• Tidak ada hasil yang ditemukan

124 MODERASI BERAGAMA PERSPEKTIF BIMAS ISLAM

manusia beribadah dalam kondisi apa pun dan di mana pun. Tidak ada alasan untuk meninggalkan ibadah, karena Islam memberikan banyak kemudahan. Bahkan, apabila direnungi, adanya perbedaan pendapat dalam Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah ibadah, itu juga sebagai bentuk kemudahan. Jangan ambil pusing dengan perbedaan pendapat ulama. Abdul Wahhab Sya’rani (w. 973 H), dalam Mîzân al- Kubrâ menjelaskan, pada umumnya ada dua macam pendapat ulama dalam fikih: pendapat yang sulit/berat, dan pendapat yang mudah/

ringan. Amalkan kedua pendapat itu sesuai dengan situasi dan kondisi.

Kalau situasi lapang, utamakan mengamalkan pendapat yang berat.

Tetapi kalau situasinya susah, gunakanlah pendapat yang meringankan (1988: 251).

Kalau dalam ibadah saja ada banyak unsur moderasi, apalagi dalam masalah muamalah, interaksi sesama manusia. Rasulullah Saw., sebagaimana diketahui, hidup di tengah masyarakat pluralis. Beliau hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain: Yahudi, Nasrani, dan lain-lain. Rasulullah juga hidup dengan berbagai macam suku, yang punya karakter dan cara pandang hidup berbeda-beda. Makanya, ketika berada di Madinah, salah satu yang beliau lakukan pertama kali adalah membuat ikatan perjanjian yang menjadi aturan hidup bersama.

Pihak yang mengkhianati perjanjian, pada masa itu, boleh diperangi.

Perang pada masa Nabi bukan disebabkan perbedaan agama. Nabi tidak pernah mengajarkan dakwah dengan kekerasan, paksaan, apalagi memerangi yang berbeda agama. Andaikan perbedaan agama yang menjadi alasan untuk perang, tentu sejak dulu Nabi sudah memerangi Abu Thalib, paman yang setia melindunginya dan di akhir hayatnya tidak memeluk Islam; Nabi tidak akan pernah menerima bantuan logistik perang dari Mukhairiq, pemuka Yahudi yang menyumbangkan hartanya untuk umat Islam; atau Rasulullah pasti memerangi Huyay ibn Akhtab, mertuanya yang beragama Yahudi. Sejarah menunjukkan malah sebaliknya, alih-alih perang, Rasulullah memiliki hubungan baik dengan pemeluk agama lain. Karenanya, Ali Mustafa Yaqub (2012) mengingatkan, perbedaan agama bukan alasan untuk peperangan:

religion is not a reason for battle. Perang biasanya disebabkan oleh pengkhianatan terhadap perjanjian yang sudah disepakati dan mempertahankan diri dari serangan musuh. Bahkan, dalam situasi perang sekalipun, yang boleh diperangi dan dibunuh hanyalah orang yang memerangi. Sementara, rakyat sipil yang tidak ikut perang,

walaupun dari pihak musuh, seperti pemuka agama, anak-anak, dan perempuan, haram untuk dibunuh.

Sejak awal, kata Mohammad Hashim Kamali, masyarakat Muslim adalah masyarakat pluralis, terbuka dengan keberagaman, menghargai perbedaan, dan bisa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Hashim Kamali memberi contoh dengan hubungan baik Muslim dengan Yahudi. Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa Islam membenci orang Yahudi. Padahal fakta sejarah menunjukkan sebaliknya.

Umar ibn al-Khattab, misalnya, pernah mengajak orang Yahudi untuk kembali ke Yerusalem setelah mereka diusir oleh penguasa Romawi. Ia juga memberi jaminan kebebasan untuk menjalankan agama mereka.

Beberapa abad berikutnya, Shalahuddin al-Ayyubi, atau Saladin, juga pernah mengundang orang Yahudi untuk kembali ke Yerusalem, setelah ia mengalahkan tentara Salib yang sebelumnya mengusir orang Yahudi.

