasa disebut dengan dui’ belanca.
Banyak dan sedikitnya dui’ menre’ yang diserahkan oleh pihak mempelai mempunyai pengaruh dalam stratifikasi sosial orang yang akan menikah bagi masyarakat di Kabupaten Sidenreng Rappang. Banyaknya. Dui’ menre’ sangatlah berpengaruh terhadap martabat seseorang yang dilamar dan hal ini erat sekali
61Direktori Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: 2001, h. 5.
kaitanya dengan masalah siri (identifikasi sosial masyarakat Bugis) dan pada dasarnya adalah dui’ menre’ adalah bantuan pelaksanaan Walimatul Urus dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Dui’ menre’ bertujuan untuk membiayai pesta pernikahan calon mempelai perempuan di Kabupaten Sidenreng Rappang. Indikator besar kecilnya dui’
menre’ bisa dilihat dari kemewahan pesta pernikahan, semakin tinggi dui’
menre’/uang belanjanya semakin meriah pula pesta pernikahannya.62
Walimah Al-urusy pada hakekatnya bertujuan sebagai perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya akad nikah dengan menghidangkan jamuan kepada para tamu undangan sesuai dengan kesanggupan/keadaan orang yang mengadakan pernikahan.63
Itu semua adalah unsur kesengajaan bagi dua belah pihak dan merupakan hal yang sudah disepakati bagi dua belah pihak dan juga sudah menjadi tradisi atau adat setempat. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan dari pihak perempuan ada unsur-unsur yang lain sehingga memberatkan bagi pihak laki-laki untuk menikahi pihak perempuan tersebut, contohnya karena pihak perempuan tidak suka dengan pihak laki-laki untuk menjadi suami bagi anaknya atau anaknya tidak menyukai laki-laki tersebut maka ditetapkanlah uang belanja atau uang hantaran tersebut dengan setinggi tingginya supaya pihak laki-laki mundur dari niatnya untuk melamar perempuan tersebut.
Masalah dui’ menre’ ini erat hubunganya dengan stratifikasi sosial, di mana pada masyarakat di Kabupaten Sidenreng Rappang mengenal yang namanya
62Hj. Rusdaya Basri, Fikih Munakahat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah, jilid 1, (penerbit CV Kaaffah Learnig Center Sulawesi Selatan, Mei 2019), h. 139
63Hj. Rusdaya Basri, Fikih Munakahat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah, h. 139
pengelli darah. Pengelli darah adalah sebuah istilah yang melekat sampai sekarang, yang berarti bahwa seseorang yang mempunyai stratifikasi sosial yang rendah ingin menikahi wanita yang lebih tinggi stratifikasi sosialnya, hal ini dapat berpengaruh terhadap jumlah dui’ menre’nya disertai dengan perhiasan perhiasan biasanya satu set berlian atau beberapa puluh gram emas yang berguna untuk memberikan indentik sosial pihak pengantin perempuan.
Jadi dui’ menre’ di kalangan masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang adalah balanca dalam pernikahan Bugis, sedangkan sompa adalah mahar atau mas kawin yang baru dijelaskan di atas. Jadi pengertian dui menre’ dalam pernikahan adat Bugis sebenarnya adalah uang belanja pernikahan yang dipakai dalam pesta pernikahan.
Dui’ menre’ dalam pernikahan seperti telah dijelaskan di atas bahwa uang belanja yang diserahkan kepada pihak perempuan, uang belanja tersebut berguna untuk dipakai untuk keperluan upacara perkawinan seperti pesta menjelang pernikahan dua mempelai tersebut sebagai mana yang sudah diterangkan di atas.
Bahwa sepuluh hari atau satu minggu sebelum hari pernikahan dilaksanakan seluruh kerabat baik yang jauh atau yang dekat dan tetangga sekitarnya sudah berada di rumah calon mempelai perempuan dan seluruh makan dan minumannya sudah menjadi tanggungan pihak perempuan tersebut dan begitu juga dengan uang untuk membiayai ongkos bagi yang mempunyai kerabat yang jauh supaya datang untuk menghadiri pernikahan tersebut Penyerahan uang belanja tersebut merupakan syarat dalam pernikahan adat Bugis di Kabupaten
Sidenreng Rappang secara umum merupakan adat yang sudah menjadi kesepakatan bersama disetiap perkawinan dilaksanakan.
Adat tersebut bisa dikatakan kewajiban dalam pernikahan adat Bugis, karena dari dahulu sampai sekarang semua orang yang kawin harus menyerahkan uang belanja. Kebanyakan dari pihak laki-laki yang melamar ditolak pinangannya karena masalah dui’ menre’ sehingga mengakibatkan sering terjadi kawin lari (kawin tanpa restu dari kedua orang tuanya) akibat kawin seperti ini akan berbuntut panjang dalam keluarga dua belah pihak akan bisa terjadi konflik keluarga yang bisa berakibat hilangnya nyawa seseorang karena menegakkan siri.
