BAB III METODE PENELITIAN
D. Teknik Analisis Data
Selanjutnya analisis dalam penelitian merupakan bagian dalam proses penelitian yang sangat penting, karena dengan analisis inilah data yang akan nampak manfaatnya terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian.
Pada dasarnya anilisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidak benaran dari suatu hipotesa. Data yang telah terkumpul kemudian secara sistematis sesuai dengan
54 Sugiyono, Metode Penelitian., h. 222
sasaran permasalahan, sekaligus dianalisa secara deskriptif kualitatif yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, tulisan atau lisan dari orang-orang yang berperilaku yang dapat dimengerti.
Analisis kualitatif adalah “proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain”.55
Setelah penulis memperoleh data yang diperlukan, maka data tersebut diolah dan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu proses mencari dan menyusun secara berurutan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami menjadi sebuah penjelasan mengenai tentang Persepsi hakim terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium dan Hak Ex Officio Hakim.
Selanjutnya data tersebut dianalisa menggunakan berfikir induktif yaitu cara berfikir dengan cara berangkat dari pengetahuan yang sifatnya bertitik tolak dari khusus. Data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi yaitu persepsi hakim terhadap penerapan Asas Ultra Petitum Partium dan Hak Ex Officio Hakim. Setelah semua data yang diperlukan didapat, kemudian dianalisis dan diambil kesimpulan bahwa metode analisis yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yang cenderung menggunakan analisis untuk mengemukakan teori dan fakta-fakta nyata dari data yang ada
55 Sugiyono, Op. Cit., hal. 244
untuk menggali pengetahuan tentang Persepsi hakim terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium dan Hak Ex Officio Hakim.
Analisis deskriptif kualitatif ini dipergunakan dengan cara menguraikan dan merinci kalimat-kalimat yang ada sehingga dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang ada dengan menggunakan pendekatan berfikir induktif.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Asas Ultra Petitum Partium dan Hak Ex Officio Hakim di Pengadilan Agama
Eksistensi peradilan agama merupakan conditio sine qua non bagi umat Islam di Indonesia. Sepanjang ada umat Islam, sepanjang itu pula peradilan agama ada, meskipun dalam bentuk yang sederhana. Karena itu, dalam dinamika perjalanan sejarah Indonesia, eksistensi Peradilan Agama bukan sesuatu yang baru.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa
“Dalam pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, hakim konstitusi memeriksa Permohonan beserta alat bukti yang diajukan.56 Tugas hakim dalam pembuktian adalah membagi beban pembuktian, menilai dapat tidaknya suatu alat bukti diterima, serta menilai kekuatan pembuktian.57
Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1. Pemeriksaan pokok Permohonan;
2. Pemeriksaan alat bukti tertulis;
3. Mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;
56 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 41 Ayat 1
57 Tata Wijayanta, dkk., Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif Serta Relevansinya Terhadap Konsep Kebenaran Formal, (Yogyakarta: Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum UGM, Vol. 22, No. 3, 2010), hal. 572
4. Mendengarkan keterangan saksi;58
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Aziz Idris selaku Hakim di Pengadilan Agama Gunung Sugih, beliau menjelaskan bahwa fungsi hakim adalah sebagai sosok yang membawa keadilan dan menciptakan hukum.
Sosok hakim diharapkan mampu melahirkan putusan-putusan yang mencerminkan kepastian hukum dan keadilan, serta kemanfaatan sehingga peradilan menjadi tempat mengayomi harapan dan keinginan masyarakat.
Menurut beliau hakim berwenang menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan di pengadilan. Seorang hakim dalam memutuskan perkara harus bebas dari segala sesuatu yang bisa mempengaruhi putusannya.59
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan diajukan oleh para pihak di persidangan. Berdasarkan hal tersebut, maka keyakinan hakim bukanlah merupakan hal yang esensial dalam menentukan kebenaran suatu peristiwa.
Dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata, asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan umum juga berlaku di lingkungan peradilan agama. Salah satu asas penting yang wajib diperhatikan adalah bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut.