Ketika Islam menguasai Andalusia, Muslim dan Yahudi memiliki hubungan yang sangat baik dan keduanya bisa hidup damai. Pada masa kekhalifahan Turki Utsmani, pemeluk Kristen dan Yahudi diberi kebebasan untuk menjalankan ibadah mereka. Penting juga dicatat, selama Holokaus, yaitu genosida atau pembunuhan sistematis terhadap jutaan Yahudi Eropa, banyak Muslim di Balkan dan wilayah lain menyelamatkan orang Yahudi dari serbuan Nazi. Bahkan, Abdol Hossein Sardari, duta besar Iran di Paris pada masa perang, mempertaruhkan hidupnya untuk menyelamatkan ribuan orang Yahudi dengan memberi paspor Iran kepada mereka (Kamali, 2015: 4).

Serangan 11 September 2001 membuat hubungan Islam dengan pemeluk agama lain di Barat, khususnya Amerika dan Eropa menjadi tidak baik. Peristiwa penyerangan gedung WTC itu mengubah banyak hal terkait persepsi masyarakat dunia tentang Islam. Ajaran Islam yang penuh kasih sayang dibajak oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam, tetapi apa yang mereka lakukan sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Sejak Amerika mengumumkan bahwa al-Qaeda otak di balik serangan 9/11, media internasional tak henti-hentinya menayangkan berita tentang Islam dan terorisme. Parahnya, sebagian media melabeli Islam sebagai agama teroris, agama kekerasan, dan agama perang. Berita negatif tentang umat Islam sayangnya tidak diimbangi dengan berita baik tentang masyarakat Muslim. Akibatnya, persepsi buruk tentang Islam meningkat di Barat, khususnya bagi orang yang hanya mengetahui Islam dari media.

John L. Esposito mengamati liputan media Barat tentang Islam dari tahun ke tahun. Hasilnya cukup mengejutkan. Dia menemukan adanya ketidakseimbangan penyajian informasi tentang Islam. Pada 2001 misalnya, 2% dari semua berita di media Barat menampilkan informasi tentang Muslim militan, sementara berita tentang Muslim biasa hanya sekitar 0,5%. Tahun 2011, berita tentang Muslim militan meningkat menjadi 25%, sementara berita tentang Muslim biasa tetap mandek di angka 0,5%. Media internasional lebih tertarik untuk memberitakan kelompok ekstremis di dunia Islam ketimbang Muslim moderat. Seperti yang dikatakan Inaya Rakhmani, pertumbuhan kelas menengah Muslim yang kuat secara finansial tidak banyak mendapat sorotan dan perhatian media-media di Barat. Mereka tampaknya lebih senang menampilkan Islam sebagai agama kekerasan, ketimbang Islam sebagai agama yang maju dan mencerahkan. Sehingga tak mengherankan bila antara tahun 2007-2013, kata L. Esposito (2018: 86), sebagian besar isi berita media Amerika tentang Islam adalah berita negatif.

Narasi negatif tentang Islam ini menaikkan islamofobia di Barat.

Islamofobia adalah kebencian dan ketakutan yang tidak berdasar terhadap umat Islam. Kelompok Islamofobia ini biasanya beranggapan bahwa Islam adalah agama yang kaku, tidak menyesuaikan diri dengan realitas baru, Islam tidak sejajar dengan agama-agama besar lainnya, Islam agama inferior, Islam agama yang kuno, biadab, dan tidak rasional, Islam agama teroris dan kekerasan. Bahaya pemberitaan negatif tentang Islam ini, menurut John L. Esposito, mengaburkan fakta bahwa korban teroris itu justru sebagian besar adalah Muslim. Bahkan, dengan meningkatnya ketakutan terhadap Islam, kebebasan sipil umat Islam makin terbatas dan terancam, terutama mereka yang tinggal di wilayah minoritas Muslim.