Nilai materi yang terlihat dari dui menre’ tersebut masih ada nilai ideal yang terkandung dari dui menre’ yaitu:
1. Untuk menjaga kehormatan seorang laki-laki yang mau menikahi di hadapan seorang perempuan, supaya tidak disebut sebut sebagai laki-laki yang tidak mempunyai rasa cinta dan tanggung jawab pada istrinya. Dalam kebutuhan sehari hari baik kebutuhan rumah tangga dan juga kebutuhan istrinya dan juga tidak mau dibilang laki laki pengangguran alias numpang makan tidur tidak mau memperhatikan istrinya.
2. Untuk menjaga nama baik keluarga, karena di dalam masyarakat Bugis perkawinan bukan hanya urusan suami istri, tetapi melibatkan kedua belah pihak atau keluarga kedua belah mempelai Doi’ menre’ tidak ditanggung oleh laki-laki saja yang akan kawin tetapi oleh semua keluarga laki-laki hal ini dilakukan agar tidak dipandang rendah oleh pihak keluarga perempuan.
Selain nilai-nilai yang terkandung dalam dui’ menre’, juga ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dui’ menre’ diantaranya :
1. Kekerabatan
Masyarakat manapun hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik karena dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai struktur dasar yang ada pada suatu tatanan masyarakat.
Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa yang medasari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang Bugis dan yang saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka. Aspek tersebut antara lain perkawinan.
Pada umumnya orang Bugis mempunyai sistem kekerabatan yang disebut dengan assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral.yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua, hubungan kekerabatan ini menjadi luas disebabkan karena selain ia menjadi anggota keluarga ayah juga menjadi anggota keluarga dari pihak ibu.
Robert R Bell Mengemukakan ada 3 jenis hubungan kekerabatan :
a) Kerabat dekat (convetional kin), seperti suami, istri, orang tua dengan anak dan antar saudara (siblings).
b) Kerabat Jauh (discretionary kin) terdiri atas individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau
perkawinan tetapi ikatan keluarganya lebih jauh dari keluarga dekat.
c) Orang yang dianggap kerabat(fictive kin), seseorang yang dianggap anggota kerabat karena ada hubungan khusus misalnya teman akrab dan rekan bisnis.64
Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi atas siajing mareppe (kerabat dekat) dan siajing mabela (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing mareppe merupakan kelompok penentu dan pengendali martabat keluarga. Anggota keluarga dekat inilah yang menjadi to masiri (orang yang malu) bila anggota keluarga perempuan ri lariang (dibawa lari oleh orang lain) dan mereka itulah yang berkewajiban menghapus siri’
tersebut.
Anggota siajing mareppe didasarkan atas dua jalur yaitu reppe mareppe yaitu keanggotaan yang didasarkan atas hubungan darah dan siteppang mareppe (sompu lolo) yaitu keanggotaan berdasarkan atas hubungan perkawinan.
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan salah satu tokoh Agama / masyarakat beliau mengatakan bahwa :
“Apabila calon mempelai laki-laki tidak termasuk dalam nasab garis kekerabatan reppe mareppe dan siteppang mareppe maka mahar dan dui’ menre’ yang diberikan laki-laki lebih besar”.65
64Mulyani Rasyid “Kawin Lari Sebagai Suatu Penyimpangan Sosial”(Tesis tidak diterbitkan, Program Study Sosiologi, Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, 2004) h.
33-34 disadur dari buku T.O. Ihromi, Bungai Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta, 1999.
65Arwan, S.Ag (Tokoh Agama) wawancara dilaksanakan di Empagae tanggal 5-3-2021
Menurut hasil wawancara di atas yang telah dilakukan oleh penulis maka diketahui bahwa apabila mempelai laki-laki tidak ada hubungan keluarga dengan mempelai perempuan sesuai dengan teori al-‘urf maka dui’ menre’ tersebut akan lebih tinggi ketimbang dengan dui’ menre’
mempelai laki-laki yang ada hubungan kekerabatan/keluarga.
2. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Status yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat ada yang didapat dengan suatu usaha (achievement status) dan ada yang didapat tanpa suatu usaha (ascribel status) misalnya status yang berdasarkan garis keturunan. Sistem stratifikasi sosial di dalam suatu masyarakat dapat bersifat :
a) Tertutup (closed sosial stratification), membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan bergerak ke atas atau ke bawah, di dalam sistem ini statusnya jalan untuk menjadi anggota dalam suatu masyarakat adalah kelahiran.
b) Terbuka (open sosial stratification), setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan atau bagi mereka yang tidak beruntung, untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan yang dibawahnya. Pada umumnya sistem terbuka memberi
perangsang yang lebih tepat dan mempengaruhi lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasan pembangunan masyarakat dari pada sistem yang tertutup.66 3. Penentuan Jodoh
Dalam kehidupan sosial, dikenal adanya pelapisan masyarakat, begitu pula pada masyarakat bugis Sidenreng Rappang, ada golongan bangsawan ada pula golongan bukan bangsawan. Hal tersebut kemudian menyebabkan terjadinya pembatasan jodoh, bahkan terjadi hubungan perkawinan yang terlarang. Misalnya teradinya pembatasan jodoh dalam hubungan pernikahan batas kedudukan yang tidak setara.