58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 41 Ayat 2
59 Hasil wawancara dengan Bapak Aziz Idris selaku Hakim di Pengadilan Agama Gunung Sugih pada tanggal 5 Juli 2018
Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak Aziz Idris mengenai asas yang dipakai dalam memutuskan suatu perkara yang dalam hal ini adalah kasus perceraian. Menurut beliau, dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim perlu melihat petitum yang ada dan gugatan yang diajukan. Apabila dimungkinkan, seorang hakim boleh membuat putusan sendiri selama putusan tersebut tidak melebihi gugatan yang diajukan.
Mengenai asas ultra petitum dan hak ex officio, beliau mengungkapkan bahwa asas tersebut sudah diterapkan di Pengadilan Agama Gunung Sugih. Untuk asas mana yang digunakan tergantung situasi yang pertimbangan gugatan yang masuk.60
Hakim sebagai organ utama dalam suatu pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman untuk menerima, memeriksa, mengadili suatu perkara dan selanjutnya menjatuhkan putusan, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak jelas ataupun kurang jelas.61 Mengenai hal tersebut, putusan hakim mengandung dua unsur yaitu asas ultra petitum dan hak ex officio.
60 Hasil wawancara dengan Bapak Aziz Idris selaku Hakim di Pengadilan Agama Gunung Sugih pada tanggal 5 Juli 2018
61 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 6
Ultra petitum adalah melebihi yang diminta, sehingga makna Ultra Petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus melebihi apa yang diminta.62
Hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires, yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petita, maka putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).63
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa hakim tidak diperbolehkan hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya. Begitu pula halnya apabila ada gugatan rekonvensi, hakim wajib mempertimbangkan dan memutus tidak hanya gugatan konvensinya saja tetapi juga gugatan rekonvensi. Apabila dalam suatu putusan, hakim hanya mempertimbangkan dan memutus gugatan konvensi saja padahal tergugat mengajukan rekonvensi, maka cara demikian bertentangan dengan asas yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR.
Dalam pasal 178 ayat (3) HIR tidak berlaku secara mutlak sebab hakim dalam menjalankan tugasnya harus bertindak secara aktif dan selalu harus berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Hal ini juga didukung pula dengan putusan Mahkamah Agung
62 Bambang Sugeng Ariadi Subagyono, dkk., Kajian Penerapan Asas Ultra Petita pada Petitum Ex Aequo Et Bono, (Fakultas Hukum Universitas Airlangga: Jurnal Yuridika, Vol. 29, No.
1, 2014), hal. 103-104
63 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 801
tanggal 8 Januari 1972 yang berpendapat bahwa mengabulkan hal yang lebih dari yang digugat masih diijinkan sepanjang masih sesuai dengan kejadian materiilnya.
Mengenai asas ultra petitum, seorang hakim terikat secara mutlak dalam arti ketika memutus perkara, hakim hanya akan mengabulkan apa yang dituntut oleh penggugat, apabila bukti-bukti yang diajukan penggugat mendukung dalil-dalil di dalamnya, sebaliknya apabila tidak mendukung dalil- dalil penggugat maka tuntutan penggugat akan ditolak. Serta, keterikatan hakim atas ketentuan / asas ultra petita ini sudah merupakan yurisprudensi yang tetap, yang didalamnya didasari oleh suatu pemikiran bahwa kebebasan hakim bersifat relatif, artinya di dalam menjatuhkan putusan hakim, harus selalu memperhatikan undangundang dan asas hukum yang ada disamping itu dalam pemeriksaan perkara perdata maka hakim bersifat pasif.
Ultra petitum di Pengadilan Agama, dilihat dari bentuknya dibedakan menjadi dua yaitu Bentuk Tunggal dan Bentuk Alternatif. Mengenai kedua bentuk tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bentuk Tunggal
Petitum berbentuk tunggal apabila dalam deskripsinya menyebut satu persatu pokok tuntutan, tidak diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain yang bersifat alternatif atau subsider. Bentuk petitum tunggal tidak boleh hanya berbentuk compositur atau ex aequo et bono (agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar atau mohon putusan seadil-adilnya). Tetapi harus berbentuk rincian satu persatu sesuai dengan yang dikehendaki penggugat (pemohon dalam perkara cerai talak) dikaitkan dengan dalil gugatan/permohonan.