Padahal, fenomena ekstremisme itu tidak hanya terjadi di dunia Islam atau identik dengan Islam. Fenomena itu ada di hampir semua agama besar. Asef Bayat mengatakan, konservatisme, radikalisme, fundamentalisme, dan ekstremisme sebagai bagian fenomena over religiusitas yang menjadi tren global dan melibatkan kebanyakan agama besar di dunia (2011: 1). Fenomena kekerasan atas nama agama di India, misalnya, pelakunya kebanyakan bukan dari agama Islam, tetapi pemeluk agama Hindu. Kekerasan terhadap Muslim di Rohingya, pelakunya pemeluk agama Buddha. Charles Kimball, seperti dikutip Azyumardi Azra, mengingatkan pemeluk agama apa pun berpotensi

128 MODERASI BERAGAMA PERSPEKTIF BIMAS ISLAM

menjadi kekuatan jahat. Dalam buku When Religion Becomes Evil, Kimball menceritakan pengalaman Yudaisme, Kristianitas, dan Islam. Masing-masing agama ini bisa menjadi kekuatan merusak dan menakutkan bila di kalangan pemeluknya terdapat beberapa tanda berikut. Pertama, klaim kebenaran absolut oleh individu dan kelompok sehingga mereka merasa benar dengan pendapat sendiri. Kedua, penetapan waktu sekarang sebagai waktu yang tepat bagi individu atau kelompok yang mengklaim memiliki restu Tuhan untuk mengakhiri segala kemungkaran. Ketiga, taklid buta pada pemahaman, ketentuan praktik keagamaan, dan komando tertentu. Keempat, menghalalkan cara apa pun untuk melakukan perubahan yang diyakini diperintahkan.

Kelima, pemakluman jihad (holly war) terhadap individu atau kelompok yang dianggap menyimpang dari agama sendiri atau untuk menyucikan dunia dari kemungkaran.

Sebetulnya, ekstremisme bukanlah paham yang dominan dalam Islam. Tidak banyak orang yang mau ikut terlibat dalam gerakan ini.

Hanya sebagian kecil umat Islam yang tertarik mengikuti kelompok garis keras. Pew Research Center pernah melakukan survey terhadap 11 negara dengan populasi Muslim terbesar, seperti Lebanon, Yordania, Israel, Palestina, Indonesia, Turki, Nigeria, Malaysia, Senegal, Pakistan, dan lain-lain. Survey ini dilakukan untuk menelusuri respons umat Islam terhadap kelompok kekerasan yang mengatasnamakan Islam.

Hasil survey menunjukkan, mayoritas Muslim menunjukkan sikap negatif terhadap kelompok teror yang mengatasnamakan agama, dan tidak ada satu pun negara yang menunjukkan dukungan terhadap ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) lebih dari 15 persen (Arana, 2018: 204).

Tidak lama setelah Ibrahim Awwad al-Badri, popular dengan nama Abu Bakar al-Baghdadi, mendeklarasikan diri sebagai Khalifah, mengaku sebagai keturunan Nabi, meminta semua Muslim berbaiat, dan pindah (hijrah ke wilayah kekuasaan ISIS), lebih dari 120 ulama dan sarjana Muslim terkemuka di seluruh dunia berkumpul untuk membahas doktrin dan ajaran yang dikembangkan ISIS. Di antara tokoh yang hadir adalah Ali Jum’ah, Abdullah ibn Bayyah, Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari, dan Din Syamsuddin mewakili Indonesia.

Hasil pertemuan ulama seluruh dunia tahun 2014 itu disimpulkan dan disebarluaskan dalam bentuk surat terbuka kepada Abu Bakar al- Baghdadi yang isinya mengkritik doktrin ISIS dan kesalahpahaman mereka terhadap ajaran Islam. Surat terbuka itu diberi judul Open

Letter To Dr. Ibrahim Awwad al-Badri (Abu Bakr al-Baghdadi)/Risâlah al-Maftûhah ilâ al-Duktûr Ibrâhîm Awwâd al-Badri al-Mulaqqab bi Abû Bakr al-Baghdâdi. Surat ini sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, seperti Jerman, Perancis, Turki, Persia, dan lain-lain.

Risalah itu berisi nasihat untuk Abu Bakar al-Baghdadi yang menegaskan bahwa pemahamannya tentang jihad, khilafah, perbudakan, hak perempuan, hak anak, penerapan hukum Islam adalah kekeliruan.

