• Tidak ada hasil yang ditemukan

Term tentang Tadzkirah

Istilah al-tadzkirah berasal dari kata al-dzikr. Yang dimaksud al-dzikr adalah kondisi kejiwaan yang memungkinkan manusia dapat menghafal sesuatu yang

105 Sukayat, Ilmu Dakwah Perspektif Filsafat Mabadi „Asyarah, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015, hal. 31.

106 Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalâlain, Kairo: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.th, hal. 175.

diajarkan kepadanya berupa pengetahuan. Dengan demikian, kata al-dzikr sama dengan kata al-hifzh yang berarti menghafal sesuatu yang diajarkan kepadanya berupa pengetahuan. Dengan demikian kata al-dzikr sama dengan kata al-hifzh yang berarti menghafal dengan suatu perbedaan, bahwa menghafal berkenaan dengan sesuatu yang tidak tampak, dan terkadang dimaksudkan untuk menghadirkan sesuatu pada hati sanubari atau ucapan. Dengan demikian, Abudin Nata membagi al-dzikr kedalam dua bagian, yaitu al-dzikr dengan hati dan al-dzikr dengan lisan.107 Selain itu, al-tazhkirah dapat diterjemahkan dengan nasihat. Dengan demikian, maka al-tadzkirah sama dengan al-mau‟izhah yang diterjemahkan dengan nasihat.

Namun antara keduanya terdapat perbedaan. Al-mau‟izhah lebih menekankan kepada cara atau metode menyempaikan sesuatu kepada audien. Sedangkan al- tadzkirah lebih menekankan pada kondisi kejiwaan.

Di dalam Al-Qur‟an, kata al-tadzkirah diulang sebanyak sembilan kali salah satu diantaranya yaitu Thaha/20: 2- 3, yaitu:

ىَقْشَتِل َناَءْرُقْلا َكْيَلَع اَنْلَزنَأآَم ىَشَْيِ نَمِّل ًةَرِكْذَت َّلاِإ

o

Terjemahnya:

“Kami tidak menurunkan Al-Qur‟an ini kepadamu agar kamu menjadi susah,tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).”(QS. Thaha:2-3).

Di samping bermakna peringatan dan menghafal sebagaimana dijelaskan di atas, kata al-tadzkirah, jika dikaitkan dengan kehidupan sosial, maka memiliki arti memberi peringatan atau mengingatkan orang lain kepada kebaikan. Hal ini antara lain dijelaskan dalam Al-Qur‟an surah adz-Dzariyat/51:55 tentang perintah untuk senantiasa memberi peringatan atau memberi nasihat dan arahan kepada orang lain, karena hal itu sangat bermanfaat bagi orang beriman. Imam as-Sa‟di membagi al- tadzkir kedalam dua bagian, yaitu al-tadzkir yang menyangkut dengan sesuatu yang tidak bisa diketahui secara detail dan hanya diketahui secara keseluruhan, dan al- tadzkir yang menyangkut dengan sesuatu yang ditangkap dan diketahui oleh manusia, terutama orang mukmin. Namun, al-tadzkir atau memberi peringatan yang paling baik kepada orang lain yaitu memberikan penjelasan dengan detail 108

Pesan ayat di atas adalah bahawa setiap muslim memiliki kewajiban sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya, untuk bersungguh-sungguh memberikan nasihat dan peringatan serta memberikan petunjuk kepada orang lain.

Hal demikian, dikarenakan setiap mukmin, bahkan setiap manusia, sangat membutuhkan nasihat dan petunjuk dari yang lain tentang hak-hak Allah dan hak- hak hamba-Nya serta membutuhkan motivasi untuk menunaikannya. Demikian juga, manusia sangat butuh untuk saling berwasiat dalam kebenaran dan bersabar di atasnya. Di dalam Al-Qur‟an, orang-orang yang selalu memberikan nasihat dan saling berwasiat dalam kebenaran tergolong orang-orang yang beruntung. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-‟Ashr/103 ayat 1-3 bahwa manusia merupakan makhluk

107 Abudin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur‟an, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, hal.