2. Bentuk Alternatif
a. Petitum primer dan subsidair sama-sama dirinci.
Baik petitum primer maupun subsider sama-sama dirinci satu persatu dengan rincian yang berbeda. Dalam menghadapi petitum primer dan subsider yang masing-masing dirinci satu persatu, maka hakim dalam mengambil dan menjatuhkan putusan harus memilih antara petitum primer atau subsider yang hendak dikabulkan. Dengan demikian, hakim dalam menghadapi petitum semacam ini tidak boleh mencampuradukkan dengan cara mengambil sebagian dari petitum primer dan sebagian lagi dari petitum subsider.
b. Petitum primer dirinci, diikuti dengan petitum subsidair berbentuk compositur atau ex aequo et bono (mohon keadilan)
Dalam hal seperti ini, sifat alternatifnya tidak mutlak, sehingga hakim bebas untuk mengambil seluruh dan sebagian petitum primer dan mengesampingkan petitum ex aequo et bono (petitum subsider).
Bahkan hakim bebas dan berwenang menetapkan lain berdasarkan petitum ex aequo et bono dengan syarat (1) harus berdasarkan kelayakan atau kepatutan; dan (2) kelayakan atau kepatutan yang diterapkan atau dikabulkan itu masih berada dalam kerangka jiwa petitum primer dan dalil gugatan.64
Asas ultra petitum partium tidak seharusnya dilakukan oleh hakim karena asas tersebut melebihi wewenang yang dimiliki oleh hakim. Seorang hakim tidak dibenarkan memberikan putusan dalam pengadilan melebihi tuntutan yang diajukan dalam suatu gugatan karena putusan tersebut merupakan putusan yang berada di luar wewenangnya.
Hal ini sebagaimana yang telah diutarakan oleh Bapak Arifin selaku Ketua Pengadilan Agama Gunung Sugih bahwa setiap perkara gugatan yang diajukan harus diputus oleh seorang hakim tanpa melebihi atau mengurangi apa yang menjadi gugatan. Beliau menambahkan, walaupun seorang hakim mempunyai hak untuk membuat hukum dalam suatu putusan, akan tetapi tidak
64 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 34
dibenarkan apabila putusan tersebut melebihi atau mengurangi dari gugatan yang ada. Hal ini berlaku untuk semua perkara di Pengadilan Agama Gunung Sugih dan harus diperhatikan oleh para hakim.65
Menurut Subekti pengertian hak ex officio berasal dari bahasa Latin, ambtshalve bahasa Belanda yang berarti karena jabatan, tidak berdasarkan surat penetapan atau pengangkatan, juga tidak berdasarkan surat permohonan.66 Seorang hakim mempunyai hak dalam memutuskan suatu tuntutan dengan mengatasnamakan jabatannya yang disebut dengan hak ex officio. Hak ex officio merupakan hak hakim yang karena jabatannya dapat memutuskan suatu perkara yang tidak disebutkan dalam petitum tuntutan.
Mengenai hak ex officio hakim telah disebutkan dalam Pasal 178 HIR ayat 3 dan pasal 189 RBg ayat 3 yakni hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut.67
B. Implementasi Asas Ultra Petitum Partium dan Hak Ex Officio dalam Persidangan
Tujuan para pihak menempuh proses perkara di pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimana hukumnya atas suatu perkara, yaitu bagaimana hubungan hukum diantara para pihak yang berperkara dan segala apa yang telah diputuskan dapat dijalankan. Jadi hasil yang diharapkan para pihak adalah agar segala hak dan kewajiban yang telah diberikan dalam
65 Hasil wawancara dengan Bapak Arifin selaku Ketua Pengadilan Agama Gunung Sugih pada tanggal 5 Juli 2018
66 Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 1979), hal. 43
67 Bambang Sugeng Ariadi Subagyono, dkk., Kajian Penerapan Asas., hal. 104
hukum materiel, baik yang berupa hukum tertulis maupun yang tidak tertulis dapat diwujudkan lewat pengadilan.