Selain kritikan terhadap ISIS dan kelompok garis keras lainnya, surat ini juga bertujuan untuk mengingatkan dan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang dan menjadi rahmat untuk alam semesta. Apabila Abu Muhammad al-‘Adnani, pimpinan senior ISIS, mengawali pidatonya dengan kalimat:

ينلماعلل ةحمر فيسلاب ثوعبلما دممح انديس على لىص للهما

“Ya Allah, berikanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad yang diutus dengan pedang untuk menjadi rahmat bagi alam semesta”

Risâlah al-Maftûhah diawali dengan surah al-Anbiya ayat 107:

َينِمَلاَعْلِّل ًةَ ْحمَرَّلاِإ َكاَنْلَسْرَ أ آَمَو

“Kami tidak akan mengutusmu (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam”.

Seluruh Muslim mungkin sepakat, tujuan diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Namun, pemahaman ISIS tentang surah al-Anbiya ayat 107 berbeda dengan pemahaman mayoritas ulama. ISIS mengambil jalan kekerasan untuk menyebarluaskan dan menerapkan ajaran Islam, sementara mayoritas ulama mengambil jalan damai seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Nabi tidak pernah memberi contoh untuk memaksakan keyakinan dan pendapatnya kepada orang lain. Agama Islam tidak mungkin menjadi rahmat bagi alam semesta bila disebarluaskan dengan kekerasan dan peperangan.

Survei yang dilakukan Pew Research Center dan surat terbuka ulama seluruh dunia kepada pimpinan ISIS adalah sebagian kecil bukti

130 MODERASI BERAGAMA PERSPEKTIF BIMAS ISLAM

penolakan mayoritas Muslim terhadap kekerasan atas nama agama, khususnya Islam. Hanya saja, penolakan semacam ini tidak terlalu dominan terlihat di publik, dan tidak banyak mendapat perhatian dari media internasional. Kuantitas berita penolakan Muslim atas kekerasan tidak sebanyak berita kekerasan yang dilakukan segelintir kelompok Islam. Ahmad Syafi’i Maarif, sebagaimana dikutip Hashim Kamali, menyebut Muslim Radikal adalah minoritas, dan mayoritas Muslim yang moderat memiliki kekuatan penuh untuk mengkritik gagasan kaum radikal. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu mengatakan,

“Jika Islam dipimpin Muslim moderat, orang-orang yang tercerahkan, menurut saya, Islam bisa bersaing dengan bangsa mana pun. Namun, mayoritas moderat lebih memilih diam daripada melawan radikal.”

(Kamali, 2015: 2).

Muslim moderat berperan besar dalam meluruskan kesalahpahaman tentang Islam yang terjadi belakangan ini. Posisi mereka sangat relevan di tengah menguatnya arus kebencian terhadap Islam dan propaganda kekerasan atas nama Islam. Hashim Kamali menegaskan, penyebaran ekstremisme dan kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya di banyak belahan dunia menjelaskan betapa pentingnya moderasi beragama pada hari ini. Moderasi beragama mestinya tidak hanya disuarakan oleh Muslim, tetapi perlu juga didorong oleh agama-agama lain, karena seluruh manusia di dunia ini membutuhkan pandangan moderat dari agama apa pun.

Praktik moderasi yang sudah lama dipraktikkan oleh mayoritas Muslim di berbagai belahan dunia perlu disebarluaskan dan disuarakan supaya citra Islam sebagai agama rahmat dan kasih sayang tidak dirusak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, baik dari internal Muslim sendiri atau pun dari orang di luar Islam. Tugas utama Muslim hari ini adalah merebut kembali gambaran Islam yang sudah dibajak oleh kelompok ekstremis dan menyelamatkan Islam dari citra buruk yang dilekatkan kepadanya. Khaled Abou el-Fadl mengatakan, “Saya percaya bahwa jika seorang Muslim mencintai agamanya dan setia padanya, kewajiban pertama dan terpenting adalah menyelamatkan dan merebut kembali keyakinannya. Membiarkan pencemaran agama, sehingga menjadi tidak terbantahkan, karena takut dengan orang yang fanatik, menurut saya adalah pengkhianatan terhadap iman.” (2014: 10-11).