95.

108 Imam As-Sa‟di, Tafsir As-Sa‟di, Kairo: Maktabah al-Iman, t.th, hal. 882.

yang tidak bisa hidup sendiri. Dalam menjalani hidup dan kehidupan, tentu manusia membutuhkan pertolongan manusia atau orang lain, sekecil apa pun. Itulah sebabnya Ibn Khaldun mengatakan bahwa manusia itu makhluk sosial, oleh karena tidak bisa hidup sendiri dan pastinya saling membutuhkan satu sama lain.

Manusia adalah tempatnya lupa dan kesalahan. Kadang lupa terhadap diri sendiri, lupa terhadap orang di sekitarnya. Bahkan, tidak sedikit yang lupa terhadap Sang Pencipta. Oleh karena manusia sering dihinggapi penyakit lupa, maka salah satu tugas dan kewajiban orang di sekitarnya adalah mengingatkannya. Muhamma Mahmud Hijazi dalam tafsirnya mengemukakan, beriman kepada Allah, Malaikat- Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya tidaklah cukup, untuk itu, maka harus diikuti dengan berbuat baik kepada orang lain, yaitu memberi wasiat dan peringatan dalam kebenaran.109 Itulah salah satu makna daripada hidup bermasyarakat atau bersosial sebagaimana tersirat dalam surah Al-‟Ashr/103 ayat 1-3 tersebut di atas.

Saling mengingatkan ke jalan yang benar merupakan suatu kebaikan yang harus dibiasakan oleh setiap individu. Bila ada yang melakukan kesalahan, sebaiknya ingatkan atau menegurnya. Jika ada yang melakukan suatu kejahatan, maka tugas kita adalah mencegahnya agar tidak melakukan atau mengulanginya lagi, minimal dengan cara mengingatkannya. Manakala seseorang lupa menjalankan suatu kewajiban kepada Sang Khalik, juga merupakan suatu keharusan bagi orang lain untuk mengingatkannya.

Karena itu, merupakan kewajiban dan tanggung jawab sosial setiap individu atau kelompok untuk memberikan peringatan, wasiat dan petunjuk kepada orang lain, siapa pun ia, bila melanggar sesuatu atau melakukan suatu kesalahan atau kekeliruan. Dengan kata lain, saling mengingatkan perlu di lakukan, bilamana ada orang yang lupa mengerjakan sesuatu atau ketika ada orang yang melakukan suatu kesalahan.

PENUTUP

Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa tafsir indikator tanggungjawab sosial dalam Al-Qur„an adalah seperangkat term yang menjadi pedoman bagi semua manusia dalam memelihara segala segi kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, politik, dan budaya, serta kehidupan pribadi, yang telah memiliki interaksi yang sesuai dengan seperangkat nilai-nilai universal Al Qur‟an.

Indikator anjuran nilai-nilai Al Qur‟an dengan tanggungjawab sosial dapat memupuk harkat dan martabat manusia sebagaimana dijelaskan dalam tujuh term berikut, yaitu terciptanya sikap

نواعتلا , فراعتلا, حلاصلإا, ناسحلإا, برلا, ةظعولما

dan

ةركذتلا .

Prinsip kesejahteraan dan keadilan sosial/al-Rifayah wa al-„Adâlah al- Ijtimâiyyah, memerlukan interaksi yang nyata dalam bentuk kepedulian sosial, tolong menolong, berbuat baik, saling mengingatkan, memberikan anjuran dan saran dalam bentuk komunikasi verbal dan non verbal, berprilaku yang memberikan contoh dalam bentuk membangun budaya berzakat, infak dan sedekah sebagai gaya

109 Muhammad Mahmud Hijazi, at-Tafsir al-Wâdhih, juz 3, Zaqaziq: Dar at-Tafsir, 2003, hal.

901.

hidup, saling menyapa dan menggapai kebahagian bersama dalam bentuk aksi bersama sebagai bentuk tanggung jawab sosial yang memberikan makna derajat nilai-nilai kemanusian.

