• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Akad Kafalah a. Definisi Kafalah

باَقِعۡلٱ٢

3. Teori Akad Kafalah a. Definisi Kafalah

Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za’amah (tanggungan). Dikalangan ahli fikih terdapat sejumlah nama lain untuk akad kafalah ini, yaitu akad Hamalah, Dhamanah, dan Za’amah, namun yang paling masyhur adalah akad kafalah. Imam Mawardi membedakan akad Dhamanah itu akad menenggung terkait harta kekayaan, Hamalah terkait dengan hukuman atau denda, dan Za’amah terkait dengan harta kekayaan yang berjumlah besar.30

Kafalah dalam arti bahasa berasal dari kata: kafala, yang sinonimnya:

dhamina, artinya menanggung. Kafalah sebagaimana yang terdapat dalam kitab-

30 M. Pudjihardjo & Nur Faizin Muhith, Fikih Muamalah Ekonomi Syariah, (Malang: UB Press,2019) h. 99

kitab ulama Hanafiyyah dan ulama Hambali juga diartikan: adh-dhammu, yakni mengumpulkan/menggabungkan.31Sedangkan dalam kitab-kitab ulama Syafi’iyyah, artinya adalah al-Iltizam yakni mengharuskan atau mewajibkan atas diri sendiri sesuatu yang sebenarnya tidak wajib atas dirinya, membuat komitmen.

Kafalah secara istilah telah dikemukakan oleh ulama. Ulama Hanafiah mengemukakan kafalah atau dhaman adalah mengumpulkan suatu tanggungan kepada tanggungan lain dalam penagihan atau penuntutan terhadap jiwa, harta, atau benda.32Definisi yang lain dikemukakan bahwa kafalah atau dhaman adalah mengumpulkan tanggungan kepada tanggungan yang lain di dalam pokok hutang.

Dari kedua definisi tersebut, definisi yang pertama lebih shahih karena lebih umum yakni mencakup tiga jenis kafalah, yaitu kafalah terhadap jiwa, utang atau benda. Sedangkan definisi yang kedua hanya mencakup kafalah terhadap hutang saja.33

Dikalangan mayoritas mazhab Hanafi berdasarkan dampak apa yang dimunculkan oleh akad ini. Memberikan pengertian akad kafalah adalah penyatuan tanggungan seseorang (kafil) kedalam tanggungan penanggung terkait nyawa, harta, atau benda-benda berharga.34dan menurut mazhab Hanafi hutang dalam akad kafalah tidak beralih kepada al-Kafil (orang yang menanggung) dan tidak gugur dalam tanggung jawab al-Ashil (orang yang berhutang).

31 Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, (Cetakan I; Jakarta: AMZAH,2010), h. 433.

32Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz 3 (Beirut: Dar Al- Fikr, t.t), h. 221.

33 Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, h. 434.

34 M. Pudjihardjo & Nur Faizin Muhith, Fikih Muamalah Ekonomi Syariah, h. 99.

Mazhab Syafi’i mengemukakan dhaman dalam pengertian syara’ adalah suatu akad yang menghendaki tetapnya suatu hak yang ada dalam tanggungan orang lain, atau menghadirkan benda yang ditanggungkan, atau menghadirkan badan orang yang harus dihadirkan.35

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ulama Syafi’iyyah hutang yang ada menjadi tanggungan kedua belah pihak, yaitu pihak yang menjamin dan pihak yang dijamin. Perlu diperhatikan bahwa tertetapkannya hutang yang dijamin tersebut dalam tanggungan kafil (pihak penjamin) dan pada waktu yang sama hutang tersebut juga masih tetap berada dalam tanggungan ashil (pihak yang dijamin, pihak yang berutang) atau dengan kata lain meskipun hutang yang ada sama-sama menjadi tanggungan kedua belah pihak, yaitu yang menjamin dan yang dijamin, namun tidak serta merta berarti nilai utang bertambah, dan pihak berpiutang diuntungkan. Karena meskipun hutang tersebut berada dalam tanggungan kafil, namun pihak yang berpiutang hanya berhak menagih dan mendapatkan haknya sejumlah yang pernah ia berikandari salah seorang diantara mereka yaitu dari kafil atau dari ashil.

Dewan Syariah merumuskan berdasarkan No. 57/DSN-MUI/V/2007 bahwa kafalah adalah akad penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful’anhu, ashil);

Kafalah ini merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggungnya. Apabila

35Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, h. 225.

dihubungkan dengan teknis perbankan, dapat dikatakan bahwa pihak bank dalam hal ini memberikan jaminan kepada nasabahnya sehubungan dengan kontrak kerja/perjanjian yang telah disepakati antara nasabah dan pihak ketiga. Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi kontrak/perjanjian yang telah disepakati tanpa khawatir jika terjadi sesuatu dengan nasabah. Karena itu, konsep kafalah dalam term fiqh identik dengan perjanjian penanggungan/penjaminan (borgtocht) atau personal guaranty dalam term hukum perdata.

Berkenaan dengaan akad kafalah dalam operasional perbankan syariah, DSN telah mengeluarkan fatwa Nomor 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah dengan pertimbangan bahwa dalam rangka menjalankan usahanya seseorang sering memerlukan penjaminan dari pihak lain melalui akad kafalah dan hal ini bisa dilakukan oleh LKS. Agar kegiatan kafalah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, maka DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang kafalah untuk dijadikan pedoman LKS dalam menyediakan suatu skema penjaminan (kafalah) yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Dengan adanya kafalah pihak yang dijamin dapat menyelesaikan proyek atau pekerjaan dengan ditanggung pengerjaannya dan dapat selesai dengan tepat waktu dengan jaminan pihak ketiga. Sedangkan pihak yang menerima jaminan akan lepas dari tanggung jawab dengan tepat waktu dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

Isi fatwa Nomor 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah yaitu: Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah:

Menimbang:

a. Bahwa dalam rangka menjalankan usahanya, seseorang sering memerlukan penjaminan dari pihak lain melalui akad kafalah, yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil);

b. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan usaha tersebut, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berkewajiban untuk menyediakan satu skema penjaminan (kafalah) yang berdasarkan prinsip-prinsip syar’iah;

c. Bahwa agar kegiatan kafalah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang kafalah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.

Mengingat:

1. Firman Allah dalam QS. Yusuf /12: 72

ٞميِع َز ۦِهِب ۠اَنَأ َو ٖريِعَب ُل ۡم ِح ۦِهِب َءٓاَج نَمِل َو ِكِلَمۡلٱ َعا َوُص ُدِقۡفَن ْاوُلاَق ٧٢

Terjemahannya:

Penyeru-penyeru itu berseru: Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.

2. Firman Allah Q.S. Al-Ma’idah/5: 2

ِ رِبۡلٱ ىَلَع ْاوُن َواَعَت َو

ُديِدَد َ َّللَّٱ َّنِإ ََّٞۖللَّٱ ْاوُقَّتٱ َو َِۚن َٰوۡدُعۡلٱ َو ِمۡثِ ۡلۡٱ ىَلَع ْاوُن َواَعَت َلَ َو ٰٞۖى َوۡقَّتلٱ َو

Dokumen terkait