Harus diakui, kendati moderasi sudah lama dipraktikkan, literasi dan pendidikan moderasi beragama di kalangan umat Islam sendiri

belum banyak dilakukan dan belum mendapat perhatian utama di banyak negara. Mohd. Kamal Hassan mengingatkan, meskipun konsep wasathiyah (moderasi) setua Al-Quran, konsep itu belum dikenal secara luas, apalagi dipahami oleh kaum Muslim. Di antara penyebabnya, menurut Kamal Hassan, karena pendidikan Islam untuk generasi muda di banyak negara lebih fokus kepada hal-hal mendasar dalam Islam, seperti ilmu tauhid, halal dan haram, fikih ibadah, dan akhlak.

Sementara, pendidikan Islam untuk generasi yang lebih tua lebih difokuskan pada spritualitas atau tasawuf. Tidak ada sedikit pun penekanan pada pendidikan tentang moderasi. (Hassan, 2014: 40)

Untungnya, beberapa tahun belakangan ini, para pemimpin dan ulama di berbagai belahan dunia sudah mulai menekankan pentingnya moderasi beragama, atau Islam Wasathiyah. Mereka menulis banyak buku tentang konsep moderasi dalam Islam, mengadakan konferensi tentang Islam moderat, mengumpulkan banyak ulama dari berbagai negara untuk mendiskusikan respons Islam terhadap masalah-masalah global, dan menjadikan moderasi beragama sebagai acuan utama dalam pendidikan Islam. Di antara negara yang fokus mempromosikan moderasi beragama adalah Mesir, Malaysia, dan Indonesia. Pengarusutamaan moderasi beragama di tiga negara ini selalu berjalan mulus. Ada banyak hambatan dan rintangan yang harus dihadapi. Meskipun demikian, kontribusi tiga negara ini terhadap diskursus moderasi beragama sangatlah penting, baik kontribusi dari pemerintahannya, ulama, ataupun akademisi.

Moderasi Beragama di Mesir

Mesir termasuk negara yang sering dijadikan rujukan ketika membincang moderasi beragama. Negeri Kinanah ini telah melahirkan banyak ulama dan sarjana yang fasih bicara dan menulis buku tentang moderasi beragama. Di dunia internasional pun, Mesir dikenal sebagai negara yang kerap menyuarakan narasi damai, toleransi umat beragama, dan mengecam kekerasan atas nama agama. Bahkan, di tengah menguatnya kebencian dan sentimen anti-Islam di Barat, ulama besar Mesir Syekh Ahmad Thayyib, mengingatkan agar umat Islam di seluruh dunia melawan kebencian dengan cara yang bijak, rasional, legal, dan merujuk pada apa yang sudah dicontohkan Nabi Muhammad Saw.

Pengarusutamaan moderasi beragama di Mesir tidak dapat dilepaskan dari peran al-Azhar. Lembaga pendidikan tertua ini memiliki

132 MODERASI BERAGAMA PERSPEKTIF BIMAS ISLAM

andil besar dalam menjaga semangat moderasi beragama di Mesir.

Banyak penulis dan pengamat menyebut al-Azhar sebagai corong Islam moderat di dunia. Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qaumas menjuluki al-Azhar “benteng wasathiyah Islam”.1 Sebutan ini tentu tidak berlebihan, mengingat kontribusi al-Azhar dalam penyebarluasan gagasan moderasi beragama sangat besar, baik di Mesir sendiri maupun di belahan dunia lain.