Keaktifan hakim dalam tahap penjatuhan putusan terutama terlihat dalam proses penemuan hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan yang runtut dan berkesinambungan dari kegiatan pembuktian untuk menemukan aturan hukum bagi peristiwa konkret tertentu dan mewujudkannya dalam bentuk putusan. Kegiatan penemuan hukum ini tidak hanya dilakukan oleh hakim pidana, tetapi juga hakim perdata, sesuai dengan asas ius curia novit (hakim dianggap tahu akan hukum) dan ketentuan Pasal 16 (1) UU 4/2004 yang melarang hakim menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan alasan bahwa aturan hukumnya tidak ada atau tidak jelas.68
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (1), menegaskan bahwa “peradilan umum berwenang menerima, memeriksa,mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata.”69 Tugas dan kewenangan peradilan umum di bidang perdata adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa diantara para pihak yang berperkara.
Pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan secara efisien dan efektif serta adanya biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat, namun tidak boleh mengorbankan aspek ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan harus dengan tegas ditegakkan. Tuntutan tersebut tidak
68 Tata Wijayanta, Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif., hal. 579
69 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (1)
memungkinkan untuk dimodifikasi karena penegakan keadilan sangat berhubungan dengan penegakan hak.70
Mengenai penerapan asas ultra petitum partium di Pengadilan Agama mengenai cerai talak, Hartini menjelaskan sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang diterapkan disamakan dengan hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum yakni Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglement tot Regeling van het Rechtwezen in de Guwesten Buiten en Madura, yang lebih dikenal dengan singkatan RBg, dan ketentuan hukum acara yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Perbedaannya dengan hukum acara di peradilan umum adalah adanya penambahan ketentuan hukum acara yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai aturan hukum acara khusus mengenai pemeriksaan perkara cerai talak dan cerai gugat.71
Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenangnya atau ultra vires. Sebuah putusan dianggap ultra vires jika melebihi yurisdiksi, bertentangan dengan persyaratan prosedural, atau mengabaikan peraturan dan keadilan. Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum. Menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsip ultra petita maka sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law.72
Asas Ultra Petita boleh dipergunakan asalkan masih berhubungan dengan konteks dan masih ada hubungan hukum mengenai apa yang akan diberikan kepada penggugat, contohnya dalam petitum tidak disebutkan namun dalam petitum ada yang menjadi poin untuk dikabulkan, agar sesuai
70 Sunarto, Prinsip Hakim Aktif dalam Perkara Perdata, (Universitas Airlangga: Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 2, 2016), hal. 250
71 Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium dalam Beracara di Pengadilan Agama, (Mimbar Hukum, Vol. 21, No. 2, 2009), hal. 382
72 Bambang Sugeng Ariadi Subagyono, dkk., Kajian Penerapan Asas Ultra Petita., hal. 104
dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa proses pengadilan dijalankan dengan cepat dan biaya yang ringan. Dengan kata lain, bahwa dalam ultra petita suatu gugatan dapat dikabulkan apabila gugatannya berkaitan dengan posita dan frasa keadilan.
Hal tersebut, dapat diberikan contoh dalam putusan No.
808/Pdt.G/2010/PN.Sby. Dalam gugatan ini, Penggugat yang ingin memutuskan untuk bercerai dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim, karena Majelis Hakim telah melihat dengan bukti-bukti yang diajukan dengan melihat keadaan rumah tangga penggugat dan tergugat yang sudah tidak harmonis lagi dan Majelis Hakim tidak menemui adanya suatu hal yang bertentangan dengan hukum atau peraturan yang berlaku sehubungan dengan gugatan penggugat.
Sehingga, Majelis Hakim mengabulkan petitum penggugat.
Penggugat meminta untuk Hak atas asuh diberikan kepada penggugat.
Namun Majelis Hakim menolak dikarenakan anak-anak hasil perkawinan penggugat dan tergugat masih dibawah umur, sehingga Majelis Hakim menganggap bahwa hak atas pengasuhan dan perwalian anak dinyatakan tetap berada pada Tergugat selaku Ibu Kandungnya, sehingga tuntutan penggugat tidak dapat diterima.