DAFTAR PUSTAKA

„Asyur, I. (1981). Tahrîr wa at-Tanwîr, jilid 6 Fakhruddin ar-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 11. Beirut: Dar al-Fikr.

Abdussalam, A. (2014). Teori sosiologi Islam: Kajian Sosiologis Terhadap Konsep- Konsep Sosiologi Dalam Al-Qur‟an al-Karim”. Jurnal Pendidikan Agama Islam- at-Ta‟lim, 12(1).

Al-„Abîd, L. (2015). al-„Alâqah baina al-Mas‟ûliyah wa Tanâfusiyah Iqtishâdiyâh fî dual al‟Âlam al-Islâmî. Majallah Al-„Ûlûm Al-Insâniyah, 43.

Al-Balawi, Y. M., & Ba, K. A. (1387). al-Wahbiyah, 1387 H. Mesir.

Al-Qurthubi. (2013). al-Jâmi‟ Li Ahkâm Al-Qur‟an, terj. Ahmad Rijali Kadir, jilid 6.

Jakarta: Pustaka Azzam.

As-Suyuthi, J., & Al-Mahalli, J. (n.d.). Tafsir Jalâlain, Kairo: Maktabah Dar Ihya al- Kutub al-Arabiyah,.

Ath-Thabari. (2008). Jami‟ al-Bayan „an Ta‟wil Âyi Al-Qur‟an, terj. Akhmad Affandi, jilid 8. Jakarta: Pustaka Azzam.

Aziz. (2005). Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi.

Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Aziz, A. „Abdul. (2007). al-Fiqh al-Jinâî Fî al-Islami. Kairo: Darussalam.

Bakir, A. (2021). Formulasi Tanggungjawab Sosial Prespeftif Al Qur‟an”. Pustaka Ilmu.

Bakir, M. (2021). No Tit.ןכצle. Jurnal KACA Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH, 11(1). Retrieved from https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi- results

Departemen agama RI. (2016). Al-Qur‟an Tafsir Per Kata dan Tajwid. Banten: Pondok Karya Permai.

Hidayat, A. A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan.

Jakarta: Salemba Medika.

Hijazi, M. M. (2003a). at-Tafsir al-Wâdhih, juz 3, Zaqaziq: Dar at-Tafsir, 2003.

Hijazi, M. M. (2003b). at-Tafsir al-Wâdhih, juz 3, Zaqaziq: Dar at-Tafsir.

Ibn Khaldun, al-Mukaddimah. (n.d.).

Ismail, A. U. (2012). Al-Qur‟an Dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Lentera Hati.

Lanur, A. (1993). Dimensi Sosial Manusia Dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya, (ed) Mudji Sutrisno. Yogyakarta: Kanisius.

Masduki. (2014). Filosofi Interaksi Sosial Lintas Agama:Wawasan Islam”. Jurnal Toleransi, 6.

Nata, A. (2014). Sosiologi Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Qutb, S. (n.d.). Tafsir Fî Zhilal Al-Qur‟an di Bawah Naungan Al-Qur‟an, jilid X.

Qutb, S. (2002). Tafsir Fî Zhilal Al-Qur‟an di Bawah Naungan Al-Qur‟an:

Diterjemahkan oleh As‟ad Yasin. Cet. 1. Jilid 3. Jakarta: Gema Insani Press.

Santoso, S. (2016). Konsep Corporate Social Responsibility Dalam Perspektif Konvensional Dan Fiqh Sosial. Jurnal AHKAM, 4(1).

Shihab, Q. (n.d.). Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an. 12.

Dokumen terkait