Posisi al-Azhar di Mesir sangat dihormati. Pendapat ulama al- Azhar sampai saat ini masih didengar dan dijadikan rujukan beragama di tengah masyarakat. Pemerintah pun dalam banyak hal, khususnya yang berkaitan dengan urusan agama, pasti meminta pertimbangan, masukan, dan berdiskusi dengan ulama al-Azhar. Bahkan belakangan ini, Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi menggandeng al-Azhar untuk memperkuat pemerintahannya. Al-Azhar diberikan posisi strategis dan legitimasi kuat untuk mengurus masalah keagamaan. Aliansi al-Azhar dengan pemerintah ini di satu sisi sangat menguntungkan. Lembaga pendidikannya makin kuat, narasi keislaman yang dikembangkan al-Azhar makin dominan dan tersebar luas. Tapi di sisi lain, aliansi ini dikhawatirkan dapat mencoreng nama baik al-Azhar sebagai kekuatan penyeimbang antara negara, masyarakat, dan pihak yang saling berlawanan. Banyak pihak mempertanyakan sejauh mana al- Azhar dapat menjaga independensi dan bersikap moderat pada saat berhadapan dengan penguasa dan kelompok yang berseberangan dengan al-Azhar.

Kekhawatiran itu seperti yang ditunjukkan Masooda Bano dan Hanane Benadi dalam artikelnya “Regulating Religious Authority for Political Gains: Al-Sisi’s Manipulation of al-Azhar in Egypt”. Mereka memulai tulisan dengan pernyataan, “Pertumpahan darah adalah masalah serius dalam hukum Islam, karena mengabaikan kehidupan manusia, dan meniadakan aturan yang adil. Dengan berdiri di samping Jenderal al-Sisi, pada saat ia menekan Ikhwanul Muslimin, legitimasi al-Azhar sebagai pusat pendidikan Islam tertua patut dipertanyakan.”

(2017: 1)

Sebetulnya, ini bukan kali pertama al-Azhar merapat ke pemerintah.

Pascarevolusi 1952 yang dipimpin Muhammad Naguib dan Gamal Abdul

1 Pernyataan Menteri Agama dapat diakses di sini https://kemenag.go.id/read/1-081-tahun-al- azhar-menag-benteng-wasathiyah-islam-0152k

134 MODERASI BERAGAMA PERSPEKTIF BIMAS ISLAM

Nasir, al-Azhar sebagai institusi lebih banyak diatur dan diintervensi penguasa, baik urusan akademik finansial, maupun masalah sosial dan politik. Seperti yang dijelaskan Yon Machmudi, ada tiga cara yang dilakukan rezim pada waktu itu untuk menguasai al-Azhar. Pertama, mengeluarkan undang-undang reformasi tanah. Melalui aturan ini, pada 1952 seluruh tanah wakaf al-Azhar diambil alih pemerintah. Kedua, tahun 1955 pemerintah mengeluarkan undang-undang penghapusan Mahkamah Syariah. Peniadaan lembaga ini memperkecil peran al- Azhar. Ketiga, pemerintah mengeluarkan undang-undang nasionalisasi al-Azhar pada 1961. Salah satu konsekuensi aturan ini adalah jabatan Grand Syekh al-Azhar ditunjuk oleh Presiden (Machmudi, 2019: 186).

Kendati independensi al-Azhar tidak sekuat sebelumnya, pasca aturan nasionalisasi al-Azhar, pemerintah memberi perhatian lebih.

Dalam wawancara di salah satu stasiun televisi, Syekh Ali Jum’ah menjelaskan bahwa Gamal Abdul Nasir punya rencana untuk menutup al-Azhar. Rencana ini diutarakan kepada Bung Karno kisaran tahun 1959. Bung Karno tidak menyetujui rencana itu, karena hubungan Indonesia dan Mesir terjalin kuat berkat al-Azhar. Kalau al-Azhar ditutup, itu sama saja dengan menutup hubungan baik antara Mesir dan Indonesia. Setelah berdiskusi, Gamal Abdul Nasir membatalkan rencana penutupan al-Azhar. Sesuai dengan masukan dari Bung Karno, pemerintah Mesir akhirnya memperkuat dan mengembangkan al- Azhar. Gamal Abdul Nasir bertekad menjadikan al-Azhar sebagai kiblat belajar Islam. Karena itulah klausa pertama undang-undang 103 tahun 1961 adalah al-Azhar menjadi rujukan dunia Islam, bukan hanya di Mesir.2