Pada Gugatan Rekonvensi tentang hak asuh anak, Majelis Hakim menilai bahwa anak yang dilahirkan masih berada di bawah umur sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa Hak anak asuh berada di bawah penggugat Rekonvensi yakni Ibu Kandungnya. Sehingga Hakim mengabulkan petitum penggugat Rekonvensi.
Petitum Kedua penggugat rekonvensi yang menyatakan bahwa menuntut tergugat rekonvensi untuk membayar uang nafkah hidup, biaya pemeliharaan, dan pendidikan untuk anak-anaknya, dengan uang sebesar Rp.
2.950.000,- per bulan ditolak oleh Majelis Hakim, karena biaya tersebut dirasa tidak relevan dikarenakan gaji tergugat Rekonvensi hanya Rp. 1.825.000,- namun tergugat rekonvensi sanggup untuk menafkahi dengan biaya Rp.
2.000.000,- sehingga atas pertimbangan tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa biaya nafkah tersebut sangat relevan untuk diberikan kepada Penggugat Rekonvensi.
Petitum ketiga oleh Penggugat Rekonvensi yang menuntut Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya penghidupan Penggugat Rekonvensi sebesar Rp. 2.000.000,- perbulan, ditolak oleh Majelis Hakim dikarenakan tuntutan tersebut tidak mempunyai dasar Hukum. Petitum Keempat oleh Penggugat Rekonvensi yang menuntut agar Tergugat membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat Rekonvensi sebesar Rp. 200.000,- setia harinya ditolak oleh Majelis Hakim, dikarenakan tidak mempunyai dasar hukum.
Terhadap perkara ini Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat konvensi dan gugatan Penggugat Rekonvensi juga dikabulkan sebagian, maka kedua belah pihak sama-sama membayar biaya perkara dan masing-masing membayar setengahnya. Dalam kasus ini petitum Penggugat Rekonvensi maupun Penggugat Konvensi dikabulkan sebagian. Dalam duduk perkaranya, putusan petitum subsidair oleh Majelis Hakim sangat relevan,
karena Majelis Hakim memutus perkara berdasarkan fakta-fakta yang sudah diajukan dan melihat pada dasar hukumnya. Sehingga pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara sangatlah relevan dan dirasa adil.
Berdasar pada pendapat di atas, supaya permohonan cerai talak sah, dalam arti tidak mengandung cacat formil, maka harus mencantumkan petitum permohonan (disusun lazimnya seperti petitum gugatan) yang berisi pokok tuntutan pemohon, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu persatu dalam akhir permohonan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan pemohon yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada termohon. Dengan kata lain, petitum permohonan berisi tuntutan atau permintaan kepada pengadilan agar ditetapkan atau dinyatakan sebagai hak pemohon atau hukuman kepada termohon atau kepada kedua belah pihak.
Atas timbulnya Akibat hukum dengan terbitnya putusan yang dianggap melampaui batas kewenangan maka Mahkamah Agung berhak dalam tingkat kasasi berhak membatalkan putusan atau penetapan pengadilan- pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Di dalam hukum perdata berlaku asas hakim bersifat “pasif” hakim “tidak berbuat apa- apa”, dalam artian ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra
petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak itu dapat membenarkan tuntutan hukum mereka, sehingga Hakim tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta.73
Adanya anggapan di dalam hukum acara perdata yang melarang adanya putusan yang mengandung ultra petita selama ini, sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena di dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung adanya larangan hakim memutuskan melebihi dari apa yang diminta mengalami pergeseran mengarah kepada diijinkan dengan tetap menggunakan pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/pasti (inkracht van gewijsde) yang didalamnya mengandung ultra petita dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenangnya atau ultra vires. Sebuah putusan dianggap ultra vires jika melebihi yurisdiksi, bertentangan dengan persyaratan prosedural, atau mengabaikan peraturan dan keadilan. Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum. Menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsip ultra petita maka sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law.74
Dalam keadaan tertentu pada perkara perceraian hakim diperbolehkan mewajibkan sesuatu kepada mantan istri atau mantan suami. Hal tersebut
73 Ibid., h. 104
74 Ibid., h. 104