Pilihan orang tua terkadang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dui’ menre’, apabila seorang anak gadis tidak ingin menikah dengan pilihan yang ditentukan orang tua, konsekuensinya pihak laki-laki harus membayar mahar dan dui’ menre’ yang lebih besar jika tetap ingin menikah. Disisih lain pihak mempelai wanita tidak bisa disebut materialistis ataupun pragmatis, karena mereka hanya mengikuti adat serta kebiasaan dan pertimbangan lain yang didominasi oleh pengaruh adat.
4. Budaya
Manusia mempunyai bakat tersendiri dalam gen-nya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu serta emosi kepribadiannya. Tetapi wujud dari kepribadian itu sangat diperngaruhi
66Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet.37; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) h. 171
dalam berbagai macam situasi yang ada di sekitar alam, demikian pula lingkungan sosial dan budayanya.
Seseorang individu mempelajari dan menyesuaikan keadaan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, serta peraturan- peraturan yang hidup dalam lingkungannya.
Dalam wawancara dengan Arwan, tokoh Agama dan Masyarakat beliau mengatakan :
“Dalam masyarakat Bugis pemberian dan permintaan jumlah mahar dan dui’ menre’ yang tinggi dalam meminang gadis sudah menjadi tradisi. Dan hal ini telah diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga kadang ada kecenderungan persepsi bahwa menikah dengan gadis Bugis itu mahal”.67
Tradisi yang terjadi di kalangan masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang dalam menetapkan dui’ menre’ merupakan suatu ketetapan hukum sesuai qaedah dalam teori Al-‘Urf yang mengatakan ﹲةمـ ﱠكـ حـ م ةﹸد ا عـلﹶا (adat masyarakat bisa dijadikan dasar hukum). Tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan patokan karena tidak semua gadis Bugis dipinang dengan mahar dan dui’ menre’ yang cukup tinggi.
5. Pendidikan dan Ekonomi
Dalam perkawinan para ahli mengakui beberapa syarat yang harus dipenuhi lebih dahulu (prerequiste) walaupun berbeda pendapat. Akan tetapi secara umum semua kriteria itu di tunjukkan untuk menentukan kriteria calon jodoh yang cocok untuk masa depan.
67Arwan, S.Ag (Tokoh Agama) wawancara dilakukakan di Watang Sidenreng,tanggal 5 Maret 2021
Unsur kesepadanan (kafa’ah) akan melibatkan keriteria-keriteria yang lain dalam sebuah koridor yang cukup kompleks. Keriteria itu antara lain adalah derajat sosial (Social equality), kesederajatan agama (religius equality), kesederajatan ekonomi (economic equalty), kesederajatan profesi (Job equality), kesederajatan pendidikan (education equality).
Permasalahan kesepadanan (kufu’) dalam perkawinan menurut Islam memang merupakan problem utama dalam proses pemilihan jodoh atau calon pasangan. Untuk itu konsep kafa’ah dalam perkawinan harus menjadi telaah yang cukup serius bagi para calon pasangan. Berkaitan dengan itu ada 2 teori yang berhubungan. Pertama, sesuai dengan teori Homogami (perkawinan yang sepadan), “Seseorang cenderung menikah dengan orang lain yang berada dalam kondisi sosial seperti mereka sendiri.” Tapi di segi lain menentukan pasangan dalam perkawinan, bukanlah semata-mata masalah persamaan. Barangkali lebih luas dari itu, lantaran persamaan sosial bisa saja disertai dengan perbedaan-perbedaan kejiwaan. Kedua, teori Heterogami (perkawinan antara dua orang yang memiliki kondisi yang berbeda). Mereka menganggap bahwa perkawinan adalah suatu persekutuan yang saling melengkapi, karena dalam masalah perkawinan setiap orang cenderung memilih jodoh yang cocok. Hingga mereka bisa saling berjanji untuk memporoleh manfaat dan kepuasan yang maksimal dalam rumah.68
68Muklisin, Konsep Kafa’ah dalam Pernikahan: Telaa’ah Kesepadan sosial, Ekonomi dan Pendidikan,” blog Muhlisin. http:..muhlisin.blogspot.com/2010/01/kafaa’ah-dalam-per-
nikahan.html (07 agustus 2010)