Menurut Bano dan Benadi, Aliansi al-Azhar dan pemerintah memang sudah terjalin lama, ada banyak dinamika juga yang terjadi di dalamnya, tetapi kedekatan al-Azhar dengan pemerintah al-Sisi kali ini tetap menyisakan kekhawatiran. Marwah al-Azhar sebagai pusat Islam moderat benar-benar dipertaruhkan (Bano, 2017: 7). Ada tiga alasan yang membuat rasa khawatir ini muncul. Pertama, pemerintah al-Sisi sangat berbeda menyikapi Ikhwanul Muslimin dengan rezim sebelumnya. Al-Sisi berupaya sekuat tenaga menekan Ikhwanul Muslimin. Sepertinya, ia tidak memberi harapan sama sekali bagi

2 Hengki Ferdiansyah, “Mantan Presiden Mesir Ingin Menutup Al-Azhar, Tapi Batal Setelah Dinasihati Bung Karno,”, dapat diakses di sini https://islami.co/mantan-presiden-mesir-ingin- menutup-universitas-al-azhar-tapi-batal-setelah-dinasihati-bung-karno/

berkembangnya Ikwanul Muslimin di Mesir. Hukuman mati dijatuhkan secara massal kepada tokoh, aktivis, dan simpatisan Ikhwanul Muslimin, tanpa proses pengadilan. Pasukan keamanan al-Sisi juga tak segan-segan menyerang ruang publik yang akhirnya menelan banyak korban.

Kedua, di tengah situasi konflik antara Ikhwanul Muslimin dan pemerintah al-Sisi, sebagian ulama al-Azhar tidak dapat menjadi penengah di antara keduanya, tetapi malah ikut terseret dalam pusaran konflik. Beberapa ulama senior al-Azhar melontarkan kritik tajam terhadap Ikhwanul Muslimin dan mendukung sikap keras pemerintah terhadap mereka. Puncaknya, lembaga fatwa Mesir Darul Ifta’ mengeluarkan fatwa yang menyebut Ikhwanul Muslimin adalah khawarij zaman modern dan melakukan kerusakan di banyak tempat atas nama agama. Mantan Mufti Agung Mesir Syekh Ali Jum’ah, ahli hukum Islam yang sangat dihormati, menulis buku Hikâyah al- Irhâb yang membuktikan Ikhwanul Muslimin sebagai biang penyebab perkembangan gerakan teroris atas nama Islam. Adanya fatwa dan kritik keras dari ulama senior terhadap Ikhwanul Muslimin ini menjadi amunisi dan penguat bagi pemerintah untuk mengeksekusi tokoh, anggota, dan simpatisan Ikhwanul Muslimin.

Ketiga, setelah mengudeta Presiden Mohammad Morsi, Al-Sisi menampilkan dirinya sebagai sosok yang sangat islamis dan berusaha melindungi Islam dari ancaman ekstremisme. Ia sangat bersemangat melakukan pembaruan terhadap ajaran Islam yang dianggap bertentangan dengan semangat modernitas. Dalam sebuah kesempatan, Al-Sisi berkata, “Ketika saya membahas gagasan revolusi agama, saya tidak bermaksud memaksakan perubahan melalui kekerasan.

Namun, kita harus merevolusi pemikiran agar sesuai dengan waktu dan juga untuk meningkatkan citra Islam.” Semangat revolusi agama itu pada akhirnya mendorong Al-Sisi untuk melakukan pembaruan atas kurikulum al-Azhar. Pembaruan kurikulum memang bukan hal baru di al-Azhar, sebelumnya juga pernah dilakukan, tetapi sebatas mengenalkan mata kuliah baru dan ilmu-ilmu modern. Sementara, yang dilakukan al-Sisi adalah meminta al-Azhar untuk mereformasi ilmu- ilmu Islam, khususnya fikih, yang menurut anggapannya sudah tidak relevan lagi dengan masa sekarang. Tanpa berkordinasi dan berdiskusi dengan para ulama, ia meminta beberapa lema dalam fikih, seperti perbudakan, jizyah, dan jihad, dihapus dari kurikulum al-Azhar. “Ada ide dan teks dalam Islam yang telah disucikan selama ratusan tahun

Dalam dokumen moderasi beragama perspektif bimas islam (Halaman 135-169)

Dokumen terkait